Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ANALISIS KEBIJAKAN DALAM ARAS GLOBAL


DARI AKIRA IIDA HINGGA NEI-INSTITUSIONALIS

Oleh:
Pratama Hadi Zulkarnain (165030107111054)
Dhita Oktaviani A (165030107111022)
Dhianne Setiyohari (165030107111027)
Nadhia Maulita Dewi (165030107111089)
Muhammad Aji Nuril Huda (165030107111076)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perlu disadari bahwa kebijakan publik di setiap negara, khususnya negeara


berkembang, harus diletakan dalam aras global. Akira lida, dalam pradigm theory dan policy
making: reconfiguring the future (2004), menggambarkan kebijakan publik di negara
berkembang sebagai sebuah “konflik” antara kepentingan global dan kepentingan domestik.
Secara khusus, lida memahami kepentingan sebagai kepentingan ekonomi. Lebih spesifik
lagi, ia menyebut sebagai konflik antara kepentingan ekonomi kapitalis global dan lokal.

Seperti dikatakannya bahwa “We know that the capitalist paradigm has changed over
time and there gaps between the intentionally dominant paradigm and the local paradigm
preventing in a nation state, wheter large or small.” Yang artinya adalah Kita tahu bahwa
paradigma kapitalis telah berubah dari waktu ke waktu dan ada kesenjangan antara paradigma
yang secara sengaja dominan dan paradigma lokal yang mencegah dalam negara bangsa,
entah itu besar atau kecil.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis dengan ini merumuskan rumusan
masalah yang penulis akan kaji.

1.Apakah yang dimaksud dengan pemikiran kapitalisme?


2.Apakah yang dimaksud dengan Neo-Institusionalisme?
3.Bagaimanakah situasi kebijakan publik pada negara-negara berkembang?
4.Apakah yang dimaksud dengan pemahaman Iida?
5.Mengapa pemahaman Iida itu sangat penting untuk kebijakan publik di negara-negara
berkembang?
2.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian ini adalah:

1.Mengetahui analisis kebijakan dalam aras global dari akira iida hingga neo-
institusionalisme.
2.Memahami pemikiran kapitalisme.
3.Memahami maksud dari Neo-Istitusionalisme.
4.Memahami situasi kebijakan publik pada negara-negara berkembang
5.Menganalisis pemahaman Iida
BAB II
PEMBAHASAN

• Analisis Kebijakan dalam Aras Global: Dari Akira Iida Hingga Neo-Institusionalis

Perlu disadari bahwa kebijakan public di setiap negara, khususunya negara berkembang,
harus diletakkan dalam aras global. Akira Iida, dalam Paradigma Theory and Policy Making:
Reconfiguring the Future (2004), menggambarkan kebijakan public di negara berkembang
sebagai sebuah “konflik” antara kepentingan global dan kepentingan domestic. Secara khusus,
Iida memahami “kepentingan” sebagai “kepentingan ekonomi”. Lebih spesifik lagi, ia menyebut
sebagai konflik antara kepentingan ekonomi kapitalis global dan local. Dikatakannya bahwa:
“We know that the capitalist paradigm has changed over time and there gaps between the
internationally dominant paradigma and the local paradigma prevailing in a nation state, wheter
large or small.”

Pemikiran bahwa dunia telah menjadi satu aliran, yaitu kapitalis, dikembangkan antara
lain oleh Robert Heilbroner, salah seorang filsuf modern yang paling senior, dalam Vision of the
Future (1996), yang mengatakan bahwa pda abad ke-21 dan masa depan, kapitalisme menjadi
satu-satunya system yang mengatur relasi ekonomi dunia. Dengan konsekuensi, kapitalisme
menjadi basis relasi social, politik, kulutural, bahkan sekuriti. Menurut Heilbrowner, ini bukan
karena kapitalisme adalah pilihan terbaik bagi umat manusia, namun karena belum ada satupun
system lain yang mampu menandingi atau, paling tidak, hadir sebagai alternative. Secara detail
dikatakannya, bahwa: “It is likely that capitalism will be the principal form of socioeconomic
organization during the twenty-first century, at least advanced nations, because no blueprint exist
for a viable successor.”

Apapun ketidaksukaan terhadap kapitalisme, faktanya kapitalisme adalah kenyataan


sejarah—seperti kata Francis Fukuyama dalam The History and the Last Man (1992), ibaratnya,
kita hidup dalam dunia yang digambarkan oleh Kevin Costner dalam filmnya Waterworld
(1996). Ketika dunia penuh air, yang kita lakukan adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang penuh air tersebut. Anjuran terbaik adalah, bukannya melakukan adaptasi belaka, namun
juga melakukan aksi yang bersifat memanfaatkan kelebihan dari lingkungan baru tersebut. Jujur
saja, kehendak untuk mengglobalkan kapitalisme, apalagi kapitalisme yang brutal seperti hari ini
—yang didukung persekutuan antara IMF, Bank Dnuia, dan WTO—digerakan oleh Amerika
Serikat. Kenapa kemudian Amerika menjadi adidaya-tinggal? Itu tidak lain karena system yang
ada adalah system kapitalisme. Dan kapitalisme itu adalah kapitalisme ala Amerika, seperti yang
dikatakan Thomas Friedman dalam Lexus and Olive Tress (2000).

Lesther Thurow (1996, The Future of Capitalism) menegaskan bahwa persaingan di masa
depan bukan lagi persaingan antara kapitalisme dan sosialisme, melainkan kapitalisme Amerika,
versus kapitalisme Jepang, versus kapitalisme Jerman, versus kapitalisme Singapura, bahkan
versus kapitalisme China.

• Konteks Kebijakan Publik Makro

Pada konteks kebijakan publik, makro, Iida menyarankan pilihan aliansi dengan kekuatan
global, dengan melihat kondisi domestik dan negara berkembang tersebut. Kemudian Iida
membuat matriks nasihat sebagai berikut :

Table 7.1 Matriks Advis Iida

Category of developing nations Primary ald measures


Conflict- ridden nations under dictatorship/ International pressure for an improvement
military rule. governance ( departure from dictatorship
or military governance )
Countries with political and social stability Technical assistance from improvement of
but lacking in managerial capacity. managerial capacity.
Countries equipped with managerial Financial assistance from multilateral and
capacity but with insufficient financial bilateral agencies.
resolyces to implement the wide range of
development strategies.
Countries that have no access to capital Use credits on soft term ( from both
markets because of a poor credit rating. multilateral agencies and bilateral aid
organization) nad or commercial loans in
which the lack of credits worthiness is
offset by the credits stading of the
multilateral agencies.
Countries with access to capital markets The implementation of their own
through their credits standing that development strategies will be needed
graduated from the World Bank. primarily, with assistance from the
international community being given on
request.

• Pemahaman IIda Terhadap Kebijakan Publik

Pemahan Iida adalah, lebih baik mengembangkan kebijakan public yang


mengintegrasikan diri pada arus kapitalisme global dalam rangka menutup gap yang tersedia.
Pemahaman Iida penting untuk digunakan sebagai penegas bahwa kebijakan publik negara
berkembang tidak berada dalam ruang hampa, namun dalam tarik – menarik kekuatan global dan
lokal. Apabila kekuatan politik domestik, sebagai penentu kebijakan publik lebih terisap pada
kepentingan global, kebijakan publik yang berkembang akan mewakili kepentingan ( kapitalisme
) global.

Bentuk – bentuk kebijakan yang dapat dicirikan adalah fast track privasization dan mass-
privasization, pasar bebas, penghapusan bea masuk, dan sejenisnya. Sebaliknya, jika elite politik
condong pada kepentingan kapitalis domestik, kebijakan akan pro pada proteksi produk
domestik, perjuangan untuk mempertahankan kuota ekspor, promosi penggunaan produk buatan
dalam negeri, pengekangan pada impor dan konsumsi produk luar negeri, dan sejenisnya.

• Fenomena Kebijakan Publik di Indonesia

Di Indonesia, sebenarnya fenomena transformasi politik Indonesia dari sosialistik yang


dikombinasikan dengan negara kesejahteraan, sebagaimana dicerminkan dari UUD 1945,
menuju negara kapitalis yang tanpa malu – malu mengintegrasikan diri pada kapitalisme global,
sebagaimana dicerminkan pada undang – undang dasar di bidang ekonomi yang meliberalkan
perekonomian Indonesia, mulai dari energi hingga BUMN, masih relevan. Relevansi ini makin
terlihat pada konteks daerah.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Jembrana, Bali ( 2006 ) menunjukkan bahwa Jmbrana


tidak mengembangkan kebijakan publik untuk menarik investasi ekonomi, khususnya dari luar,
ini merupakan bentuk pertentangan terhadap model kebijakan publik desentralisasi yang pada
saat ini dikembangkan di Indonesia, yaitu kebijakan publik yang berpola neo- institusionalisme.
Hasilnya , Jembrana menjadi salah satu best practices untuk penyelenggaeaan otonomi daerah di
Indonesia.

Kapitalisme yang sering di kenal danmenjadi mainstreem adalah kapita;isme AS, yang
meditekan aturan main, khususnya melalui World Trade Organizationagar seluruh negara
membuka bebas perekonomiannya. Pemikiran itu menekankan bahwa, pasti ada gap atau selisih
antara paradigma globalisasi dan lokal. Karena itu ada empat pilihan bagi elite politik negara
berkembang, yaitu :

1. Untuk hidup dengan kesenjangan paradigma, mempertahankan ekonomi tertutup dan


memprioritaskan pemeliharaan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik sampai waktu yang
tepat untuk membuka ekonomi
2. Untuk berusaha menjembatani kesenjangan dan menetapkan paradigma domestik
dengan Paradigma internasional yang dominan
3. Untuk menyerah dan
4. Untuk meminta aneksasi

• Kebijakan Publik di Negara Berkembang

Pemahaman dari lida memberikan perspektif baru bahwa kebijakan publik di negara
berkembang pada saat ini hadir dalam vakum melainkan dalam satu persaingan. Pemahaman ini
dapat kita sandingkan dengan pemahaman tentang paradigma neo-institusionalisme dalam
kebijakan publik di negara berkembang. Sedangkan menurut Vedi R. Hadiz (2004a, 2004b,
200c), misalnya mengkritik bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia cenderung terjebak
dalam kebijakan yang neo-institusionalisme. Sebagaimana dikemukakan Hadiz, neo-
institusionalisme adalah seuah pemikiran dimana negara seharusnya mengembangkan kebijakan-
kebijakan publik yang pro atau memfasilitasi kekuatan pasar. Pemikiran neo-institusionalisme
berkembang dan pemikiran neo-klasik yang menilai bahwa pasar dan pilihan rasional induvidu di
pasar menjadi penentu perkembangan sosial-ekonomi pemerintah. Pemikiran dasarnya adalah
kebangkitan kembai keyakinan bahwa kebebasan pasar akan enghasilkan kesejahteraan.
Kelompok ini juga disebut penganut market fundamentalism. Gerakan ini berjalan seiring
gerakan globalisasi yang dihela dua pemikiran dasar (neo) liberalisme dan (neo) kapitalisme .
Jika neo-liberalisme hanya fokus pada pasar dan anti pada negara, maka eo-institusionalisme
justru pro negara “tertentu”, yaitu yang memebangun institusi-institusi yang memfasilitasi pasar.
Kata Hadiz : negara jenis tertentu semacam negara teknokratik dimana ahli membuat
kebijakan pubik dalam kondisi terinsuasi atau terlindungi oleh kekuatan-kekuatan sosial politik.
Jika neo-liberalisme mengatakan bahwa kebijakan publik yang baik adalah kebijakan publik
yang mendukung logika pasar, neo-institusionalisme berpikir lebih maju, bahwa kebijakan
publik yang baik adalah negara yang mengembangkan lembaga yang memfasilitasi pasar. Jika
neo-liberalisme melihat bahwa institusi negara adalah sekunder, yang penting adalah
kebijakannya sendiri, neo-institusioanlisme melihat bahwa institusi negara adalah primer karena
mereka-lah yang akan memproduksi kebijakan publik dalam rangka memfasilitasi pasar di
antaranya, negara hanya masuk ke “hal-hal tertentu” dan, sebaliknya mengatur “hal-hal tertentu”.
Kebijakan pubik seperti ini berbeda dengan pemikiran bahwa kebijakan publik merupakan
produk konflik sosial dan minat dalam masyarakat.

Kebijakan pubik di negara berkembang pada saat ini sebenarnya berada pada rentang
neo-institusionalisme dan negara kesejahteraan, dengan perkembangan terakhir lebih cenderung
pada neo-institusionalisme. Arus ini juga terjadi di Indonesia, dan secara khusus pada kebijakan
desentralisasi, dan kebijakan di daerah otonom tempat desentralisasi dilaksanakan. Lembaga-
lembaga internasional, seperti Bank Dunia menjadi salah satu sponsor pergerkan kebijakan
publik neo-institusionalisme, di antaranya dengan memberikan dorongan agar daerah menjadi
daerah yang kompetitif-ukuran. Kompetitif adalah severapa jauh dapat menarik investasi globl
ke daerah di satu sisi dan di sisi lain memberikan fasilitas dan insentif kepada kebijakan publik
yang pada akhirnya terpulang pada apa yang disebut Hadiz (2004c) sebagai social and political
underpinning, atau kekuatan-kekuatan sosisal politik yang mendukung suatu rezim politik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesenjangan antara kekuatan politik domestik dengan kepentingan global akan selalu ada.
Akira Iida mengatakan bahwa kebijakan publik dinegara berkembang merupakan sebuah konflik
antara kepentingan ekonomi lokal dengan ekonomi kapitalis global. Kebijakan publik negara
berkembang bukan berada diruang hampa tapi berada pada tarik menarik kekuatan global dan lokal.
Apabila kekuatan politik domestik sebagai penentu kebijakan publik terisap oleh kepentingan
global maka kebijakan publik yang berkembang akan mewakili kepentingan global. Sebaliknya,
jika lebih condong pada kapitalis domestik maka kebijakan akan pro pada proteksi produk
domestik. Iida (2004) merumuskan empat pilihan yang dapat diambil (elit politik) negara
berkembang dalam menghadapi kesenjangan paradigma tersebut:

(1.) Untuk hidup dalam kesenjangan paradigma, mempertahankan perekonomian tertutup dan
memprioritaskan pemeliharaan stabilitas sosial, ekonomi dan politik hingga waktu yang dianggap
tepat untuk membuka perekonomian;

(2.) Untuk membuat upaya menjembatani kesenjangan lewat penyelarasan paradigma domestik
dengan paradigma internasional yang dominan;

(3.) Untuk menyerah; dan kemudian

(4.) Memohon aneksasi (aneksasi yang dimaksud ialah membiarkan negara dikuasai institusi lain
secara tidak langsung, termasuk lewat jeratan dana pinjaman, dan sebagainya).

Pemikiran Iida menekankan bahwa, pasti ada gap atau selisih antara paradigma global dan lokal.
Karena itu, ada empat pilihan bagi elite politik negara berkembang, salah satunya Indonesia
tampaknya cenderung memilih nomor 3 (menyerah) dan 4 (membiarkan diri dikuasai negara lain).

Anda mungkin juga menyukai