Anda di halaman 1dari 10

LITERASI SOSIAL

Dr. M. Joharis Lubis, M.Pd.

Oleh:

Yasmin Salsabila Siagian( 2183111051)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
rahmat-Nya, kami dapat menyusun penulisan yang berjudul “Literasi Sosial di Lingkungan
Sekolah Maupun Masyarakat” dengan lancar.

Adapun maksud penyusunan penulisan ini untuk memenuhi tugas Literasi Bahasa.
Rasa terima kasih kami tidak terkirakan kepada yang terhormat Bapak Dr. M. Joharis Lubis,
M.Pd, selaku Dosen Pengampu mata kuliah tersebut., serta semua pihak yang telah
mendukung dalam penyusunan ini yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Harapan kami bahwa Penulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk
menambah wawasan dan pengetahuan tentang pentingnya Literasi sosial dalam lingkungan
sekolah maupun masyarakat.

Saya menyadari bahwa penuliasn ini masih jauh dari sempurna dengan keterbatasan
yang saya miliki. Tegur sapa dari pembaca akan saya terima dengan tangan terbuka demi
perbaikan dan penyempurnaan karya tulis ini.

Medan, 08 April 2019

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepedulian dengan dimensi sosial dari kurikulum di sekolah bukanlah hal yang baru,
tetapi perubahan dalam masyarakat telah mempercepat tuntutan sosial yang terjadi pada
sekolah. Paling tidak, masyarakat mengharapkan sekolah untuk memperbaiki perilaku anak-
anak dan mengajari mereka nilai - nilai yang biasanya berarti menuntut 'baik' tingkah laku.
Perkembangan sosial murid dengan demikian mengambil tempat yang jauh lebih besar dalam
aspirasi sekolah. Program - program pendidikan pribadi dan sosial, bersama dengan
pendidikan kewarganegaraan, selalu menekankan berbagai keterampilan sosial dan
keterampilan - keterampilan ini diperkenalkan sejak dini dan dibangun di atas selama tahun -
tahun sekolah. Perasaan dan kemampuan individu untuk membuat keputusan yang produktif
secara sosial tidak berkembang sendiri; melainkan membutuhkan pengetahuan, nilai, dan
keterampilan. Oleh karena itu, diperlukan bagi anak-anak untuk mengalami hubungan sosial
sedemikian rupa sehingga mereka mampu untuk beroperasi secara kritis dalam wacana yang
dinilai bernilai dan dengan demikian menjadi warga negara yang aktif dan terinformasi secara
etis.

B. Identifikasi Masalah

Masyarakat Indonesia yang masih memandang bahwa literasi berarti mampu untuk
membaca dan menulis. Oleh karena itu perlu dilakukannya literasi sejak dini yaitu pada usia
sekolah. Serta bagaimana praktik literasi ini pada akhirnya mempengaruhi kehidupannya baik secara
pribadi maupun pada hubungannya dengan lingkungan sosial.

C. Manfaat

Makalah ini dibuat agar pembaca ataupun masyarakat indonesia memahami peranan
dari adanya literasi. Sehingga Kegiatan membaca dan menulis dilakukan tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan dan tuntutan pekerjaan saja, namun juga dipahami sebagai kebutuhan sehari-
hari terutama dalam kaitannya dengan hubungan sosial.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Literasi Sosial

Literasi sosial berkaitan dengan pengembangan keterampilan sosial, pengetahuan dan


nilai-nilai positif manusia yang melahirkan keinginan dan kemampuan manusia untuk
bertindak positif dan bertanggung jawab dalam berbagai pengaturan sosial yang kompleks.
Banyak negara-negara Persemakmuran, seperti Kanada, Selandia Baru dan Australia, serta
negara-negara Skandinavia seperti Swedia (Kerr, 1999) memiliki perkembangan anak di dan
melalui masyarakat sebagai prinsip utama pendidikan. Agenda Pemerintah Perburuhan Baru
untuk social pengembangan murid terletak di dalam Pendidikan Pribadi, Sosial dan Kesehatan
dan dalam kurikulum baru bidang pendidikan kewarganegaraan. Pada November 1997
Kelompok Penasihat pada Pendidikan Kewarganegaraan, diketuai oleh Profesor Bernard
Crick, didirikan untuk menyediakansaran tentang pendidikan yang efektif untuk
kewarganegaraan di sekolah. 'Laporan Crick' yang dihasilkan berisi rekomendasi yang
berkaitan dengan pengembangan pengetahuan, keterampilan, pemahaman dan nilai-nilai yang
diperlukan untuk 'kewarganegaraan aktif' (QCA, 1998a: 10). Laporan itu menyoroti tiga aspek
'saling bergantung' yang diyakini mendukung pendidikan kewarganegaraan yang efektif:
‘tanggung jawab sosial dan moral, keterlibatan masyarakat dan literasi politik ’(QCA, 1998b:
11-13). Dengan kata lain, Pendidikan Warga di Kurikulum Nasional menyoroti perkembangan
literasi sosial (Arthur, Davison dan Stow, 2000).

Undang-Undang Reformasi Pendidikan 1988 secara efektif mengakhiri pengembangan


studi sosial, yang telah berkembang selama tahun 1970-an (lihat, misalnya, Rennie et al 1974
dan Elliot & Pring 1975), di sekolah-sekolah bahasa Inggris melalui resep berbagai mata
pelajaran tradisional dan mendefinisikan mereka dalam istilah akademik abstrak. Aspek sosial
dari kurikulum adalah terpinggirkan karena subjek akademik mencari status dalam hierarki
kredibilitas akademik yang menopang struktur perintah perundang-undangan Kurikulum
Nasional pertama. Inti dan subyek yayasan tidak peduli terang-terangan dengan aspek sosial
dan praktis kehidupan sehari-hari. komponen sosial dari kurikulum sekolah perlu
diintegrasikan dalam lintas-kurikuler mode. Akibatnya, berbagai dokumentasi lintas-kurikuler

2
yang berkaitan dengan, antara lain, Kewarganegaraan, Pendidikan Kesehatan, Pemahaman
Ekonomi dan Industri diproduksi.

B. Literasi Sosial dalam Dunia Pendidikan

Kepedulian dengan dimensi sosial dari kurikulum di sekolah bukanlah hal yang baru,
tetapi perubahan dalam masyarakat telah mempercepat tuntutan sosial yang terjadi pada
sekolah. Paling tidak, masyarakat mengharapkan sekolah untuk memperbaiki perilaku anak-
anak dan mengajari mereka nilai - nilai yang biasanya berarti menuntut 'baik' tingkah laku.
Perkembangan sosial murid dengan demikian mengambil tempat yang jauh lebih besar dalam
aspirasi sekolah. Program - program pendidikan pribadi dan sosial, bersama dengan
pendidikan kewarganegaraan, selalu menekankan berbagai keterampilan sosial dan
keterampilan - keterampilan ini diperkenalkan sejak dini dan dibangun di atas selama tahun -
tahun sekolah. Perasaan dan kemampuan individu untuk membuat keputusan yang produktif
secara sosial tidak berkembang sendiri; melainkan membutuhkan pengetahuan, nilai, dan
keterampilan. Oleh karena itu, diperlukan bagi anak-anak untuk mengalami hubungan sosial
sedemikian rupa sehingga mereka mampu untuk beroperasi secara kritis dalam wacana yang
dinilai bernilai dan dengan demikian menjadi warga negara yang aktif dan terinformasi secara
etis.

Literasi sosial, dari perspektif teori sosial-budaya, lebih dari kemampuan membaca dan
menulis, dan lebih dari menguasai keterampilan literasi. Anak-anak yang dapat melek huruf
melalui interaksi sosial antara mereka dengan orang dewasa di dalam atau di luar sekolah.
Orang dewasa dapat menggunakan buku, permainan, mainan, percakapan, kunjungan
lapangan, dan cerita untuk mengembangkan praktik literasi melalui kesenangan.

Pembelajaran kolaboratif antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat membantu


mengembangkan literasi anak. Selain itu, mengingat pengetahuan teknis saat ini, orang dewasa
dapat mempertimbangkan bagaimana menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran dan
menggunakannya dalam mengajar anak-anak cara membaca dan menulis dalam konteks sosial.

"Praktek dan peristiwa keaksaraan selalu terletak dalam hubungan sosial, budaya,
sejarah dan politik dan tertanam dalam struktur kekuasaan. Selanjutnya, praktik keaksaraan

3
melibatkan regulasi sosial teks, yaitu siapa yang memiliki akses ke sana dan siapa yang dapat
memproduksinya, dan praktik semacam itu adalah bertujuan dan tertanam dalam tujuan sosial
yang lebih luas dan praktik budaya. Selain itu, praktik-praktik ini berubah dan yang baru
sering diperoleh melalui proses pembelajaran informal dan pembuatan akal "(hal. 23). [1]
Untuk alasan itu, guru dapat merancang berbagai tingkat kegiatan dan praktik keaksaraan agar
sesuai dengan kemampuan dan cara belajar siswa yang berbeda dan "memberikan pendekatan
pedagogis yang mendorong komunitas peserta didik, merencanakan kegiatan kelas yang
menanamkan peluang bermakna untuk terlibat dalam analisis dan konstruksi teks multimoda,
dan menggunakan pendekatan pengajaran yang bergerak melampaui ketegangan yang salah
antara mengabstraksi kode bahasa dan mempelajari penerapannya untuk tujuan yang
bermakna"

C. Membangun Literasi Sosial di Sekolah

Mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang aktif, terinformasi, melek
huruf adalah salah satu fungsi utama sekolah umum. Tetapi bagaimana siswa dapat menjadi
warga negara yang terlibat jika mereka tidak dapat membaca, apalagi memahami, teks
pelajaran sosial mereka? Apa yang dapat dilakukan oleh pendidik - dan guru studi sosial untuk
membantu siswa mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan motivasi untuk terlibat
dalam kehidupan masyarakat?

Membangun Literasi dalam Studi Sosial menjawab pertanyaan ini dengan


menghadirkan konsep dasar dan teknik berbasis penelitian yang dapat digunakan guru untuk
melibatkan siswa dan membangun keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjadi
pembaca yang sukses, pemikir kritis, dan warga negara yang aktif. Para penulis memberikan
strategi yang ditargetkan - termasuk model pengajaran, grafik organizer, dan instruksi langkah
demi langkah - untuk kegiatan seperti : membangun kosakata, mengembangkan keterampilan
literasi buku teks,menafsirkan sumber primer dan sekunder, menerapkan keterampilan berpikir
kritis ke koran dan majalah, dan mengevaluasi sumber-sumber Internet.

Pembaca juga akan belajar bagaimana mengatur ruang kelas menjadi model demokrasi
dengan menciptakan komunitas belajar yang mendukung pengajaran literasi, mendistribusikan
otoritas, mendorong kerja sama, dan meningkatkan akuntabilitas di kalangan siswa. Skenario

4
realistis menggambarkan pengalaman guru IPS yang khas sebelum dan sesudah menerapkan
strategi di kelas, menunjukkan potensi mereka untuk membuat perbedaan yang signifikan
dalam cara siswa merespons instruksi. Dengan menjadikan strategi melek huruf sebagai
bagian penting dari pengajaran bidang konten, guru tidak hanya membantu siswa lebih
memahami tugas sekolah mereka, tetapi juga membuka mata siswa terhadap kekuatan yang
memberi informasi dan melibatkan orang-orang untuk mengubah dunia.

D. Literasi Sebagai Praktik Sosial

Street (1995) berpendapat bahwa proses membaca dan menulis terjadi dalam konteks
hubungan kekuasaan yang menempatkan manusia di posisi berbeda di masyarakat. Model ini
dia namakan model ideologis, yang kemudian lebih dikenal karena pandangannya tentang
literasi sebagai praktik sosial dan merupakan produk dari ideologi yang berkembang di
masyarakat (Street & Lefstein, 2007, p. 42).

Dalam sebuah penelitian yang menggunakan model ideologis dengan memberikan


argumen bahwa model ini lebih kuat sebagai kerangka konsep untuk memahami praktik
literasi di lingkungan kita, baik dalam konteks sekolah maupun masyarakat. Dalam
pendekatan ideologis, literasi tidak hanya sekedar sebuah ketrampilan teknis yang
memungkinan seseorang bisa membaca dan menulis. Model ideologis tidaklah menampik
pentingnya peran literasi dalam membentuk transformasi kognitif dan sosial seseorang.
Namun dengan melihat literasi secara lebih kontekstual, maka faktor-faktor lain seperti
hubungan kekuasaan bisa mendorong atau menghambat proses transformasi akan bisa
diungkap.

Berbagai penelitian yang memandang literasi sebagai praktik sosial termasuk dalam bidang

kajian baru yang disebut New Literacy Studies (NLS, Kajian Literasi Baru). Beberapa
konsep yang sering digunakan antara lain literacy events (peristiwa literasi) dan literacy
practices (praktik literasi). Dalam kajiannya tentang literasi di dalam tiga komunitas di negara
bagian South Carolina, AS, Shirley Heath (1982) mendefinisikan peristiwa literasi sebagai
peristiwa apapun di mana sebuah bentuk tulisan/teks menjadi bagian dari interaksi para

5
partisipan dan proses pemaknaan teks tersebut. Secara sederhana, istilah peristiwa literasi bisa
dimaknai sebagai peristiwa/kejadian apapun yang bisa diamati, di mana sebentuk tulisan hadir
di dalamnya. Sementara itu, praktik literasi melibatkan tidak hanya peristiwa yang bisa dilihat,
namun juga nilai-nilai dan perilaku dari orang-orang yang terlibat dalam praktik literasi
tersebut (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000).

Barton dan Hamilton memerikan hubungan antara peristiwa literasi dan praktik literasi.
Dalam bahasa sederhana, praktik literasi adalah apapun yang dilakukan orang dengan literasi.
Praktik literasi lebih abstrak, karena melibatkan nilai, sikap, perasaan, dan hubungan sosial,
sedangkan peristiwa literasi merupakan komponen dari praktik sosial tersebut yang bisa dilihat
dan diamati. Dalam buku Situated Literacies, Barton dan Hamilton (2000) memberikan
beberapa konsep penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial.

1. Literasi dimaknai sebagai serangkaian praktik sosial, yang bisa dirunut dari berbagai
peristiwa di mana teks tertulis terlibat di dalamnya.
2. Ada jenis literasi yang berbeda dalam aspek kehidupan yang berbeda pula.
3. Praktik literasi dibentuk oleh institusi sosial dan hubungan kekuasaan. Sebagian literasi
dianggap lebih dominan dan berpengaruh dibandingkan literasi yang lain.
4. Praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan
praktik budaya secara umum.
5. Literasi terjadi dalam konteks sejarah.
6. Praktik literasi selalu berubah, dan bentuk literasi baru seringkali diperoleh melalui
proses pembelajaran dan pembentukan makna yang informal.

Dengan menggunakan model ideologis, kita bisa melihat literasi tidak hanya sekedar
sebagai sarana untuk transformasi kognitif sebagaimana yang diusung model otonomi.
Literasi bisa dianggap sebagai bentuk kekuasaan atau ancaman oleh kelompok sosial tertentu.
Literasi juga bisa berfungsi sebagai sarana terapi jiwa, menambah gengsi sosial, dan banyak
fungsi lainnya. Mari kita lihat beberapa contoh bagaimana literasi bisa membawa berbagai
macam makna dan fungsi.

6
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Berbagai persepsi tentang literasi dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa


masalah rendahnya minat baca di kalangan masyarakat tidaklah dengan mudah diatasi dengan
menggelontor ratusan buku saja. Meski gairah literasi mulai nampak di lingkungan kita (salah
satunya dengan dideklarasikannya Surabaya sebagai Kota Literasi), cara pandang literasi yang
universal dengan model otonomi berpotensi penanganan program literasi yang kurang tepat.
Sebagaimana telah saya paparkan di dalam makalah ini, kajian literasi dengan menggunakan
model ideologis perlu lebih banyak dikembangkan agar program literasi di pendidikan formal
maupun informal bisa berjalan lebih tepat sasaran.

B. Saran

Dari pemaparan diatas, sangat disarankan kepada pembaca agar mengembangkan


kajian literasi sebagai praktik sosial, sehingga kita bisa berharap terbentuknya masyarakat
yang melek literasi.

7
DAFTAR PUSTAKA

Dewayani, Sofie. Pratiwi Retnaningdyah. 2017. Suara Dari Marjin: Literasi Sebagai

Praktik Sosial. Jakarta: Rosda.

Hafni Resa Az-Zahra, dkk. 2018. Students’ Social Literacy in Their Daily Journal.

Jakarta: UNJ. 5(3): 162-173.

James Arthur, Jon Davidson. 2000. Social Literacy and Citizenship Educational in the

Curricuculum. Northampton: University Of Northampton. 11(1): 9-23.

Jelena Magliaro, Sharon Munro. 2018. A Study of the Information Literacy Need of
Social

Work Graduate Students at a mid-sized Canadian University. Canada: IJoL.


3(2): 3-35.

Joharis Lubis, M., dkk.2018. Literasi Bahasa Indonesia. Medan: Universitas Negeri

Medan.

John Davidson. 2010. Active Citizenship and the Development of Social Literacy: a case

for experiental learning. UK: BERA. 11(2): 9-23.

Ogle, Donna, dkk. 2007. Building literacy In Social Studies. Alexandria: ASCD.

Pahl, Kate & Jennifer Roswell. Literacy and Education. 2005. London: Paul Chapman

Publishing.

Rusmana, Agus. dkk. Literasi Sosial Budaya Masyarakat Penyangga Hutan Terhadap

Pelestarian Tanaman. Bandung .2017.

Sri Melani. 2016. Literasi Informasi dalam Praktek Sosial. Jurnal Iqra. 10(2) 67-75.

Anda mungkin juga menyukai