Oleh:
Pratama Hadi Zulkarnain (165030107111054)
Dhita Oktaviani A (165030107111022)
Dhianne Setiyohari (165030107111027)
Nadhia Maulita Dewi (165030107111089)
Muhammad Aji Nuril Huda (165030107111076)
Seperti dikatakannya bahwa “We know that the capitalist paradigm has changed over
time and there gaps between the intentionally dominant paradigm and the local paradigm
preventing in a nation state, wheter large or small.” Yang artinya adalah Kita tahu bahwa
paradigma kapitalis telah berubah dari waktu ke waktu dan ada kesenjangan antara paradigma
yang secara sengaja dominan dan paradigma lokal yang mencegah dalam negara bangsa,
entah itu besar atau kecil.
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis dengan ini merumuskan rumusan
masalah yang penulis akan kaji.
1.Mengetahui analisis kebijakan dalam aras global dari akira iida hingga neo-
institusionalisme.
2.Memahami pemikiran kapitalisme.
3.Memahami maksud dari Neo-Istitusionalisme.
4.Memahami situasi kebijakan publik pada negara-negara berkembang
5.Menganalisis pemahaman Iida
BAB II
PEMBAHASAN
• Analisis Kebijakan dalam Aras Global: Dari Akira Iida Hingga Neo-Institusionalis
Perlu disadari bahwa kebijakan public di setiap negara, khususunya negara berkembang,
harus diletakkan dalam aras global. Akira Iida, dalam Paradigma Theory and Policy Making:
Reconfiguring the Future (2004), menggambarkan kebijakan public di negara berkembang
sebagai sebuah “konflik” antara kepentingan global dan kepentingan domestic. Secara khusus,
Iida memahami “kepentingan” sebagai “kepentingan ekonomi”. Lebih spesifik lagi, ia menyebut
sebagai konflik antara kepentingan ekonomi kapitalis global dan local. Dikatakannya bahwa:
“We know that the capitalist paradigm has changed over time and there gaps between the
internationally dominant paradigma and the local paradigma prevailing in a nation state, wheter
large or small.”
Pemikiran bahwa dunia telah menjadi satu aliran, yaitu kapitalis, dikembangkan antara
lain oleh Robert Heilbroner, salah seorang filsuf modern yang paling senior, dalam Vision of the
Future (1996), yang mengatakan bahwa pda abad ke-21 dan masa depan, kapitalisme menjadi
satu-satunya system yang mengatur relasi ekonomi dunia. Dengan konsekuensi, kapitalisme
menjadi basis relasi social, politik, kulutural, bahkan sekuriti. Menurut Heilbrowner, ini bukan
karena kapitalisme adalah pilihan terbaik bagi umat manusia, namun karena belum ada satupun
system lain yang mampu menandingi atau, paling tidak, hadir sebagai alternative. Secara detail
dikatakannya, bahwa: “It is likely that capitalism will be the principal form of socioeconomic
organization during the twenty-first century, at least advanced nations, because no blueprint exist
for a viable successor.”
Lesther Thurow (1996, The Future of Capitalism) menegaskan bahwa persaingan di masa
depan bukan lagi persaingan antara kapitalisme dan sosialisme, melainkan kapitalisme Amerika,
versus kapitalisme Jepang, versus kapitalisme Jerman, versus kapitalisme Singapura, bahkan
versus kapitalisme China.
Pada konteks kebijakan publik, makro, Iida menyarankan pilihan aliansi dengan kekuatan
global, dengan melihat kondisi domestik dan negara berkembang tersebut. Kemudian Iida
membuat matriks nasihat sebagai berikut :
Bentuk – bentuk kebijakan yang dapat dicirikan adalah fast track privasization dan mass-
privasization, pasar bebas, penghapusan bea masuk, dan sejenisnya. Sebaliknya, jika elite politik
condong pada kepentingan kapitalis domestik, kebijakan akan pro pada proteksi produk
domestik, perjuangan untuk mempertahankan kuota ekspor, promosi penggunaan produk buatan
dalam negeri, pengekangan pada impor dan konsumsi produk luar negeri, dan sejenisnya.
Kapitalisme yang sering di kenal danmenjadi mainstreem adalah kapita;isme AS, yang
meditekan aturan main, khususnya melalui World Trade Organizationagar seluruh negara
membuka bebas perekonomiannya. Pemikiran itu menekankan bahwa, pasti ada gap atau selisih
antara paradigma globalisasi dan lokal. Karena itu ada empat pilihan bagi elite politik negara
berkembang, yaitu :
Pemahaman dari lida memberikan perspektif baru bahwa kebijakan publik di negara
berkembang pada saat ini hadir dalam vakum melainkan dalam satu persaingan. Pemahaman ini
dapat kita sandingkan dengan pemahaman tentang paradigma neo-institusionalisme dalam
kebijakan publik di negara berkembang. Sedangkan menurut Vedi R. Hadiz (2004a, 2004b,
200c), misalnya mengkritik bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia cenderung terjebak
dalam kebijakan yang neo-institusionalisme. Sebagaimana dikemukakan Hadiz, neo-
institusionalisme adalah seuah pemikiran dimana negara seharusnya mengembangkan kebijakan-
kebijakan publik yang pro atau memfasilitasi kekuatan pasar. Pemikiran neo-institusionalisme
berkembang dan pemikiran neo-klasik yang menilai bahwa pasar dan pilihan rasional induvidu di
pasar menjadi penentu perkembangan sosial-ekonomi pemerintah. Pemikiran dasarnya adalah
kebangkitan kembai keyakinan bahwa kebebasan pasar akan enghasilkan kesejahteraan.
Kelompok ini juga disebut penganut market fundamentalism. Gerakan ini berjalan seiring
gerakan globalisasi yang dihela dua pemikiran dasar (neo) liberalisme dan (neo) kapitalisme .
Jika neo-liberalisme hanya fokus pada pasar dan anti pada negara, maka eo-institusionalisme
justru pro negara “tertentu”, yaitu yang memebangun institusi-institusi yang memfasilitasi pasar.
Kata Hadiz : negara jenis tertentu semacam negara teknokratik dimana ahli membuat
kebijakan pubik dalam kondisi terinsuasi atau terlindungi oleh kekuatan-kekuatan sosial politik.
Jika neo-liberalisme mengatakan bahwa kebijakan publik yang baik adalah kebijakan publik
yang mendukung logika pasar, neo-institusionalisme berpikir lebih maju, bahwa kebijakan
publik yang baik adalah negara yang mengembangkan lembaga yang memfasilitasi pasar. Jika
neo-liberalisme melihat bahwa institusi negara adalah sekunder, yang penting adalah
kebijakannya sendiri, neo-institusioanlisme melihat bahwa institusi negara adalah primer karena
mereka-lah yang akan memproduksi kebijakan publik dalam rangka memfasilitasi pasar di
antaranya, negara hanya masuk ke “hal-hal tertentu” dan, sebaliknya mengatur “hal-hal tertentu”.
Kebijakan pubik seperti ini berbeda dengan pemikiran bahwa kebijakan publik merupakan
produk konflik sosial dan minat dalam masyarakat.
Kebijakan pubik di negara berkembang pada saat ini sebenarnya berada pada rentang
neo-institusionalisme dan negara kesejahteraan, dengan perkembangan terakhir lebih cenderung
pada neo-institusionalisme. Arus ini juga terjadi di Indonesia, dan secara khusus pada kebijakan
desentralisasi, dan kebijakan di daerah otonom tempat desentralisasi dilaksanakan. Lembaga-
lembaga internasional, seperti Bank Dunia menjadi salah satu sponsor pergerkan kebijakan
publik neo-institusionalisme, di antaranya dengan memberikan dorongan agar daerah menjadi
daerah yang kompetitif-ukuran. Kompetitif adalah severapa jauh dapat menarik investasi globl
ke daerah di satu sisi dan di sisi lain memberikan fasilitas dan insentif kepada kebijakan publik
yang pada akhirnya terpulang pada apa yang disebut Hadiz (2004c) sebagai social and political
underpinning, atau kekuatan-kekuatan sosisal politik yang mendukung suatu rezim politik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesenjangan antara kekuatan politik domestik dengan kepentingan global akan selalu ada.
Akira Iida mengatakan bahwa kebijakan publik dinegara berkembang merupakan sebuah konflik
antara kepentingan ekonomi lokal dengan ekonomi kapitalis global. Kebijakan publik negara
berkembang bukan berada diruang hampa tapi berada pada tarik menarik kekuatan global dan lokal.
Apabila kekuatan politik domestik sebagai penentu kebijakan publik terisap oleh kepentingan
global maka kebijakan publik yang berkembang akan mewakili kepentingan global. Sebaliknya,
jika lebih condong pada kapitalis domestik maka kebijakan akan pro pada proteksi produk
domestik. Iida (2004) merumuskan empat pilihan yang dapat diambil (elit politik) negara
berkembang dalam menghadapi kesenjangan paradigma tersebut:
(1.) Untuk hidup dalam kesenjangan paradigma, mempertahankan perekonomian tertutup dan
memprioritaskan pemeliharaan stabilitas sosial, ekonomi dan politik hingga waktu yang dianggap
tepat untuk membuka perekonomian;
(2.) Untuk membuat upaya menjembatani kesenjangan lewat penyelarasan paradigma domestik
dengan paradigma internasional yang dominan;
(4.) Memohon aneksasi (aneksasi yang dimaksud ialah membiarkan negara dikuasai institusi lain
secara tidak langsung, termasuk lewat jeratan dana pinjaman, dan sebagainya).
Pemikiran Iida menekankan bahwa, pasti ada gap atau selisih antara paradigma global dan lokal.
Karena itu, ada empat pilihan bagi elite politik negara berkembang, salah satunya Indonesia
tampaknya cenderung memilih nomor 3 (menyerah) dan 4 (membiarkan diri dikuasai negara lain).