Anda di halaman 1dari 8

Realitas

Pendidikan
di
Indonesia
&
Penindasan
Keadaan banyak masyarakat di negeri kita masih berada pada masa kehidupan yang sulit, begitu
pula kita sebagai bangsa meski sudah enam dekade kita merdeka. Pendidikan yang diharapkan
mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa pun dalam banyak bentuk hanya
menjadi wahana transfer of knowledge belaka, dan seperti kata Freire membelenggu, karena
pendidikan disetting hanya untuk memenuhi aspek kepentingan pasar, sehingga gagal
menghadapi dinamika perubahan sosial yang ada dan senantiasa dipecundangi oleh kepentingan
penguasa
pasar.
Pada situasi inilah kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang mampu memerdekakan
dengan idealisme dan semangat juang untuk tidak mau menjadi pecundang agar dapat
menularkan paradigma itu pada siswanya, penerus negeri ini di masa depan dengan pembelajaran
yang
dia
berikan
agar
negeri
ini
tidak
lagi
menjadi
pecundang.
Sejatinya, pendidikan adalah pembebasan pembebasan dari belenggu kemiskinan, penindasan,
dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka
dalam berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal
potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan
supaya kehadirannya di dunia ini mempunyai makna pendidikan adalah fondasi dan simbol
kekuatan
benteng
fondasi
bangunan
bangsa.
Karena itu, Pendidikan yang membebaskan harus dapat membongkar penindasan yang terjadi
karena sistem pendidikan yang malah mendehumanisasi manusia. Proses pendidikan kita saat ini
dalam kaca mata freirean secara tidak sadar menindas dan membelenggu karena pendidikan kita
makin jauh dari realitas atau ani realitas. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas
masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas
kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan
tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses
pembelajaran
maupun
dalam
kegiatan
riset.
Realitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin
dan terbelakang tidak dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia.
Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial
kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tercantum dalam konstitusi
bangsa
Fungsi sekolah yang sejatinya mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini
tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosiallah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara
terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai korban penindasan.
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat
legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek
pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya
tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim
Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu,

dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang
tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan
struktur masyarakat hierarkis piramidal.
Pendidikan
Gaya
Bank
Menurut Paolo Freire, mengungkapkan bahwa proses pendidikan dalam hal ini hubungan gurumurid di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejanabejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi
sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai celengan dan guru sebagai penabung. Secara
lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model
pendidikan
gaya
bank
tersebut:
1.
Guru
mengajar,
murid
diajar.
2.
Guru
mengetahui
segala
sesuatu,
murid
tidak
tahu
apa-apa.
3.
Guru
berpikir,
murid
dipikirkan.
4.
Guru
bercerita,
murid
mendengarkan.
5.
Guru
menentukan
peraturan,
murid
diatur.
6.
Guru
memilih
dan
memaksakan
pilihannya,
murid
menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri
dengan
pelajaran
itu.
9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia
lakukan
untuk
menghalangi
kebebasan
murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Sistem
Pendidikan
Proses pendidikan baik formal maupun nonformal pada dasarnya memiliki peran penting untuk
melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Namun juga
sebaliknya, dapat merupakan proses perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih adil. Peran
pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma
pendidikan yang mendasarinya. Dalam Fakih (2001), dijelaskan paradigma tersebut:
Paradigma
Konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami,
suatu hal yang mustahil dihindari (takdir), bahwa memang ada masalah di masyarakat, Tetapi
bagi mereka, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.
Dengan keyakinan seperti itu, tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan
politik dan ekonomi. Karena itu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian
dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif
sangat mengidealkan masa silam sebagai hal yang ideal dalam pendidikan.
Paradigma
Liberal
Kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan
politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam
pendidikan dengan usaha reformasi kosmetik. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar
dari cita-cita Barat tentang individualisme. Karenanya pendidikan yang berorientasi

mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi
individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan peserta
didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri
secara
kolektif.
Paradigma
Kritis
Paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi
masyarakat di mana pendidikan berada kritis dalam pendidikan melatih murid untuk mampu
mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu
melakukan analisis tentang proses kerja sistem dan struktur, serta bagaimana
mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang
dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang
secara
fundamental
baru
dan
lebih
baik.
Implikasi
Pada
Tingkat
Kesadaran
Implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan
dapat dilihat dari analisis Freire (1970) yang membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka
yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Proses dehumanisasi terbangun dalam
kesadaran
yang
dibangun
manusia
sendiri:
Kesadaran
Magis
Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya
sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia
sebagai penyebab dari segala kejadian. Hasil dari paradigma konservatif.
Kesadaran
Naif
Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab
dari
akar
permasalahan.
Hasil
dari
paradigma
liberal.
Kesadaran
Kritis
Yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling
terkait
satu
sama
lain.
Hasil
dari
paradigma
kritis.
Pendidikan
Hadap
Masalah
untuk
Transformasi
Sosial
Bagi penganut mazhab Freirean, hakekat pendidikan yang membebaskan dapat dicapai dengan
dengan membangkitkan kesadaran kritis. Visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru
dan lebih adil, selalu menjadi agenda pendidikan. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus
mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis
untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah memanusiakan
kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dalam mentransformasikan gagasan tersebut menjadi metode praksis pembelajaran, khususnya
secara pedagogis. Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan
secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar
pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi) atas realitas

timpang yyang sedang terjadi di lingkungannya dalam hal ini disebiut pendidikan hadap masalah
sebagai
antitesis
pendidikan
gaya
bank.
Pada pendidikan gaya bank, murid bisa menjadi objek yang ditentukan oleh guru, sehingga
realitas menjadi jauh. Bagi Freire, guru dan murid sama-sama subjek sadar dari sebuah
pendidikan, dan realitas adalah objeknya, guru hendaknya menjadi seorang fasilitator, motivator,
teman, dan transformator dalam proses bersama murid secara dialogis menemukan kesadaran
atas realitas dan masalah yang sebenarnya dihadapi tidak hanya menghafal materi yang sudah
diciptakan, tapi memahami. Atas kesadaran bersama atas ketimpangan dan realitas itulah guru
dan murid, dapat menjadi bagian dari sebuah transformasi sosial di lingkungannya.
Pemikiran
&
Praksis
Pendidikan
Kaum
Tertindas
di
Indonesia
Semangat pendidikan yang membebaskan kaum tertindas tentunya memang diperlukan di negara
dunia ketiga seperti Indonesia dimana ketimpangan sosial ekonomi dan pendidikan masih sangat
tinggi, namun tentunya akan ada penyesuaian bagaimana konsep tersebut akan tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, pemikiran
mengenai pendidikan yang membebaskan juga telah jauh dikumandangakn banyak pemikirpemikir Indonesia yang melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pada masa perjuangan
kemerdekaan, seperti pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara & Tan Malaka, pada masa
kekinian pun dimana ketimpangan masih terjadi pendidikan-pendidikan alternatif juga
bermunculan
untuk
membebaskan
pendidikan
dari
belenggu
penindasa.
1.
Ki
Hajar
Dewantara
&
Perguruan
Taman
Siswa
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan
manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah
secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu
mengendalikan
keadaan.
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan
dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan
(balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya
agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan
berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang
mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya.
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan

yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Sistem Among
tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini
orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student
centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi
apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang
dimiliki
oleh
pendidik.
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan
sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan
minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa
dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
2.
Tan
Malaka
&
Sarekat
Islam
School
Sarekat Islam (SI) School didirikan Tan Malaka pada tahun 92. Berdirinya SI School pada masa
menentang kolonial Belanda memiliki maksud memberikan pendidikan alternatif atas pendidikan
Belanda di negeri ini atas dasar politik etis yang tidak sesuai realitas dan menindas. Landasan
pemikiran Tan Malaka adalah: Kekuasaan Kaum Modal Berdiri atas didikan yang berdasar
kemodalan dan Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan. Tujuan
Sekolah ini seperti tercantum dalam buku Tan Malaka SI Semarang dan Onderwijs (1921):
Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis,
ilmu
bumi,
bahasa
Belanda,
Jawa,
Melayu,
dsb).
Memberi Haknya murid-murid,
(verenniging)/organisasi.

yakni

kesukaan

hidup,

dengan

jalan

pergaulan

Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo. Bahwa, murid-murid
kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo, yang hidup dalam kemelaratan
dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa
(Gouvernement)
campur
lupa
dan
menghina
bangsa
sendiri.
Metode

yang

digunakan:

Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai-bagai vereeniging, yang


berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan vereeniging-vereeniging
tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa
lezat
pergaulan
hidup.
Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab
yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu kita membangunkan hati belas
kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan akan kewajiban
kelak,
kalau
ia
balik,
ialah
akan
membela
berjuta-juta
kaum
Proletar.
Dalam vergadering SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak
menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau

perasaan

yang

sepadan

dengan

usianya

(umur),

pendeknya

diajak

berpidato.

Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar
hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi
watak
dan
kebiasannya
masing-masing.
Singkatnya, Dalam praktek pendidikan di SI School, Tan Malaka mempraktekkan pendidikan
sebagai proses memanusiakan manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup
sebenarnya, yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa
lingkungan pendidikan yang sosial. Tan Malaka menolak adanya praktik diktator dari guru yang
melarang murid untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Cara ini dilakukan agar murid mampu
mengembangkan
potensi
dan
menemukan
kepercayaan
dirinya.
3.
Romo
Mangun
&
SD
Mangunan
Sekolah Dasar Mangunan didirikan pada 1994 untuk menerapkan ide-ide mendiang Romo
Mangunwijaya. Sekolah ini menampung anak-anak jalanan, gelandangan, dan anak petani atau
buruh. Mereka dididik dengan metode pendidikan modern yang lebih interaktif dan jauh dari
indoktrinasi
dengan
mengadopsi
muatan-muatan
lokal.
SD Mangunan tidak banyak membebani murid-muridnya. Siswa hanya ditarik uang bulanan
sebesar Rp 500 hingga Rp 1.000 tanpa ada biaya lain. Itu pun hanya sebagai bentuk partisipasi
agar
orang
tua
dan
siswa
merasa
memiliki
sekolah
tersebut.
Pemikiran Pendidikan Romo Mangun menegaskan pendidikan harus mampu mengasah daya
eksplorasi, kreativitas, dan nalar integral anak. Ketiga kata itu; kata pertama, eksploratif. Kirakira maksudnya membuat peserta didik senang mencari dan meneliti. Kaum periferi secara
ekonomi sulit untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, oleh karena itu sejak
usia muda mereka sudah harus dilatih untuk selalu mengasah rasa ingin tahu supaya dengan
modal pendidikan dasar yang mereka miliki, rasa ingin tahunya bisa menuntun membantu
mereka untuk kata kedua, kreatif. Latih mereka menjadi manusia-manusia yang pintar mencipta.
Kemampuan berkreasi mereka akan sangat membantu nantinya begitu bersentuhan langsung
dengan kehidupan. Karena dengan jiwa kreator, sesorang akan tidak-akan pernah kehabisan ide
untuk mencipta. Bagi anak yang lemah secara ekonomi jiwa kreator akan menjadi modal buat
masa depannya, sedangkan bagi anak yang berbakat dan mampu secara ekonomi, jiwa kreator ini
dimanfaatkan untuk kemajuan diri dan masyarakat.
Kata ketiga, integral. Yang berkembang bukan hanya kemampuan kognitif intelektualitas
perserta didik, tapi juga tidak boleh lupa untuk mengembangkan bakat-bakat lain seperti seni,
olahraga, bahasa, budi pekerti, moral, citarasa, religiusitas, kesosialan, politik, dll.
4.

SMP

Alternatif

Qaryah

Thayyibah

Sekolah Laernaif ini merupakan komunitas belajar yang awalnya didirikan oleh Serikat Petani
Qaryah Thayyibah (SPQT) di Kalibening, Salatiga. Awalnya sekolah ini menjadi tempat belajar
bagi anak petani di desa itu yang kekurangn biaya untuk sekolah. Metode yang digunakan
sekolah
alternatif
ini
bisa
dibilang
menakjubkan.

Hasil penelitian Susanto (2008) ini menunjukkan bahwa penerapan metode dialogis versi Paulo
Freire dalam pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terbagi menjadi 6 bagian, antara
lain
(1) Perencanaan pembelajaran atau kurikulum yang digunakan SLTP Alternatif Qaryah
Thayyibah tidak berbeda dengan SLTP lain, karena sama-sama menggunakan kurikulum nasional
(paket B). Kurikulum Paket B di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah hanya dijadikan referensi
dengan menekankannya pada model pendidikan alternatif yaitu: penekanan pemilihan persoalan
yang bebas, penentuan kegiatan pembelajaran bersama, pemberian ijin kepada setiap individu
menentukan pusat perhatian sendiri dalam belajar, dan setiap siswa memiliki kebebasan dalam
menentukan sifat maupun isi apa yang dipelajarinya sendiri. Disini siswa mencari arti
pengetahuan lewat dialog dengan fasilitator maupun dengan kawan-kawannya.
(2) Penentuan materi pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dilakukan bersama-sama
antara guru dan siswa diawal semester melalui dialog yang menjadi salah satu unsur yang sangat
fundamental dalam pendidikan, sedangkan pokok bahasannya ditentukan sendiri oleh setiap
siswa.
(3) Metode pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menerapkan metode pendidikan
hadap masalah, kegiatan pembelajaran selalu dimulai dengan dialog mengemukakan persoalan
kepada siswa. Siswa dihadapkan langsung oleh guru pada masalah-masalah yang terjadi di
lingkungan sekitar, sehingga siswa harus memberikan solusi dari masalah tersebut.
(4) Kegiatan evaluasi pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah bersumber pada diri
siswa sendiri. Evaluasi murni dilihat dari hasil karya siswa, sedangkan sistem raportnya dibuat
sendiri oleh siswa yang berisi pernyataan siswa tentang apa yang sudah dipelajari selama satu
semester dan hasil karya yang dihasilkan selama satu semester. Hasil karya dan pernyataan siswa
tersebut kemudian didiskusikan didepan guru dan teman-teman sekelasnya.
(5) Interaksi antara guru dengan siswa di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah berjalan dengan
sangat harmonis. Semua guru di sekolah ini menempatkan dirinya sebagai sahabat, teman diskusi
sekaligus fasilitator bagi siswa, sedangkan siswa menempatkan diri sebagai subyek yang harus
aktif dalam proses pembelajarannya.
(6) Interaksi antara SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dengan orang tua siswa dan masyarakat
sekitar terjalin dalam suasana persahabatan. SLTP ini menggunakan kaidah lokalitas, dimana
guru, siswa dan pengelola sekolah paham, mengetahui serta menyatu dengan persoalan sosial
dimana
pendidikan
ini
berada.
Kesimpulan
Pendidikan yang membebaskan adalah pembebasan dari belenggu kemiskinan, penindasan, dan
kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka dalam
berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri,
jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan supaya
kehadirannya di dunia ini mempunyai makna bagi transformasi masyarakatnya.

Memahami pendidikan yang membebaskan harus dengan memahami realitas penindasan


struktural yang terjadi melalui belenggu sistem pendidikan yang tidak adil.
Pendidikan memiliki beberapa paradigma, paradigma konservatif dan liberal cenderung
membelenggu dan mempertahankan proses penindasan yang terjadi, maka pendidikan secara
kritis yang melihat hubungan struktural yang menyebabkan permasalahn sosial menjadi landasan
pendidikan yang membebaskan.
Semangat pendidikan yang membebaskan telah sejak lama hadir di negeri ini melalui para tokohtokoh pemikir bangsa yang berjuang memerdekakan bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Pendidikan yang membebaskan tentunya dalam penerapannya di negeri ini, berangkat dan
menyesuaikan dengan nilai-nilai negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai