Anda di halaman 1dari 10

Nama : Zakiyyah Nur Alawiyyah M

Nim : 3201230031
A. Pendahuluan
Menurut Devitt & Hanley (2006:1) dan Noermanzah (2017:2), menjelaskan bahwa bahasa
merupakan pesan yang disampaikan dalam bentuk ekspresi sebagai alat komunikasi pada situasi tertentu
dalam berbagai aktivitas. Dalam hal ini ekspresi berkaitan unsur segmental dan suprasegmental, baik itu
lisan atau kinesik sehingga sebuah kalimat dapat berfungsi sebagai alat komunikasi dengan pesan yang
berbeda apabila disampaikan dengan ekspresi yang berbeda pula. Kemampuan berbahasa ini
diimplementasikan dengan kemampuan dalam beretorika, baik beretorika dalam menulis maupun
berbicara. Retorika dalam hal ini sebagai kemampuan dalam mengolah bahasa secara efektif dan efisien
berupa ethos (karakter atau niat baik), pathos (membawa emosional pendengar atau pembaca), dan logos
(bukti logis) sehingga mempengaruhi pembaca atau pendengar dengan pesan yang disampaikan melalui
media tulis atau lisan (Noermanzah dkk., 2017:222-223; Noermanzah dkk., 2018;119).

Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi dengan manusia yang lainnya.
Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting.
Kegiatan berinteraksi ini membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Bahasa merupakan alat
komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-harinya. Demikian juga, Bahasa Indonesia
menjadi sarana budaya dan berpikir masyarakat Indonesia. Bahasa yang dimilki oleh manusia
merupakan ciri pembeda dengan makhluk ciptaan Tuhan YME lainnya. Dengan bahasa kita mampu
memahami sebenarnya apa yang diharapkan oleh alam semesta baik yang bersifat material maupun yang
bersifat metafisika dan dengan bahasa kita mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia
lainnya di dunia sehingga dengan bahasa kita mampu mengubah dunia ini menjadi berwarna. Dua hal
ini yang membedakan bahasa manusia dengan bahasa yang dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya yang
lain.

Keadaan kebahasaan di Indonesia kini ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang
sekaligus juga menjadi bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia, adanya ratusan bahasa daerah, dan adanya
sejumlah bahasa asing yang digunakan atau diajarkan dalam pendidikan formal. Kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dimulai ketika Sumpah Pemuda dilaksanakan tanggal 28 Oktober
1928, para tetua mengangkatnya dari bahasa Melayu, yang sejak abad ke-16 telah menjadi lingua franca
di seluruh Nusantara, menjadi bahasa persatuan, yang akan digunakan sebagai alat perjuangan nasional.
Kedudukannya sebagai bahasa negara ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36
yang menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

1
2

Bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli, seperti bahasa Cina, bahasa Arab, bahasa
Jerman, bahasa Perancis, dan bahasa Inggris berkedudukan sebagai bahasa asing. Di dalam
kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa tersebut bertugas sebagai: sarana perhubungan
antarbangsa, sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan alat untuk memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional. Jadi, bahasa-bahasa asing
menjadi bahasa ketiga di dalam wilayah Indonesia. Penggunaan Bahasa yang baik dan benar bukanlah
suatu persoalan yang mudah. Dalam kehidupan berbahasa, tidak jarang ditemukan kasus dimana penutur
menggunakan kata-kata atau ungkapan yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku.

B. PEMBAHASAN
1. Apakah yang dimaksud dengan hakikat bahasa?
• Pengertian
Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada
orang lain. Sesuatu yang dimaksudkan oleh pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh pendengar
atau lawan bicara melalui bahasa yang diungkapkan. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat
komunikasi (Abdul Chaer 2006).
Bahasa adalah satu sistem, sama dengan sistem-sistem lain, yang sekaligus bersifat sistematis dan
bersifat sistemis. Bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah
subsistem (subsistem fonologi, sintaksis, dan leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang,
sama dengan sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa ini
berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain, dan bunyi itu adalah bunyi bahasa yang dilahirkan alat ucap
manusia (Abdul Chaer, 2009).
Dengan demikian, menurut Abdul Chaer (2007:33) hakikat bahasa adalah yang mengulas dan
mengulas bahasa secara mendetail baik menurut pakar-pakar bahasa maupun masyarakat bahasa.
• Macam dari hakikat bahasa
- Bahasa itu bermakna
Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi. Sebuah lambang tentu melambangkan sesuatu,
yaitu suatu pengertian, konsep, dan pikiran. Dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
Misalnya lambang bahasa yang berwujud bunyi [kuda]. Lambang ini mengacu pada konsep sejenis
binatang berkaki empat yang biasa ditunggangi. Kemudian, konsep tadi dihubungkan dengan benda yang
ada dalam dunia nyata. Jadi, lambang bunyi [kuda] mengacu pada konsep “binatang berkaki empat yang
biasa ditunggangi”. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna berupa satuan-satuan bahasa yang
bewujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semua satuan tersebut memiliki makna.
Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak bermakna dapat disebut bukan bahasa.
3

- Bahasa bersifat konvensional


Bahasa bersifat konvensional artinya semua anggota masyarakat mematuhi konvensi bahwa lambang
tertentu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya binatang berkaki empat yang
biasa ditunggangi, yang secara arbitrer dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat
bahasa Indonesia. Kalau konvensi itu tidak dipatuhinya, dan lambang itu digantinya dengan lambang
lain, maka komunikasi akan terhambat karena tidak dapat dipahami oleh penutur bahasa.
- Bahasa bersifat arbiter
Istilah arbitrer adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi
itu) dengan konsep atau pengertian yang terkandung dalam lambang tersebut. Umpamanya, antara
[kuda] dengan yang dilambangkannya, yaitu “sejenis binatang berkaki empat yang biasa ditunggangi”.
Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi [kuda].
Apabila ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, tentu lambang yang
dalam bahasa Indonesia berbunyi [kuda], akan disebut juga [kuda] oleh orang Inggris, dan bukannya
[horse]. Lalu, apabila ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, maka di muka
bumi ini tidak akan ada bermacam-macam bahasa. Tentu hanya ada satu bahasa, yang meskipun
mungkin berbeda, tetapi perbedaannya tidak terlalu banyak.
- Bahasa sebagai sistem bunyi
Menurut Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran
gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bersumber dai
gesekan atau benturan bendabenda, alat suara pada binatang dan manusia. Namun, yang dimaksud bunyi
bahasa sebagai hakikat bahasa adalah bunyi-bunyi tertentu yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Perhatikan bahwa bunyi dengkur, bersin, dan batuk bukanlah bunyi bahasa karena tidak termasuk dalam
sistem bahasa. Bunyi bahasa di sisni adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang
di dalam fonetik diamati sebagai "fon", dan di dalam fonemik sebagai fonem.
- Bahasa bersifat produktif
Produktif secara sederhana berarti "banyak hasilnya". Bahasa dikatakan produktif maksudnya adalah
bahwa meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat
dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem
yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya dari 6 fonem dan 22 konsonan bahasa Indonesia dapat terlahir
kata, frase dan kalimat yang tak terbatas jumlahnya.
Keproduktifan bahasa Indonesia dapat juga dilihat pada jumlah kalimat yang dapat dibuat. Dengan
kosakata yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berjumlah lebih kurang 90.000 buah, kita dapat
4

membuat kalimat bahasa Indonesia yang tak terhingga banyaknya, termasuk juga kalimatkalimat yang
belum pernah ada atau pernah dibuat orang.
2. Bagaimanakah sejarah lahirnya dan perkembangan ejaan bahasa Indonesia?
• Sejarah lahirnya bahasa Indonesia
Pada awalnya, bahasa Indonesia yang kini kita gunakan sebagai bahasa resmi di negara Indonesia ini
berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang digunakan tersebut merupakan bahasa Melayu tua
yang masih dapat diselediki sebagai peninggalan masa lampau. Bahasa Melayu tersebut digunakan
sebagai bahasa penghubung, baik untuk bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun hubungan diplomatik
di beberapa negara Asia Tenggara pada kala itu. Hal tersebut dibuktikan oleh adanya beberapa prasasti
yang ditemukan di daerah-daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya bukan bahasa Indonesia atau
Melayu. Tentu saja ada juga ditemukan di daerah yang bahasa sehari-hari penduduknya sudah
menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu. Sejarah perkembangan bahasa ini dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota Kapur (686 M), Karah Barahi (686
M).
Ketika bangsa Eropa pertama kali mendatangi wilayah Nusantara (Indonesia) kala itu, bahasa
Melayu sudah mempunyai kedudukan yang luar biasa di Nusantara ini. Sebagai contohnya, Pigafetta
yang mengikuti perjalanan Magelhaen mengelilingi dunia, ketika kapalnya berlabuh di Tidore pada
tahun 1521 menuliskan kata-kata Melayu. Itu merupakan bukti yang jelas bahwa bahasa Melayu yang
berasal dari bagian barat Indonesia pada zaman itu pun sudah menyebar sampai ke bagian Indonesia
yang berada jauh di sebelah timur. Selain itu, menurut Jan Huygen van Lischoten, pelaut Belanda yang
60 tahun kemudian berlayar ke Indonesia, mengatakan bahwa bahasa Melayu bukan saja sangat harum
namanya tetapi juga dianggap bahasa yang terhormat di antara bahasa-bahasa negeri timur.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa persatuan atau bahasa
nasional. Nama bahasa Indonesia tersebut sifatnya adalah politis, karena setujuan dengan nama negara
yang diidam-idamkan yaitu Bangsa Indonesia. Sifat politik ditimbulkan karena keinginan agar bangsa
Indonesia mempunyai semangat juang bersama-sama dalam memperoleh kemerdekaan agar lebih
merasa terikat dalam satu ikatan: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia diikrarkan melalui butir-butir Sumpah Pemuda sebagai berikut.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
5

Pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”
menunjukkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan dalam mempersatukan bangsa
Indonesia. Tidak berarti bahwa, bahasa daerah dihapuskan. Bahasa daerah tetap harus dijaga dan
dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa. Jadi, sangatlah keliru jika ada warga daerah yang malu
menggunakan bahasa daerahnya dalam berkomunikasi. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
diartikan sebagai bahasa yang digunakan di dalam kegiatan berkomunikasi yang melibatkan banyak
tokoh atau masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Itulah sebabnya bahasa Indonesia
memiliki fungsi dan kedudukan sebagai bahasa persatuan.
• Alasan bahasa Melayu dijadikan bahasa nasional kala itu
Menurut Prof. Dr. Slametmulyana faktor-faktor yang menyebabkan bahasa Melayu dijadikan bahasa
nasional kala itu, antara lain:
1. Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Indonesia yang pada saat itu digunakan sebagai
bahasa perhubungan maupun perdagangan. Selanjutnya, bahasa Melayu ini tersebar ke seluruh
pantai Nusantara, terutama wilayah perkotaan yang memiliki pelabuhan.
2. Bahasa Melayu merupakan sistem sederhana dan mudah dipelajari. Tidak mengenal tingkatan
bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau bahasa Bali, atau perbedaan pemakaian bahasa kasar dan
halus seperti dalam bahasa Sunda atau bahasa Jawa.
3. Secara faktor psikologis, suku bangsa Jawa dan Sunda menerima bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Hal ini semata-mata didasarkan pada keinsafan akan manfaatnya ada keikhlasan
mengabaikan semangat dan rasa kesukuan karena sadar akan perlunya kesatuan dan persatuan.
4. Kesanggupan bahasa juga menjadi faktor penentu. Hal ini dikarenakan, jika bahasa itu tidak
mempunyai kesanggupan untuk dapat dipakai menjadi bahasa kebudayaan dalam arti yang luas,
tentu bahasa itu tidak akan berkembang menjadi bahasa yang sempurna. Pada dasarnya dapat
dibuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dapat dipakai untuk merumuskan
pendapat secara tepat dan mengutarakan perasaan secara jelas.
Adapun menurut Prof. Soedjito, alasan-alasan yang menjadikan bahasa Melayu sebagai landasan
lahirnya bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Bahasa Melayu merupakan lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad di seluruh
kawasan Nusantara. Hal ini tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah
lainnya.
2. Bahasa Melayu memiliki daerah sebaran paling luas dan melampaui batas-batas wilayah bahasa
lain, meskipun penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun
bahasa daerah lainnya.
6

3. Bahasa Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak
dianggap sebagai bahasa asing.
4. Bahasa melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah
dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.
5. Bahasa melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal dari
berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak menimbulkan
perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah.
• Perkembangan ejaan bahasa Indonesia
- Ejaan van Ophuisjen (1901)
Masih disebut sebagai bahasa Melayu, dan menjadi pedoman ejaan pertama yang resmi. Disusun
oleh Charles A. van Ophuisjen dan dari Belanda, beserta Engku Soetan Makmur Nawawi, dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
- Ejaan Soewandi (1947)
Menggantikan ejaan van ophuisjen, pedoman ejaan Soewandi (ejaan republik) diresmikan pada 19
Maret 1947 sesuai dengan keputusan menteri pendidikan. Disusun oleh Mr. Raden Soewandi, yang pada
saat itu menjabat sebagai menteri pendidikan. Pembaruan terdapat pada penggunaan diftong dari oe
menjadi u, dan tanda apostrof menjadi huruf k atau tidak dituliskan.
- Ejaan Pembaruan (1954)
Berdasarkan usulan Moh Yamin, agar ejaan Soewandi disempurnakan maka diadakanlah kongres
Bahasa Indonesia II pada 1954. Pembaruan dipimpin oleh Pijono dan E. Katoppo yang berisi pembuatan
standar satu huruf, penghapusan tanda hubung untuk kata yang satu makna, dan merubah ejaan diftong.
Namun sayangnya, pedoman ejaan ini tidak diresmikan.
- Ejaan Melindo (1959)
Melindo adalah akronim dari Melayu dan Indonesia, pedoman ejaan ini disusun pada 1959 dengan
bekerja sama antara Indonesia dan persekutuan Melayu (Malaysia). Isinya tidak jauh berbeda dengan
ejaan pembaharuan, pedoman ejaan ini dibentuk agar menyamakan ejaan antara dua negara, namun lagi
lagi pedoman ejaan ini gagal diresmikan.
- Ejaan LBK
Singkatan lembaga bahasa dan kesusastraan, bisa dibilang ejaan ini adalah lanjutan ejaan Melindo
yang gagal diresmikan. Panitia penyusunnya masih sama, yaitu gabungan antara Indonesia dan Malaysia
dan isinya tidak jauh berbeda dengan ejaan pembaharuan. Huruf vokalnya yaitu; i, u, e, ə, o, a. Serta ada
istilah asing yang diserap seperti: extra → ekstra.
- Ejaan yang Disempurnakan (1972)
7

Pedoman EYD ini berlaku dari tahun 1972 hingga 2015. Pedoman ini menjadi yang paling lama
digunakan, serta paling lengkap mengatur kaidah bahasa Indonesia. Seperti bahasa serapan, pemakaian
kata, penempatan tanda baca, pemakaian huruf kapital, pemakaian cetak miring, dan penyebutan huruf
‘e’.
- Ejaan Bahasa Indonesia (2015)
Populer dengan istilah PUEBI, atau singkatan dari pedoman umum ejaan bahasa Indonesia.
Ditetapkan berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan tahun 2015, dan resmi menjadi pedoman ejaan
yang baru. Ejaan ini menyempurnakan EYD, seiring dengan berkembangnya seni, teknologi, dan
pengetahuan sehingga pemakaian bahasa Indonesia perlu diperluas.
3. Secara umum, apa sajakah kedudukan bahasa Indonesia?
Pada dasarnya, bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa
negara. Kedudukannya sebagai bahasa nasional ini telah diikrarkan pada Sumpah Pemuda, tanggal 28
Oktober 1928. Sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara telah dibuktikan sejak diresmikannya
Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum
”Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.
- Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memiliki maksud sebagai alat pemersatu suku bangsa, baik
suku, agama, ras, dan budaya. Fungsi pemersatu ini (heterogenitas/kebhinekaan) sudah dicanangkan
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
- Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Bahasa Nasional adalah fungsi jati diri Bangsa Indonesia bila berkomunikasi pada dunia
luar Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1)
lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa
yang berlatar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda, dan (4) alat perhubungan antardaerah
dan antarbudaya.
- Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
Bahasa negara merupakan bahasa yang digunakan dalam administrasi negara untuk berbagai
aktivitas. Adapun kegunaannya antara lain sebagai (1) administrasi kenegaraan, (2) pengantar resmi
belajar di sekolah dan perguruan tinggi, (3) perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara
Indonesia sebagai negara berkembang, dan (4) bahasa resmi berkebudayaan dan ilmu teknologi
(ILTEK).
- Bahasa Indonesia sebagai bahasa baku
8

Bahasa baku (bahasa standar) merupakan bahasa yang digunakan dalam pertemuan resmi. Fungsi dari
bahasa baku ini adalah sebagai (1) pemersatu sosial, budaya, dan bahasa, (2) penanda kepribadian
bersuara dan berkomunikasi, (3) penambah kewibawaan sebagai pejabat dan intelektual, serta (4) acuan
dan penulisan ilmiah.
4. Apa sajakah fungsi dari bahasa Indonesia?
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga memiliki fungsi yang beragam dalam tatanan
kehidupan. Fungsi bahasa Indonesia itu sendiri digagas oleh ahli bahasa (linguis) dan Gorys Keraf.
Berikut ini adalah contoh pemaparan fungsi bahasa Indonesia yang digagas oleh ahli bahasa dan Gorys
Keraf.
• Menurut ahli bahasa (linguis)
Menurut ahli bahasa, fungsi bahasa Indonesia dibagi menjadi 4, diantaranya:
- Fungsi ekspresi dalam bahasa
Fungsi ini merupakan pernyataan ekspresi diri dari suatu yang akan disampaikan oleh penulis atau
pembicara sebagai eksistensi diri. Eksistensi diri yang dimaksud adalah (1) menarik perhatian orang lain
(persuasif dan provokatif), (2) membedakan diri dari semua tekanan (contohnya emosi), (3) melatih diri
untuk menyampaikan suatu ide dengan baik, dan (4) menunjukkan keberanian (convidence) dalam
menyampaikan suatu ide.
- Fungsi komunikasi dalam bahasa
Fungsi ini merupakan penjelasan bahwa di dalam komunikasi tidak akan terwujud tanpa dimulai
ekspresi diri. Namun, begitu juga sebaliknya apabila di dalam komunikasi tidak ada suatu ekspresi diri,
maka komunikasi yang akan diterima oleh orang lain akan terhambat. Oleh karena itu, komunikasi akan
tercapai dengan baik bila ekspresi diri diterima oleh orang lain (responden).
- Fungsi adaptasi dan integrasi dalam bahasa
Fungsi peningkatan (interaksi) dan penyesuaian (adaptasi) diri dalam suatu lingkungan merupakan
kekhususan dalam bersosialisasi baik dalam lingkungan sendiri maupun dalam lingkungan baru. Sebagai
contohnya, bahwa bahasa yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi harus mampu menyatakan
hidup bersama dalam suatu ikatan bersosial (masyarakat).
- Fungsi kontrol sosial
Fungsi kontrol sosial ini bermaksud bahwa bahasa memengaruhi perilaku dan tindakan masyarakat,
sehingga seseorang yang terlibat dalam komunikasi itu dapat saling memahami. Dari sinilah terbentuk
suatu ikatan masyarakat yang dinamakan sebagai kontrol sosial. Kontrol sosial ini memiliki maksud
bahwa bahasa mempunyai relasi dengan proses sosial suatu masyarakat, seperti keahlian bicara, penerus
9

tradisi atau kebudayaan, pengidentifikasian diri, dan penanaman rasa keterlibatan (sense of belonging)
pada masyarakat bahasanya.
• Menurut Gorys Keraf
Di samping fungsi-fungsi utama tersebut, Gorys Keraf menambahkan beberapa fungsi lain sebagai
pelengkap fungsi utama tersebut. Fungsi tambahan itu antara lain:
- Fungsi lebih mengenal kemampuan diri sendiri.
- Fungsi lebih memahami orang lain.
- Fungsi belajar mengamati dunia, bidang ilmu di sekitar dengan cermat.
- Fungsi mengembangkan proses berpikir yang jelas, runtut, teratur, terarah, dan logis.
- Fungsi mengembangkan atau memengaruhi orang lain dengan baik dan menarik.
- Fungsi mengembangkan kemungkinan kecerdasan ganda.

C. KESIMPULAN
• Pada mulanya bangsa Indonesia menggunakan bahasa Melayu sebagai komunikasi dengan
sesama masyarakat maupun para pedagang saat itu. Bahasa Melayu yang digunakan pada saat
itu digunakan sebagai (lingua franca) bahasa perhubungan, baik dalam hal ekonomi, sosial,
budaya, maupun hubungan diplomatik.
• Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928. Sebagaimana termaktub pada poin ke-3 Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
• Bahasa dikatakan produktif maksudnya adalah bahwa meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas,
dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang
jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa
itu.
• Bahasa Indonesia sebagai bahasa baku Bahasa baku (bahasa standar) merupakan bahasa yang
digunakan dalam pertemuan resmi.
• Fungsi dari bahasa baku ini adalah sebagai (1) pemersatu sosial, budaya, dan bahasa, (2) penanda
kepribadian bersuara dan berkomunikasi, (3) penambah kewibawaan sebagai pejabat dan
intelektual, serta (4) acuan dan penulisan ilmiah.
10

Sumber Materi

Bahasa, F. (2016). Fungsi bahasa Melayu. June. http://dwnbahasa.dbp.my/?p=913

Dahlan, U. A. (2020). Lingua Rima: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 9 No. 2 Juli
2020. 9(2), 43–50.

Komunikasi, A., & Pikiran, C. (2020). Bahasa sebagai Alat Komunikasi, Citra Pikiran, dan
Kepribadian. 1–20.

Pramuki, B. E. (2017). Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, 1.1-1.30.

Wisnu, A. (2019). Kesetaraan Bahasa Indonesia Dan Bahasa Inggris Sebagai Penghela Ilmu
Pengetahuan Di Era Globalisasi. https://doi.org/10.31227/osf.io/7mzqp

Anda mungkin juga menyukai