Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dita Pratiwi

Nim : E1051171007

Prodi : Ilmu Politik

Mata Kuliah : Analisa Politik

Dosen Pengampu : Dr. Bakran Suni, M. Ag

Tugas 6 Analisis Kelas Menengah Dalam Politik di Indonesia Disertai Contoh


dan Sumber Bacaannya!

Bagi kelas menengah, politik adalah sesuatu yang pentig karena berkaitan
dengan kehidupan banyak orang. Pandangan ini membuat mereka terdorong terlibat
dalam perumusan dan pengawasan kebijakan publik. Berbagai saluran aspirasi
diciptakan agar suara mereka terverbalkan. Mereka giat meorganisi diri, terutama
di media sosial, sehingga suara personal yang minor bisa diubah menjadi suara
komulatif yang mayor. Kelas menengah bahkan menciptakan tren baru menggalang
derma secara daring melalui berbagai aplikasi crowdfunding. Mereka bukan hanya
dominan secara jumlah dan resource, tetapi telah menawarkan aneka kebaruan
dalam berpolitik.

Rata-rata kelas menengah memiliki latar belakang pendidikan baik,


setidaknya SMA dan Sarjana. Wawasan yang memadai membuat mereka
cenderung menganggap persoalan publik sebagai sesuatu yang penting. Isu-isu di
tingkat lokal dan nasional menjadi perhatian mereka. Bahkan pada segmen yang
lebih spesifik, mereka memiliki perhatian terhadap isu global seperti perdamaian
dunia, kesetaraan gender, dan global warming. Di sisi lain, kelas menengah juga
memiliki dorongan untuk bergaul secara luas. Dorongan ini timbul karena motif
mengembangkan diri, memamerkan keberhasilan, juga akibat tersedianya waktu
longgar. Dorongan itu tersalurkan dengan berkomunitas, seperti mengikuti
organisasi profesi, pengumpulan berbasis hobi, dan beraspirasi di media sosial.

Meski giat beraspirasi, kelas menengah cenderung bias dalam memilih dan
mengelola isu publik. Kondisi ekonomi, pendidikan, dan sosial yang lumayan kerap

1
membuat mereka terpenjara oleh orientasi kepentingannya. Jika berkaitan dengan
isu yang sesuai dengan kepentingannya, mereka sangat giat. Tapi mereka
cenderung abai terhadap isu yang hanya menyangkut kepentingan masyarakat kelas
bawah. Kalaupun peduli dengan masyarakat miskin, kelas menengah biasanya
sekedar memanfaatkannya sebagai panggung pembentuk citra.

Kelas menengah cenderung memiliki kesadaran bahwa modal sosial adalah


sesuatu yang berharga. Reputasi, citra, dan branding personal perlu dikelola.
Kesadaran itu membuat mereka memiliki dua panggung. Di panggung depan
mereka menampilkan diri dengan berbagai atribusi moralnya. Sementara panggung
belakang, mereka cenderung bersifat opurtunistis untuk memuluskan kepentingan
diri dan kelompoknya.

Menurut Goffman (1959) kehidupan panggung memang lurah dalam


interaksi manusia. Ketika berkomunikasi, setiap individu berusaha mengumpulkan
informasi dari lingkungan sekitar agar bisa menampilkan diri sesuai kondisi yang
paling dikehendaki. Individu itu memilah pesan yang dinyatakan di publik dan
pesan yang tersimpan. Karena memiliki pengetahuan dan sarana komunikasi yang
memadai, kelas menengah cenderung lebih piawai memainkan sandiwara tersebut
dibanding kelas bawah.

Dari perspektif politik, suara kelas menengah yang tidak berpartai acapkali
terbukti mempengaruhi kebijakan politik di Indonesia. Mereka bersatu padu
membela apa dan siapa yang mereka anggap benar. Namun, pengertian kelas
menengah di Indonesia masih bisa diperdebatkan. Mesti jelas dan dibuktikan seperti
apa mereka yang disebut kelas menengah itu. Sampai mana mereka merasa terlibat
dalam kebijakan politik, berjuang untuk mereka yang miskin, yang terbelakang, dan
yang terlupakan.

Sebagai contohnya dalam sistem pemilu di Indonesia tahun 2019 kemarin


adalah sistem pemilu yang dilakukan dalam tahapan pemilu legislatif (pileg),
pemilu presiden (pilpres), serta pemilihan kepala daerah provinsi dan
kabupaten/kota (pilkada). Mekanisme pemilihan langsung di Indonesia satu orang

2
suara menempatkan setiap pemilih memiliki hak pilih setara pada 17 April 2019
kemarin. Suara ulama, kiayi, ilmuwan, pengusaha, kelas atas, kelas menengah,
tidak ada bedanya dengan suara petani, nelayan, fakir miskin, pemulung dan bahkan
orang gangguan mental. Boston Consulting Group (BCG) menyebutkan, jumlah
kelas menengah di Indonesia mencapai 62,8% dari 267 juta jiwa total populasi
penduduk Indonesia tahun 2020. Jika jumlah pemilih 2019 sejumlah 196,5 juta,
maka ada 123 juta pemilih kelas menengah. Potensi lumbung suara yang tidak bisa
dianggap enteng dalam pemilu 2019.

Peningkatan jumlah kelas menengah telah mengubah wajah demografi dan


sosial ekonomi Indonesia. Kelompok demografis ini dominan dalam jumlah dan
pertarungan wacana publik. Mereka memiliki kekhasan perangai, seperti mapan,
kritis, rewel, egois, cenderung konsumtif, dan vokal beraspirasi. Secara politis,
mereka menjadi kekuatan yang diperhitungkan dan membuat politik elektoral
tambah semarak, berisik, dan menegangkan.

Secara umum, perilaku kelas menengah bercirikan rasional, kritis, dan


skeptis. Klaster ini rasional, mengutamakan rekam jejak dan program yang
dijanjikan kampanye para kandidat, sekaligus menganalisis kemungkinan program-
program tersebut relevan (logis) untuk dikerjakan atau tidak. Tidak cukup hanya
melihat figur (citra) personal beserta melihat program maupun rekam jejaknya, tapi
juga akan mempertimbangkan citra partai politik pengusungnya. Skeptis, mereka
tidak merasa terikat dengan ideologi manapun, cenderung menganggap bahwa
kebijakan yang dijanjikan baik dari partai maupun secara personal tidak akan
membawa perubahan signifikan.

Arus politik mereka adalah loyalis pragmatis, artinya mereka akan loyal
selama kepentingan mereka tercukupi. Mereka umumnya menjauhi politik praktis,
namun tidak alergi perubahan arah angin politik. Profesi dan status menjadi kunci
menarik bagi mereka. Penguasaan materi dan menumpuk aset masa depan
merupakan kecenderungan kalangan kelas menengah sekarang. Mereka juga
menginisiasi pergeseran politik analog ke politik digital. Preferensinya berbasiskan
pada media digital yang lebih lentur dan dinamis. Mereka kurang menyukai media

3
analog politik sebagai alat politik yang didasarkan pada saluran informal tunggal
dan institusionalis. Sedangkan media politik digital lebih menampilkan informasi
yang sifatnya verifikatif, lebih mereka sukai.

Strategi capres dan partai dalam merangkul pemilih dan kelas menengah
tidak mudah. Kelas menengah secara umum tidak memiliki keinginan kuat terlibat
dalam kegiatan politik dan secara psikologis berjarak dengan capres dan partai
politik. Ciri kelas menengah yang mapan, kritis, dan terkoneksi membuat mereka
menjadi kekuatan sosial-ekonomi yang diperhitungkan menjelang pemilu 2019
lalu. Internet menjadi media yang dinilai bisa mendekatkan mereka dengan para
kontestan. Data We Are Social dan Hootsuite (2018), ada 132 juta pengguna
internet di Indonesia. Sementara itu APJII (2018), 143 juta masyarakat Indonesia
terkoneksi internet, sekitar 62,5 juta masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai
penggunanya.

Artinya, lebih 50% penduduk Indonesia telah bisa mengakses internet.


Pengguna media sosial (49%) populasi pengguna internet di Indonesia.
Meningkatnya angka pengguna media sosial, pada akhirnya membawa persaingan
baru bagi partai politik dan kandidat dalam pemilu 2019. Merujuk Andrew
Chadwick (2006), penggunaan internet (media sosial) dapat mempengaruhi ranah
politik. Masyarakat kelas menengah memiliki akses lebih untuk menyalurkan
aspirasi kepada partai politik maupun kandidat yang didukungnya. Pada saat yang
sama, partai politik dan kandidat dapat mengkoordinasikan mereka dengan lebih
mudah dan cepat untuk memobilisasi saat kampanye.

Sikap apolitis kelas menengah membuat capres dan partai politik tidak
mudah mendulang suara. Para kontestan harus menyajikan narasi politik logis
urgensitas peran politik dalam proses pembuatan kebijakan dan kepentingan publik.
Kontestan juga tidak cukup hanyan dengan jualan sosok ‘merakyat’ di satu sisi,
ataupun dagangan millenial di sisi lainnya. Harus ada branding yang berbeda
dengan pendekatan kepada kelompok tradisional. Dengan cara memberikan
perhatian lebih pada isu kemiskinan (lapangan pekerjaan), kepastian hukum,
jaminan usaha, dan optimisme yang merupakan variabel disukai kelas menengah.

4
Sumber Bacaan :

https://www.alenia.id/kolom/menakar-suara-kelas-menengah-b1Xes9iUs diakses
pada tanggal 19 Mei 2020 pukul 20.01 WIB

https://www.google.com/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/telatah/dua-wajah-politik-
kelas-menengah diakses pada tanggal 19 Mei 2020 pukul 20.17 WIB

https://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2014/04/11/89632/peranan-
kelas-menengah-dalam-politik/ diakses pada tanggal 19 Mei 2020 pukul 20.19 WIB

Anda mungkin juga menyukai