Anda di halaman 1dari 25

The Social and Culturalocultural Adaptation of Foreign

International Students in Indonesia: The Effect of


Javanese Culture in Indonesian Language Programs for
Foreign Speakers (BIPA)
Adaptasi Sosial dan Budaya Mahasiswa Asing di
Indonesia: Pengaruh Budaya Jawa dalam Program
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

ABSTRACT

The Indonesian Language Program for Foreign Speakers (BIPA) is increasingly


in demand by international students. Many foreign students study Indonesian.
The purpose of this study is to explain the cultural and social changes of foreign
students in Indonesia. The study focused on the influence of Javanese culture on
foreign students studying Indonesian. The research method used is descriptive
qualitative ethnographic approach. The study was conducted in Central Java,
East Java and Yogyakarta. Data sources are documents and informants. The
results showed that Javanese culture influences the cultural and social changes
of foreign students in Indonesia. Students become more enthusiastic and active in
responding to learning in BIPA based on Javanese culture. The change comes
from both internal and external students and helps foreign students understand
Indonesian language and culture more comprehensively.

ABSTRAK: Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) semakin


diminati oleh mahasiswa internasional. Banyak mahasiswa asing yang belajar
bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan perubahan budaya
dan sosial mahasiswa asing di Indonesia. Penelitian difokuskan pada pengaruh
budaya Jawa terhadap mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia. Metode
penelitian yang digunakan deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi.
Penelitian dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Sumber
data adalah dokumen dan informan. Hasil penelitian menunjukkan budaya Jawa
berpengaruh dalam perubahan budaya dan sosial mahasiswa asing di Indonesia.
Mahasiswa menjadi lebih antusias dan aktif dalam merespons pembelajaran di
BIPA berbasis budaya Jawa. Perubahan berasal dari mahasiswa baik internal
dan eksternal serta membantu mahasiswa asing memahami bahasa dan budaya
Indonesia lebih komprehensif.
1
Keywords: cultural and social change, foreign students, Javanese culture, BIPA
program
Kata kunci: perubahan budaya dan sosial, pelajar asing, budaya Jawa, program
TISOL

PENDAHULUAN

Faktor-faktor sosiokultural berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa.


Dalam setiap mengajarkan bahasa sebenarnya juga mengajarkan satu sistem yang
kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan
bertindak (Fauziah, 2015). Bahasa sebagai bagian dari budaya memungkinkan
manusia memanfaatkannya sebagai media interaksi sosial dan masyarakat
dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi bisa
menjadi alat integrasi antar anggota masyarakat sehingga terjalin keharmonisan
(Ramdhani, 2012). Hal ini dibuktikan dengan adanya bahasa, anggota masyarakat
dapat mengenal adat-istiadat, tingkah laku, tata krama, dan norma yang terdapat
di suatu wilayah. Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat melalui
bahasa. Sama halnya dengan pendatang baru dalam masyarakat harus dapat
beradaptasi agar dapat menjalani kehidupan bermasyarakat secara tentram dan
harmonis. Apabila ia dapat beradaptasi maka ia akan dengan mudah berintegrasi
dengan segala aturan dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat etnik Madura yang melakukan
adaptasi bahasa ketika tinggal di Surakarta supaya lebih dapat membaur dengan
masyarakat. Proses ini ditandai dengan adanya fenome alih kode dan campur
kode dari bahasa Madura ke dalam bahasa Jawa (Saddhono, 2017).
Fenomena adaptasi sosiokultural tampak jelas terjadi oleh orang asing
yang belajar bahasa Indonesia melalui program BIPA. Fenomena itu seperti yang
terjadi di Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMP), mahasiswa asing harus
beradaptasi dengan budaya lokal kota tersebut agar dapat menjalani kehidupan
sehari-hari dengan baik dan dapat memahami kebiasaan masyarakat sekitar
(Mareza & Nugroho, 2016). Program BIPA saat ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat (Gloriani, 2017; Rohimah, 2018). Hal ini dibuktikan makin banyak
orang asing belajar bahasa Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun luar
negeri. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan Darmasiswa Kementerian Luar Negeri
tahun 2019/2020 terdapat 104 negara yang terlibat. Fenomena yang sangat unik
dan menarik adalah perubahan sikap dan budaya orang asing yang belajar bahasa
Indonesia di dalam negeri sebagai wujud adaptasi budaya. Orang asing yang
belajar bahasa Indonesia akan secara otomatis juga belajar mengenai adat istiadat
dan budaya Indonesia. Oleh karena belajar bahasa juga akan belajar budayanya.
Banyak bentuk dan tahapan adaptasi yang dilakukan orang asing ketika belajar
2
dalam program BIPA di Indonesia (Anindita & Woelandari, 2020). Tahapan
adaptasi tersebut dibagi menjadi dua, yaitu cultural adaptation dan cross-
cultural adaptation. Cultural adaptation terjadi ketika seseorang pindah dalam
lingkungan yang baru, dimana adanya proses pengiriman pesan dari penduduk
lokal yang harus dipahami orang tersebut sebagai pendatang. Proses ini juga
dikenal dengan enkulturasi, yang biasanya terjadi pada saat sosialisasi di awal
perpindahan. Dalam cross-cultural adaptation ada tiga hal utama yang
merupakan kelanjutan dari enkulturasi, yaitu akulturasi, asimilasi, dan
dekulturasi. Tahapan adaptasi tersebut bertujuan untuk memperlancar dalam
belajar bahasa dan budaya Indonesia dan sebagai bentuk ketahanan hidup
bermasyarakat di Indonesia. Fenomena peran sosiokultural dalam pembelajaran
bahasa ini tampak sekali dalam perubahan sosial dan budaya orang asing di
bderbagai wilayah Indonesia yang sedang belajar bahasa Indonesia ( Faizin &
Isnaini, 2020; Lestari & Paramita, 2019)
Mahasiswa asing yang berasal dari berbagai negara perlu menguasai
bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Hal ini dikarenakan ada kebijakan dari
perguruan tinggi yang mengharuskan mahasiswa asing belajar bahasa Indonesia,
seperti di Universitas Sebelas Maret (https://uns.ac.id/id/uns-update/mahasiswa-
asing-harus-kuasai-bahasa-indonesia.html). Kebijakan ini tentu didasarkan pada
peraturan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan
dalam ranah pendidikan, seperti yang sudah tertera daam UU No. 24 Tahun 2009
tentang bendera, bahasa, dan lambang Negara. Undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam pendidikan nasional. Dengan menguasai bahasa Indonesia, para
mahasiswa asing akan lebih mudah untuk berkomunikasi secara lisan maupun
tulis terutama digunakan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, beberapa
perguruan tinggi yang memiliki mahasiswa asing menyelenggarakan Program
BIPA.
Pada proses pembelajaran Bahasa Indonesia tidak akan lepas dari
lingkungan belajar mahasiswa asing. Oleh karena itu, mahasiswa asing perlu
diberikan pelatihan dan pengenalan mengenai bahasa daerah setempat untuk
memudahkan komunikasi belajar secara intensif di kampus (Kobayashi, 2013;
Zhao, et. al, 2013). Beberapa universitas yang berlatar belakang budaya Jawa
yaitu di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, mahasiswa asing juga
dituntut untuk mengetahui bahasa Jawa sebagai bahasa daerah untuk
berkomunikasi setiap hari. Penyelenggara BIPA di perguruan tinggi dengan latar
belakang budaya Jawa tersebut pada umumnya memasukan budaya Jawa sebagai
materi ajar dalam pembelajaran BIPA di kelas
Kajian mengenai program BIPA dilakukan Saddhono (2012) yang
memaparkan mengenai upaya meningkatkan kualitas pembelajaran BIPA dengan

3
menggunakan buku teks. Buku teks digunakan untuk membantu mencapai
kompetensi pembelajaran yang sudah ditetapkan. Buku tersebut dikhususkan
untuk mahasiswa BIPA yang akan mendalami pendidikan Pascasarjana sehingga
aspek keterampilan menulis lebih ditekankan dalam buku tersebut (Setiawan et
al, 2018). Walaupun lebih difokuskan untuk mengembangkan keterampilan
menulis, tetapi ketiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu menyimak,
berbicara, dan membaca juga tetap dimasukkan di dalamnya. Hal tersebut
tentunya tidak bisa dilepaskan dari inti pembelajaran bahasa yaitu empat ranah
tersebut meskipun di setiap kegiatan pasti ada keterampilan berbahasa yang
ditonjolkan. Materi mengenai unsur-unsur budaya Jawa juga dimasukkan dalam
buku teks tersebut seperti upacara adat, seni, kuliner, tempat wisata, dan yang
lainnya. Pengintegrasian unsur-unsur budaya Jawa dalam buku teks pembelajaran
BIPA dimaksudkan untuk membuat materi pembelajaran lebih menarik dan
membuat para mahasiswa BIPA lebih tertarik belajar serta mengenal Indonesia
tidak hanya dari aspek bahasa (Rostini & Aminah, 2019; Saddhono, 2016).
Pengintegrasian budaya lokal atau Jawa dalam pembelajaran BIPA dapat
juga digunakan sebagai pengantar bagi mahasiswa asing dalam meningkatkan
komunikasi dan mengenal budaya Indonesia dalam program BIPA di universitas
yang berlatar belakang budaya dan bahasa Jawa. Sebuah pembelajaran bahasa,
khususnya bahasa Jawa memerlukan bentuk yang sistematis dan terencana
dengan baik sehingga memudahkan bagi mahasiswa asing untuk menerima
materi dengan optimal. Bahan ajar yang dilengkapi dengan rekaman berupa
peristiwa dan fenomena budaya Jawa dalam pembelajaran BIPA perlu diberikan
sebagai bekal pengetahuan awal mahasiswa asing. Selain itu, buku pegangan
bagi mahasiswa asing juga diperlukan sebagai sarana utama dalam pembelajaran
(Nurlina, 2017; Saddhono, 2018).
Pemilihan budaya Jawa dalam bahan pembelajaran BIPA dikarenakan
kebudayaan Jawa mempunyai banyak kearifan budaya yang khas, unik, dan ada
perbedaan dari satu daerah dengan daerah yang lain. Kajian ini membahas
kebudayaan Jawa oleh karena mempunyai keunikan untuk diteliti dan dijadilan
materi ajar yang dikaitan dengan pengajaran bahasa Jawa untuk mahasiswa asing
(Saddhono, 2017). Fenomena tersebut akan mempengaruhi penyesuaian diri
mahasiswa asing ketika beraktivitas bersama masyarakat Jawa, khususnya di
Kota Yogyakarta dan Surakarta. Kebudayaan Jawa seperti hanya budaya etnik
lainnya akan berubah sesuai dengan berjalannya waktu dan peradaban (Smith –
Hefner, 2009).
Penentuan kebudayaan Jawa dalam materi ajar BIPA tentunya dikaitkan
dengan ketertarikan mahasiswa asing terhadap budaya dan tradisi dalam
masyarakat Jawa. Budaya Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara yang
dimiliki bangsa Indonesia menunjukkan keberagaman budaya masyarakat Jawa
yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
4
Kekayaan budaya Jawa inilah yang menjadi daya tarik mahasiswa asing untuk
belajar mengenai budaya dan masyarakat Jawa. Dengan fenomena tersebut maka
kebudayaan Jawa dijadikan materi ajar dalam BIPA sangatlah tepat dan dapat
membantu dalam pemahaan bahasa Indonesia bagi mahasiswa asing. Dengan
mempelajari budaya Jawa maka diharapkan akan dapat memudahkan mahasiswa
beradaptasi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Dengan mempelajari budaya
Jawa maka mereka akan mendapat orientasi budaya baru yang berbeda dengan
budaya mereka yang asli. Orientasi budaya baru ini secara tidak langsung dapat
mengubah cara mereka dalam bersosialisasi karena sudah terpengaruh dengan
pengetahuan budaya mereka yang baru (Rui & Wang, 2015: 406). Masing-
masing budaya tentu memiliki ciri khas yang membentuk pola sosial dan karakter
suatu individu. Berpindahnya tempat atau domisili ke tempat yang memiliki latar
budaya berbeda membuat terjadinya proses percampuran budaya. Di satu sisi,
individu tetap mempertahankan budaya lama yang telah membentuk pribadi dan
karakternya (Greenfield, 2016: 90). Akan tetapi, di sisi lain mereka harus belajar
dan mengikuti pola budaya yang baru untuk dapat bisa bersosialisasi dengan
mudah di lingkungan yang baru. Hal inilah fokus kajian tulisan ini.

KAJIAN PUSTAKA

Peran Adaptasi Sosiolultural dalam Mempelajari Bahasa Asing

Bahasa mempunyai fungsi utama sebagai alat komunikasi dan apabila


fungsi ini dikaitkan dengan budaya maka bahasa berperan sebagai media
kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan
(Santoso, 2006). Proses pembelajaran bahasa berkaitan erat dengan faktor
sosiokultural masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa tidak hanya
menghasilkan peguasaan pengetahuan tetapi juga bermakna kontekstual yang
menghubungkan materi ajar dengan lingkungan personal dan sosial. Faktor
sosiokultural masyarakat sangat penting dalam pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa kedua merupakan pemerolehan bahasa juga karena aspek
penting yang terdapat dalam hubungan antara pembelajaran bahasa kedua dan
pembelajaran konteks budaya dari bahasa kedua tersebut (Fauziah, 2015).
Pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran bahasa kedua harus
memahami perbedaan-perbedaan budaya untuk mengakui secara terbuka dan
menyadari bahwa tidak ada orang yang sama. Sebagai pendidik harus selalu
berusaha memahami identitas peserta didik berkaitan dengan latar belakang
sosiokultural (Inah, 2015). Apabila sudah terkondisikan maka pendidik akan
peka dengan hal tersebut sehingga mengubah sikap persepsi menjadi apresiasi.
Berdasarkan fenomena tersebut disimpulkan bahwa kehadiran stereotipe atau
generalisasi diharapkan tidak menimbulkan dampak “buruk” bagi pembelajaran
5
bahasa kedua, tetapi dengan perbedaan-perbedaan budaya itu, justru pendidik
harus peka terhadapnya sehingga dapat memanfaatkan perbedaan-perbedaan
budaya tersebut sebagai motor penggerak pembelajaran bahasa kedua.
Hal tersebu juga dijelaskan oleh Fauziah (2015: 156) dalam pemakaian
bahasa banyak faktor yang mendukung keberhasilan pemakaian bahasa tersebut
dan salah satunya adalah faktor-faktor sosiokultural. Faktor sosial dan kultur atau
budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap kali kita
mengajarkan satu bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem kompleks tentang
kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan bertindak.Oleh
karenanya, faktor sosiokultural sangatlah berperan penting dalam pembelajaran
bahasa kedua, yaitu untuk dapat mengenalkan tentang pengetahuan budaya,
kebiasaan, adat, dan faktor sosial dari masyarakat. Peran pendidik sangat
dibutuhkan untuk membantu mengenalkan budaya tujuan dan menyingkirkan
mitos tentang budaya-budaya asing, serta menggantikan dengan pemahaman
akurat budaya asing yang berbeda dari budaya asal yang harus dihormati dan
dihargai. Dengan demikian peserta didik dapat memahami dan menghargai
budaya asing secara terorganisasi dan sistematis. Jadi, berkaitan dengan sikap,
pendidik harus dapat memahami bahwa setiap peserta didik memiliki sikap
positif dan negatif sehingga pendidik dituntut memahamkan kepada peserta didik
bahwa perbedaan budaya harus dipahami dan dihargai (Abusyairi, 2013).
Pembelajaran bahasa kedua mempunyai hubungan dengan pembelajaran
budaya kedua maka penting memahami maksud proses pembelajaran budaya
(Mania, 2010). Pembelajaran bahasa Indonesia juga tidak dapat dipisahkan
dengan perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia, penyajian aspek
sosial budaya menjadi penting. Bagaimanapn juga, pengajaran BIPA dapat juga
berfungsi sebagai pemberian informasi budaya dan masyarakat Indonesia kepada
pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan optimal apabila
pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang berlaku dalam
masyarakat bahasa tersebut (Siroj, 2015). Lebih lanjut, Arwansyah, Suwandi, &
Widodo (2017: 917) materi tentang aspek-aspek sosial budaya itu perlu
disampaikan kepada para pembelajar BIPA agar mereka mengenal masalah-
masalah sosial budaya Indonesia. Dengan pengenalan itu, diharapkan mereka
dapat berkomunikasi secara baik dan benar dengan menggunakan bahasa
Indonesia.Banyak hal yang harus dipahami pembelajar BIPA tentang budaya di
Indonesia, misal tentang keragaman budaya. Indonesia adalah negara kepulauan
dengan banyak suku yang tinggal di dalamnya. Hal tersebut menyebabkan setiap
daerah memiliki budaya yang berbeda. Misalnya dalam hal berbicara, antara
logat dan nada bicara orang Batak berbeda dengan logat dan nada bicara orang
Jawa.
Pembelajaran bahasa kedua melibatkan pemerolehan sebuah identitas
kedua yang berada di fokus pembelajaran budaya yaitu akulturasi. Proses
6
akulturasi bisa berdampak dengan hadirnya bahasa baru karena budaya
merupakan bagian terdalam dari manusia, tetapi cara komunikasi di antara
anggota-anggota sebuah budaya adalah ekspresi yang paling terlihat dari budaya
itu. Oleh karena itu cara pandang, identitas diri, dan sistem berpikir, bertindak,
dan berkomunikasi bisa terusik oleh kontak dengan budaya lain. Hal ini dapat
menimbulkan gegar budaya yang diasosiasikan dengan perasaan keterasingan,
marah, bermusuhan, bimbang, frustrasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah,
bahkan sakit fisik. Sikap dalam pembelajaran bahasa kedua sering merujuk pada
konsep anomi-perasaan ketidakpastian sosial atau ketidakpuasan sebagai sebuah
aspek signifikan hubungan antara pembelajaran bahasa dan sikap terhadap
budaya asing. Gegar budaya akulturasi tidak harus digambarkan sebagai sebuah
fenomena ketika para peserta didik adalah korban tanpa daya dari keadaan.
Pembelajaran budaya kedua merupakan proses penciptaan makna dalam kontak
dengan budaya lain sebagai pengalaman yang melekat pada diri peserta didik
dalam pembelajaran lintas budaya (Irwansyah, 2015).

Dampak Budaya Lokal (Jawa) dalam Pembelajaran BIPA

Budaya diartikan sebagai sebuah gagasan, kebiasaan, keterampilan,


seni, dan peranti yang mensirikan sekelopok orang dalam sebuah periode
tertentu (Hermoyo & Suher, 2017). Dengan demikian peranan budaya lokal
dalam membentuk sebuah komunikasi terhadap pelaku sangat besar. Peranan
budaya lokal dalam pembelajaran BIPA bisa membuktikan bahwa budaya
Indonesia sangat beraneka ragam dan mempunyai posisi yang sangat strategis,
yaitu di antaranya (1) budaya lokal sebagai salah satu pembentuk identitas, (2)
budaya lokal adalah sebuah nilai yang asing bagi pemiliknya, (3) keterlibatan
emosional masyarakat dalam penghayatan budaya lokal kuat, (4) budaya lokal
mampu menumbuhkan harga diri, dan budaya lokal dapat meningkatkan
martabat bangsa dan negara (Rahyono, 2009: 9). Sebagai pembelajaran, materi
budaya lokal merupakan salah satu media untuk memperkenalkan budaya
Indonesia, khususnya budaya Jawa. Dengan pemilihan materi yang tepat,
diharapkan pembelajaran akan berjalan lebih menarik. Pembelajaran berbasis
budaya lokal akan membuka jendela pemahaman peserta didik dari negara lain.
Hal ini dapat menjadi alat yang sangat strategis dalam memahami budaya
Indonesia. Tentu saja pembelajaran harus dikemas semenarik mungkin dan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik (Suyitno, 2007).
Pelibatan unsur-unsur budaya lokal dalam pembelajaran BIPA selain
berdampak pada pemiliki budayanya, kegiatan ini juga berdampak pada orang
asing yang mempelajarinya. Aspek penting tujuan integrasi budaya lokal adalah
membuat materi ajar lebih menarik dan unik bagi orang asing. Orang asing
tertarik belajar bahasa Indonesia karena beragamnya budaya Indonesia yang
7
maha kaya. Dengan keunikan dan bersifat baru tersebut diharapkan menambah
motivasi orang asing dalam mengembangkan kemampuanya berbahasa
Indonesia. (Faizin, 2018). Selain itu, bahan ajar berbasis budaya lokal akan
berdampak pada citra positif masyarakat Indonesia. Teknologi tradisonal yang
ramah lingkungan, keseimbangan alam, kesopanan, dan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam budaya lokal itu akan memberikan gambaran kepada peserta
didik bahwa masyarakat Indonesia memiliki keunggulan dalam berbagai ranah
sejak masa lalu. Kearifan-kearifan itu digunakan oleh masyarakat Indonesia
dalam melakukan aktivitas hariannya. Kearifan itu memiliki makna yang sangat
positif dan berperan dalam pengembangan masyarakat di Indonesia. Dengan
demikian, kesan yang baik tentu dapat diambil dari penggunaan bahan ajar ini
(Aulia, 2019).
Adanya proses pengintegrasian unsur budaya lokal terhadap
pembelajaran BIPA dapat memberi impresi dan kesenangan pemelajar BIPA
dalam belajar bahasa BIPA yang selama dianggap kesulitan dalam pembelajaran
BIPA (Rohimah, 2018). Dengan demikian akan memberikan kepercayaan
kepada pemelajar BIPA untuk menyelesaikan pembelajaran BIPA-nya.
Pembelajaran dengan memasukkan unsur budaya Jawa, seperti materi makanan
tradisional, kesenian tradisional, pakaian adat, dan unsur budaya Jawa lainnya
dapat menstimulus para mahasiswa BIPA untuk mempelajari bahasa Indonesia
dengan pendekatan kontekstual (Saddhono, 2018). Selain itu, pembelajaran
kontekstual secara langsung dapat memudahkan mahasiswa BIPA dalam
mempelajari kosakata yang sering digunakan di masyarakat, misalnya kosa kata
sapaan (selamat pagi, selamat siang, selamat malam), meminta tolong,
memohon maaf, dan berbagai ekspresi bahasa lainnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada adaptasi sosial dan budaya mahasiswa asing dalam
program BIPA yang sedang menempuh studi di beberapa Universitas yang
memiliki latar belakang budaya Jawa. Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
secara rinci mengenai pola adaptasi sosial dan budaya mahasiswa asing dalam
Program BIPA setelah mendapat materi mengenai budaya Jawa. Melalui
pemilihan jenis penelitian ini, peneliti berhasil mengungkap berbagai informasi
kualitatif secara deskriptif dan penuh nuansa penggambaran secara cermat sifat-
sifat suatu hal, gejala, keadaan, atau fenomena dengan analisis dan interpretasi
data secara mendalam (Glaser & Strauss, 2017). Barkhuizen (2019) menjelaskan
bahwa semua hal yang berupa sistem tanda merupakan hal yang esensial dan
tidak patut diremehkan. Oleh karena itu semua hal dalam kajian ini berpengaruh
dan berkaitan antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, penelitian jenis ini
8
mengedepankan kekomprehensifan semua komponen dalam jenis penelitian ini.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan etnografi. Studi etnografi memiliki
fungsi khusus untuk menggambarkan dan menafsirkan budaya, kelompok sosial,
atau sistem. Studi etnografi memiliki kekhasan yang berfokus pada aktivitas,
kepercayaan, bahasa, ritual, dan cara hidup dari budaya (Fatchan, 2015). Seting
dan lokasi penelitian dilakukan pada beberapa perguruan tinggi di Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Yogyakarta yang menyelenggarakan program BIPA. Sumber
data diperoleh dari dokumen dan informan. Dokumen yang dikaji berkaitan
dengan aktivitas mahasiswa asing dalam program BIPA dalam beradaptasi di
lingkungan budaya Jawa. Dokumen tersebut meliputi video kegiatan
pembelajaran outing class yang diselenggarakan di pusat-pusat budaya Jawa
seperti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran,
Keraton Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Pakualaman. Informasi juga didukung
dari beberapa buku teks dan bahan ajar yang memiliki muatan budaya Jawa dan
digunakan dalam pembelajaran BIPA. Informan yang dijadikan sumber data
adalah mahasiswa dan pengajar program BIPA.

Tabel 1. Data Informan Penelitian

No Perguruan Pengajar Jenis Mahasiswa Jenis


Tinggi BIPA Kelamin/ BIPA Kelamin/
Umur Umur
1 Universitas 3 dosen L/44 20 orang P/12
Negeri P/50 L/8
Malang P/32 19-26
(Jawa Timur)
2 Universitas 3 dosen P/38 20 orang P/10
Negeri P/42 L/10
Surabaya P/48 23-29
(Jawa Timur)
3 Universitas 5 dosen P/52 25 orang P/13
Sebelas L/35 L/12
Maret (Jawa L/29 21-27
Tengah) P/44
P/30
4 Universitas 4 dosen P/32 24 orang P/12

9
Negeri P/35 L/12
Semarang L/32 23-32
(Jawa P/40
Tengah)
5 Universitas 4 dosen P/44 28 orang P/12
Gadjah Mada L/52 L/16
(Yogyakarta) P/30 21-38
P/29
6 Universitas 3 dosen P/30 22 orang P/10
Negeri P/28 L/12
Yogyakarta P/48 21-28
(Yogyakarta)
Keterangan:
P : Perempuan
L : Laki-laki

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive


sampling. Purposive sampling dianggap lebih mampu memperoleh data lengkap
dalam menghadapi berbagai realitas ( Guarte & Barrios, 2016). Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi dan pengamatan
langsung pada proses pembelajaran dan interaksi mahasiswa BIPA di beberapa
universitas negeri di Indonesia. Dari proses observasi diperoleh data berupa
catatan lapangan, rekaman, dan dokumentasi proses pembelajaran BIPA. Peneliti
juga melakukan tinjauan dokumen dengan menggunakan teknik analisis isi. Data
yang berupa catatan lapangan, rekaman, dan dokumen diperoleh dari aktivitas
mahasiswa asing di beberapa Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program
BIPA diantaranya dengan latar belakang budaya Jawa, yaitu Universitas Negeri
Malang (Jawa Timur), Universitas Negeri Surabaya (Jawa Timur), Universitas
Sebelas Maret (Jawa Tengah), Universitas Negeri Semarang (Jawa Tengah),
Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), dan Universitas Negeri Yogyakarta
(Yogyakarta). Data berupa catatan lapangan, rekaman, dan dokumen yang
diperoleh dari beberapa sampel kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis
isi. Teknik ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk dari bahan ajar dan buku
teks yang digunakan dalam program BIPA. Untuk melengkapi data maka
dilakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa dan dosen untuk mendapatkan
data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya dan sosial
mahasiswa asing di Indonesia. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan
pengajar untuk meminta proses yang berbeda dalam pembelajaran BIPA. Cara
yang paling umum digunakan untuk meningkatkan validitas dalam penelitian
kualitatif adalah teknik triangulasi. Triangulasi data digunakan untuk memeriksa

10
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2014: 330).
Dalam penelitian ini digunakan teori triangulasi, metode triangulasi, dan review
informan.

HASIL

Dalam rangka mencapai adaptasi sosial dan budaya di Indonesia, mahasiswa


asing harus melakukan penyesuaian diri pada budaya dan lingkungan baru atau
bahkan sampai akulturasi. Keberhasilan adaptasi tentu dipengaruhi oleh
kemampuan individu untuk berinteraksi dan berkomunikasi sesuai dengan norma
dan nilai budaya Jawa tergantung pada proses penyesuaian diri atau adaptasi
mahasiswa asing tersebut (Kim, 2001). Berkaitan dengan adaptasi sosial dan
budaya ini terdapat beberapa tahapan, yaitu tahap perencanaan, tahap
honeymoon, tahap frustasi, tahap readjustment, dan tahap resolution.

Pada tahap perencanaan mahasiswa asing mempersiapkan diri untuk


menenpuh studi program BIPA di masing-masing daerah, yaitu Semarang,
Surakarta, Yogyakarta, Malang dan Surabaya. Persiapan mahasiswa asing ini
berkaitan dengan dokumen yang diperlukan dalam menempuh studi di Indonesia.
Para mahasiswa asing juga telah membekali diri pengetahuan tentang Indonesia
pada umumnya adan tempat studi pada khususnya. Mahasiswa asing telah
menyiapkan pengetahuan berkaitan dengan budaya dan kebiasaan di kota tujuan
di Indonesia. Dalam mencari informasi tetang kota tujuan studi tersebut di
dapatan dari internet, buku, dan teman yang telah tinggal dan berkunjung di
Indonesia.
Tahapan selajutnya adalah tahap honeymoon atau bulan madu. Tahap
honeymoon ini adalah tahapan yang paling menyenangkan dan mengairahkan.
Seperti halnya honeymoon, mahasiswa asing akan sangat tertarik dan merasakan
kegembiraaan ketika mereka datang ke Indonesia, khususnya di kota yang
menjadi objek kajian penelitian ini. Mahasiswa asing yang pertama kali
mengunjungi Indonesia akan sangat gembira sehingga antusias ketika belajar
bahasa dan budaya Indonsia secara langsung. Kegembiraan ini sangat terlihat
ketika mahasiswa asing yang datang di Kota Surakarta melihat keraton dan
keramahan masyarakat Surakarta. Hal yang sama dialami mahasiswa asing di
Kota Malang yang berhawa sejuk dan banyak pepohonan yang rindang. Hal yang
paling menyenangkan pada tahap ini adalah mahasiswa pertama kali bisa dapat
berbicara langsung dengan orang Indonesia dengan bahasa Indonesia.
Tahapan selanjutnya adalah tahap frustasi yang ditandai dengan tidak
nyamannya mahasiswa asing tinggal di Indonesia karena sulit beradaptasi dengan
budaya baru. Orang Jawa yang mempunyai kebiasaan bertanya membuat
mahasiswa asing tidak nyaman dan merasa kesal. Kejadian lain yang membuat
11
tidak nyaman mahasiswa asing adalah selalu menjadi pusat perhatian di tempat
umum. Tingkah laku dan gerak gerik mahasiswa asing selalu dilihat dan
diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Keadaan ini membuat mahasiswa
asing tidak nyaman dan risih karena diperhatikan terus meneurus. Kejadian yang
sebaliknya, yaitu ketika di kelas ada mahasiswa asing yang selalu sendiri dan
tidak bisa bergaul dengan teman-teman di kelas. Situasi ini menyebabkan
mahasiswa asing serba salah, yaitu ingin memulai sebuah percakapan tidak
berani dan orang di sekitar juga sungkan menyapa karena belum tahu latar
belakang mahasiswa asing tersebut.
Tahapan adapatasi sosial dan budaya mahasiswa asing di Indonesia adalah
Readjustment. Pada tahap ini mahasiswa asing mampu mengatasi rasa frustasi
yang dialami selama berkomunikasi dengan masyarakat di sekitarnya.
Mahasiswa di Kota Surakarta telah menikuti komunitas-komunitas budaya dan
kegiatan di lingkungan tempat tinggal. Hal yang sama juga dilakukan mahasiswa
asing di Jawa Timur dan Yogyakarta. Pada awalnya ketertarikan mereka dengan
tradisi dan budaya Jawa maka mereka harus mengikuti kebiasaan masyarakat
Jawa. Mahasiswa asing mulai aktif berperan dalam masyarakat dan berinisiatif
sendiri untuk bergabung dengan masyarakat sekitar.
Tahapan terakhir dalam adaptasi sosial dan budaya Jawa mahasiswa asing
adalah tahap resolution. Dalam tahap ini, mahasiswa asing yang sedang
mejalankan studinya harus bersikap dengan keadaan yang ada dalam masyarakat.
Mahasiswa asing yang ada di Kota Surakarta merasa tidak ada sesuatu hal yang
dikhawatirkan selama tinggal di Indonesia, khususnya Kota Surakarta. Mereka
menikmati dengan keadaan yang ada, baik masyarakat, lingkungan, pergaulan,
hingga makanannya. Bahkan sebagian besar mahasiswa yang berada di 6 lokasi
penelitian akan melanjutkan tinggal di Indonesia setelah masa studi selesai.
Kategori keadaan ini dinamakan full participation karena telah merasa nyaman
dan menikmati keadaan yang ada di Indonesia, khususnya di 6 lokasi penelitian.
Adapun sebagian kecil saja mahasiswa asing yang dikategorikan accomodation
yang berarti mereka berusaha untuk berkompromi dengan tradisi dan budaya
Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bentuk adaptasinya adalah menyesuaikan
diri dengan keadaan yang berlangsung di masyarakat, khususnya Jawa. Berikut
ditampilkan tahapan adaptasi sosial dan budaya mahasiswa asing di 6 lokasi
penelitian.

Tabel 2
Tahapan Adaptasi Sosial dan Budaya Mahasiswa Asing di Lokasi Penelitian

No Tahapan Aktivitas

12
1 Tahap Perencanaan Mahasiswa asing mempersiapakan dokumen,
menpelajari kosa kata dan percakapan sederhana
bahasa Indonesia mempelajari budaya dan adat
istiadat Indonesia, khususnya kota tujuan dari
internet, media lainnya, serta teman/ saudara
yang pernah tinggal di Indonesia, les bahasa
Inggris untuk memudahkan komunikasi,
2 Tahap Mahasiswa asing merasa sangat senang karena
Honeymoon/Bulan Madu menemukan hal baru dan dapat bericara dengan
bahasa Indonesia langsung dengan
masyarakatnya. Lebih semangat belajar budaya
Indonesia karena kekayaan dan beragamnya
budaya Indonesia
3 Tahap Frustasi Mahasiswa asing merasa kesal dan frustrasi
karena perbedaan budaya yang mereka temukan
di Indonesia yang berkaitan dengan pergaulan
dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapula yang merasa sendiri karena tidak bisa
bergaul.
Tahap Readjustment/ Mahasiswa asing mulai menerima budaya
Penyesuaian Ulang Indonesia yang tidak sesuai dengan budayanya
dengan menjelaskan budaya yang dimilikinya.
Mereka juga mulai bergaul dengan komunitas
dan masyarakat.
Tahap Resolusi Mahasiswa asing bisa melakukan partisipasi
penuh yang berarti nyaman dengan budaya Jawa
dan Akomodasi yang berarti berusajha
menyesuaikan budaya yang ada.
Sumber: Hasil diolah oleh Peneliti (2020)

Aktivitas keseharian mahasiswa asing tentu tidak akan lepas dari materi ajar yang
diberikan di kelas dalam Program BIPA. Materi ajar yang diberikan kepada mahasiswa
asing di 6 lokasi penelitian dapat dirangkum dalam 15 topik besar. Di dalam setiap materi
banyak hal yang dilakukan oleh mahasiswa dalam mengimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungannya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang
dilakukan maka dapat dipaparkan adaptasi sosial dan budaya mahasiswa asing yang
dikaitkan dengan materi ajar pada program BIPA.

Tabel 3
Topik Materi Ajar yang Dikaitkan dengan Adaptasi Lingkungan
dalam Implementasinya di 6 Lokasi Penelitian

No Topik Materi UM UNESA UNS UNNES UGM UNY


13
1 Keluargaku v v v v v v
2 Lingkunganku v v v v v v
3 Adat Istiadat v v v v v v
4 Pasar - v v v v v
Tradisional
5 Transportasi - v v - v v
6 Kesehatan - - v - v v
7 Tokoh - v v v v v
8 Profesi v v v v v -
9 Kesenian v v v v v v
10 Kuliner v v v v v v
11 Legenda - v v v v v
12 Pariwisata v v v v v v
13 Pernikahan - v v v v v
14 Religi - v v v v v
15 Sejarah - v v - v v

Pada materi yang ada setidaknya ada 5 kegiatan yang hampir semua
lokasi penelitian terdapat aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa asing yaitu (1)
Keluargaku, (2) Lingkunganku, (3) Adat Istiadat, (4) Kesenian, (5) Kuliner, dan
(6) Pariwisata. Hal yang paling menonjol bentuk adaptasi sosial dan budaya
mahasiswa asing adalah dalam implementasi lingkunganku. Mahasiswa asing di
Kota Surakarta contohnya yang menempuh studi di UNS dan ISI Surakarta
banyak disisipi dengan menggunakan bahasa Jawa dalam berinteraksi dengan
masyarakat di sekitar tempat tinggalnya dan di lingkungan kampus. Di dalam
bergaul dengan lingkungan tempat tinggal mahasiswa asing juga harus
menyesuaikan diri dengan kebiasaan di lingkungan tersebut. Mahasiswa yang
studi di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta dalam
keseharian mereka ikut berpartisipasi dalam roda malam atau siskampling dan
kerja bakti di lingkungannya. Aktivitas sosial inilah yang kemudian mendekatkan
hubungan antara mahasiswa asing dan masyarakat sekitar. Hal yang sama juga
terjadi di daerah lainnya, Semarang, Surabaya, Malang, dan Surakarta.
Berdasarkan pengamatan, wawancara, dan observasi yang dilakukan,
bentuk adaptasi sosial dan budaya Jawa adalah dalam kehidupan keseharian.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia tentunya keseharian
berpengaruh pada mahasiswa asing. Mahasiswa asing pada umumnya bangun
tidur di atas pukul 08.00 dan kebiasaan ini berubah secara perlahan ketika tinggal
di Indonesia. Kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa bangun pagi
adalah pada waktu subuh. Keadaan ini perlahan berpengaruh terhadap kebiasaan
mahasiswa asing ketika bangun tidur. Haal yang sama adalah ketika perkuliahan
14
dimulai pagi hari pukul 07.30 hampir mahasiswa asing tidak dapat tepat waktu
untuk mengikuti perkuliahan. Kebiasaan terlambat ini perlahan mulai berubah
dan mereka dapat mengikuti kebiasaan masyarakat sekitarnya yang mulai
beraktivitas ketika waktu subuh.
Hal lainnya yang harus dilakukan mahasiswa asing ketika beradaptasi
dengan lingkungannya adalah berkaitan dengan makanan atau kuliner.
Mahasiswa asing harus membiasakan dengan masakan lokal yang ditemuinya
tiap hari. Misalnya di daerah lingkungan kampus maka mahasiswa asing harus
terbiasa dengan makan nasi sayur, nasi goreng, dan masakan khas sekitar kampus
lainnya. Mahasiswa asing juga harus beradaptasi dengan rasa masakan yang ada
di daerah tersebut. Misalnya daerah Surakarta, Semarang, dan Yogyakarta yang
terkenal manis atau Malang dan Surabaya yang terkenal asin pedas. Pada
awalnya, mahasiswa asing akan bermasalah dengan rasa makanan yang ada di
Indonesia, terutama Jawa karena yang berbeda dengan asal negara masing-
masing. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan keadaan maka mahasiswa
asing harus beradaptasi dengan rasa makanan lokal. Selain menyesuaiak rasa
makanan tersebut, mahasiswa asing juga harus menyesuaikan diri waktu makan
dan suasana ketika makan, dan cara makannya. Sebagai contoh waktu makan
adalah ketika sarapan, mahasiswa harus makan di waktu yang menurut mereka
terlalu pagi dan bukan kebiasaan mereka. Suasana makan yang ramai dan
bersama-sana juga menjadi hal yang baru bagi mahasiswa asing, apalagi ada
tradisi Kenduri dan Bancaan dalam budaya Jawa. Cara makan dengan tangan
juga menjadi kebiasaan baru bagi mahasiswa asing. Pada umumnya mahasiswa
asing ketika makan menggunakan sendok atau alat makan yang lain. Jadi, ketika
di Indonesia mau tidak mau mereka harus mengubah kebiasaan mereka berkaitan
dengan cara makan ini.
Proses adaptasi sosial dan budaya mahasiswa asing seperti terpapar di
atas dapat dikatakan berasal dari faktor eksternal, yaitu faktor yang muncul di
luar diri mahasiswa asing. Adapun faktor internal dari mahasiwa asing juga ada
berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan mahasiswa asing. Pada
umumnya mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia dalam Program BIPA
memilih 6 perguruan tinggi yang ada di Pulau Jawa tersebut karena mereka
tertarik dengan budaya dan adat istiadat di Jawa. Ada yang tertarik dengan Candi
Borobudur, Nasi Gudeg, Tari Ramayana, Keraton dan lain-lainnya. Hal inilah
yang menjadi faktor internal dari mahasiswa asing dalam melakukan adaptasi
sosial budaya di Jawa. Mahasiswa asing ini dengan rela akan mengikuti peraturan
yang ada dalam masyarakat karena keinginan sendiri dari awal.
Program BIPA seperti telah dipaparkan di atas semakin diminati oleh
dunia internasional. Oleh karenanya, diperlukan adanya terobosan baru mengenai
pembelajaran BIPA di perguruan tinggi. Salah satunya yang telah ada di 6 lokasi
penelitian adalah dengan memasukkan unsur-unsur budaya lokal (Jawa) ke dalam
15
materi ajar, dalam konteks ini adalah unsur-unsur budaya Jawa. Berbicara
mengenai unsur-unsur dari suatu kebudayaan. Koentjaraningrat (2004: 2)
menjelaskan bahwa terdapat minimal tujuh komponen dalam suatu kebudayaan.
Pertama, sistem religi dan upacara adat keagamaan (aspek spiritualisme). Kedua,
sistem organisasi kemasyarakatan yang mencakup tatanan struktural masyarakat
dalam suatu kebudayaan. Ketiga, sistem pengetahuan atau aspek keilmuan yang
mencakup pengetahuan tentang seluk beluk, sejarah, dan pengetahuan lain yang
berkaitan dengan kearifan lokal. Keempat, bahasa dan sastra yaitu bahasa
digunakan sebagai sarana komunikasi dan karya sastra merupakan media
ekspresi dari suatu masyarakat budaya. Kelima, kesenian (baik yang berbentuk
barang maupun kemasan pementasan). Keenam, sistem mata pencaharian hidup
yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Unsur budaya terakhir
adalah sistem teknologi dan peralatan yang terdiri dari produk yang
mencerminkan suatu ciri khas dari suatu budaya.
Dalam pembelajaran BIPA, keanekaragaman latar belakang mahasiswa
asing perlu diperhatikan. Walaupun pada esensinya, tujuan program BIPA adalah
untuk mengembangkan kemampuan bahasa para mahasiswa asing. Melalui
program ini diharapkan para mahasiswa asing dapat lebih komunikatif dalam
berinteraksi dengan bahasa Indonesia dan mampu menerapkan di dalam aktivitas
kesehariannya sehingga mampu bergaul dengan masyarakat sekitar. Oleh karena
itu diperlukan pemilihan materi pembelajaran yang spesifik dan detail secara
saintifik integratif. Aktualisasi materi ini dapat diterapkan pada penggunaan
pendekatan scientific-integrative, yakni dengan memadukan budaya Jawa dalam
bahan ajar pembelajaran secara integratif kepada mahasiswa asing program BIPA
yang dilakukan dengan terjun langsung ke dalam masyarakat dan praktik dalam
kehidupan sehari-hari seperti yang ada di UNS melalui Program UNS Goes to
Village atau Unnes dengan Kampung Budaya Unnes .
Pengembangan materi pembelajaran perlu mempertimbangkan aspek
keterkaitan media dan materi pembelajaran. Apalagi materi tersebut terintegrasi
dengan dengan budaya yang menjadikan media pembelajaran tersebut berbasis
budaya, yang dalam hal ini budaya Jawa. Pengintegrasian tersebut meliputi pada
konten yang sarat dengan kehidupan keseharian yang berorientasi pada khazanah
budaya Jawa yang lekat dengan masyarakatnya (Adelaar, 2011; Jan, 2011).
Materi pembelajaran seperti ini dalam juga disebut sebagai pembelajaran
multikultural dan interkultural yang mampu memberikan informasi secara
komprehensif mengenai linguistik maupun budaya. Sehingga, di akhir
pembelajaran, mahasiswa tidak hanya menguasai bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa saja tetapi dapat memperoleh pengetahuan yang komprehensif mengenai
budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut seperti yang ada di Jawa Tengah
pada Program BIPA UNS dan Unnes.

16
Selain itu, budaya Jawa dianggap potensial untuk dijadikan materi
pembelajaran BIPA karena dalam budaya Jawa terdapat persebaran budaya yang
beraneka ragam dan masing-masing daerah memiliki kekayaan dan ciri khas
tersendiri (Kadarisman, 2017: 12). Ciri khas masing-masing daerah tersebut
dianggap mampu mewakili kultur budaya masyarakatnya. Adapun beberapa
contoh budaya Jawa yang potensial untuk dijadikan materi ajar program BIPA
adalah sebagai berikut. Pertama, di bidang kesenian, daerah-daerah di wilayah
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta memiliki kesenian khas yang
berbeda-beda. Misalnya, tari gambyong dari Jawa Tengah, tari Reog Ponorogo,
Tari Remo dari Surabaya, Ketoprak dari Yogyakarta dan Surakarta, Ludruk dari
Jawa Timur dan masih banyak yang lainnya. Kedua, di bidang bangunan
peninggalan bersejarah, seperti Keraton Surakarta dan Lawang Sewu di
Semarang, Keraton Kasultanan Yogyakarta dan beberapa candi seperti Candir
Ratu Boko, Candi Kalasan, dan bangunan taman sari di Yogyakarta, serta
bangunan peninggalan sejarah Kerajaan Hindu di Jawa Timur yang hingga
sekarang masih eksis di kalangan masyarakat Jawa Timur. Ketiga, di bidang
makanan khas, Jawa Tengah memiliki Bandeng Presto di Semarang dan Sego
Liwet di Solo, Jawa Timur memiliki Rawon dan Pecel Madiun, dan Yogyakarta
terkenal dengan Gudeg Yogya. Terakhir dari segi bahasa, masing-masing
provinsi memiliki ciri khas tersendiri, Yogyakarta dan Solo dengan bahasa
bagongan, Kebumen, Tegal, dan Purwokerto dengan dialek ngapak-nya, Jawa
Timur juga memiliki dialek Basa Suroboyo-an, dialek osing Banyuwangi-nan,
dan dialek bahasa Madura. Beberapa contoh konkret tersebut merupakan
gambaran budaya yang terdapat di masing-masing daerah dan sangat berpotensi
untuk dijadikan materi ajar bagi mahasiswa asing Program BIPA.
Pembelajaran mengenai bahasa dan budaya Jawa diawali dengan
mengajak para mahasiswa untuk mengamati video berupa peristiwa dengan
nuansa budaya Jawa. Misalnya, mengenai beberapa upacara adat sekaten di
Keraton Surakarta maupun di Yogyakarta dengan segala aktivitasnya. Mulai dari
persiapan, piranti atau alat yang digunakan, prosesi dan pelaksanaannya sampai
pada kegiatan penutupan. Selanjutnya, sesi tanya jawab diberikan kepada
mahasiswa oleh pengajar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seputar video budaya
Jawa yang telah disaksikan tadi. Mahasiswa yang aktif bertanya secara tidak
langsung mereka mengasah kemampuan bahasanya untuk dapat berkomunikasi
dengan dosen atau pengajar program BIPA. Walaupun masih terdapat kesalahan.
Seperti diungkapkan oleh Yahya dan Saddhono (2018) kesalahan berbahasa yang
dilakukan oleh mahasiswa asing Program BIPA adalah suatu hal yang wajar
sebagai salah satu usaha pemerolehan bahasa kedua. Faktor penyebab kesalahan
berbahasa mahasiswa asing Program BIPA disebabkan oleh dua faktor, yakni
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: (a) rendahnya
motivasi, (b) perbedaan potensi, (c) kedekatan rumpun bahasa. Adapun faktor
17
eksternal yang meliputi: (a) pembelajaran yang belum sempurna, (b) masa belajar
yang singkat. Selain mengasah kemampuan berbahasa, kegiatan bertanya dalam
pembelajaran BIPA digunakan untuk mengembangkan keterampilan berbicara
dan untuk mengasah kemampuan menalar.
Aktivitas berikutnya adalah memberikan kesempatan mahasiswa untuk
mencoba praktik secara terbimbing. Mahasiswa dipersilakan untuk
mempraktikkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
dengan bahasa Indonesia. Pengajar membimbing mereka dalam hal berbicara
dengan bahasa Indonesia terlebih dahulu sehingga para mahasiswa asing
mendapatkan pengalaman empiris sehingga menjadi bekal mereka untuk
berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Strategi yang
digunakan untuk mengajarkan keterampilan ini dengan memberikan kesempatan
mereka menyaksikan video tentang budaya Jawa dari pengajar. Selanjutnya
mahasiswa diberikan pertanyaan berkaitan dengan video tersebut. Pada akhir
sesi, mahasiswa diberikan kesempatan untuk mendeskripsikan video tentang
budaya Jawa yang telah disaksikan secara lisan dengan bahasa sendiri. Pengajar
tentu memberikan dukungan kepada mahasiswa asing yang masih kesulitan
dalam memilih kosakata bahasa Indonesia. Setelah itu, diadakan sesi evaluasi
dengan memberikan tanggapan atas penampilan para mahasiswa asing tersebut.
Pembelajaran dengan pendekatan seperti ini tentu dilakukan secara intensif
sehingga tercapai keoptimalan para mahasiswa asing dalam menguasai bahasa
Indonesia beserta budaya Jawa.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pada program pembelajaran BIPA pasti akan dikenalkan materi mengenai


budaya Indonesia. Materi ini tentu akan berisi tentang kekayaan budaya yang ada
di Indonesia. Pada setiap penyelenggara Program BIPA pasti akan lebih
menonjolkan budaya daerah masing-masing. Ini bertujuan untuk bekal mahasiwa
asing dalam beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tersebut.
Dengan mengenal dan beradaptasi dengan budaya setempat maka akan
membantu dalam proses belajar bahasa Indonesia. Program BIPA di Jawa tentu
mahasiswa asing akan diajarkan mengenai adaptasi sosial dan budaya masyarakat
Jawa. Luaran dari pembelajaran mengenai budaya tentu saja terciptanya orientasi
budaya yang baru dari mahasiswa asing. Tidak jarang juga ditemukan
percampuran budaya karena mahasiswa asing Program BIPA memiliki latar
belakang budaya yang beragam. Jadi, bisa dikatakan antara mahasiswa satu
dengan yang lainnya memiliki pola adaptasi budaya yang berbeda. Mahasiswa
yang berasal dari negara di Eropa dan sebagian dari Afrika tentu saja memiliki
pola adaptasi yang agak lama, karena kebudayaan di Eropa dan Afrika sangatlah
berbeda jauh dibandingkan dengan kebudayaan di Asia, khususnya budaya Jawa.
18
Akan tetapi, bukan berarti mahasiswa yang berasal dari Asia seperti Vietnam,
Thailand, Khazakstan, Korea Selatan, Tiongkok, dan beberapa negara di Asia
mudah dalam menyesuaikan dengan budaya di Indonesia. Mahasiswa asing juga
mengalami proses adaptasi budaya untuk dapat diterima di lingkungan budaya
yang baru (Sandel, 2014: 67; Rohandi, 2017).
Adaptasi merupakan perubahan yang diperoleh dengan menyesuaikan
antara budaya yang dimiliki oleh mahasiswa BIPA dengan budaya Jawa. Proses
adaptasi budaya mahasiswa asing ini diperoleh sebagian besar pada saat
pembelajaran BIPA yang mengintegrasikan unsur-unsur budaya Jawa, dengan
mengitegrasi informasi yang berasal dari media sosial seperti Facebook (Bergiel,
et.al, 2008; Saddhono, et al, 2019a). Melalui pembelajaran BIPA yang
ditekankan pada praktik tentang kebudayaan Jawa, maka mahasiswa asing tidak
hanya memiliki keterampilan berbahasa Jawa tetapi juga memiliki pengetahuan
mengenai unsur-unsur budaya Jawa. Kebiasaan ini juga dapat mengubah pola
budaya dari mahasiswa asing. Seperti, ketika melihat upacara adat sekaten yang
dilakukan secara bersama-sama dan saling bahu-membahu antara abdi dalem.
Gotong royong memang merupakan ciri khas dari masyarakat Jawa. Hampir
setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat dan kemasyarakatan dilakukan
dengan gotong royong. Kenyataan ini jelas berbeda dengan masyarakat di Eropa
dan beberapa negara di Amerika yang lebih mengedepankan sifat
individualismenya. Mahasiswa asing Program BIPA setelah mendalami
mengenai pola budaya Jawa secara tidak langsung mereka termotivasi untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mahasiswa asing yang mulai
banyak menerapkan beberapa prinsip dalam budaya Jawa seperti gotong-royong,
sopan-santun, dan saling menghormati dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal
ini dapat dilihat ketika sedang dalam perkuliahan, mereka sering sekali
menyelenggarakan acara yang melibatkan seluruh anggota kelas BIPA dan tidak
jarang mereka mengundang dosen dan pengajar program BIPA. Disini dapat
dilihat bahwa mereka sudah mengalami proses adaptasi budaya, dari yang semula
memiliki budaya individualisme menjadi budaya gotong-royong seperti yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa (Kyung & Wenhong, 2017).
Perubahan lain yang terlihat dari mahasiswa asing program BIPA adalah
perubahan penggunaan bahasa. Setelah mengikuti program BIPA beberapa
waktu, mereka sudah mulai menunjukkan kemajuan yang baik. Beberapa di
antaranya sudah bisa memesan makanan walaupun masih terbatas menggunakan
bahasa Indonesia. Dalam kegiatan tersebut telah terintegrasi konteks budaya
Jawa yang tercermin dari sikap, tuturan, serta intonasi seperti yang ditunjukkan
oleh masyarakat Jawa dalam memesan makanan. Hal ini didukung dengan
pemerolehan kosakata para mahasiswa BIPA tersebut dipengaruhi dari materi
yang berbasis multimedia (Saddhono, et al, 2019b).

19
Perubahan sosial yang lain adalah pada perubahan cara berpakaian.
Masyarakat Jawa umumnya dalam bepakaian sangatlah sopan dan tertutup. Hal
tersebut berbeda dengan budaya yang ada di wilayah Eropa dan beberapa negera
di Amerika yang cenderung membebaskan cara berpakaian mahasiswanya ketika
sedang di kampus atau di sekolah (Levin, 2010). Pada saat awal pembelajaran
BIPA masih ditemukan beberapa mahasiswa yang berpakaian terbuka ketika
sedang mengikuti pelajaran. Akan tetapi, setelah diberikan pengarahan dan
penjelasan oleh pengajar mereka mengubah cara berpakaiannya dengan
menggunakan pakaian yang tertutup ketika sedang berada di kelas. Hal ini
menunjukkan bahwa adaptasi budaya dalam ranah gaya berbusana sehingga
individu cenderung menyesuaikan cara berpakaian dengan masyarakat dan
budayanya (Simone & Moris, 2017: 226; Anne & Ileana, 2015). Sama seperti
mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di luar negeri mereka
menggunakan pakaian tebal ketika turun salju di musim dingin. Perubahan cara
berpakaian ini secara tidak langsung juga mempengaruhi orientasi budaya
mahasiswa asing program BIPA di Indonesia. Itulah fenomena perubahan yang
terjadi apabila seseorang harus beradaptasi dengan lingkungan baru (Leberman &
Martin, 2004; Hynie, et.al, 2011)
Program BIPA diselenggarakan oleh beberapa universitas di Indonesia
yang memiliki mahasiswa asing. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu
prasyarat mahasiswa asing dapat melanjutkan studi di Indonesia. Program BIPA
tidak hanya mengajarkan materi untuk meningkatkan keterampilan berbahasa
saja, tetapi juga mengajarkan mengenai pengetahuan unsur budaya lokal, dalam
hal ini budaya Jawa. Unsur-unsur budaya Jawa sangat potensial dijadikan materi
ajar BIPA program karena memiliki keberagaman dan ciri khas di masing-
masing daerah. Keberagaman tersebut dilihat dari segi kesenian, benda
peninggalan sejarah, makanan khas, dan dialek bahasa yang digunakan.
Pengintegrasian unsur-unsur budaya Jawa dalam pengajaran BIPA memberikan
oritentasi budaya yang baru kepada mahasiswa asing, yang bisa jadi berbeda
dengan budaya di negara asalnya. Oleh karenanya, mahasiswa asing dituntut
dapat beradaptasi dengan budaya Jawa untuk dapat bersosialisasi dengan
masyarakat sekitar. Adaptasi budaya ini juga mengubah pola budaya dan sosial
dari para mahasiswa asing (Neumann & Banghart, 2001). Pola perubahan yang
tampak dapat dilihat ketika mereka bersosialisasi dengan masyarakat, bahasa
yang digunakan, serta pada pola pakaian yang disesuaikan dengan budaya
masyarakat Jawa.

IMPLIKASI

Pembelajaran BIPA tidak hanya memberikan materi berkaitan dengan empat


keterampilan berbahasa tetapi semua aspek berkaitan dengan bahasa dan budaya
20
harus dipelajari. Fenomena adaptasi mahasiswa asing dengan budaya Jawa
merupakan sebuah proses pembelajaran yang secara kultural harus dilakukan.
Hal ini dikarenakan ketika mahasiswa asing belajar bahasa Indonesia di tempat
dengan budaya dominan Jawa maka akan berdampak pada situsai dan konteks
pembelajarannya. Oleh sebab itu, pembelajaran BIPA untuk mahasiswa asing
tidak akan lepas dengan pembelajaran bahasa dan budaya lokal karena akan
selalu bersinggungan dalam proses pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari.
Semakin menguasai bahasa dan budaya lokal dalam hal ini Jawa maka semakin
cepat mahasiswa beradaptasi dan semakin cepat dapat menguasai bahasa
Indonesia bahkan bisa juga bahasa lokal atau bahasa Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Adelaar, A. (2011). Javanese –ake and – akan: A Short History. Journal of Oceanic
Linguistics. 50(2), 338-350.
Anindita, A., & Woelandari, N. (2020). Praktik komunikasi antarbudaya pada mahasiswa
ekspatriat dalam program Bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA). Jurnal
Pustaka Komunikasi. 3(1), 24-36. https://doi.org/10.32509/pustakom.v3i1.966
Arwansyah, Y. B., Suwandi, S., & Widodo, S. T. (2017, June). Revitalisasi peran budaya
lokal dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA).
In Proceedings Education And Language International Conference (Vol. 1, No.
1).
Aulia, H. R. (2019). Urgensi peran kebudayaan lokal dalam pengajaran Bahasa Indonesia
bagi penutur asing (BIPA) untuk mahasiswa asing. National Seminar of PBI
(English Language Education) 168-172.
Barkhuizen, G. (Ed.). (2019). Qualitative research topics in language teacher education.
New York: Routledge.
Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectations. New York: Free
Press.
Bergiel, B. J., Bergiel, E. B. & Balsmeier, P.W. (2008). Nature of virtual teams: A
summary of their advantages and disadvantages. Management Research News.
31(2), 99–110. https://doi.org/10.1108/01409170810846821
Faizin, F. (2018). Literasi budaya lokal untuk meminimalisir gegar budaya pemelajar
BIPA. SENASBASA, 2(2), 116-124.
Faizin, F., & Isnaini, M. (2020). Fenomenologi gegar budaya pemelajar BIPA asal negara
Afrika Selatan di Malang. JP-BSI (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia). 5(1), 27-33. http://dx.doi.org/10.26737/jp-bsi.v5i1.1600
Fatchan, A. (2015). Metode penelitian kualitatif (pendekatan etnografi dan
etnometodologi untuk penelitian ilmu-ilmu sosial). Yogyakarta: Ombak.
Fauziah, S. (2015). Faktor sosiokultural dalam pemakaian bahasa. Zawiyah: Jurnal
Pemikiran Islam. 1(1), 154-174.
Glaser, B. G., & Strauss, A. L. (2017). Discovery of grounded theory: Strategies for
qualitative research. New York: Routledge.

21
Gloriani, Y. (2017). Konservasi dan revitalisasi bahasa sebagai salah satu upaya
internasionalisasi bahasa Indonesia. Fon: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, 11(2), 1-11. https://doi.org/10.25134/fjpbsi.v11i2.717
Greenfield, P. M. (2016). Social change, cultural evolution, and human development.
Current Opinion in Psychology, 8, 84-92.
https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2015.10.012
Guarte, J. M., & Barrios, E. B. (2006). Estimation under purposive sampling.
Communications in Statistics-Simulation and Computation, 35(2), 277-284.
https://doi.org/10.1080/03610910600591610
Hermoyo, R. P., & Suher, M. (2017). Peranan budaya lokal dalam materi ajar Bahasa
Indonesia bagi penutur asing (BIPA). ELSE (Elementary School Education
Journal): Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar, 1(2b), 120-126.
http://dx.doi.org/10.30651/else.v1i2b.1060
Hynie, M., Jensen, K. & Johnny, M. (2011). Student internships bridge research to real
world problems. Education & Training, 53(1), 45–56.
https://doi.org/10.1108/00400911111102351
Jan, J. M. (2011). Malay Javanese migrant in Malaysia: contesting or creating identity.
Amsterdam University Press, 163-172.
Kadarisman, A. E. (2017). Local wisdom with universal appeal: dynamics of Indonesian
culture in asian context. KnE Social Sciences, 1(3), 8-18.
https://doi.org/10.18502/kss.v1i3.720
Kim, Young Yun. (2001). Becoming Intercultural: An Integrative Communication
Theory and Cross-Cultural Adaptation. USA: Sage Publication.
Kobayashi, Y. (2013). Europe versus Asia: Foreign language education other than
English in Japan’s higher education. Higher Education, 66(3), 269-281.
https://doi.org/10.1007/s10734-012-9603-7
Koentjoroningrat. (2004). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kurjenoja, A.K. & Hernández, I.A. (2015). Cultural processes, social change and new
horizons in education. Procedia - Social and Behavioral Sciences. 174, 3405-
3412. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.1011
Lee, K.S. & Chen, W. (2017). A long shadow: Cultural capital, techno-capital and
networking skills of college students. Computers in Human Behavior. 70, 67-73.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.12.030
Leberman, S. I. & Martin, A. J. (2004). Enhancing transfer of learning through post-
course reflection. Journal of Adventure Education and Outdoor Learning. 4(2):
173–184. https://doi.org/10.1080/14729670485200521
Lestari, J., & Paramita, S. (2019). Hambatan komunikasi dan gegar budaya warga Korea
Selatan yang tinggal di Indonesia. Koneksi. 3(1), 148-151.
http://dx.doi.org/10.24912/kn.v3i1.6158
Levin, E., Pocknee, C. & Pretto, G. (2010). The challenges in establishing an internship
program: Policy, expectations and workloads: International conference on work
integrated learning. Hong Kong: University-Industry Collaboration for Real
Life Education, pp. 1–14.

22
Mareza, L., & Nugroho, A. (2016). Minoritas ditengah mayoritas (Strategi adaptasi sosial
budaya mahasiswa asing dan mahasiswa luar jawa di UMP).
SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(2), 27-34.
http://dx.doi.org/10.30738/sosio.v2i2.549
Moleong, Lexy J. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Neumann, B. R. & Banghart, S. (2001). Industry-university ‘consulternships’ and
implementation guide. International Joumal Education Management. 15(1), 7–
11. https://doi.org/10.1108/09513540110380596
Nurlina, L. (2017, October). Indonesian speaking learning material development based on
central java cultural values for foreign students. 4th Asia Pacific Education
Conference (AECON 2017). Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/aecon-
17.2017.29
Putri, I. E. (2019). Adaptasi komunikasi interkultural mahasiswa asing di Kota Makassar.
KAREBA: Jurnal Ilmu Komunikasi. 7(2), 329-338.
http://dx.doi.org/10.31947/kareba.v7i2.8563
Rahyono, F. X. (2009). Kearifan budaya dalam kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Ramdhani, N. (2012). Adaptasi Bahasa dan budaya dari skala kepribadian big five. Jurnal
Psikologi. 39(2), 189-205. http://dx.doi.org/10.22146/jpsi.6986
Rohandi, R. (2017). Teaching and learning science: students’perspective. International
Journal of Indonesian Education and Teaching (IJIET), 1(1), 16-31. http://dx
doi.org/10.24071/ijiet.2017.010103
Rohimah, D. F. (2018). Internasionalisasi bahasa Indonesia dan internalisasi budaya
Indonesia melalui Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). An-Nas, 2(2),
199-212. https://doi.org/10.36840/an-nas.v2i2.104
Rostini, D., & Aminah, A. (2019). Proses pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis
manajemen kelas bagi penutur asing (BIPA) program darmasiswa (Penelitian
kualitatif deskriptif program BIPA darmasiswa di upt balai bahasa UPI). Media
Nusantara, 16(1), 91-100.
Rui, J. R., & Wang, H. (2015). Social network sites and international students’ cross-
cultural adaptation. Computers in Human Behavior, 49, 400-411.
http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2015.03.041
Saddhono, K. (2007). Bahasa etnik pendatang di ranah pendidikan kajian
sosiolinguistikmasyarakat madura di kota surakarta. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan. 13(66), 469-487. http://dx.doi.org/10.24832/jpnk.v13i66.362
Saddhono, K. (2016). Teaching Indonesian as foreign language in Indonesia: Impact of
professional managerial on process and student outcomes. 6th International
Conference on Educational, Management, Administration and Leadership.
Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/icemal-16.2016.54
Saddhono, K. (2016). Teaching Indonesian as foreign language: development of
instructional materials based Javanese culture with scientific-thematic approach.
Proceeding of the International Conference on Teacher Training and Education
(Vol. 2, No. 1, pp. 583-593).

23
Saddhono, K. (2017). Manajemen kelas multikultural dalam pembelajaran Bahasa
Indonresia bagi Penutur Asing (BIPA) di Indonesia. Conference on Language
and Language Teaching (pp. 561-567).
Saddhono, K. (2018). Cultural elements in the Indonesian textbooks as a foreign
language (BIPA) in Indonesia. KnE Social Sciences, 126-134.
https://doi.org/10.18502/kss.v3i9.2619
Saddhono, K. (2018, March). Cultural and social change of foreign students in Indonesia:
The influence of Javanese culture in teaching Indonesian to speakers of other
languages (TISOL). In IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science (Vol. 126, No. 1, p. 012091). IOP Publishing.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/126/1/012091
Saddhono, K., & Wahyono, H. (2019b, December). Learning vocabularies using
multimedia-based Teaching Indonesian to Speakers of Other Languages
(TISOL). In Journal of Physics: Conference Series (Vol. 1339, No. 1, p.
012108). IOP Publishing. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1339/1/012108
Saddhono, K., Hasibuan, A., & Bakhtiar, M. I. (2019a, November). Facebook as a
learning media in tisol (teaching Indonesian to speakers of other languages)
learning to support the independency of foreign students in Indonesia. In
Journal of Physics: Conference Series (Vol. 1254, No. 1, p. 012061). IOP
Publishing. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1254/1/012061
Sandel, T. L. (2014). “Oh, I’m here!”: Social media’s impact on the cross-cultural
adaptation of students studying abroad. Journal of Intercultural Communication
Research, 43(1), 1-29. https://doi.org/10.1080/17475759.2013.865662
Setiawan, A. M. N., Andayani, A., & Saddhono, K. (2017). The use of writing learning
media for BIPA students to understand local culture. Komposisi: Jurnal
Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Seni, 18(1), 66-79.
https://doi.org/10.24036/komposisi.v18i1.7730
Simone Sarti, Moris Triventi. (2017).The role of social and cognitive factors in
individual gambling: An empirical study on college students. Social Science
Research, 62, 219-237. https://doi.org/10.1016/j.ssresearch.2016.08.009
Siroj, M. B. (2015). Pengembangan model integratif bahan ajar bahasa indonesia ranah
sosial budaya berbasis ict bagi penutur asing tingkat menengah. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(2), 74-84.
https://doi.org/10.15294/jpbsi.v4i2.11305
Smith‐Hefner, N. J. (2009). Language shift, gender, and ideologies of modernity in
Central Java, Indonesia. Journal of Linguistic Anthropology. 19(1), 57-77.
https://doi.org/10.1111/j.1548-1395.2009.01019.x
Suyitno, I. (2007). Pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing
(BIPA) berdasarkan hasil analisis kebutuhan belajar. Wacana, 9(1), 62-78.
https://doi.org/10.17510/24076899-00901005
Yahya, M., & Saddhono Foreign language, K. (2018). Studi kesalahan penulisan kalimat
dalam karangan pelajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA).
Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. 5(1), 1-20.https://doi.org/10.15408/dialektika.v5i1.6295

24
Zhao, A., Guo, Y., & Dynia, J. (2013). Reading anxiety: Chinese as a foreign language in
the United States. The Modern Language Journal, 97(3), 764-778.
https://doi.org/10.1111/j.1540-4781.2013.12032.x

25

Anda mungkin juga menyukai