PENDAHULUAN
1
Suatu gerakan anti terhadap orang asing, yang hadir dari kalangan moderat. Kehadiran gerakan
ini ingin mengurangi imigrasi secara besar-besaran.
2
http://news.liputan6.com/read/2054876/guncangan-untuk-eropa-partai-sayap-kanan-menang-
pemilu-prancis, diakses pada tanggal 20 Maret 2016
massa pada pemilu tahun 1998 dan pada akhirnya berhasil menduduki jabatan
sebagai presiden. Sebagai pemimpin yang berlatar belakang seorang aktor
(entertainment), Estrada berhasil mendulang dukungan massa dengan menawarkan
program penanggulangan kemiskinan di Filipina. Sementara itu, di Korea Selatan
hadir tokoh populis, Roh Moo Hyun’s yang berhasil memenangkan pemilu tahun
2002 dengan membawa program memberantas korupsi dan anti Amerika.
Kehadiran beberapa tokoh populis yang menandai kemunculan populisme,
menandakan bahwa populisme merupakan suatu bentuk ideologi politik yang cukup
diperhitungkan dalam dunia politik, khususnya yang berkaitan dengan gaya
kepemimpinan. Hingga saat ini, gaya kepemimpinan populis masih saja menarik
perhatian masyarakat, khususnya ketika berlangsungnya kampanye, di mana di
dalam masa ini perebutan kekuasaan merupakan suatu agenda yang amat
diperhitungkan oleh para politisi yang sedang bertarung.
Alasan kuat yang menyebabkan ideologi populisme kerap kali digunakan
oleh para aktor politik, khususnya dalam masa kampanye dikarenakan paham ini
membawa misi ingin menyejahterakan kehidupan rakyat, khususnya rakyat kecil
dan adanya keinginan yang kuat untuk menciptakan sebuah hubungan integrasi
sosial yang seimbang dalam berbagai lapisan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Beyme (2014: 122-123), yang menjabarkan beberapa ciri populis yang
dikaitkan dengan kepentingan rakyat,
Populists fight the ‘corruption’ of the established elites which are declared as no
longer representative of the people. Populist leaders boasted of a direct
communication with the people. They prever the term ‘political class’ instead of
the positive connotations of the notion ‘elite’. In third world countries instead of
the positive connotations of the notion ‘elite’. Populists normally fight against
three enemies: big industry, trade unions-especially when they cooperation, the
‘state’ of the established elites which tries to bring big interests to cooperation.
The state is no longer the target of demands for alimentation, but populists rather
claim to bring the state back to an orientation toward the ‘common good’-which
normally is defined rather vaguely.
Dari beberapa ciri populis yang dijabarkan oleh Beyme tersebut, maka
merupakan suatu kewajaran jika para aktor yang membawa misi populis mudah
mendapatkan dukungan dari masyarakat, terlebih misi tersebut diperuntukkan
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Penjelasan Beyme menyebutkan bahwa
seorang aktor populis berusaha membawa misi memerangi korupsi yang dilakukan
oleh pemerintah dan cenderung menggunakan gaya komunikasi politik yang
dilakukan secara langsung (antara pemimpin dan rakyat), guna mendengarkan dan
melihat persoalan-persoalan yang sedang dialami di tengah masyarakat.
Keberhasilan para aktor populis dalam mendapatkan dukungan dari
masyarakat, menjadikan terminologi populis menjadi menarik untuk dibahas dan
diperbincangkan. Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai
fenomena berkembangnya politik populis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Mari K Niemi (2012), yang berjudul Messenger and defender-Timo Soini’s populist
leadership and media strategies in winning the elections of 2011, yang
menganalisis mengenai gaya kepemimpinan populis yang digunakan oleh Timo
Soini (pemimpin partai TrueFirms (TF)) dalam kampanye politik melalui media
massa cetak dan televisi di Finlandia yang pada akhirnya berhasil memenangkan
pemilu pada tahun 2011. Kemenangan Timo Soini ini berhasil meningkatkan
kekuatan partai di parlemen, yaitu menjadi 39 kursi. Dalam penelitian tersebut,
Niemi menganalisis mengenai bagaimana gaya kepemimpinan populis Soini
mampu memengaruhi khalayak melalui media cetak dan televisi pada saat pemilu
di Finlandia tahun 2011.
Selain itu, juga terdapat kajian mengenai hubungan antara kehadiran
varietas populis dan perubahan pola integrasi masyarakat dalam sistem demokrasi
yang dikaitkan dengan penggunaan media komunikasi yang dilakukan oleh Craig
Calhoun ((1988) dari University of North Carolina. Dalam penelitiannya yang
berjudul Populist Politics, Communication Media and Large Scale Social
Integration, Calhoun menjelaskan bahwa pada saat itu terdapat suatu keadaan di
mana adanya partisipasi demokrasi yang sangat minim dalam masyarakat,
dikarenakan tumbuh kembangnya pola skala integrasi sosial yang sangat tergantung
pada media komunikasi, pasar dan birokrasi. Berdasarkan keadaan ini, maka
hadirlah varietas populis (gerakan populis) yang kemudian memobilisasi
masyarakat setempat untuk kemudian turut aktif memberikan pendapatnya dalam
sistem demokrasi. Selain itu, gerakan ini juga hadir untuk mempersempit jarak
yang terdapat antara elit dominan pemerintahan dengan masyarakat lokal dan warga
negara lainnya.
Selanjutnya juga terdapat penelitian yang dilaksanakan oleh Pasuk
Phongpaichit dan Chris Baker (2009), yang lebih memusatkan kajiannya pada
perjalanan politik pemimpin populis pertama di Thailand, yakni Thaksin
Sinawatra3. Dalam telaah kajiannya yang berjudul “Thaksin’s Populism”,
Phongpaichit dan Baker menjelaskan mengenai keberhasilan partai Thai Rak Thai
(TRT) menggaungkan nama Thaksin sebagai pemimpin baru di Thailand dengan
membawa paham populisme. Berdasarkan keberhasilan tersebut, TRT berhasil
meraih kemenangan suara pada tahun 2001. Thaksin membawa misi mengatasi
permasalahan kaum miskin, khususnya petani dalam program kampanyenya.
Kemenangan Thaksin tidak terlepas dari peran media massa khususnya televisi
dalam memberikan informasi mengenai agenda kampanye Thaksin.
Keberhasilan para pemimpin populis yang telah terbukti di beberapa negara,
menjadikan populisme menjadi salah satu hal yang dianggap mampu membawa
kehidupan menuju ke arah yang lebih baik. Seperti halnya juga yang terjadi di
Indonesia, para pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan populis sebagai
simbol kepemimpinannya berhasil mendapatkan tempat yang cukup baik di hati
masyarakat, baik saat masih berkampanye maupun ketika telah menjabat sebagai
pemimpin pemerintahan.
Sebut saja, Soekarno sebagai presiden RI (Republik Indonesia) yang
pertama. Di masa kepemimpinannya, Soekarno menggunakan gaya kepemimpinan
populis yang ditandai dengan dukungannya yang besar terhadap perlindungan kaum
buruh tani. Selain Soekarno, Megawati Soekarno Puteri juga menggaungkan
kebijakan populis dalam memperkenalkan partainya kepada publik, salah satu
contohnya dengan menggunakan jargon partai ‘partainya wong cilik’.
Selain Soekarno dan Megawati, sosok populis fenomenal selanjutnya di
Indonesia saat ini adalah Joko Widodo atau lebih dikenal dengan Jokowi4.
Kepopulisan Jokowi telah dicirikan sejak pertama kali ia maju sebagai walikota
Solo. Salah satu ciri populisme yang sangat kental dengan gaya kepemipinan
Jokowi adalah program blusukan yang gencar dilakukannya sejak dicalonkan PDI
3
Thaksin Sinawartha merupakan seorang pengusaha keturunan keluarga Sino Thai yang sempat
mengenyam pendidikan di akademi polisi dan meraih angkatan letnan kolonel sebelum akhirnya
menjadi pengusaha dan politisi.
4
Jika dianalisis, kehadiran Jokowi dalam panggung politik hampir sama dengan kehadiran Thaksin
Shinawarta di Thailand, di mana kedua tokoh ini sama-sama berasal dari latar belakang pengusaha,
bukan murni sebagai politisi. Jokowi dan Thaksin sama-sama diciptakan sebagai tokoh di dalam
partai, yang kemudian berhasil mendongkrak popularitas partai, hingga akhirnya meningkatkan
suara pemilihan partai pada beberapa pemilu yang dilaksanakan
Perjuangan sebagai walikota Solo pada tahun 2005 hingga akhirnya dicalonkan
menjadi salah satu kandidat calon presiden pada pemilu presiden tahun 2014 lalu.
Sejak awal kehadirannya sebagai politisi, Jokowi cukup mencuri perhatian
berbagai pihak, di mana karirnya sebagai walikota Solo telah membawa dirinya
menjadi wali kota terbaik ketiga sedunia dalam pemilihan World Mayor Project
2012. Pemilihan ini diselenggarakan oleh The City Mayors Foundation, yayasan
walikota dunia yang berbasis di Inggris.5 Keberhasilan Jokowi dalam kancah politik
kian meningkat, sejak kemudian terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta pada tahun
2012 setelah berhasil mengalahkan incumbent Fauzi Bowo. Tidak hanya sampai di
situ, keberhasilan Jokowi pun pada akhirnya membawa Jokowi pada pencalonan
dirinya sebagai presiden pada pemilu tahun 2014.
Kehadirannya dalam pemilu menjadi salah satu hal yang cukup
diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya pada saat itu. Walaupun belum lama
berkecimpung di kancah politik, namun Jokowi cukup menjadi lawan politik yang
tidak dapat dipandang sebelah mata. Dukungan pun datang dari berbagai pihak,
bahkan kemenangan Jokowi dalam pemilu presiden 2014 telah diprediksi oleh
beberapa pihak, sebelum hari H pemilu berlangsung6.
Menariknya fenomena politik populis yang digaungkan Jokowi dalam karir
politiknya, menjadikan penelitian dengan tema ini kemudian menarik untuk
dilakukan. Mengingat keberhasilan politisi-politisi populis sebelumnya dalam
meraih dukungan massa, telah dijadikan suatu kajian yang menarik dalam berbagai
penelitian, seperti kehadiran Hugo Chavez di Venezuela, Marine Lepen di Perancis,
Estrada di Argentina, Roh Moo Hyun’s di Korea Selatan, serta Thaksin Shinawatra
5
http://www.voaindonesia.com/content/jokowi-raih-penghargaan-walikota-terbaik-ketiga-
dunia/1579686.html, diakses pada tanggal 23 Januari 2016.
6
Hasil jajak pendapat selama pemilu legislatif yang dikeluarkan konsultan politik Saiful Mujani
Research & Consulting menyebutkan bahwa tingkat elektabilitas terpilihnya Jokowi sebagai
presiden mencapai 39% (berada pada urutan pertama) menggungguli para kandidat lainnya. Dalam
Tempo, edisi 11 Mei 2014 hal. 46. Sementara itu, hasil survei Political Communication Institute
menempatkan Jokowi sebagai calon presiden dengan elektabilitas tetinggi, yakni sebesar 22,9 %
(dalam Elektabilitas Jokowi Diprediksi Stabil, Tak Akan Terjun Bebas - Kompas.com
http://nasional.kompas.com/read/2014/03/09/1621450/Elektabilitas.Jokowi.Diprediksi.Stabil.Tak.
Akan.Terjun.Bebas, diakses pada tanggal 6 April 2016.). Selanjutnya, sebuah lembaga riset asal
Jepang, Nomura, juga memprediksi perolehan suara Jokowi diprediksi akan mengungguli Prabowo
yaitu sebesar 8,5 % (dalam Riset Nomura Prediksi Jokowi Ungguli Prabowo | bisnis | tempo.co
http://m.tempo.co/read/news/2014/07/08/090591369/Riset-Nomura-Prediksi-Jokowi-Ungguli-
Prabowo , diakses pada tanggal 6 April 2016).
di Thailand. Namun tentunya di dalam penelitian ini, peneliti tidak akan membahas
mengenai bagaimana penggunaan gaya kepemimpinan populis Jokowi kemudian
berhasil mendulang dukungan massa seperti penelitian-penelitian yang dilakukan
sebelumnya, melainkan peneliti lebih menerapkan pendekatan semiotika Roland
Barthes dalam mengkaji teks yang merepresentasikan gaya kepemimpinan populis
Jokowi.
Adapun teks yang dimaksud oleh peneliti adalah teks yang terdapat dalam
video Youtube flash mob7 versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ yang dijadikan sebagai
salah satu alat kampanye oleh Jokowi dalam pemilu presiden tahun 2014 lalu.
Dengan menggunakan model analisis semiotika yang diperkenalkan Roland
Barthes, maka analisis yang akan dilaksanakan dikerjakan dalam dua tingkat
pembacaan tanda, yakni pembacaan tanda untuk menemukan makna denotatif dan
pembacaan tingkat mitos (myth), untuk menemukan wicara konotatif di balik teks.
Dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes, diharapkan penelitian
ini mampu menguak kompleksitas produksi makna-makna populis yang terdapat
dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’.
Penelitian ini menjadi penting, dikarenakan wacana populisme dalam
kaidah kepemimpinan telah menjadi sebuah tipe wicara yang dilakukan secara
berulang-ulang, di mana dalam istilah Barthes hal ini kemudian disebut dengan
mitos8. Dalam analisis teks representasi politik populis Jokowi yang terdapat di
dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ inilah yang
kemudian akan mampu membongkar ‘the real structure’9 di balik pembentukan
mitos populis dalam kepemimpinan Jokowi.
7
Flash mob berasal dari arti kata bahasa Inggris, yaitu flash yang berarti cepat dan mob yang berarti
kerumunan. Flash mob merupakan gerakan yang dilakukan sekelompok besar orang secara tiba-tiba
yang berkumpul di tempat umum untuk melakukan melakukan hal yang unik (biasanya menari)
dalam beberapa menit, kemudian membubarkan diri begitu saja. Flash mob memberikan efek
terkejut pada orang-orang yang berada di sekitarnya atau bahkan memberikan rasa penasaran kepada
orang-orang yang melihatnya. Flash mob pertama kali dipopulerkan oleh Bill Wasik, seorang editor
majalah Harper di Manhattan, New York.
8
Mitos dalam istilah semiotika Roland Barthes digunakan pengertiannya sebagai sebuah tingkat
pembacaan yang dihasilkan atas hasil analisis level kedua (second order of semiologycal system).
9
Di dalam kajian representasi, khususnya dengan menggunakan perspektif Roland Barthes, maka
akan dilakukan pembongkaran makna tanda bahasa (dalam hal ini yakni tanda bahasa populis)
guna mengetahui praktik ideologis yang bekerja secara manipuatif di dalam sebuah situasi sosial
tertentu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi politik populis calon
presiden Jokowi dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’
dalam kampanye PILPRES 2014?
10
Dalam analisis semiotika Roland Barthes, mitos merupakan sistem komunikasi, mitos juga
merupakan sebuah pesan. Sebauh mitos merupakan tipe wicara yang memiliki landasan historis.
(Barthes, 1983: 151-153)
dalam representasi terdapat struktur wacana ideologis tertentu yang mewujud
dalam penandaan melalui bahasa. Dalam semiotika Roland Barthes, struktur
wacana ideologis tersebut dibentuk berdasarkan signifier (penanda) dan signified
(petanda).
Berdasarkan hal ini, maka teks politik populis yang terdapat di dalam video
flash mob Youtube versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’ akan dianalisis dengan cara
memilah penanda dan petanda yang berkaitan dengan teks populisme, yaitu dengan
cara memperhatikan serap hal, baik yang berhubungan dengan konten, teks, pesan
yang bermuatan politik populis yang terdapat di dalam video flash mob tersebut,
sehingga dapat ditemukan bagaimana mitos dan wacana politik populis Jokowi
terbentuk.
Selanjutnya, dalam pandangan pos-Marxisme (Althusser), ideologi
merupakan suatu hal yang bukan bersifat rigit, melainkan sesuatu yang membentuk
‘ketidaksadaran mendalam’ (profoundly unconsciousness) yang ditentukan oleh
struktur sosial. Ideologi hadir dalam setiap individu yang seringkali tidak disadari
dan tentunya dapat berubah sesuai struktur sosial yang berlaku (sistem politik,
sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem media dan sebagainya). Salah satu
contoh struktur sosial adalah media, di mana media mampu menanamkan ideologi
di dalam setiap individu melalui suatu bentuk profoundly consciousness, dengan
cara yang perlahan melalui setiap hal yang ditampilkannya. Barthes sendiri
menyatakan bahwa hadirnya ideologi di dalam kehidupan masyarakat, berawal dari
pembentukan mitos, di mana mitos merupakan sebuah tipe wicara dan merupakan
sistem semiologis tingkat kedua.
Sementara itu, dalam pandangan Barthes, untuk melihat representasi
dilakukan melalui dua cara signifikasi (penandaan), yaitu melalui tingkat
bahasa/denotatif yang kemudian disebut langue dan tingkat mitos/konotatif (myth).
Pembentukan representasi erat kaitannya dengan kebudayaan tempat di mana
proses representasi tersebut terbentuk. Hal inilah kemudian yang menjadi penyebab
timbulnya beberapa bentuk representasi dalam pemaknaan suatu gejala sosial yang
timbul di dalam masyarakat.
Oleh karenanya, dalam memaknai representasi politik populis, khususnya
yang terdapat pada media baru (internet) tentu saja lebih kompleks, mengingat
penggunaan media baru dapat mendatangkan beragam wacana di dalamnya. Piliang
(2010 : 384), menyatakan pendapatnya mengenai semiotika di dalam cyberspace
Di dalam cyberspace penggunaan model semiotika dikembangkan secara tak
konvensional, dalam pengertian ia digunakan secara lebih kreatif, produktif, subsersif,
transformatif, bahkan terkadang anarkis. Tanda-tanda yang diproduksi di dalam
cyberspace, meminjamkan konsep Richard Harland, cenderung mensubversi sistem apa
pun yang mapan dan stabil (bahasa, sosial, kultural) yang biasanya dikontrol secara
sosial berdasarkan konsensus bersama.
Pemaknaan tanda di dalam cyberspace tentu saja dapat menjadi beragam,
karena merujuk pada berbagai wacana. Sejalan dengan pendapat Piliang (2012 :
380) bahwa dalam cyberspace tanda-tanda digunakan untuk berbagai kepentingan,
seperti menyesatkan, memanipulasi, mereduksi, melencengkan dan menipu, hal ini
terjadi karena adanya kemudahan teknologi informasi. Berdasarkan pendapat
Piliang, maka kampanye melalui YouTube dengan menggunakan flash mob
tentunya menggunakan representasi tanda yang juga memiliki banyak kepentingan
di dalamnya, bahkan dapat bermakna anarkis atau manipulatif.
Representasi sendiri oleh Fiske didefinisikan sebagai proses yang
dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau
kombinasinya (Fiske, 2012 : 282). Konsep representasi dapat berubah-ubah, selalu
ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang pernah
ada. Ini dipengaruhi oleh makna itu sendiri yang tidak pernah tetap, ia selalu berada
dalam proses negosiasi yang disesuaikan dengan keadaan baru.
11
https://idws.id/portal/berita/sejarah-dan-budaya/769/Sejarah-Asal-Mula-Berdirinya-Youtube-di-
Dunia-Maya, diakses pada tanggal 5 Juni 2016
12
http://usatoday30.usatoday.com/tech/news/2006-07-16-youtube-views_x.htm akses pada 9
Oktober 2015
media merupakan salah satu bentuk ISA (Ideological State Apparatus). Media
bekerja secara persuasif, perlahan-lahan, namun secara pasti memengaruhi
masyarakat. Tindakan media sebagai ISA dilakukan dengan cara memanipulasi
kesadaran masyarakat yang dilakukan secara komunikatif.
Ideologi hadir sebagai salah satu proses pemaknaan akan tanda
(representasi). Penggunaan YouTube sebagai salah satu sarana yang digunakan
untuk menyampaikan pesan kampanye, merupakan salah satu unsur dari proses
terbentuknya ideologi dalam masyarakat. Beragam teks dan konteks yang
dihadirkan dalam video kampanye flash mob YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah
Kita’, didasari pada maksud pembentukan representasi Jokowi sebagai salah satu
sosok populis, di mana tujuan akhirnya yaitu untuk meraih perhatian masyarakat
dalam PILPRES 2014 untuk mendukung Jokowi sebagai presiden di periode yang
akan datang.
13
“. Lihat di http://dictionary.cambridge.org/define.asp?dict=CALD7key=61566, diakses pada
tanggal 11 Oktober 2015.
krisis di benua Amerika Latin, baik itu krisis ekonomi maupun krisis politik
(Knight, 1988 : 226). Kebijakan populisme yang cenderung memberikan
kemudahan bagi masyarakat kelas bawah (salah satunya melalui pemberian subsidi)
menjadi salah satu pemicu adanya krisis di bidang ekonomi.
Sementara itu, peneliti memiliki pendapat berbeda, hal ini dikarenakan
populisme bukanlah merupakan suatu hal yang dapat dimunculkan kapan saja,
melainkan terdapat suatu hal yang melatarbelakanginya, salah satunya adalah
hadirnya kejenuhan masyarakat akan kinerja pemerintah sebelumnya yang
cenderung korup sehingga menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat akan
kinerja pemerintah.
Kenneth M. Roberts merupakan salah satu peneliti yang mengaitkan
kemunculan populisme dengan krisis. Roberts mengungkapkan bahwa pemimpin
populis di Amerika Latin muncul karena negara mengalami krisis kelembagaan dan
krisis ekonomi. Dalam kondisi di mana lembaga perwakilan rapuh, lemah dan tidak
efektif dalam merespon tuntutan rakyat, negara akan rentan terhadap munculnya
gerakan-gerakan sosial dan politik baru. Kondisi-kondisi inilah yang mendorong
bangkitnya populisme baik pada era klasik maupun pada era belakangan ini.
(M.Roberts, 2006 : 5).
Lebih jauh, Roberts menyatakan terdapat lima ciri populisme, yang sangat
berkaitan dengan terminologi kepemimpinan. Pertama, suatu bentuk
kepemimpinan politik yang bersifat personalistik dan paternalistik, tidak
memerlukan kharismatik. Kedua, suatu bentuk keberagaman, koalisi politik
multiclass yang terkonsentrasi dalam sektor subaltern dalam masyarakat. Ketiga,
proses top down mobilisasi politik yang terinstitusi dan termediasi secara langsung
antara pemimpin dan masyarakat Keempat, suatu bentuk amorphous atau ideologi
eklektik, yang dikarakteristikkan oleh wacana meninggikan sektor subaltern atau
antielit dan atau anti kekuasaan yang ada. Kelima, merupakan proyek ekonomi yang
memanfaatkan redistribusi luas atau metode klientelistik untuk menciptakan suatu
kepopuleran (M.Roberts, 2006 : 88).
Sementara M.Roberts mendefinisikan populisme dalam lima karakteristik
utama, maka Mizuno dan Phongpaichit (2009) mendefinisikan populisme sebagai
Wisdom lies among the ordinary people. This wisdom, that is common sense, is
necessary and sufficient to make political decisions. The people acquire this wisdom
through productive works, not by reading books or through speculation. This notion is
anti-intellectual, and denies technocratic knowledge in politics. It supports direct
democracy, that is, politics by the people themselves. (Mizuno and Phongpaichit, 2009
: 3)
Berdasarkan pendapat Mizuno dan Phongpaichit, maka politik populis dapat
diartikan sebagai gaya politik yang hadir dari kalangan masyarakat biasa atau
dikenal dengan masyarakat sipil. Pada intinya, dalam paham populisme seolah
menolak pernyataan bahwa politik hanya dapat dijalankan oleh kalangan teknokrat.
Pembentukan kebijakan populisme lebih mengutamakan masyarakat kecil. Selain
itu, bentuk pencitraan yang dilakukan oleh kalangan populis seolah menentang
kebijakan pemerintahan sebelumnya, yang dirasa membuat kebijakan yang
cenderung memihak pada kalangan elit dan kurang memperhatikan kalangan
bawah. Oleh karenanya, populisme, seringkali direpresentasikan dalam suatu
bentuk pencitraan politik yang sangat dekat dengan kepentingan rakyat kecil.
Sementara itu, terkait pola kepemimpinan populis Jokowi, Sudarsono
(2012) menyatakan pendapatnya mengenai kepemimpinan Jokowi yang dinilai
humanis-populis. Dengan menggunakan model politik-humanis, Jokowi
menjadikan hubungan antara pemerintah dan masyarakat tak lagi berjarak, hal ini
ditunjang dengan sikap Jokowi yang sederhana, low profile, apa adanya dan selalu
mengumbar senyum serta merangkul ketika menyapa rakyat (Sudarsono, 2012: 84).
Melalui penjabaran mengenai politik populis, maka video Youtube flash
mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ memuat konten, teks, serta pesan yang
merepresentasikan politik populis. Hal ini nampak dari beberapa scene yang
terdapat di dalam video tersebut, salah satunya seperti pesan yang tertera dalam
saah satu scene ‘Jokowi Tegas Merakyat, Relawan Perjuangan Demokrasi’, di
mana tulisan ‘Jokowi Tegas Merakyat, Relawan Perjuangan Demokrasi’ tertera
pada spanduk yang dibawa oleh salah satu penari di dalam flash mob. Oleh
karenanya dengan hadirnya pesan, konten serta teks yang bermuatan politik
populis, akan dapat ditemukan bagaimana politik populis Jokowi direpresentasikan,
sehingga dapat ditemukan wacana ideologis dari penggunaan teks politik populis
dalam kepemimpinan Jokowi.
1.6. Kerangka Konsep
Video kampanye flash mob YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’
merupakan sebuah medium yang mengkonstruksi suatu gaya kepemimpinan
populis Jokowi dalam kampanye PILPRES 2014. Untuk mengetahui bagaimana
cara politik populis Jokowi direpresentasikan di dalam video kampanye flash mob
tersebut, maka di dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori semiotika Roland
Barthes dan teori yang berhubungan dengan politik populis. Berdasarkan
penjabaran mengenai kerangka konsep penelitian, maka disusunlah bagan
penelitian yang akan menjadi acuan di dalam penelitian sebagai berikut:
1. Representasi
- Video Youtube : Media
Representasi
2. Politik Populis
1. Signifier 2. Signified
(penanda) (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif juga
merupakan penanda konotatif (4). Dari peta tersebut, signifier (penanda) dalam
penelitian ini adalah video kampanye flash mob YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah
Kita’ dan signified (petanda) dalam penelitian ini adalah representasi politik populis
Jokowi.
Berdasarkan metode analisis semiotika yang dikembangkan Saussure,
Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem
denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama,
yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialistis penanda
atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi atau sistem penandaan
tingkat kedua, rantai penanda/ petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan
seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.
Secara terperinci, Barthes dalam bukunya yang berjudul Mythologies menjelaskan
bahwa dalam bahasa sehari-hari penanda dianggap mengungkapkan petanda (to
express).
Sistem signifikasi tanda dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang
disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua
yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat
pembagian antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat
perluasan atas signifikasi tanda pada sistem denotatif. Sementara itu, di dalam
sistem metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna pada sistem denotatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa
merupakan perluasan dari sistem denotatif.
Konotasi yang berkembang dengan baik dapat menjadi mitos, yaitu makna
tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh masyarakat. Mitos dapat
berkembang menjadi suatu ideologi, di mana ideologi hadir dan memengaruhi
kondisi masyarakat, melalui alam bawah sadar. Menurut Barthes, pada tingkat
denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat
eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan
berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi,
bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bermuatan makna-makna
tersembunyi. Makna tersembunyi ini, yang menurut Barthes merupakan kawasan
dari ideologi atau mitologi.
14
Baca halaman 1-6.
video tersebut, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal akan menjadi objek
penelitian, khususnya yang menyangkut politik populis Jokowi.
Berikut merupakan bagan alur teknik pengumpulan data di dalam penelitian :
Objek Penelitian
Video flash mob YouTube Kampanye
PILPRES 2014 versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’
Metode
Penelitian
Analisis Semiotika
Roland Barthes
1.Verbal: (Konteks)
lirik lagu, backsound flash mob.
2. Nonverbal : Beberapa hal yang berada
Gerakan tubuh setiap peserta di luar teks yang
flash mob, gesture tubuh penari berhubungan dengan
flash mob, atribut yang representasi politik populis
digunakan dalam flash mob. Jokowi
15
Istilah Intertekstualitas pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, salah seorang pakar
semiotika. Menurut Kristeva, prinsip mendasar dari intertekstualitas adalah bahwa seperti halnya
tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain, setiap teks mengacu pada teks yang lain. Secara
sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks-teks lain.
Gerakan intertekstualitas tanpa batas, sejajar dengan proses semiosis yang tak berujung pangkal.
(Budiman, 2011: 158).
politik populis yang terdapat di dalam video flash mob YouTube ‘Jokowi-Jk adalah
Kita’, di mana hanya akan membahas tanda yang berhubungan dengan politik
populis Jokowi. Kedua, penelitian ini akan membahas tanda teks verbal maupun
nonverbal yang divisualisasikan di dalam video yang mewakili politik populis
Jokowi. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah menemukan bagaimana politik
populis Jokowi direpresentasikan dalam video flash mob YouTube versi ‘Jokowi-
Jk adalah Kita’. Batasan penelitian ini digunakan agar terhindar dari penelitian
yang terlalu meluas, mengaburkan topik pembahasan dan adanya kejenuhan data.