Anda di halaman 1dari 13

Pendidikan yang Membebaskan

23 Mei 2011 04:41:10 Dibaca : 504


" Pembebasan itu seperti melahirkan sebuah bayi, dan menyakitkan."

"Ini akan menjadi sebuah kontradiksi jika penindas tidak hanya membela tapi sebenarnya
menerapkan pendidikan yang membebaskan."

(Paulo Freire)

Sekilas Pengertian
Pendidikan merupakan proses bagi seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling
penting dalam kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya
menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Pemikiran Paulo Freire yang paling getol
diperjuangkan adalah pendidikan yang membebaskan dalam ari anti-kolonialis. Pendidikan harus
menjadi cara untuk membebaskan peserta didik dari segala macam bentuk penjajahan, apalagi
penjajahan dalam arti sebenarnya.
Pendidikan yang membebaskan sesungguhnya merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang
bukan dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Maksud pendidikan yang membebaskan
adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi
yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang merdeka. Tugas
orang tua memang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk medidik anaknya agar menajdi orang
yang baik dan bertakwa kepada-Nya. Namun, bukan berarti bisa bertindak semena-mena sesuai
dengan kehendaknya sendiri tanpa mendengar apa yang menjadi keinginan sang anak.
Dalam pendidikan yang tidak membebaskan, murid tidak pernah dipandang sebagai pribadi yang
mempunyai pilihan dan berkemampuan untuk berkreasi. Murid dipandang seakan sebuah benda
yang siap menerima dengan pasif sederet dalil pengetahuan dari seorang guru. Bila sudah begini,
pengertian , pemahaman, dan kesadaran akan ilmu pengetahuan yang diberikan seorang guru
kepada muridnya sudah bukan hal yang penting lagi. Ciri pendidikan yang semacam ini biasanya
lebih mengajarkan menghafal kepada murid-muridnya daripada memahami, pilihan tertutup

daripada esai, atau menyalin dan mencatat daipada membahasakannya kembali dengan cara atau
apalagi pemahaman baru.
Kita menginginkan pendidikan yang membebaskan sehingga anak didik dapat menjadi manusia
yang lebih tercerahkan. pendidikan yang membebaskan sangat menghargai proses hasil
pendidikan. Pemikiran freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang
menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong kemampuan anak didik untuk memliki
kedalaman menafsirkan persoalan nyata dalam kehidupannya. Oleh karena itu, proses dalam
pendidikan dinilai lebih penting daripada hasilnya.
Humanisasi Pendidikan
Proses pendidikan yang dilakukan dengan penuh kesadaran secara terus-menerus untuk
memanusiakan manusia. Secara umum, pendidikan juga dimaknai sebagai upaya yang dilakukan
secara sadar dan terus-menerus untuk mengubah dari yang sebelumnya tidak mengetahuiakan
sesuatu lantas menjadi tahu akan sesuatu tersebut. pada saat yang bersamaan, pendidikan bisa
dimaknai pula sebagai upaya untuk mengubah kemempuan seseorang yang sebelumnya belum
bisa melakukan sesuatu menjadi melakukannya.
Namun, makna pendidikan yang sebagaimana di atas dalam praktik dilapangan justru
membelenggu kemnusiaan. maksudnya adalah pendidikan yang pada awalnya ditujukan untuk
mengubah manusia dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu atau dari belum bisa
melakukan sesuatu menjadi bisa, hasilnya ternyata hanya menciptakan manusia-manusia yang
berfungsi seperti robot-robot yang hanya bekerja untuk kepentingan pemodal besar. Anak dididik
hasil dari pendidikan hanyalah menjadi pekerja yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan di
sebuah perusahaan. Pendidikan bukan menjauhkan dari kemanusiaanya yang sejati, melainkan
justru mengembangkan kesadaran kemanusiaan.
Terkait dengan pnedidikan sebagai sarana memproduksi kesadaran mengembalikan manusia
kepada hakikat kemanusiaannya, pendidikan harus bisa berperan membangkitkan kesadaran
kritis para peserta didik. Ini sebagai prasyarat penting menuju pembebasan. Terkait dengan
masalah ini salah satu tugas penting pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem
dan ideology yang dominan dan menguasai masyarakat pada umumnya. Refleksi kritis ini
dilakukan dalam rangka untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju

kehidupan masyarakat yang berkeadilan.


Dalam metode pembelajaran yang tidak membebaskan dan tidak demokratis yaitu sepertihalnya
penggunaan metode ceramah yang dilakukan oleh pendidik, sehingga peserta didik selalu
dianggap sebagai bejana kososng yang harus selalu di isi sampai penuh bahkan tumpah-tumpah.
Model pembelajaran seperti itu menjadikan murid menjadi pasif, dalam pandangan freire
menyebutnya bahwa pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan sepertihalnya sisstem
pendidikan ala bank. mengapa disebut demikian? pihak guru atau pendidik sebagai pihak yang
aktif, sehingga murid menjadi pihak yang pasif. Diantara pendidikan yang hanya pendidikatau
guru saja yang aktif, sedangkan pihak lain sang murid menjadi pasif adalah sebagai berikut:
a. Guru Mengajar, Murid Diajar
b. Guru Mngetahui Murid Belum Tahu
c. Guru Bercerita, Murid Mendengar
d. Guru Membuat Peraturan, Murid Diatur
Berangkat dari pandangan sebagaimana di atas, pendidikan yang hanya satu arah, berarti harus
dirubah menjadi yang dialogis. Sehingga dapat dilakykan seorang guru berpandangan bahwa
tugasnya adalah mendampingi anak didik dalam proses belajar mengajar. pada saat seorang guru
berpandangan bahwa tugasnya mendampingi, yang adal dalam pola hubungan ini adalah
kesejajaran. Sungguh inilah yang penting dalam pendidikan yang membebaskan yakni pada pola
sejajar antara guru dan murid . guru tidak melulu menjadi subyek, sedangkan murid diperlakukan
menjadi obyek . Bila sudah ada pola yang sejajar, dialog dalam proses belajar mengajar adalah
hal yang niscaya akan bisa mengembalikan pendidikan ke hakikat dan tujuannya yang bisa
mencerdaskan anak bangsa dan membebaskan dari belenggu penindasan dan kemiskinan
disampng itu juga harus bisa memanusiakan manusia.
Oleh : Muhammad Harir (Anggota Serikat Mahasiswa Indonesia Cab. Semarang)
Realitas Pendidikan di Indonesia & Penindasan
Keadaan banyak masyarakat di negeri kita masih berada pada masa kehidupan yang sulit, begitu
pula kita sebagai bangsa meski sudah enam dekade kita merdeka. Pendidikan yang diharapkan
mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa pun dalam banyak bentuk hanya
menjadi wahana transfer of knowledge belaka, dan seperti kata Freire membelenggu, karena

pendidikan disetting hanya untuk memenuhi aspek kepentingan pasar, sehingga gagal
menghadapi dinamika perubahan sosial yang ada dan senantiasa dipecundangi oleh kepentingan
penguasa pasar.
Pada situasi inilah kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang mampu memerdekakan
dengan idealisme dan semangat juang untuk tidak mau menjadi pecundang agar dapat
menularkan paradigma itu pada siswanya, penerus negeri ini di masa depan dengan pembelajaran
yang dia berikan agar negeri ini tidak lagi menjadi pecundang.
Sejatinya, pendidikan adalah pembebasan pembebasan dari belenggu kemiskinan, penindasan,
dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka
dalam berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal
potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan
supaya kehadirannya di dunia ini mempunyai makna pendidikan adalah fondasi dan simbol
kekuatan benteng fondasi bangunan bangsa.
Karena itu, Pendidikan yang membebaskan harus dapat membongkar penindasan yang terjadi
karena sistem pendidikan yang malah mendehumanisasi manusia. Proses pendidikan kita saat ini
dalam kaca mata freirean secara tidak sadar menindas dan membelenggu karena pendidikan kita
makin jauh dari realitas atau ani realitas. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas
masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas
kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan
tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses
pembelajaran maupun dalam kegiatan riset.
Realitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin
dan terbelakang tidak dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia.
Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial
kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tercantum dalam konstitusi
bangsa
. Fungsi sekolah yang sejatinya mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa,
kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit
sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal
secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai korban penindasan.
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat
legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek
pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya

tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim
Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu,
dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang
tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan
struktur masyarakat hierarkis piramidal. (http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=27)
Pendidikan Gaya Bank
Menurut Paolo Freire, mengungkapkan bahwa proses pendidikan dalam hal ini hubungan gurumurid di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejanabejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi
sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai celengan dan guru sebagai penabung. Secara
lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model
pendidikan gaya bank tersebut:
Guru mengajar, murid diajar.
Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
Guru bercerita, murid mendengarkan.
Guru menentukan peraturan, murid diatur.
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri
dengan pelajaran itu.
Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia
lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
(Najip, 2003)
Sistem Pendidikan
Proses pendidikan baik formal maupun nonformal pada dasarnya memiliki peran penting untuk
melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Namun juga
sebaliknya, dapat merupakan proses perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih adil. Peran
pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma
pendidikan yang mendasarinya. Dalam Fakih (2001), dijelaskan paradigma tersebut:
Paradigma Konservatif
Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami,
suatu hal yang mustahil dihindari (takdir), bahwa memang ada masalah di masyarakat, Tetapi
bagi mereka, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.
Dengan keyakinan seperti itu, tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan

politik dan ekonomi. Karena itu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian
dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif
sangat mengidealkan masa silam sebagai hal yang ideal dalam pendidikan.
Paradigma Liberal
Kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan
politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam
pendidikan dengan usaha reformasi kosmetik. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar
dari cita-cita Barat tentang individualisme. Karenanya pendidikan yang berorientasi
mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi
individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan peserta
didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri
secara kolektif.
Paradigma Kritis
Paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi
masyarakat di mana pendidikan berada kritis dalam pendidikan melatih murid untuk mampu
mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu
melakukan analisis tentang proses kerja sistem dan struktur, serta bagaimana
mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang
dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang
secara fundamental baru dan lebih baik.
Implikasi Pada Tingkat Kesadaran
Implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan
dapat dilihat dari analisis Freire (1970) yang membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka
yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Proses dehumanisasi terbangun dalam
kesadaran yang dibangun manusia sendiri:
Kesadaran Magis
Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya
sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia
sebagai penyebab dari segala kejadian. Hasil dari paradigma konservatif.
Kesadaran Naif
Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab
dari akar permasalahan. Hasil dari paradigma liberal.
Kesadaran Kritis
Yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling
terkait satu sama lain. Hasil dari paradigma kritis.

(Sulaiman, 2010)

Pendidikan Hadap Masalah untuk Transformasi Sosial


Bagi penganut mazhab Freirean, hakekat pendidikan yang membebaskan dapat dicapai dengan
dengan membangkitkan kesadaran kritis. Visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru
dan lebih adil, selalu menjadi agenda pendidikan. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus
mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis
untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah memanusiakan
kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dalam mentransformasikan gagasan tersebut menjadi metode praksis pembelajaran, khususnya
secara pedagogis. Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan
secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar
pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi) atas realitas
timpang yyang sedang terjadi di lingkungannya dalam hal ini disebiut pendidikan hadap masalah
sebagai antitesis pendidikan gaya bank.
Pada pendidikan gaya bank, murid bisa menjadi objek yang ditentukan oleh guru, sehingga
realitas menjadi jauh. Bagi Freire, guru dan murid sama-sama subjek sadar dari sebuah
pendidikan, dan realitas adalah objeknya, guru hendaknya menjadi seorang fasilitator, motivator,
teman, dan transformator dalam proses bersama murid secara dialogis menemukan kesadaran
atas realitas dan masalah yang sebenarnya dihadapi tidak hanya menghafal materi yang sudah
diciptakan, tapi memahami. Atas kesadaran bersama atas ketimpangan dan realitas itulah guru
dan murid, dapat menjadi bagian dari sebuah transformasi sosial di lingkungannya.
Pemikiran & Praksis Pendidikan Kaum Tertindas di Indonesia
Semangat pendidikan yang membebaskan kaum tertindas tentunya memang diperlukan di negara
dunia ketiga seperti Indonesia dimana ketimpangan sosial ekonomi dan pendidikan masih sangat

tinggi, namun tentunya akan ada penyesuaian bagaimana konsep tersebut akan tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, pemikiran
mengenai pendidikan yang membebaskan juga telah jauh dikumandangakn banyak pemikirpemikir Indonesia yang melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pada masa perjuangan
kemerdekaan, seperti pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara & Tan Malaka, pada masa
kekinian pun dimana ketimpangan masih terjadi pendidikan-pendidikan alternatif juga
bermunculan untuk membebaskan pendidikan dari belenggu penindasa.
1.
Ki Hajar Dewantara & Perguruan Taman Siswa
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan
manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah
secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu
mengendalikan keadaan.
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan
dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan
(balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya
agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan
berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang
mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya.
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan
yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Sistem Among
tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini
orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student
centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi
apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang
dimiliki oleh pendidik.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan


sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan
minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa
dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
2. Tan Malaka & Sarekat Islam School
Sarekat Islam (SI) School didirikan Tan Malaka pada tahun 92. Berdirinya SI School pada masa
menentang kolonial Belanda memiliki maksud memberikan pendidikan alternatif atas pendidikan
Belanda di negeri ini atas dasar politik etis yang tidak sesuai realitas dan menindas. Landasan
pemikiran Tan Malaka adalah: Kekuasaan Kaum Modal Berdiri atas didikan yang berdasar
kemodalan dan Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan. Tujuan
Sekolah ini seperti tercantum dalam buku Tan Malaka SI Semarang dan Onderwijs (1921):
Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis,
ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan
(verenniging)/organisasi.
Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo. Bahwa, murid-murid
kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo, yang hidup dalam kemelaratan
dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa
(Gouvernement) campur lupa dan menghina bangsa sendiri.
Metode yang digunakan:
Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai-bagai vereeniging, yang
berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan vereeniging-vereeniging
tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa
lezat pergaulan hidup.
Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab
yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu kita membangunkan hati belas
kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan akan kewajiban
kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum Proletar.
Dalam vergadering SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak
menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau
perasaan yang sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.
Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar
hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi
watak dan kebiasannya masing-masing.

Singkatnya, Dalam praktek pendidikan di SI School, Tan Malaka mempraktekkan pendidikan


sebagai proses memanusiakan manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup
sebenarnya, yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa
lingkungan pendidikan yang sosial. Tan Malaka menolak adanya praktik diktator dari guru yang
melarang murid untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Cara ini dilakukan agar murid mampu
mengembangkan potensi dan menemukan kepercayaan dirinya.
3.
Romo Mangun & SD Mangunan
Sekolah Dasar Mangunan didirikan pada 1994 untuk menerapkan ide-ide mendiang Romo
Mangunwijaya. Sekolah ini menampung anak-anak jalanan, gelandangan, dan anak petani atau
buruh. Mereka dididik dengan metode pendidikan modern yang lebih interaktif dan jauh dari
indoktrinasi dengan mengadopsi muatan-muatan lokal.
SD Mangunan tidak banyak membebani murid-muridnya. Siswa hanya ditarik uang bulanan
sebesar Rp 500 hingga Rp 1.000 tanpa ada biaya lain. Itu pun hanya sebagai bentuk partisipasi
agar orang tua dan siswa merasa memiliki sekolah tersebut.
Pemikiran Pendidikan Romo Mangun menegaskan pendidikan harus mampu mengasah daya
eksplorasi, kreativitas, dan nalar integral anak. Ketiga kata itu;
kata pertama, eksploratif. Kira-kira maksudnya membuat peserta didik senang mencari dan
meneliti. Kaum periferi secara ekonomi sulit untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, oleh karena itu sejak usia muda mereka sudah harus dilatih untuk selalu mengasah
rasa ingin tahu supaya dengan modal pendidikan dasar yang mereka miliki, rasa ingin tahunya
bisa menuntun membantu mereka untuk,
kata kedua, kreatif. Latih mereka menjadi manusia-manusia yang pintar mencipta. Kemampuan
berkreasi mereka akan sangat membantu nantinya begitu bersentuhan langsung dengan
kehidupan. Karena dengan jiwa kreator, sesorang akan tidak-akan pernah kehabisan ide untuk
mencipta. Bagi anak yang lemah secara ekonomi jiwa kreator akan menjadi modal buat masa
depannya, sedangkan bagi anak yang berbakat dan mampu secara ekonomi, jiwa kreator ini
dimanfaatkan untuk kemajuan diri dan masyarakat.
Kata ketiga, integral. Yang berkembang bukan hanya kemampuan kognitif intelektualitas
perserta didik, tapi juga tidak boleh lupa untuk mengembangkan bakat-bakat lain seperti seni,
olahraga, bahasa, budi pekerti, moral, citarasa, religiusitas, kesosialan, politik, dll.
(Batubara, 2003)
4. SMP Alternatif Qaryah Thayyibah
Sekolah Laernaif ini merupakan komunitas belajar yang awalnya didirikan oleh Serikat Petani

Qaryah Thayyibah (SPQT) di Kalibening, Salatiga. Awalnya sekolah ini menjadi tempat belajar
bagi anak petani di desa itu yang kekurangn biaya untuk sekolah. Metode yang digunakan
sekolah alternatif ini bisa dibilang menakjubkan.
Hasil penelitian Susanto (2008) ini menunjukkan bahwa penerapan metode dialogis versi Paulo
Freire dalam pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terbagi menjadi 6 bagian, antara
lain
(1) Perencanaan pembelajaran atau kurikulum yang digunakan SLTP Alternatif Qaryah
Thayyibah tidak berbeda dengan SLTP lain, karena sama-sama menggunakan kurikulum nasional
(paket B). Kurikulum Paket B di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah hanya dijadikan referensi
dengan menekankannya pada model pendidikan alternatif yaitu: penekanan pemilihan persoalan
yang bebas, penentuan kegiatan pembelajaran bersama, pemberian ijin kepada setiap individu
menentukan pusat perhatian sendiri dalam belajar, dan setiap siswa memiliki kebebasan dalam
menentukan sifat maupun isi apa yang dipelajarinya sendiri. Disini siswa mencari arti
pengetahuan lewat dialog dengan fasilitator maupun dengan kawan-kawannya.
(2) Penentuan materi pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dilakukan bersama-sama
antara guru dan siswa diawal semester melalui dialog yang menjadi salah satu unsur yang sangat
fundamental dalam pendidikan, sedangkan pokok bahasannya ditentukan sendiri oleh setiap
siswa.
(3) Metode pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menerapkan metode pendidikan
hadap masalah, kegiatan pembelajaran selalu dimulai dengan dialog mengemukakan persoalan
kepada siswa. Siswa dihadapkan langsung oleh guru pada masalah-masalah yang terjadi di
lingkungan sekitar, sehingga siswa harus memberikan solusi dari masalah tersebut. (4) Kegiatan
evaluasi pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah bersumber pada diri siswa sendiri.
Evaluasi murni dilihat dari hasil karya siswa, sedangkan sistem raportnya dibuat sendiri oleh
siswa yang berisi pernyataan siswa tentang apa yang sudah dipelajari selama satu semester dan
hasil karya yang dihasilkan selama satu semester. Hasil karya dan pernyataan siswa tersebut
kemudian didiskusikan didepan guru dan teman-teman sekelasnya. (5) Interaksi antara guru
dengan siswa di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah berjalan dengan sangat harmonis. Semua
guru di sekolah ini menempatkan dirinya sebagai sahabat, teman diskusi sekaligus fasilitator bagi
siswa, sedangkan siswa menempatkan diri sebagai subyek yang harus aktif dalam proses
pembelajarannya.
(6) Interaksi antara SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dengan orang tua siswa dan masyarakat
sekitar terjalin dalam suasana persahabatan. SLTP ini menggunakan kaidah lokalitas, dimana

guru, siswa dan pengelola sekolah paham, mengetahui serta menyatu dengan persoalan sosial
dimana pendidikan ini berada.
Kesimpulan
Pendidikan yang membebaskan adalah pembebasan dari belenggu kemiskinan, penindasan, dan
kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka dalam
berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri,
jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan supaya
kehadirannya di dunia ini mempunyai makna bagi transformasi masyarakatnya.
Memahami pendidikan yang membebaskan harus dengan memahami realitas penindasan
struktural yang terjadi melalui belenggu sistem pendidikan yang tidak adil.
Pendidikan memiliki beberapa paradigma, paradigma konservatif dan liberal cenderung
membelenggu dan mempertahankan proses penindasan yang terjadi, maka pendidikan secara
kritis yang melihat hubungan struktural yang menyebabkan permasalahn sosial menjadi landasan
pendidikan yang membebaskan.
Semangat pendidikan yang membebaskan telah sejak lama hadir di negeri ini melalui para tokohtokoh pemikir bangsa yang berjuang memerdekakan bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Pendidikan yang membebaskan tentunya dalam penerapannya di negeri ini, berangkat dan
menyesuaikan dengan nilai-nilai negeri ini.
Daftar Pustaka
Susanto, Arif. (2008). Penerapan metode dialogis versi Paulo Freire dalam pembelajaran (Studi
kasus pada SLTP alternatif Qaryah Thayyibah Desa Kalibening Kotamadya Salatiga Jawa
Tengah). Malang: Digilib UNM. Sumber: http://library.um.ac.id/freecontents/index.php/pub/detail/penerapan-metode-dialogis-versi-paulo-freire-dalampembelajaran-studi-kasus-pada-sltp-alternatif-qaryah-thayyibah-desa-kalibening-kotamadyasalatiga-jawa-tengah-arif-susanto-35480.html
Batubara, Bosman. (2003). PENDIDIKAN KITA: Sebuah Diagnosa Terhadap Romo Mangun,
dan Romo Mangun Sebagai Sebuah Diagnosa Terhadap busuk-busuk Pendidikan Nusantara.
LSM Insan: bahan diskusi. Sumber: http://pmiisleman.or.id/pendidikan-kita-sebuah-diagnosaterhadap-romo-mangun-dan-romo-mangun-sebagai-sebuah-diagnosa-terhadap%E2%80%9Cbusuk-busuk%E2%80%9D-pendidikan-nusantara/#_edn13
Malaka, Ibrahim Sutan. (1921). SI Semarang dan Onderwijs. Marxist.org. Sumber:
http://marxists.org/indonesia/archive/malaka/1921-SISemarang.htm
Sujatmoko, Ivan. (2011). Sejarah Taman Siswa. Sumber:
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/sejarah-taman-siswa.html
Berita: Liputan6. (2005). SD Mangunan, Sekolah Rakyat Miskin. Sumber:

http://news.liputan6.com/read/105799/sd-mangunan-sekolah-rakyat-miskin
Sulaiman, Syuaib. (2010). Paradigma Pendidikan dalam Persepektif Pendidikan Islam. Polewali
Mandar: Data Studi. Sumber: http://datastudi.wordpress.com/2010/12/07/paradigma-pendidikandalam-perspektif-pendidikan-islam/
Najip, Ahmad. (2003). Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan. Sumber:
http://digoel.wordpress.com/2008/01/03/nilai-pedagogis-paulo-freire-dan-masa-depanpendidikan/
Fakih, Mansour., dkk., (2001) Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. ReaD Books:
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai