Anda di halaman 1dari 7

 Biografi Singkat Al Farabi

Al-Farabi terlahir dengan nama Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn
Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872M 1. Sebagai salah satu pemikir, Al-
Farabi berperan penting dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam
ilmu logika (manthiq) dan filsafat, dengan kemampuan tersebut, gelar sebagai guru kedua
(al-mu’allim tsāni), layak disematkan2. Pergulatan intelektual yang ia lakukan selagi berada
di Baghdad, membuat dirinya berhasil memadukan pemikiran islam dengan pemikiran
Yunani sehingga mampu dimengerti dalam konteks agama.

Tidak berhenti sampai disitu, Al-Farabi juga sangat produktif dalam menelurkan
berbagai kitab dan karya tulis lainnya seperti Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u
Baina Ra’yai al-Hākimain, Risālah al-Itsbāt al-Mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al- Jam’u Baina
Ra’yu al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah al-Fadhīlah, al-Mūsiqā al- Kabīr, Risālah
Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil, al-Madīnah al-Fadhīlah, Ārā’ Ahl al- Madīnah al-
Fadhīlah, dan al-Ihshā al-Ulūm yang konon merupakan karya terakhir sebelum ia wafat3.
Setelah melakukan berbagai penjelajahan intelektual, Al Farabi wafat di Damaskus tahun
339H/950M. Kelahirannya yang bertepatan dengan kekacauan dan ketiadaan stabilitas
politik, membuat Al Farabi memiliki kecenderungan untuk berkenalan dan mencoba
mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam
untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal.

 Pemikiran Politik Al Farabi

Pemikiran politik Al Farabi memiliki kekhususan mengenai negara dan kepemimpinan.


Bahkan, Al Farabi memiliki karya khusus yang membahas persoalan tersebut, yaitu Ara’ ahl
Madinah Alfadhilah. Pandangannya mengenai asal usul negara, Al Farabi berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain untuk
keberlangsungan hidupnya, dengan demikian maka diperlukan kehidupan bersama yang

1
Harahap Anwarudin. (1981). “Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam”, skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
2
M. Wiyono. (2016). “Pemikiran Filsafat Al Farabi”. Substantiajurnal. Vol.18 No.1, April 2016.
3
Ibid.
disebut sebagai masyarakat. Adapun tujuan bermasyarakat, dalam pandangan al-Farabi, tidak
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan
kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materiil
tetapi juga sprituil, tidak saja didunia yang fana ini tetapi juga di akherat nanti4. Meskipun
kandungan pendapat tersebut menyerupai apa yang disampaikan oleh Plato, tetapi Al Farabi
melakukan penambahan analogis doktrin Islam untuk menyatakan keterkaitan dan kesaling
ketergantungan seseorang dengan yang lain.

Dalam pemikiran politiknya yang tertulis melalui karya Ara’ ahl Madinah Alfadhilah,
Al Farabi menanamkan konsep besar yang disebut dengan “Kota/Negara Utama”. Adapun
yang dimaksud sebagai kota/negara utama, adalah kota/negara yang semua warga negaranya
merupakan warga yang mengenali hakikat Tuhan, intelek aktif, kehidupan akhirat, dan
bersandar pada tata nilai kebajikan5. Al Farabi mengibaratkan bahwa seluruh kota adalah satu
kesatuan yang utuh dan saling berkaitan, percis seperti organisme tubuh. Tidak berhenti
hanya disitu, dalam kota utama juga diperlukan penguasa yang memiliki kualifikasi
intelektual yang sempurna, baik sebagai subjek maupun objek pemikiran. Selain kota utama,
dalam karya ini juga, Al Farabi menjelaskan bahwa terdapat bermacam-macam kota dengan
berbagai corak kepemimpinan yang ada dengan tujuan berlawanan dengan kota/negara
utama. Kota-kota tersebut adalah Almadinah Aljahilah (Kota/ Negara Kebodohan);
Almadinah Alfasiqah (Kota /Negara Fasik); Almadinah Alubaddilah (Kota/Negara bertukar
Kebutuhan); Almadinah Aldhallah (Kota /Negara Sesat). Al Farabi juga menyebutkan
mengenai kelompok Alnawabit (masyarakat kayu-kayuan) atau Albaqin (yang tersisa) dalam
kota utama6. Penjelasan mengenai kota-kota tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kota/Negara Kebodohan (Almadinah Aljahilah)


Kota/Negara Kebodohan adalah kota yang semua warga negaranya merupakan warga
yang tidak mengetahui kebahagiaan sebagai tujuan dalam kehidupan, jika mereka
diingatkan mereka akan meragukan, begitu pula jika diperlihatkan kepada kebahagiaan,
mereka enggan melaksanakannya. Jiwa penduduk kota/negara kebodohan, menurut
4
Said, Abdullah. (2019). “Filsafat Politik Al Farabi”. Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy. Vol. 1
No.1, 2019.
5
Majid Fakhry. (2002). “Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis”. Bandung : Mizan, hlm 54
6
Sukardi, Imam. (2017). “Negara dan Kepemimpinan dalam Pemikiran Al Farabi”. Jurnal Pemikiran Islam dan
Filsafat. Vol 14 No.2, Juli –Desember 2017.
Alfarabi tidak sempurna. Keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu besar
dan tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu kemudian berujung (pengenalan)
kepada Pencipta Pertama7. Al Farabi membagi kota/negara bodoh ini menjadi enam
bentuk yakni,
a. Kota Primitif / Kebutuhan Dasar (al-madinah al-dharuriyyah)
Kota ini berisikan masyarakat yang hanya memprioritaskan kehidupan dasar manusia
seperti makan, minum, tempat tinggal, dan menikah. Mereka hanya mau bekerjasama
untuk memenuhi kebutuhan demi keberlangsungan hidupnya saja.
b. Kota Jahat/Hedonis (al-madinah al-nadzalah)
Kota ini berisikan masyarakat yang menumpuk harta serta menjadikan kekayaan sebagai
tujuan hidup mereka. Masyarakat di kota ini hidup dalam berlebih-lebihan dan
menganggap kota mereka sebagai kota paling utama diantara kota lainnya.
c. Kota Sakit/Hina (al-madinah al-khassah)
Kota ini berisikan masyarakat yang saling berlomba mencari kenikmatan dan kesenangan
semu, baik dalam urusan makan, minum, berhubungan seks, maupun dalam urusan
khayal. Masyarakat di kota ini beranggapan bahwa kota mereka merupakan kota yang
paling membahagiakan, sebab semua kebutuhan duniawi mereka terpenuhi.
d. Kota Penghormatan/Aristokratik (al-madinah al-karamiyah)
Kota ini berisikan masyarakat yang memiliki tujuan untuk meraih kehormatan, pangkat
dan dipandang tinggi oleh kota lain. Mereka juga melakukan penghormatan terhadap
orang lain, dengan harapan mendapatkan timbal balik dari perilakunya tersebut.
e. Kota Tirani/Imperialis (al-madinah al-taghallub)
Kota ini berisikan masyarakat yang memiliki ambisi untuk menaklukan orang lain,
mereka mendambakan kekuasaan dengan cara mengalahkan orang lain. Dengan kata lain,
masyarakat kota ini menginginkan orang lain taat kepadanya, dengan demikian dia dapat
melampiaskan hawa nafsunya tanpa ada halangan dari siapapun.
f. Kota demokratis/Anarkis (all-madinah al-jama’iyah)
Kota ini berisikan masyrakat yang memiliki impian untuk bebas dan merdeka sesuai
dengan kehendaknya masing-masing. Masyarakat disini menganggap bahwa setiap
manusia memiliki kebebasan untuk berperilaku, tidak diatur, dan melakukan kegiatan

7
Ibid.
sesuai dengan hatinya. Tidak boleh ada larangan yang mengatur sehingga sering sekali
terjadi anarki di dalam kota tersebut.

2. Kota/Negara Fasik (Almadinah Alfasiqah)

Kota/Negara fasik adalah kota yang semua warga negaranya merupakan warga yang
secara pandangan memiliki kesamaan dengan warga di kota/negara utama. Mereka
mengetahui konsep kebahagiaan dengan meyakini akan adanya Allah, benda-benda langit
dan akal aktif. Namun demikian, perilaku yang mereka lakukan, sangat bertolak belakang
dengan itu. Mereka justru sering berperilaku seperti warga di kota/negara kebodohan. Jiwa
penduduk kota/negara fasik, menurut Al Farabi sakit. Mereka menderita akibat perbuatannya
yang hina. Mereka akan selalu merasa tersiksa dan akan hidup dalam kesengsaraan.

3. Kota/Negara yang Merosot (Almadinah Almubaddilah)


Kota/Negara Merosot adalah kota yang semua warga negaranya semula, memiliki
pandangan yang selaras dengan warga kota/negara utama. Namun, setelah menerima
berbagai pandangan, masyarakat di kota tersebut berubah mengikuti pandangan yang
biasanya terjadi di kota/negara kebodohan.
4. Kota/Negara yang Sesat (Almadinah Adh dalalah)
Kota/Negara Sesat adalah kota yang semua warga negaranya memiliki sifat dan perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Meskipun pada awalnya masyarakat di kota
ini meyakini bahwa akan ada kebahagiaan di akhirat, tetapi mereka mengingkari itu.
Mereka percaya akan Tuhan, Malaikat, benda langit dan mengekspresikan hal tersebut
dengan cara yang salah serta dengan khayalan.
5. Kelompok Masyarakat kayu-kayuan (Alnawabit)
Selain kota/negara yang bersebrangan dengan kota/negara utama, terdapat kelompok
alnawabit yang mungkin lebih berbahaya untuk kelangsungan kota/negara utama. Al
Farabi membagi kelompok alnawabit menjadi beberapa tingkatan, yang pertama adalah
Almutaqanisun, yakni kelompok yang beranggapan bahwa perbuatannya akan
mendatangkan kebahagiaan, tetapi ternyata tidak memberikan kebahagiaan tersebut.
Mereka justru mendapatkan jabatan dan penghormatan dari apa yang mereka perbuat.
Kelompok kedua, Almuhariffun, yakni kelompok yang melegalkan berbagai cara yang
ada didalam kota/negara agar sesuai dengan hawa nafsunya, kelompok ini sangat pandai
dalam melakukan pembuktian-pembuktian sehingga pendapat dan kepentinganya dapat
diakomondasi. Kelompok ketiga, Almariqah, yakni kelompok yang tidak bermaksud
untuk menyelewengkan peraturan yang ada dalam kota/negara, tetapi akibat keterbatasan
pemikirannya, mereka salah menginterpretasi hal tersebut sehingga bertentangan dengan
aturan yang ada. Kelompok keempat Almustarsyidun, yakni kelompok yang terus
mencari kebenaran dari yang sudah ditanamkan, mereka tidak mencari atau menjatuhkan
kota/negara utama, tetapi mereka terus mencari kebenaran yang mereka yakini akibat dari
keraguan dalam berkeyakinan. Kelompok kelima, Almuzayyafun, yakni mereka yang
dengan sengaja menyangkal dan memalsukan keyakinan yang telah ada, menurut Al
Farabi, tujuan mereka melakukan hal tersebut, hanya untuk mendapatkan kemenangan,
atau beradaptasi dengan kecenderungan yang menjadi tujuan kota kebodohan. Mereka
menjauhkan dan mencela pengertian kebagaiaan sejati yang selama ini diyakini dan
diikuti oleh kota/negara utama.
Selain mengenai kota/negara utama, Al Farabi juga menjelaskan mengenai
kepemimpinan. Dalam pandangannya, Al Farabi menilai bahwa pemimpin yang ideal
adalah para nabi karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal
fa’al, yang merupakan sumber kebaikan. Al Farabi menilai, bahwa untuk menjadi
seorang pemimpin (terutama pemimpin politik), diharuskan memiliki beberapa kriteria
tertentu, diantaranya, kelengkapan anggota badannya, memiliki intelegensi yang baik dan
mudah untuk dimengerti, memiliki intelektualitas yang tinggi, pandai menyampaikan
pendapat, pecinta pendidikan dan gemar mengajar, tidak mengejar dan berlebihan dalam
urusan makanan, minuman, dan wanita, mencintai kejujuran dan kebenaran, berbudi
luhur, tidak mengutamakan keduniaan, adil, memiliki sifat optimisme dan besar hati, kuat
pendirian, penuh keberanian, antusiasme dan tidak berjiwa kerdil. Andaikata tidak ada
seorangpun yang memenuhi dua belas karakter itu, kepala Negara dapat dipikul secara
presidium8.

8
Azhar, Muhammad. (1997). “Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat”. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hlm 79
 Kritik Pemikiran Politik Al Farabi
Konsepsi pemikiran filsuf-filsuf muslim mengenai asal usul negara, memiliki
banyak kesamaan. Hal itu merupakan cerminan bahwa pengaruh para pemikir Yunani
sangat mempengaruhi pemikiran mereka pada saat itu. Namun demikian, para pemikir
muslim memiliki perspektif khusus terutama setelah mereka mensisipi ajaran-ajaran
islam di dalam pemikirannya. Dari kekhususan itulah, maka terjadi perbedaan dalam
pemikiran mereka, terutama yang berkaitan dengan jabatan kepala negara, siapa yang
harus menjadi kepala negara, sumber kekuasaan kepala negara, dan hubungan antar
kepala negara dengan rakyatnya.
Dalam pandangan Al Farabi, seorang pemimpin negara haruslah seorang filsuf
yang memperoleh kearifan melalui rasio dan pikiran ataupun wahyu. Hal ini mendapat
tentangan dari para pemikir terdahulu maupun setelahnya, seperti Ibnu Abi Rabi’, al-
Ghazali, Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa kekuasaan kepala negara merupakan
mandat yang diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Mereka mengatakan
bahwa pemimpin negara merupakan khalifah yang dipilih Allah, yang kedudukannya
tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Mereka sangat mendalami nuansa islami
dalam pemikiran tersebut.
Al Farabi juga dinilai sangat terpengaruh oleh pemikiran Yunani, hal tersebut
dapat dilihat dari konsep idealisme utopis yang sangat mirip dengan pemikiran Plato pada
saat Yunani kuno. Konsep semacam itu sangat mustahil untuk diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarkat.
Daftar Pustaka

Buku

Azhar, Muhammad. (1997). “Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat”. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Majid Fakhry. (2002). “Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis”. Bandung : Mizan.

Jurnal dan Skripsi

Harahap Anwarudin. (1981). “Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam”, skripsi
sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

M. Wiyono. (2016). “Pemikiran Filsafat Al Farabi”. Substantiajurnal. Vol.18 No.1, April 2016.

Said, Abdullah. (2019). “Filsafat Politik Al Farabi”. Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy. Vol. 1 No.1, 2019.

Sukardi, Imam. (2017). “Negara dan Kepemimpinan dalam Pemikiran Al Farabi”. Jurnal


Pemikiran Islam dan Filsafat. Vol 14 No.2, Juli –Desember 2017.

Anda mungkin juga menyukai