Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Istilah populis hadir berdasarkan ideologi populisme, di mana kehadirannya
didasarkan pada sejarah yang berbeda-beda pada setiap belahan dunia. Seperti di
Rusia dan Amerika Serikat, gerakan populis hadir berdasarkan bentuk perlawanan
yang dilakukan oleh gerakan petani pada pemerintah sebelumnya yang terjadi pada
abad ke 19. Sementara itu, di Amerika Latin dan Eropa, kehadiran populisme
berlangsung menjelang abad ke 20, ditandai dengan kehadiran Hugo Chavez di
Venezuela dan hadirnya politisi Marine Lepen dari partai Front Nation di Perancis.
Khusus di Amerika Latin, kehadiran gerakan populis didasari pada suatu bentuk
perlawanan terhadap penindasan neoliberalisme, di mana kebijakan neoliberalisme
yang dilakukan pemerintahan sebelumnya menyebabkan gejolak sosial yang
meresahkan, khususnya bagi kaum buruh.
Kehadiran populisme di Amerika Latin cukup fenomenal, hal ini
dikarenakan Hugo Chavez yang merupakan anggota militer justru lebih mendukung
gejolak perlawanan rakyat untuk melawan pemerintah pada saat itu yang
memberlakukan kebijakan neoliberalisme. Chavez membangun gerakan
revolusioner yang kemudian dikenal dengan Gerakan Revolusioner Bolivarian, di
mana nama gerakan ini terinspirasi oleh gerakan revolusioner yang dilakukan oleh
seorang pejuang revolusi Amerika Latin bernama Simon Bolivar yang berhasil
mengalahkan Spanyol dan kemudian menjadi tokoh pahlawan pujaan di beberapa
negara Amerika Latin, termasuk Venezuela.
Berdasarkan gerakan revolusioner tersebut, Chavez berhasil memenangkan
pemilu pada tahun 1998, dan berhasil menduduki jabatan presiden. Dengan
membawa kebijakan populis, Chavez berhasil melaksanakan integrasi sosial dan
anti imperialisme dalam kehidupan masyarakat Venezuela. Soyomukti (2007)
dalam bukunya yang berjudul Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik
Radikal menyebutkan beberapa kebijakan Chavez yang banyak diperuntukkan
untuk menyejahterakan rakyat kecil, seperti pemberian pinjaman tanpa bunga bagi
petani yang tidak memiliki tanah garapan dan kepada kaum perempuan melalui
Bank Pembangunan Perempuan. Berdasarkan kebijakan tersebut, ekspor pertanian
Venezuela meningkat pada tahun 2004-2005. Selain itu, Chavez juga sangat
memperhatikan program peningkatan mutu pendidikan bagi masyarakat kecil dan
memberikan jaminan kesehatan bagi warga miskin. Chavez merupakan salah satu
pemimpin yang terbukti menggunakan kebijakan populisme hingga akhir
jabatannya pada tahun 2013.
Sementara itu, di Eropa, Marine Lepen cukup menjadi sorotan sebagai salah
satu tokoh populis, di mana sebagai politisi Marine Lepen menggaungkan gerakan
xenophobia1. Pada tahun 2014, Lepen yang berasal dari partai Front Nationale
berhasil meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif di Perancis. Marine
mengungkapkan bahwa kemenangannya merupakan suatu bukti bahwa rakyat telah
bersuara lantang dan keras, mereka tidak ingin dipimpin lagi oleh para komisioner
Uni Eropa dan teknokrat yang tidak melalui tahap pemilihan2. Kemenangan Marine
Lepen menandakan terdapatnya suatu bentuk peralihan yang terjadi pada
masyarakat Eropa dalam hal dukungan politik, di mana sebelum kehadiran Marine
Lepen masyrakat Eropa cenderung mendukung para politisi-politisi yang membawa
kebijakan mainstream. Swoboda dan Jan Marinus (2008) dalam tulisannya yang
berjudul Consolidating New Democracies menerangkan bahwa alasan orang-orang
Eropa berpaling dari politik mainstream dan kemudian beralih pada populisme
dikarenakan adanya kekhawatiran akan perilaku pemerintahan sebelumnya yang
cenderung korup. Swoboda dan Jan Marinus melanjutkan bahwa, para politisi
populis di Eropa lebih disukai karena cenderung menawarkan solusi yang realitis
bagi beberapa permasalahan yang sedang menimpa masyarakat.
Untuk wilayah Asia sendiri, kehadiran populisme ditandai dengan
kehadiran para pemimpin-pemimpin populis, seperti hadirnya Thaksin Shinawatra
di Thailand pada tahun 2001 yang berhasil memenangkan pemilu dan kemudian
menduduki jabatan sebagai perdana menteri. Sementara itu, di Filipina, hadir nama
Estrada sebagai tokoh pemimpin populis Argentina yang berhasil meraih dukungan

1
Suatu gerakan anti terhadap orang asing, yang hadir dari kalangan moderat. Kehadiran gerakan
ini ingin mengurangi imigrasi secara besar-besaran.
2
http://news.liputan6.com/read/2054876/guncangan-untuk-eropa-partai-sayap-kanan-menang-
pemilu-prancis, diakses pada tanggal 20 Maret 2016
massa pada pemilu tahun 1998 dan pada akhirnya berhasil menduduki jabatan
sebagai presiden. Sebagai pemimpin yang berlatar belakang seorang aktor
(entertainment), Estrada berhasil mendulang dukungan massa dengan menawarkan
program penanggulangan kemiskinan di Filipina. Sementara itu, di Korea Selatan
hadir tokoh populis, Roh Moo Hyun’s yang berhasil memenangkan pemilu tahun
2002 dengan membawa program memberantas korupsi dan anti Amerika.
Kehadiran beberapa tokoh populis yang menandai kemunculan populisme,
menandakan bahwa populisme merupakan suatu bentuk ideologi politik yang cukup
diperhitungkan dalam dunia politik, khususnya yang berkaitan dengan gaya
kepemimpinan. Hingga saat ini, gaya kepemimpinan populis masih saja menarik
perhatian masyarakat, khususnya ketika berlangsungnya kampanye, di mana di
dalam masa ini perebutan kekuasaan merupakan suatu agenda yang amat
diperhitungkan oleh para politisi yang sedang bertarung.
Alasan kuat yang menyebabkan ideologi populisme kerap kali digunakan
oleh para aktor politik, khususnya dalam masa kampanye dikarenakan paham ini
membawa misi ingin menyejahterakan kehidupan rakyat, khususnya rakyat kecil
dan adanya keinginan yang kuat untuk menciptakan sebuah hubungan integrasi
sosial yang seimbang dalam berbagai lapisan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Beyme (2014: 122-123), yang menjabarkan beberapa ciri populis yang
dikaitkan dengan kepentingan rakyat,
Populists fight the ‘corruption’ of the established elites which are declared as no
longer representative of the people. Populist leaders boasted of a direct
communication with the people. They prever the term ‘political class’ instead of
the positive connotations of the notion ‘elite’. In third world countries instead of
the positive connotations of the notion ‘elite’. Populists normally fight against
three enemies: big industry, trade unions-especially when they cooperation, the
‘state’ of the established elites which tries to bring big interests to cooperation.
The state is no longer the target of demands for alimentation, but populists rather
claim to bring the state back to an orientation toward the ‘common good’-which
normally is defined rather vaguely.

Dari beberapa ciri populis yang dijabarkan oleh Beyme tersebut, maka
merupakan suatu kewajaran jika para aktor yang membawa misi populis mudah
mendapatkan dukungan dari masyarakat, terlebih misi tersebut diperuntukkan
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Penjelasan Beyme menyebutkan bahwa
seorang aktor populis berusaha membawa misi memerangi korupsi yang dilakukan
oleh pemerintah dan cenderung menggunakan gaya komunikasi politik yang
dilakukan secara langsung (antara pemimpin dan rakyat), guna mendengarkan dan
melihat persoalan-persoalan yang sedang dialami di tengah masyarakat.
Keberhasilan para aktor populis dalam mendapatkan dukungan dari
masyarakat, menjadikan terminologi populis menjadi menarik untuk dibahas dan
diperbincangkan. Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai
fenomena berkembangnya politik populis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Mari K Niemi (2012), yang berjudul Messenger and defender-Timo Soini’s populist
leadership and media strategies in winning the elections of 2011, yang
menganalisis mengenai gaya kepemimpinan populis yang digunakan oleh Timo
Soini (pemimpin partai TrueFirms (TF)) dalam kampanye politik melalui media
massa cetak dan televisi di Finlandia yang pada akhirnya berhasil memenangkan
pemilu pada tahun 2011. Kemenangan Timo Soini ini berhasil meningkatkan
kekuatan partai di parlemen, yaitu menjadi 39 kursi. Dalam penelitian tersebut,
Niemi menganalisis mengenai bagaimana gaya kepemimpinan populis Soini
mampu memengaruhi khalayak melalui media cetak dan televisi pada saat pemilu
di Finlandia tahun 2011.
Selain itu, juga terdapat kajian mengenai hubungan antara kehadiran
varietas populis dan perubahan pola integrasi masyarakat dalam sistem demokrasi
yang dikaitkan dengan penggunaan media komunikasi yang dilakukan oleh Craig
Calhoun ((1988) dari University of North Carolina. Dalam penelitiannya yang
berjudul Populist Politics, Communication Media and Large Scale Social
Integration, Calhoun menjelaskan bahwa pada saat itu terdapat suatu keadaan di
mana adanya partisipasi demokrasi yang sangat minim dalam masyarakat,
dikarenakan tumbuh kembangnya pola skala integrasi sosial yang sangat tergantung
pada media komunikasi, pasar dan birokrasi. Berdasarkan keadaan ini, maka
hadirlah varietas populis (gerakan populis) yang kemudian memobilisasi
masyarakat setempat untuk kemudian turut aktif memberikan pendapatnya dalam
sistem demokrasi. Selain itu, gerakan ini juga hadir untuk mempersempit jarak
yang terdapat antara elit dominan pemerintahan dengan masyarakat lokal dan warga
negara lainnya.
Selanjutnya juga terdapat penelitian yang dilaksanakan oleh Pasuk
Phongpaichit dan Chris Baker (2009), yang lebih memusatkan kajiannya pada
perjalanan politik pemimpin populis pertama di Thailand, yakni Thaksin
Sinawatra3. Dalam telaah kajiannya yang berjudul “Thaksin’s Populism”,
Phongpaichit dan Baker menjelaskan mengenai keberhasilan partai Thai Rak Thai
(TRT) menggaungkan nama Thaksin sebagai pemimpin baru di Thailand dengan
membawa paham populisme. Berdasarkan keberhasilan tersebut, TRT berhasil
meraih kemenangan suara pada tahun 2001. Thaksin membawa misi mengatasi
permasalahan kaum miskin, khususnya petani dalam program kampanyenya.
Kemenangan Thaksin tidak terlepas dari peran media massa khususnya televisi
dalam memberikan informasi mengenai agenda kampanye Thaksin.
Keberhasilan para pemimpin populis yang telah terbukti di beberapa negara,
menjadikan populisme menjadi salah satu hal yang dianggap mampu membawa
kehidupan menuju ke arah yang lebih baik. Seperti halnya juga yang terjadi di
Indonesia, para pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan populis sebagai
simbol kepemimpinannya berhasil mendapatkan tempat yang cukup baik di hati
masyarakat, baik saat masih berkampanye maupun ketika telah menjabat sebagai
pemimpin pemerintahan.
Sebut saja, Soekarno sebagai presiden RI (Republik Indonesia) yang
pertama. Di masa kepemimpinannya, Soekarno menggunakan gaya kepemimpinan
populis yang ditandai dengan dukungannya yang besar terhadap perlindungan kaum
buruh tani. Selain Soekarno, Megawati Soekarno Puteri juga menggaungkan
kebijakan populis dalam memperkenalkan partainya kepada publik, salah satu
contohnya dengan menggunakan jargon partai ‘partainya wong cilik’.
Selain Soekarno dan Megawati, sosok populis fenomenal selanjutnya di
Indonesia saat ini adalah Joko Widodo atau lebih dikenal dengan Jokowi4.
Kepopulisan Jokowi telah dicirikan sejak pertama kali ia maju sebagai walikota
Solo. Salah satu ciri populisme yang sangat kental dengan gaya kepemipinan
Jokowi adalah program blusukan yang gencar dilakukannya sejak dicalonkan PDI

3
Thaksin Sinawartha merupakan seorang pengusaha keturunan keluarga Sino Thai yang sempat
mengenyam pendidikan di akademi polisi dan meraih angkatan letnan kolonel sebelum akhirnya
menjadi pengusaha dan politisi.
4
Jika dianalisis, kehadiran Jokowi dalam panggung politik hampir sama dengan kehadiran Thaksin
Shinawarta di Thailand, di mana kedua tokoh ini sama-sama berasal dari latar belakang pengusaha,
bukan murni sebagai politisi. Jokowi dan Thaksin sama-sama diciptakan sebagai tokoh di dalam
partai, yang kemudian berhasil mendongkrak popularitas partai, hingga akhirnya meningkatkan
suara pemilihan partai pada beberapa pemilu yang dilaksanakan
Perjuangan sebagai walikota Solo pada tahun 2005 hingga akhirnya dicalonkan
menjadi salah satu kandidat calon presiden pada pemilu presiden tahun 2014 lalu.
Sejak awal kehadirannya sebagai politisi, Jokowi cukup mencuri perhatian
berbagai pihak, di mana karirnya sebagai walikota Solo telah membawa dirinya
menjadi wali kota terbaik ketiga sedunia dalam pemilihan World Mayor Project
2012. Pemilihan ini diselenggarakan oleh The City Mayors Foundation, yayasan
walikota dunia yang berbasis di Inggris.5 Keberhasilan Jokowi dalam kancah politik
kian meningkat, sejak kemudian terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta pada tahun
2012 setelah berhasil mengalahkan incumbent Fauzi Bowo. Tidak hanya sampai di
situ, keberhasilan Jokowi pun pada akhirnya membawa Jokowi pada pencalonan
dirinya sebagai presiden pada pemilu tahun 2014.
Kehadirannya dalam pemilu menjadi salah satu hal yang cukup
diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya pada saat itu. Walaupun belum lama
berkecimpung di kancah politik, namun Jokowi cukup menjadi lawan politik yang
tidak dapat dipandang sebelah mata. Dukungan pun datang dari berbagai pihak,
bahkan kemenangan Jokowi dalam pemilu presiden 2014 telah diprediksi oleh
beberapa pihak, sebelum hari H pemilu berlangsung6.
Menariknya fenomena politik populis yang digaungkan Jokowi dalam karir
politiknya, menjadikan penelitian dengan tema ini kemudian menarik untuk
dilakukan. Mengingat keberhasilan politisi-politisi populis sebelumnya dalam
meraih dukungan massa, telah dijadikan suatu kajian yang menarik dalam berbagai
penelitian, seperti kehadiran Hugo Chavez di Venezuela, Marine Lepen di Perancis,
Estrada di Argentina, Roh Moo Hyun’s di Korea Selatan, serta Thaksin Shinawatra

5
http://www.voaindonesia.com/content/jokowi-raih-penghargaan-walikota-terbaik-ketiga-
dunia/1579686.html, diakses pada tanggal 23 Januari 2016.
6
Hasil jajak pendapat selama pemilu legislatif yang dikeluarkan konsultan politik Saiful Mujani
Research & Consulting menyebutkan bahwa tingkat elektabilitas terpilihnya Jokowi sebagai
presiden mencapai 39% (berada pada urutan pertama) menggungguli para kandidat lainnya. Dalam
Tempo, edisi 11 Mei 2014 hal. 46. Sementara itu, hasil survei Political Communication Institute
menempatkan Jokowi sebagai calon presiden dengan elektabilitas tetinggi, yakni sebesar 22,9 %
(dalam Elektabilitas Jokowi Diprediksi Stabil, Tak Akan Terjun Bebas - Kompas.com
http://nasional.kompas.com/read/2014/03/09/1621450/Elektabilitas.Jokowi.Diprediksi.Stabil.Tak.
Akan.Terjun.Bebas, diakses pada tanggal 6 April 2016.). Selanjutnya, sebuah lembaga riset asal
Jepang, Nomura, juga memprediksi perolehan suara Jokowi diprediksi akan mengungguli Prabowo
yaitu sebesar 8,5 % (dalam Riset Nomura Prediksi Jokowi Ungguli Prabowo | bisnis | tempo.co
http://m.tempo.co/read/news/2014/07/08/090591369/Riset-Nomura-Prediksi-Jokowi-Ungguli-
Prabowo , diakses pada tanggal 6 April 2016).
di Thailand. Namun tentunya di dalam penelitian ini, peneliti tidak akan membahas
mengenai bagaimana penggunaan gaya kepemimpinan populis Jokowi kemudian
berhasil mendulang dukungan massa seperti penelitian-penelitian yang dilakukan
sebelumnya, melainkan peneliti lebih menerapkan pendekatan semiotika Roland
Barthes dalam mengkaji teks yang merepresentasikan gaya kepemimpinan populis
Jokowi.
Adapun teks yang dimaksud oleh peneliti adalah teks yang terdapat dalam
video Youtube flash mob7 versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ yang dijadikan sebagai
salah satu alat kampanye oleh Jokowi dalam pemilu presiden tahun 2014 lalu.
Dengan menggunakan model analisis semiotika yang diperkenalkan Roland
Barthes, maka analisis yang akan dilaksanakan dikerjakan dalam dua tingkat
pembacaan tanda, yakni pembacaan tanda untuk menemukan makna denotatif dan
pembacaan tingkat mitos (myth), untuk menemukan wicara konotatif di balik teks.
Dengan menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes, diharapkan penelitian
ini mampu menguak kompleksitas produksi makna-makna populis yang terdapat
dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’.
Penelitian ini menjadi penting, dikarenakan wacana populisme dalam
kaidah kepemimpinan telah menjadi sebuah tipe wicara yang dilakukan secara
berulang-ulang, di mana dalam istilah Barthes hal ini kemudian disebut dengan
mitos8. Dalam analisis teks representasi politik populis Jokowi yang terdapat di
dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ inilah yang
kemudian akan mampu membongkar ‘the real structure’9 di balik pembentukan
mitos populis dalam kepemimpinan Jokowi.

7
Flash mob berasal dari arti kata bahasa Inggris, yaitu flash yang berarti cepat dan mob yang berarti
kerumunan. Flash mob merupakan gerakan yang dilakukan sekelompok besar orang secara tiba-tiba
yang berkumpul di tempat umum untuk melakukan melakukan hal yang unik (biasanya menari)
dalam beberapa menit, kemudian membubarkan diri begitu saja. Flash mob memberikan efek
terkejut pada orang-orang yang berada di sekitarnya atau bahkan memberikan rasa penasaran kepada
orang-orang yang melihatnya. Flash mob pertama kali dipopulerkan oleh Bill Wasik, seorang editor
majalah Harper di Manhattan, New York.
8
Mitos dalam istilah semiotika Roland Barthes digunakan pengertiannya sebagai sebuah tingkat
pembacaan yang dihasilkan atas hasil analisis level kedua (second order of semiologycal system).
9
Di dalam kajian representasi, khususnya dengan menggunakan perspektif Roland Barthes, maka
akan dilakukan pembongkaran makna tanda bahasa (dalam hal ini yakni tanda bahasa populis)
guna mengetahui praktik ideologis yang bekerja secara manipuatif di dalam sebuah situasi sosial
tertentu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi politik populis calon
presiden Jokowi dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’
dalam kampanye PILPRES 2014?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana representasi politik
populis calon presiden Jokowi direpresentasikan dalam video flash mob YouTube
versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang komunikasi
politik.

1.4.2. Manfaat Praktis


Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan penjelasan bagi
calon pemilih pada PEMILU selanjutnya, bahwa video YouTube flash mob
yang digunakan dalam kampanye politik, tidak hanya sekedar sebagai sarana
kampanye, melainkan terdapat pesan makna tertentu di dalamnya yang
bertujuan untuk menarik perhatian calon pemilih.

1.5. Kerangka Pemikiran


Dalam sub bab ini akan dipaparkan mengenai pemikiran dan teori yang
dikemukakan oleh para ahli, sehingga nantinya diharapkan dapat membantu
peneliti untuk menelaah dan mengkonstruksikan kerangka berpikir terkait dengan
representasi politik populis Jokowi dalam video kampanye flash mob YouTube
versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’, untuk menjelaskan beberapa hal tersebut, maka
beberapa teori dan konsep yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1.5.1. Representasi
Kehadiran suatu bentuk konsumsi sosial yang hadir berdasarkan kehadiran
konten-konten yang terdapat di dalam media, mendatangkan beragam wacana
sosial, yang kemudian menghadirkan beragam pemaknaan atas hadirnya wacana-
wacana tersebut. Proses pemaknaan inilah yang kemudian dikenal dengan
representasi.
Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and
Signifying Practice, menjelaskan bahwa:
“Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and
exchanged between member of a culture. It does involve the use of language, of signs
and image which stand for or represent things. Representation means using language
to say something meaningful about, or to represent, the world meaningfully, to other
people” (Hall, 1997 :15).

Berdasarkan pandangan Hall, maka representasi merupakan bagian penting


dari sebuah proses pemaknaan, di mana pada saat itu makna diproduksi dan
dipertukarkan antara anggota suatu budaya. Hall juga menyatakan bahwa
representasi dianggap sebagai suatu hal yang konstitutif, di mana representasi tidak
akan terbentuk sebelum ada kejadian yang mendahuluinya. Untuk itu dalam
pandangan Hall ada dua komponen dalam representasi, yaitu Mental
Representation and Language. Lebih jauh Hall menjelaskan:
“..Mental Representation- all things which we carry around in our heads. Meaning
depends on the system of concepts and images formed in our thought which can stand
for a represent the world. Language- to represent or exchange meanings and concepts,
we can only do that when we also have access to shared language. Language depends
on constructing a set of correspondences between our conceptual map and a set of
signs, arranged or organized into various language which stand for or represent those
concept”. (Hall, 1997:17-18).

Melalui pandangan Hall mengenai konsep representasi, maka dapat


dipahami bahwa adanya proses pemaknaan pada teks politik populis Jokowi
dilakukan setelah terdapat beberapa kejadian sebelumnya yang mendahuluinya,
yang terkait dengan penggunaan wacana populisme. Seperti kehadiran pemimpin-
pemimpin populisme di beberapa negara lain yang cukup fenomenal dan cukup
menarik perhatian. Selain itu, wacana populisme juga telah digunakan sebelumnya
oleh beberapa petinggi negara di Indonesia, seperti Soekarno, Soesilo Bambang
Yudhoyono, serta Megawati Soekarno Putri, di mana wacana ini dipergunakan
dalam berbagai kepentingan. Selanjutnya, wacana populisme juga telah digunakan
sebelumnya, saat Jokowi dicalonkan menjadi walikota Solo pada tahun 2005.
Selanjutnya, Hall (1997) juga menggambarkan bahwa bahasa melukiskan
relasi encoding dan decoding melalui metafora produksi dan konsumsi. Proses
produksi tersebut meliputi proses gagasan, makna, ideologi dan kode sosial, ilmu
pengetahuan, keterampilan teknis, ideologi profesional, pengetahuan institusional,
definisi dan berbagai asumsi lainnya, seperti moral, kurlural, ekonomis, politis dan
spiritual.
Terdapat tiga pendekatan representasi, menurut Stuart Hall (1997), yaitu :
1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui
ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat
secara nyata.
2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun
tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karya. Bahasa
adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan
makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus.
3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan peneliti, memilih dan
menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang
dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni
dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang
meletakkan makna.
Sementara itu, di dalam semiotika, teks dan praktik yang ada dalam
representasi pada akhirnya bertujuan untuk menghadirkan makna ideologis tertentu
sehingga masyarakat akan menerima beroperasinya suatu wacana yang kemudian
dikenal dengan mitos10. Penerimaan wacana tersebut, tentunya berawal dari suatu
proses, oleh karenanya dibutuhkan suatu pemahaman yang jelas tentang bagaimana
pembentukan ideologi dapat memengaruhi masyarakat.
Dalam mencapai pemahaman mengenai representasi, maka peneliti
berkesimpulan bahwa penjelasan Hall mengenai pendekatan representasi dan
sistem representasi, sejalan dengan konsep semiotika Roland Barthes, yakni di

10
Dalam analisis semiotika Roland Barthes, mitos merupakan sistem komunikasi, mitos juga
merupakan sebuah pesan. Sebauh mitos merupakan tipe wicara yang memiliki landasan historis.
(Barthes, 1983: 151-153)
dalam representasi terdapat struktur wacana ideologis tertentu yang mewujud
dalam penandaan melalui bahasa. Dalam semiotika Roland Barthes, struktur
wacana ideologis tersebut dibentuk berdasarkan signifier (penanda) dan signified
(petanda).
Berdasarkan hal ini, maka teks politik populis yang terdapat di dalam video
flash mob Youtube versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’ akan dianalisis dengan cara
memilah penanda dan petanda yang berkaitan dengan teks populisme, yaitu dengan
cara memperhatikan serap hal, baik yang berhubungan dengan konten, teks, pesan
yang bermuatan politik populis yang terdapat di dalam video flash mob tersebut,
sehingga dapat ditemukan bagaimana mitos dan wacana politik populis Jokowi
terbentuk.
Selanjutnya, dalam pandangan pos-Marxisme (Althusser), ideologi
merupakan suatu hal yang bukan bersifat rigit, melainkan sesuatu yang membentuk
‘ketidaksadaran mendalam’ (profoundly unconsciousness) yang ditentukan oleh
struktur sosial. Ideologi hadir dalam setiap individu yang seringkali tidak disadari
dan tentunya dapat berubah sesuai struktur sosial yang berlaku (sistem politik,
sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem media dan sebagainya). Salah satu
contoh struktur sosial adalah media, di mana media mampu menanamkan ideologi
di dalam setiap individu melalui suatu bentuk profoundly consciousness, dengan
cara yang perlahan melalui setiap hal yang ditampilkannya. Barthes sendiri
menyatakan bahwa hadirnya ideologi di dalam kehidupan masyarakat, berawal dari
pembentukan mitos, di mana mitos merupakan sebuah tipe wicara dan merupakan
sistem semiologis tingkat kedua.
Sementara itu, dalam pandangan Barthes, untuk melihat representasi
dilakukan melalui dua cara signifikasi (penandaan), yaitu melalui tingkat
bahasa/denotatif yang kemudian disebut langue dan tingkat mitos/konotatif (myth).
Pembentukan representasi erat kaitannya dengan kebudayaan tempat di mana
proses representasi tersebut terbentuk. Hal inilah kemudian yang menjadi penyebab
timbulnya beberapa bentuk representasi dalam pemaknaan suatu gejala sosial yang
timbul di dalam masyarakat.
Oleh karenanya, dalam memaknai representasi politik populis, khususnya
yang terdapat pada media baru (internet) tentu saja lebih kompleks, mengingat
penggunaan media baru dapat mendatangkan beragam wacana di dalamnya. Piliang
(2010 : 384), menyatakan pendapatnya mengenai semiotika di dalam cyberspace
Di dalam cyberspace penggunaan model semiotika dikembangkan secara tak
konvensional, dalam pengertian ia digunakan secara lebih kreatif, produktif, subsersif,
transformatif, bahkan terkadang anarkis. Tanda-tanda yang diproduksi di dalam
cyberspace, meminjamkan konsep Richard Harland, cenderung mensubversi sistem apa
pun yang mapan dan stabil (bahasa, sosial, kultural) yang biasanya dikontrol secara
sosial berdasarkan konsensus bersama.
Pemaknaan tanda di dalam cyberspace tentu saja dapat menjadi beragam,
karena merujuk pada berbagai wacana. Sejalan dengan pendapat Piliang (2012 :
380) bahwa dalam cyberspace tanda-tanda digunakan untuk berbagai kepentingan,
seperti menyesatkan, memanipulasi, mereduksi, melencengkan dan menipu, hal ini
terjadi karena adanya kemudahan teknologi informasi. Berdasarkan pendapat
Piliang, maka kampanye melalui YouTube dengan menggunakan flash mob
tentunya menggunakan representasi tanda yang juga memiliki banyak kepentingan
di dalamnya, bahkan dapat bermakna anarkis atau manipulatif.
Representasi sendiri oleh Fiske didefinisikan sebagai proses yang
dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau
kombinasinya (Fiske, 2012 : 282). Konsep representasi dapat berubah-ubah, selalu
ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang pernah
ada. Ini dipengaruhi oleh makna itu sendiri yang tidak pernah tetap, ia selalu berada
dalam proses negosiasi yang disesuaikan dengan keadaan baru.

1.5.1.1. Video YouTube : Media Representasi


Rogers (1986), menyatakan bahwa perkembangan komunikasi dalam
kehidupan masyarakat mengalami empat masa, yakni era tulis, era media cetak, era
media telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif. Berdasarkan pendapat
Rogers, maka era media komunikasi interaktif merupakan cikal bakal hadirnya
media komputer, videotext, teleconferencing, dan sebagainya.
Era media komunikasi interaktif kemudian dikenal dengan new media.
Dalam komunikasi politik, perkembangan new media memberikan peningkatan
umum pada level politik nasional dalam mengubah jalan bagi aktor politik dan isu-
isu politik untuk direpresentasikan pada media masa. Dalam hal ini, para aktor
politik menggunakan new media untuk memperoleh dukungan yang potensial dari
masyarakat. Hal inilah kemudian yang menjadikan hadirnya wacana publik dalam
mengamati proses politik. (Moog dan Beltrao, 2001:30).
Salah satu karakter dari apa yang disebut sebagai media lama atau baru yaitu
term broadcast yang mewakili media lama, sementara interactivity mewakili media
baru. Dikotomi media dalam perspektif historis yang menjadi era media pertama
(first media age) dengan pola broadcast dan era media kedua (second media age)
dengan pola interactivity, sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini (Holmes,
2005:10).
Tabel 1.1 Dikotomi Media dalam Perspektif Historis
First media age (broadcast) Second media age (interactivity)
Centred (few speak to many) Decentred (many speak to many)
One-way communication Two-way communication
Predisposed to state control Evades states control
An instruments of regimes of Democratizing: facilitates universal
stratifications and inequality citizenship
Participants are fragmented and Participants are seen to retain their
constituted as a mass individuality
Influences consciousness Influences individual experience of
space and time

Konvergensi merupakan suatu wujud dari pengolahan data dalam teknologi


media yang menjadikannya memiliki satu tampilan dalam berbagai bentuk data.
Hal ini kemudian dikenal dengan kemampuan digitalisasi, dimana seluruh bentukan
data seperti gambar, suara, grafik, video bergerak dikonversikan menjadi data
digital yang mampu diakses dari perangkat komputer (Pavlik, 1996 : 132).
Salah satu contoh konvergensi media adalah YouTube, di mana media ini
diprakarsai oleh tiga orang mantan pegawai perusahaan Paypal yaitu Chad Hurley,
Steve Chen, dan Jawed Karim. Hurley merupakan alumnus design di University
Indiana Pennsylvania, sedangkan Chen dan Karim alumnus ilmu komputer di
University Illinois Urbana-Champaign. Nama domain ‘YouTube.com’ sendiri
diaktifkan pada 15 Februari 2005, dan pada bulan-bulan berikutnya YouTube mulai
dibangun. Mereka mempublikasikan preview dari website tersebut pada Mei 2005,
atau 6 bulan sebelum launching secara resmi. Pada tahun 2006, YouTube diakuisisi
oleh Google, berdasarkan hal ini menjadikan Youtube kian menjadi populer sebagai
salah sau media sosial yang digemari.11
Setelah berdiri, YouTube mendapatkan suntikan modal pertama dari
investor bernama Sequoia Capital sebesar $ 11,5 juta di bulan November 2005 –
April 2006. Dengan tambahan modal yang besar, YouTube berkembang dengan
cepat. Juli 2006, ada lebih dari 65.000 video baru yang di upload setiap hari di
YouTube, dan terdapat 100 juta video yang dilihat perharinya.12
Tampilan YouTube sangat praktis, mudah untuk melakukan interaksi
dengan sesama pengguna, seperti upload, publish, serta melihat streaming video.
Dengan format berkas (file) FLV (Flash Video) yang efisien, sebagai standar
pengodean film yang diupload oleh para user, menjadikan YouTube mudah diakses
secara instan di manapun oleh para pengguna internet. Dengan teknologi yang
memungkinkan, YouTube menjadi inspirator bagi masyarakat dalam menonton
video melalui web dengan fitur jaringan sosial Web-2.0, seperti komentar, grup,
halaman beranda untuk anggota, langganan dan beberapa ide lainnya yang berbasis
komunitas.
Di Indonesia, keberadaan YouTube juga digunakan sebagai salah satu media
yang digunakan untuk berbagai kepentingan, salah satunya adalah untuk
menyampaikan suatu informasi kepada khalayak ramai. Tidak hanya itu, dalam
ranah kampanye politik, YouTube juga digunakan sebagai salah satu media untuk
menyampaikan pesan kampanye. Hal inilah yang digunakan tim kampanye Jokowi-
JK dalam PILPRES 2014 lalu. Dengan menggunakan flash mob yang diupload
melalui YouTube, penanaman ideologi mengenai Jokowi sebagai pemimpin
populis, secara tidak langsung telah berhasil memengaruhi masyarakat.
Media massa, baik berupa media konvensional maupun media baru,
merupakan sarana representasi yang dapat digunakan untuk menanamkan ideologi
pada masyarakat. Berbicara mengenai penanaman ideologi yang dilakukan oleh
media, erat kaitannya dengan pendapat Althusser (1984) yang menyatakan bahwa

11
https://idws.id/portal/berita/sejarah-dan-budaya/769/Sejarah-Asal-Mula-Berdirinya-Youtube-di-
Dunia-Maya, diakses pada tanggal 5 Juni 2016
12
http://usatoday30.usatoday.com/tech/news/2006-07-16-youtube-views_x.htm akses pada 9
Oktober 2015
media merupakan salah satu bentuk ISA (Ideological State Apparatus). Media
bekerja secara persuasif, perlahan-lahan, namun secara pasti memengaruhi
masyarakat. Tindakan media sebagai ISA dilakukan dengan cara memanipulasi
kesadaran masyarakat yang dilakukan secara komunikatif.
Ideologi hadir sebagai salah satu proses pemaknaan akan tanda
(representasi). Penggunaan YouTube sebagai salah satu sarana yang digunakan
untuk menyampaikan pesan kampanye, merupakan salah satu unsur dari proses
terbentuknya ideologi dalam masyarakat. Beragam teks dan konteks yang
dihadirkan dalam video kampanye flash mob YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah
Kita’, didasari pada maksud pembentukan representasi Jokowi sebagai salah satu
sosok populis, di mana tujuan akhirnya yaitu untuk meraih perhatian masyarakat
dalam PILPRES 2014 untuk mendukung Jokowi sebagai presiden di periode yang
akan datang.

1.5.2. Politik Populis


Dalam memaknai politik populis, maka sebelumnya harus dipahami
terlebih dahulu mengenai apa itu populisme. Hal ini dikarenakan terminologi
populis, hadir berdasarkan ideologi populisme. Di dalam kamus Cambridge,
populisme diartikan sebagai “political ideas and activities that are intended to
represent ordinary people’s needs and wishes” 13. Berdasarkan pengertian ini yang
dimaksud dengan ordinary people adalah masyarakat golongan menengah ke bawah
yang tidak terlibat dalam pembentukan kebijakan di suatu negara. Golongan masyarakat
inilah yang kemudian menjadi prioritas para pemimpin populis dalam mengambil
kebijakan, di mana salah satu misi dari pemimpin populis adalah menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat golongan menengah ke bawah, khususnya rakyat kecil.
Sementara itu, berdasarkan penelitian Alan Knight (seorang pakar tentang
populisme Amerika Latin) yang berjudul Populism and Neopopulism in Latin
America especially in Mexico, populisme dipahami sebagai sebuah gaya politik
yang diadopsi oleh pemimpin untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Knight menegaskan bahwa krisis bukanlah pemicu utama kemunculan populisme
di benua Amerika Latin tetapi justru popuslisme-lah yang terkadang menghasilkan

13
“. Lihat di http://dictionary.cambridge.org/define.asp?dict=CALD7key=61566, diakses pada
tanggal 11 Oktober 2015.
krisis di benua Amerika Latin, baik itu krisis ekonomi maupun krisis politik
(Knight, 1988 : 226). Kebijakan populisme yang cenderung memberikan
kemudahan bagi masyarakat kelas bawah (salah satunya melalui pemberian subsidi)
menjadi salah satu pemicu adanya krisis di bidang ekonomi.
Sementara itu, peneliti memiliki pendapat berbeda, hal ini dikarenakan
populisme bukanlah merupakan suatu hal yang dapat dimunculkan kapan saja,
melainkan terdapat suatu hal yang melatarbelakanginya, salah satunya adalah
hadirnya kejenuhan masyarakat akan kinerja pemerintah sebelumnya yang
cenderung korup sehingga menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat akan
kinerja pemerintah.
Kenneth M. Roberts merupakan salah satu peneliti yang mengaitkan
kemunculan populisme dengan krisis. Roberts mengungkapkan bahwa pemimpin
populis di Amerika Latin muncul karena negara mengalami krisis kelembagaan dan
krisis ekonomi. Dalam kondisi di mana lembaga perwakilan rapuh, lemah dan tidak
efektif dalam merespon tuntutan rakyat, negara akan rentan terhadap munculnya
gerakan-gerakan sosial dan politik baru. Kondisi-kondisi inilah yang mendorong
bangkitnya populisme baik pada era klasik maupun pada era belakangan ini.
(M.Roberts, 2006 : 5).
Lebih jauh, Roberts menyatakan terdapat lima ciri populisme, yang sangat
berkaitan dengan terminologi kepemimpinan. Pertama, suatu bentuk
kepemimpinan politik yang bersifat personalistik dan paternalistik, tidak
memerlukan kharismatik. Kedua, suatu bentuk keberagaman, koalisi politik
multiclass yang terkonsentrasi dalam sektor subaltern dalam masyarakat. Ketiga,
proses top down mobilisasi politik yang terinstitusi dan termediasi secara langsung
antara pemimpin dan masyarakat Keempat, suatu bentuk amorphous atau ideologi
eklektik, yang dikarakteristikkan oleh wacana meninggikan sektor subaltern atau
antielit dan atau anti kekuasaan yang ada. Kelima, merupakan proyek ekonomi yang
memanfaatkan redistribusi luas atau metode klientelistik untuk menciptakan suatu
kepopuleran (M.Roberts, 2006 : 88).
Sementara M.Roberts mendefinisikan populisme dalam lima karakteristik
utama, maka Mizuno dan Phongpaichit (2009) mendefinisikan populisme sebagai
Wisdom lies among the ordinary people. This wisdom, that is common sense, is
necessary and sufficient to make political decisions. The people acquire this wisdom
through productive works, not by reading books or through speculation. This notion is
anti-intellectual, and denies technocratic knowledge in politics. It supports direct
democracy, that is, politics by the people themselves. (Mizuno and Phongpaichit, 2009
: 3)
Berdasarkan pendapat Mizuno dan Phongpaichit, maka politik populis dapat
diartikan sebagai gaya politik yang hadir dari kalangan masyarakat biasa atau
dikenal dengan masyarakat sipil. Pada intinya, dalam paham populisme seolah
menolak pernyataan bahwa politik hanya dapat dijalankan oleh kalangan teknokrat.
Pembentukan kebijakan populisme lebih mengutamakan masyarakat kecil. Selain
itu, bentuk pencitraan yang dilakukan oleh kalangan populis seolah menentang
kebijakan pemerintahan sebelumnya, yang dirasa membuat kebijakan yang
cenderung memihak pada kalangan elit dan kurang memperhatikan kalangan
bawah. Oleh karenanya, populisme, seringkali direpresentasikan dalam suatu
bentuk pencitraan politik yang sangat dekat dengan kepentingan rakyat kecil.
Sementara itu, terkait pola kepemimpinan populis Jokowi, Sudarsono
(2012) menyatakan pendapatnya mengenai kepemimpinan Jokowi yang dinilai
humanis-populis. Dengan menggunakan model politik-humanis, Jokowi
menjadikan hubungan antara pemerintah dan masyarakat tak lagi berjarak, hal ini
ditunjang dengan sikap Jokowi yang sederhana, low profile, apa adanya dan selalu
mengumbar senyum serta merangkul ketika menyapa rakyat (Sudarsono, 2012: 84).
Melalui penjabaran mengenai politik populis, maka video Youtube flash
mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ memuat konten, teks, serta pesan yang
merepresentasikan politik populis. Hal ini nampak dari beberapa scene yang
terdapat di dalam video tersebut, salah satunya seperti pesan yang tertera dalam
saah satu scene ‘Jokowi Tegas Merakyat, Relawan Perjuangan Demokrasi’, di
mana tulisan ‘Jokowi Tegas Merakyat, Relawan Perjuangan Demokrasi’ tertera
pada spanduk yang dibawa oleh salah satu penari di dalam flash mob. Oleh
karenanya dengan hadirnya pesan, konten serta teks yang bermuatan politik
populis, akan dapat ditemukan bagaimana politik populis Jokowi direpresentasikan,
sehingga dapat ditemukan wacana ideologis dari penggunaan teks politik populis
dalam kepemimpinan Jokowi.
1.6. Kerangka Konsep
Video kampanye flash mob YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’
merupakan sebuah medium yang mengkonstruksi suatu gaya kepemimpinan
populis Jokowi dalam kampanye PILPRES 2014. Untuk mengetahui bagaimana
cara politik populis Jokowi direpresentasikan di dalam video kampanye flash mob
tersebut, maka di dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori semiotika Roland
Barthes dan teori yang berhubungan dengan politik populis. Berdasarkan
penjabaran mengenai kerangka konsep penelitian, maka disusunlah bagan
penelitian yang akan menjadi acuan di dalam penelitian sebagai berikut:

Video Youtube Flash Permasalahan


mob Penelitian
(Penggambaran
Politik Populis
Empiris/ Realitas) Jokowi dalam
Video Youtube Flash Kampanye
Mob versi ‘Jokowi- PILPRES 2014
JK adalah Kita’

Semiotika Roland Barthes

1. Representasi
- Video Youtube : Media
Representasi
2. Politik Populis

3. Representasi Politik Populis


Jokowi dalam video Youtube
Flash mob versi ‘Jokowi-Jk
adalah Kita’ Tahun 2014

Gambar 1.1. Bagan Kerangka konsep

Berdasarkan kerangka konsep tersebut, maka penelitian ini didasari pada


penggambaran empiris/realitas yang dihadirkan di dalam video Youtube flash mob,
khususnya video flash mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ yang hadir pada
kampanye pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 lalu. Dalam hal ini, maka
timbullah suatu permasalahan yang didasari pada dihadirkannya wacana
kepemimpinan populis Jokowi di dalam video tersebut. Oleh karenanya,
dibutuhkan pengkajian makna teks untuk membongkar makna ideologis di balik
penggunaan wacana politik populis ini.
Untuk membongkar makna ideologis tersebut, di dalam penelitian ini
didasari pada konsep representasi, di mana konsep representasi merupakan suatu
konsep yang digunakan untuk mengetahui mengenai tujuan penggunaan wacana
populis dalam video flash mob tersebut. Mengutip pendapat Piliang (2012)
mengenai pemaknaan tanda yang terkait dengan konsep representasi, maka tanda-
tanda yang digunakan dalam suatu media (dalam hal ini tanda bahasa politik
populis), memiliki berbagai kepentingan, seperti menyesatkan, memanipulasi,
mereduksi, melenceng dan menipu. Oleh karenanya, dibutuhkan pembongkaran
makna atas penggunaan wacana politik populis, sehingga jelas terpapar mengenai
maksud dan tujuan serta konsep historis di balik pembentukan wacana tersebut.
Konsep representasi yang akan diteliti, dianalisis dengan menggunakan
metode penelitian semiotika yang berdasar pada teori Roland Barthes. Adapun
pemilihan metode analisis semiotika Roland Barthes di dalam penelitian ini
dikarenakan Barthes menggunakan dua tingkat sistem pemaknaan dalam memaknai
tanda, yaitu pada tataran pertama mengungkap makna denotatif berdasarkan
pemaknaan akan penanda dan petanda, serta pemaknaan pada tataran kedua, yaitu
mengungkap makna konotasi yang juga didasarkan pada penanda dan petanda. Di
dalam analisis tataran kedua inilah terdapat pembongkaran makna mitos, yang
kemudian dapat digunakan untuk menganalisis makna di balik peggunaan makna
ideologis populis.
Dalam menganalisis mengenai representasi politik populis, maka akan
digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan politik populis, salah satunya yaitu
teori populisme yang dijabarkan oleh M. Roberts, di mana M. Roberts mengaitkan
kehadiran populisme dengan terminologi kepemimpinan. Selain itu, juga akan
digunakan teori-teori lainnya yang berkaitan dengan politik populis agar
pembongkaran makna ideologis di balik penggunaan teks politik populis dalam
kepemimpinan Jokowi dapat dianalisis dengan jelas.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam pandangan M. Roberts, terdapat
lima ciri populisme yang dijabarkan yaitu yang pertama, suatu bentuk
kepemimpinan politik yang bersifat personalistik dan paternalistik, tidak
memerlukan kharismatik. Kedua, suatu bentuk keberagaman, koalisi politik
multiclass yang terkonsentrasi dalam sektor subaltern dalam masyarakat. Ketiga,
proses top down mobilisasi politik yang terinstitusi dan termediasi secara langsung
antara pemimpin dan masyarakat Keempat, suatu bentuk amorphous atau ideologi
eklektik, yang dikarakteristikkan oleh wacana meninggikan sektor subaltern atau
antielit dan atau anti kekuasaan yang ada. Kelima, merupakan proyek ekonomi yang
memanfaatkan redistribusi luas atau metode klientelistik untuk menciptakan suatu
kepopuleran (M.Roberts, 2006 : 88).
Berdasarkan penjabaran mengenai kerangka konsep, maka akan ditemukan
bagaimana representasi politik populis Jokowi direpresentasikan di dalam video
Youtube flash mob versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’. Hal ini tentunya dilakukan untuk
mengetahui bagaimana representasi kepopulisan Jokowi terbentuk di dalam video
Youtube flash mob tersebut.

1.7. Metodologi Penelitian


Pada sub bab ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian, sifat
penelitian, objek penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

1.7.1. Metode Penelitian


Pada bagian ini, peneliti akan menjelaskan secara ringkas mengenai
bagaimana paradigma penelitian yang digunakan sebagai sudut pandang dalam
berpikir dan meneliti. Selain itu, peneliti juga akan menjelaskan secara ringkas
mengenai metode dan tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan peneliti dalam
proses penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti meggunakan metode penelitian
kualitatif, kemudian dalam menganalisis data, peneliti akan menggunakan konsep
representasi untuk menemukan tujuan penelitian. Tahap terakhir yaitu, peneliti akan
melakukan tahap penelitian, di mana peneliti akan menjelaskan hasil analisis data
melalui bagan analisis tahap satu dan dua sesuai teknis analisis semiotika Roland
Barthes.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Roland Barthes, bukanlah satu-satunya
tokoh di dalam semiotika. Roland Barthes merupakan murid dari Ferdinand De
Saussure, di mana Saussure menjelaskan bahwa tanda merupakan objek fisik dari
sebuah makna, atau secara lebih terperinci, tanda terdiri atas penanda dan petanda.
Penanda adalah citra tanda, sementara itu petanda adalah konsep mental yang
diajukan penanda (Fiske, 2007:65). Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah
sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier
(penanda) dan signified (petanda).
Sementara itu, tokoh lain adalah Charles Sanders Peirce, tokoh semiotika
yang berasal dari Amerika Serikat, yang menjelaskan semiotika dengan model
triadic, yakni, representamen (sign), interpretant (makna dari tanda) serta object
(sesuatu yang merujuk pada tanda), yakni representasi mental (yang ada dalam
pikiran), dan sesuatu yang ada di luar tanda. Sedangkan Umberto Eco menjelaskan
bahwa di dalam semiotika terdapat sistem penandaan yang tak terbatas, hal ini sama
dengan pengertian interpretant yang disampaikan Peirce.
Ahli semiotika lainnya adalah John Fiske, yang menjelaskan semiotika
melalui tiga level, yakni level reality, level representation, serta level ideology.
Fiske menjelaskan terdapat tiga hal utama yang harus ada di dalam semiotika, yaitu
tanda itu sendiri, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda, serta kebudayaan
tempat kode dan tanda bekerja (Fiske, 2006:60)
Di dalam penelitian ini, dipilih metode analisis semiotika Roland Barthes,
dikarenakan Barthes adalah satu-satunya tokoh semiotika yang menggunakan
sistem mitos dalam proses analisis data, sehingga dapat terlihat the real structure
dari pembentukan mitos Jokowi sebagai tokoh populis dalam video YouTube flash
mob versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’.
Berbicara mengenai mitos, maka Roland Barthes mencirikan mitos dalam
beberapa ciri, yaitu :
a. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form
(signifier), concept (signified). Selain itu juga ditambahkan signification
yang merupakan hasil dari kedua unsur sebelumnya (signifier dan signified
tahap 2). Signification inilah yang kemudian menjadi mitos yang
mendistorsi makna sehingga tidak mengacu pada realita yang sebenarnya.
Dalam mitos, form dan concept harus dinyatakan.
b. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan
secara intensional. Mitos berakar dari sistem historis, sehingga jelas
pemaknaan mitos berdasarkan fakta yang terjadi sebelumnya dalam
pembentukan mitos. Dalam menemukan mitos, pembacalah yang harus
menemukan mitos tersebut.
c. Motivasi. Di dalam mitos selalu terdapat motivasi dan ideologi. Penafsir
dapat menyeleksi motivasi yang terdapat dalam teks. Mitos selalu
berhubungan dengan analogi konsep dan bentuk. Analogi yang dimaksud
bukan bersifat alami, melainkan bersifat historis (Barthes, 1983, 174-184).
Melalui ciri mitos yang dijelaskan oleh Roland Bathes, maka mitos amat berkaitan
dengan keadaan historis di balik pembentukan suatu wacana. Mitos tidak ditentukan
oleh objek pesan yang terkandung di dalamnya, melainkan lebih kepada cara pesan
tersebut disampaikan (Barthes, 1983: 152).
Keseluruhan hal di dalam dunia dapat menjadi mitos, karena tentunya
apapun itu jika diujarkan berulang-ulang dapat menjadi suatu wicara yang
kemudian berujung wacana. Contohnya saja, dalam berbagai bidang terdapat mitos-
mitosnya sendiri, tidak terkecuali dalam bidang jurnalistik, ekonomi, maupun
politik. Dalam dunia jurnalistik misalnya, dikenal beberapa hal yang kemudian
dijadikan mitos oleh Barthes, seperti dalam tulisannya yang berjudul Camera
Lucida, Barthes bercerita tentang bagaimana fotografi dapat menjadi sebuah bentuk
mitos melalui tahapan konotatif (Sunardi, 2002: 187).
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah analisis semiotika Roland
Barthes. Analisis semiotika Roland Barthes merupakan metode yang dinilai tepat
digunakan dalam penelitian ini, karena di dalam analisis semiotika dapat dianalisis
mengenai makna dari media itu sendiri. Hakikatnya, kampanye politik melalui
media massa (new media) merupakan suatu bentuk komunikasi, di mana di
dalamnya terdapat proses pertukaran pesan. Oleh karenanya, dalam penelitian ini
berusaha mengungkap makna yang terkandung dalam video YouTube flash mob
versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’, karena di dalamnya terdapat pesan-pesan yang tidak
dapat dimaknai secara sederhana.
Penggunaan analisis semiotika Roland Barthes dalam penelitian ini, untuk
meneliti bagaimana representasi politik populis Jokowi digambarkan dalam video
Flash Mob YouTube versi ‘Jokowi JK adalah Kita’. Dengan menggunakan mitos,
maka akan terlihat makna-makna pesan kiasan yang terdapat di dalam setiap
tayangan video tersebut. Sementara itu, dengan menggunakan analisis semiotika,
dapat dianalisis mengenai kepopulisan Jokowi yang direpresentasikan dalam video
kampanye Pilpres flash mob YouTube versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’.

Berikut merupakan skema rumusan signifikasi dari mitos Roland Barthes.

1. Signifier 2. Signified
(penanda) (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)


Gambar 1.2. Peta kinerja tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif juga
merupakan penanda konotatif (4). Dari peta tersebut, signifier (penanda) dalam
penelitian ini adalah video kampanye flash mob YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah
Kita’ dan signified (petanda) dalam penelitian ini adalah representasi politik populis
Jokowi.
Berdasarkan metode analisis semiotika yang dikembangkan Saussure,
Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem
denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama,
yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialistis penanda
atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi atau sistem penandaan
tingkat kedua, rantai penanda/ petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan
seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.
Secara terperinci, Barthes dalam bukunya yang berjudul Mythologies menjelaskan
bahwa dalam bahasa sehari-hari penanda dianggap mengungkapkan petanda (to
express).
Sistem signifikasi tanda dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang
disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua
yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat
pembagian antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat
perluasan atas signifikasi tanda pada sistem denotatif. Sementara itu, di dalam
sistem metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna pada sistem denotatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa
merupakan perluasan dari sistem denotatif.
Konotasi yang berkembang dengan baik dapat menjadi mitos, yaitu makna
tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh masyarakat. Mitos dapat
berkembang menjadi suatu ideologi, di mana ideologi hadir dan memengaruhi
kondisi masyarakat, melalui alam bawah sadar. Menurut Barthes, pada tingkat
denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat
eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan
berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi,
bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bermuatan makna-makna
tersembunyi. Makna tersembunyi ini, yang menurut Barthes merupakan kawasan
dari ideologi atau mitologi.

1.7.2. Pendekatan Penelitian


Penelitian ini merupakan sebuah penelitian dengan pendekatan kualitatif
yang menggunakan paradigma kritis, di mana sangat menaruh perhatian pada
pembongkaran aspek-aspek yang tersembunyi di balik sebuah kenyataan yang
tampak, sehingga dapat mengkritisi suatu keadaan dari suatu fenomena sosial.
Berdasarkan cara berpikir kritis, penelitian ini akan berusaha mengungkap “the real
structures” di balik realitas permukaan yang ditampilkan dalam video flash mob
YouTube kampanye ‘Jokowi-JK adalah Kita’ dan berupaya melihat realitas yang
ada di balik kenyataan yang tampak.
1.7.3. Objek Penelitian
Penelitian ini menggunakan video kampanye flash mob YouTube versi
‘Jokowi-JK adalah Kita’ sebagai objek penelitian. Di mana terdapat enam scene
yang akan menjadi objek analisis di dalam penelitian ini. Pemilihan enam scene ini
didasari pada ciri visual, baik verbal maupun nonverbal yang terdapat di dalam
scene tersebut yang mewakili ciri populisme. Kehadiran wacana politik populis di
dalam video ini tentunya menarik untuk dikaji, mengingat wacana politik populis
juga telah digunakan sebelumnya oleh beberapa pemimpin di beberapa negara,14
dan terbukti berhasil meraih dukungan masyarakat, terkhusus saat kampanye
politik berlangsung. Adapun tujuan dari penggunaan enam scene sebagai objek
penelitian di dalam penelitian ini adalah sebagai alat untuk membongkar makna
ideologis di balik penggunaan wacana politik populis.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data


Ada empat tipe dalam semiotika sebagai pendekatan kritis. Pertama,
pendekatan yang berorientasi kepada addresser (pengirim pesan) yakni
“pengarang” (author-oriented critism). Kedua, pendekatan yang berorientasi pada
addresse (pihak penerima pesan), yakni "pembaca"(reader-oriented critism).
Ketiga, pendekatan yang berorientasi pada konteks (context-oriented critism).
Keempat, pendekatan yang berorientasi pada pesan dan kode, atau pendekatan yang
berorientasi pada teks (text-oriented critism). (Budiman, 2004 : 6-7).
Di dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus pada pendekatan yang
berorientasi pada konteks dan teks. Konteks, di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sehingga
dalam pendekatan ini, peneliti akan memilah setiap bagian dalam video flash mob
YouTube versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ yang berhubungan dengan konteks politik
populis Jokowi. Dalam menelaah konteks, akan digunakan intertekstualitas untuk
menghubungkan beberapa kejadian atau hal yang berhubungan dengan representasi
politik populis Jokowi. Sementara itu, dalam pendekatan yang berorientasi pada
teks, peneliti akan memilah setiap teks yang menyangkut pesan atau kode di dalam

14
Baca halaman 1-6.
video tersebut, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal akan menjadi objek
penelitian, khususnya yang menyangkut politik populis Jokowi.
Berikut merupakan bagan alur teknik pengumpulan data di dalam penelitian :

Objek Penelitian
Video flash mob YouTube Kampanye
PILPRES 2014 versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’

Metode
Penelitian
Analisis Semiotika
Roland Barthes

Representasi Politik Populis Representasi Politik


Jokowi dalam video flash mob : Populis Jokowi dalam
(Teks) video flash mob :

1.Verbal: (Konteks)
lirik lagu, backsound flash mob.
2. Nonverbal : Beberapa hal yang berada
Gerakan tubuh setiap peserta di luar teks yang
flash mob, gesture tubuh penari berhubungan dengan
flash mob, atribut yang representasi politik populis
digunakan dalam flash mob. Jokowi

Gambar 1.3. Gambar Alur Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan alur teknik pengumpulan data tersebut, dapat dijelaskan bahwa


di dalam penelitian ini akan digunakan metode analisis semiotika Roland Barthes,
di mana di dalam teknik pengumpulan data akan dikumpulkan data-data
berdasarkan teks dan konteks yang berhubungan dengan representasi politik populis
Jokowi yang terdapat di dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-JK adalah
Kita’. Adapun teks yang akan dianalisis adalah teks verbal dan nonverbal yang
terdapat di dalam video, di mana teks verbal meliputi lirik lagu dan backsound flash
mob, sementara teks nonverbal meliputi gerakan tubuh tiap peserta flash mob,
gesture tubuh penari flash mob, serta atribut yang digunakan dalam flash mob.
Sementara itu dalam kaitannya dengan konteks, yang akan dianalisis adalah
beberapa hal yang berada di luar teks yang berhubungan dengan representasi politik
populis Jokowi. Dari proses pengumpulan data inilah kemudian yang akan berlanjut
pada proses analisis data.

1.7.5. Teknik Analisis Data


Menurut Barthes, dalam usaha mendapatkan makna dari suatu teks, di mana
di dalam penelitian ini berupa video flash mob YouTube versi ‘Jokowi-Jk adalah
Kita’ terdiri dari dua tahap yang harus dilalui, yang pertama adalah tahap
menghasilkan makna literal atau denotasi, dan tahap kedua adalah tahap untuk
menghasilkan makna laten atau konotasi.
Merujuk pada pendapat Rose (2001 : 91), mengenai tahap analisis dalam
penelitian semiotika, berupa penentuan hubungan antara penanda, petanda, mitos
dan ideologi, maka tahap analisis dalam penelitian ini adalah :
1) Menentukan unit analisis pada video YouTube ‘Jokowi-JK adalah Kita’
secara cermat, peneliti akan melakukan identifikasi semua unsur atau
komponen unit makna dalam artikel yang mewakili tentang konsep
politik populis Jokowi.
2) Mengidentifikasi denotasi pada konteks verbal maupun non verbal.
Unit analisis yang telah ditentukan pada tahap awal kemudian akan
diidentifikasi berdasarkan tanda. Hal pertama yang akan diidentifikasi
adalah denotasi dan konotasi teks verbal maupun nonverbal.
3) Mengidentifikasi konotasi pada teks dan konteks video
Setelah menganalisis teks dan konteks verbal maupun nonverbal dalam
video flash mob ‘Jokowi-JK adalah Kita’, peneliti akan menganalisis
makna konotasi yang terdapat di dalam video tersebut dengan
menggunakan prosedur konotasi Barthes.
4) Proses analisis pembongkaran makna yang berujung pada makna
ideologis, di mana di dalam hal ini dilalui melalui analisis tiga lapisan
makna. Hal ini dikarenakan menurut Barthes pembongkaran makna
dalam scene (adegan) video memerlukan proses pembongkaran makna
melalui tahap tiga lapisan makna. Adapun tiga tahapan lapisan makna
tersebut adalah:
- Lapisan informasional, segala sesuatu yang dapat diserap dari latar
(setting), kostum, tata letak, karakter kontak, atau relasi yang terjadi
di antara pelaku serta gerak laku tokoh yang dapat langsung dilihat.
Tahap ini dikenal dengan semiotika tahap pertama (pembongkaran
makna pada tataran denotasi)
- Lapisan simbolis. Di dalam lapisan simbolis terkandung makna
historis, di mana dalam lapisan ini terdapat analisis tataran kedua di
dalam semiotika yang sarat dengan pertandaan dan makna.
- Lapisan makna ketiga. Dalam proses ini diciptakan makna tanpa
batas, pelepasan rangsangan-rangsangan dalam diri manusia melalui
ungkapan bahasa. Dalam hal ini juga dapat dihubungkan dengan
istilah intertekstualitas15, di mana dalam pencarian makna,
dihubungkan antara teks yang satu dengan teks yang lain yang saling
berhubungan dan tak berbatas. Hal inilah kemudian yang akan
menghasilkan mitos dan berujung pada ideologi dalam istilah
Barthes.
5) Menarik Kesimpulan
Setelah melakukan tahapan penelitian yang paling pokok, tahap terakhir
adalah penarikan kesimpulan, di mana dalam hal ini kesimpulan yang
dicapai harus mampu menjawab pertanyaan di dalam rumusan masalah,
yaitu “Bagaimana representasi politik populis calon presiden Jokowi
dalam video flash mob YouTube versi‘Jokowi-Jk adalah Kita’?
1.7.6. Batasan Penelitian
Analisis di dalam penelitian ini tidak membedah seluruh bagian di dalam
video dan tidak menelaah keseluruhan tanda di dalam video. Oleh karenanya di
dalam penelitian ini dibatasi dua hal. Pertama, pembatasan tanda mengenai konsep

15
Istilah Intertekstualitas pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, salah seorang pakar
semiotika. Menurut Kristeva, prinsip mendasar dari intertekstualitas adalah bahwa seperti halnya
tanda-tanda mengacu kepada tanda-tanda yang lain, setiap teks mengacu pada teks yang lain. Secara
sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks-teks lain.
Gerakan intertekstualitas tanpa batas, sejajar dengan proses semiosis yang tak berujung pangkal.
(Budiman, 2011: 158).
politik populis yang terdapat di dalam video flash mob YouTube ‘Jokowi-Jk adalah
Kita’, di mana hanya akan membahas tanda yang berhubungan dengan politik
populis Jokowi. Kedua, penelitian ini akan membahas tanda teks verbal maupun
nonverbal yang divisualisasikan di dalam video yang mewakili politik populis
Jokowi. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah menemukan bagaimana politik
populis Jokowi direpresentasikan dalam video flash mob YouTube versi ‘Jokowi-
Jk adalah Kita’. Batasan penelitian ini digunakan agar terhindar dari penelitian
yang terlalu meluas, mengaburkan topik pembahasan dan adanya kejenuhan data.

1.7.7. Sistematika Penelitian


Penelitian mengenai representasi politik populis calon presiden Jokowi
dalam video Youtube flash mob versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’ dalam kampanye
PILPRES 2014 ini akan dipaparkan dalam 5 bab dengan rincian sebagai berikut:
- Pada bab I yakni pendahuluan, akan dijelaskan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka
pemikiran, kerangka konseptual, metodologi penelitian, dan sistematika
penelitin.
- Pada bab II, akan dijelaskan lebih mendalam mengenai konsep populis,
khususnya dalam konteks kepemimpinan. di dalam bab ini akan dijelaskan
mengenai sejarah kemunculan politik populis dalam konteks kepemimpinan
dan fenomena politik populis.
- Bab III akan membahas tentang konteks penelitian yakni politik populis
calon presiden Jokowi dalam video youtube flash mob versi ‘Jokowi-JK
adalah Kita’, serta penjelasan sekilas mengenai video youtube flash mob
versi ‘Jokowi-Jk adalah Kita’ sebagai media yang digunakan sebagai media
komunikasi politik.
- Bab IV, di dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian yakni
pemaknaan dari tanda-tanda yang terkandung dalam setiap scene dalam
video flash mob youtube versi ‘Jokowi-JK adalah Kita’ yang berhubungan
dengan representasi politik populis calon presiden Jokowi.
- Pada bab terakhir yakni bab V atau penutup akan dibahas mengenai
kesimpulan yang terkait dengan hasil penelitian dan hasil analisis yang telah
dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dan memberikan saran dan
rekomendasi yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang akan mengkaji objek-objek yang sejenis.

Anda mungkin juga menyukai