Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

HAK ASASI MANUSIA (HAM)1


DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL2
M.Ya’kub A.Kadir*

Abstract

Human Rights has been a contentious issue within international law and national law. It has
emerged within the frame of “untold sorrow to mankind” after world war I and II. The
international human rights norms have been transformed to some extend into Indonesian legal
system. However; this transformation has faced difficulties in implementation since the norm
deduced from different values and cultures. Moreover, the international political and economical
issues become a hidden issue surrounding its enforcement. This paper attempts to describe and
analyze the development of human rights from International Law into Indonesian legal system,
as well as some constraints around it.

Keywords: Hak Asasi Manusia, Hukum Internasional, Hukum Nasional

A. Pendahuluan
Hak asasi manusi (HAM) merupakan istilah yang lahir dari keprihatinan nasib
kemanusiaan yang menghendaki pengakuan dan penghormatan terhadap sifat sifat
tertentu yang melekat pada setiap diri umat manusia secara universal (tidak mengenal
batas ruang dan waktu).3 Hal ini termaktub dalam pembukaan Charter of the United
Nation (Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa) 1945 “...untold sorrow to mankind, and to
reaffirm faith in fundamental human rights…” (duka kemanusiaan yang tak terucapkan
dan untuk meneguhkan keyakinan atas dasar Hak Asasi Manusia…)”. kemudian dalam
mukaddimah Rome Statute 1998 tentang berdirinya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) ditegaskan lagi: ”Mindful that during this century millions
of children, women, and man have been victims of unimaginable atrocities that deeply
shock the conscience of humanity”. 4 ( Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta juta anak,

*Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Aceh. Email:


muyakadir@yahoo.com
1
Istilah HAM yang digunakan dalam seluruh tulisan ini merupakan singkatan dari Hak Asasi
Manusia.
2
Hukum Nasional yang dimaksud disini adalah hukum nasional Indonesia. Makalah ini
disampaikan dalam acara Workshop Perda Keagamaan dan HAM: Promosi Nilai Nilai HAM di Kalangan
Pemimpin Muda Islam, Banda Aceh, Rabu, 14 Mei 2008 di Banda Aceh.
3
Bandingkan dengan beragam definisi tentang Hak Asasi Manusia seperti, Baharuddin Lopa, Al-
Quran dan Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, hal.1, Sidney Hook,
“Renungan Tentang Hak Asasi Manusia” dalam Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (penyunting), Hak
Asasi Manusia dalam Islam, Pustaka Firdaus, , Jakarta, 1987, Hal. 19.
4
Lihat Preamble Rome Statute 1998.

1
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

perempuan, dan laki laki telah menjadi korban kekejaman tak terbayangkan yang sangat
mengguncang nurani kemanusiaan). Ini adalah pengakuan dari keresahan yang
mendalam atas nasib kemanusiaan setelah perang dunia I dan II. Ide universal ini
kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum internasional dan nasional di
berbagai negara agar supaya dapat melindungi dan menegakkan nilai nilai HAM
universal tersebut.
Pada dasarnya hak asasi manusia sudah ada bersamaan dengan adanya manusia
itu sendiri. Karena itu membicarakan sejarah hak asasi manusia, berarti membicarakan
sejarah kehidupan manusia sejak pertama kali, yaitu sejak penciptaan Nabi Adam AS.
sampai sekarang ini. Kehadiran instrument hukum international dan hukum nasional
tidaklah berarti sebagai awal ataupun final dari sejarah HAM. HAM harus dipertahankan
dan diperjuangkan sampai batas maksimal. Perjuangan ini terus berlanjut sampai
kehidupan manusia menemukan titik keseimbangan.
Sebagai ide universal, negara negara dunia tidak dapat menolak ide tersebut,
meskipun kemudian disadari bahwa perjanjian perjanjian HAM internasional
menimbulkan kendala kendala dalam implementasi di setiap negara yang berbeda.5
Tulisan ini bermaksud menarik benang merah HAM dari hukum internasional
hingga menjadi hukum nasional serta beberapa persoalan yang mengitarinya.

B. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional


Konsep HAM yang berkembang mempunyai hakikat untuk melindungi
kepentingan perseorangan setiap individu. Pada saat ini telah ada beberapa instrumen
yuridis untuk melindungi HAM dalam konteks hukum internasional. Namun sebelum
munculnya instrumen yuridis tersebut, telah terjadi perdebatan mengenai status individu
dalam hukum internasional.
Dalam hukum internasional, paradigma negara sentris telah mengakar sejak lama.
Sehingga ketika muncul ide untuk membuat perlindungan internasional terhadap HAM,
maka pro dan kontra terjadi. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hukum internasional
hanya mengatur hubungan antar negara, sehingga individu tidak dapat dianggap sebagai

5
Lihat Joseph Raz, Human Rights Without Foundation, University of Oxford, Faculty of Law
Legal Studies Research Paper Series, Working Paper No 14/2007.

2
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

subyek hukum internasional.6 Namun menurut Prof. George Scelle, hanya individu yang
menjadi subjek hukum internasional.7 Pendukung terhadap pendapat ini menyatakan
bahwa tujuan akhir dari pengaturan pengaturan konvensional adalah individu dan oleh
karena itu individu mendapatkan perlindungan internasional. Pendapat lain menyatakan
bahwa negara sebenarnya adalah entitas abstract, dan pada dasarnya negara terdiri dari
individu individu, sehingga sudah sewajarnya individu dapat dikatogorikan sebagai
subjek hukum internasional meskipun terbatas dalam hal hal tertentu. Kehadiran
peradilan militer Nuremburg 1945, yang ditujukan untuk menghukum para pelaku
kejahatan perang selama perang dunia II, International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia, International Criminal Tribunal for Rwanda, berhasil menegaskan status
individu menjadi subjek hukum internasional (individual responsibility), sehingga secara
langsung individu mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internsional.8
Untuk melindungi HAM, instrument yuridis menjadi suatu hal yang sangat
diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan penegakan
HAM. Secara historis empiris, ada beberapa instrument yuridis internasional yang
muncul untuk melindungi HAM, antara lain:9
1. Magna Charta 1215, dokumen ini mencatat beberapa hak yang diberikan oleh
Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan
mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John tersebut.
2. Bill of Rights 1698, ini merupakan undang undang yang diterima oleh parlemen
Inggris setelah terjadi perlawanan terhadap raja James II dalam revolusi tidak
berdarah yang dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
3. Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789, naskah yang dicetuskan
pada permulaan revolusi perancis, sebagai perlawanan terhadap rezim yang lama.
4. Declaration of Independence, naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada
tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari konstitusi Amerika pada tahun
1791.

6
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Penerbit Alumni Bandung, 2005, hlm. 57-58.
7
Lihat Madame Paul Bastiad, Cours de Droit International Public Approfondi, Les Cours de
Droit, Paris 1958-1959, p. 23, sebagaimana dikutip dalam Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 57.
8
Lihat pasal 1 Statuta Rome 1998: “ …and shall have the power to exercise its jurisdiction over
persons for the most serious crimes of international concern…”. Lihat juga Frederic S. Pearson & Martin
Richester, International Relation, The Global Condition in the Late Twentieth Century, McGraw-Hill,
1992, p. 332. lihat Jorge R Coquia and Miriam Defensor Santiago, International Law, Central Professional
Books, Philippine, 1998, p. 79-83.
9
Baca lebih lengkap di Dinah Shelton, An Introduction to the History of International Human
Right Law, Working Paper August 2007, Legal Studies Research Paper No. 346, The George Washington
University, Law School.

3
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

Hak hak yang dihasilkan dalam dokumen tersebut sangat dipengaruhi oleh
gagasan Hukum Alam, dan hanya terbatas pada hak hak yang bersifat politis seperti
persamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih, dan lainnya. Namun instrumen
yuridis yang lahir pada masa pertengahan tersebut menjadi dasar bagi pembentukan
instrumen yuridis perlindungan HAM modern. Salah satu tonggak terwujudnya
perlindungan HAM modern adalah empat hak yang dirumuskan peresiden Amerika
serikat, Franklin D. Roosevelt, yaitu:10
1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech)
2. Kebebasan beragama (Freedom of Religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (Freedom from Fear)
4. Kebebasan dari kemelaratan (Freedom of Poverty)
Perserikantan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi organisasi internasional yang
memberi konstribusi besar dalam pembentukan perlindungan HAM internasional.
Dokumen yang dihasilkan, yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada
tanggal 10 Desember 1948, melalui Majelis Umum PBB ini mengambil dasar pemikiran
dari konsepsi HAM yang dikembangkan oleh kebudayaan Barat, dan tidak ada satu
negara PBB pun yang melawan hal ini, meskipun Arab Saudi, Afrika Selatan dan negara
Blok Soviet bersikap abstain.11 UDHR mengatur mengenai hak hak yang harus
dilindungi, yaitu pasal 3-21 mengenai hak hak sipil dan politik, pasal 22-27 mengenai
hak hak ekonomi, sosial dan kebudayaan. Meskipun UDHR mempunyai arti historis
penting dan nilai nilai politik yang tinggi, UDHR tidak mempunyai kekuatan mengikat
(not legally binding) kepada negara negara anggota PBB. Namun demikian ketentuan
ketentuan dalam UDHR telah banyak dimasukan dalam legislasi nasional masing masing
negara anggota PBB, sehingga prinsip prinsip dalam UDHR dapat dianggap sebagai
Customory International Law.
Pada mulanya, negara negara anggota PBB merencanakan untuk membuat
instrument tunggal yang disebut dengan “International Bill Of Rights”, namun terjadi
perubahan sehingga pada tahun 1951 disepakati untuk membuat dua Kovenen
Internasional. Perubahan kesepakatan dari satu instrument tunggal menjadi dua kovenan

10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.
120.
11
Stephen Ryan, United Nations Dan International Politics, Macmillan Press, London, 2000, p.
140.

4
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

internasional disebabkan karena pertentangan yang terjadi antara superpower blocks


yang tidak dapat menyepakati apa saja yang harus dicantumkan dalam sebuah instrument
tunggal. Negara negara barat yang menganut demokrasi liberal menginginkan penekanan
terhadap hak hak individu yang telah ada sejak lama (hak sipil dan politik), sedangkan
negara negara marxis menginginkan penekanan terhadap hak hak kelompok atau hak
hak kolektif, terutama yang bersifat ekonomi dan sosial. Pada tahun 1966 di buat
International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), dan International
Convention on Economic, Sosial and Cultural Rights (ICESCR). Kedua konvenan ini
mempunyai kekuatan mengikat kepada negara negara anggota PBB pada tahun 1976,
dengan rinciannya sebagai berikut:

1. ICCPR (International Convention on Civil and Political Rights)


a. hak untuk hidup
b. Pelarangan penyiksaan
c. Pelarangan perlakuakn tidak manusiawi dan merendahkan
d. Pelarangan perbudakan
e. Kebebasan berpikir dan beragama
f. Kebebasan berkumpul
g. Kebebasan berexpresi
2. ICESCR (International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights)
a. hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil
b. hak untuk mendapatkan perlindungan sosial dan standar hidup yang pantas
c. hak untuk mendapatkan pendidikan
d. hak untuk mendapatkan jaminan sosial

Setelah disepakatinya dua Kovenan Internasional tersebut, timbullah inspirasi


terhadap lahirnya sekitar 80 konvensi, deklarasi dan dokumen lainnya mengenai HAM,
antara lain:
Convention on the Prevention and Punishment of the crime of Genocide 1948
Convention relating to the states of the refugees 1951
International convention on the Elimination of all forms of racial
Discriminations 1966
Convention on the elimination of discrimination against women 1979
Convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment
or punishment 1984
Convention on the right of the child 1989

5
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

Disamping itu lahir juga aturan aturan perlindungan HAM di tingkat regional, seperti:
The Europian Convention on Human Rights (Konvensi HAM Eropa 1950)
The European convention for the prevention of terture and inhuman and
degrading treatment or punishment 1987
The American Convention of human rights 1978
The Banjul charter on human and people rights 1981 (Organization of
African unity)

Lahirnya instrument instrument HAM tersebut, tidak lain bertujuan untuk


mencegah terjadinya pelanggaran pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat
(Gross Violation of human rights). Pada saat ini pelanggaran HAM berat diadili oleh the
International Criminal Court(ICC), yang didirikan berdasarkan Roma Statute 1998. dalam
statute tersebut istilah pelanggaran HAM berat memang tidak ditemukan, namun
penyebutannya mempunyai padanan“the most serious crimes of international concern
”.12 Pengertian ini mencakup genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan agresi (aggression).13

Dominasi HAM Yang Tidak Berimbang


Dominasi HAM yang tidak berimbang merupakan kenyataan dari begitu kuatnya
hegemoni ”Barat” dalam perumusan dan pembentukan hukum internasional,14sehingga
instrumen HAM internasional merupakan produk dari sebuah peradaban yang belum
tentu dapat mewakili peradaban dan kebudayaan belahan dunia yang lain. Dominasi ini
terlihat jelas dalam perumusan sumber sumber hukum internasional15 sendiri
sebagaimana termaktub dalam article 38 (1) Statute International Court of Justice:
The court, whose function is to decide in accordance with international law such
dispute as are submitted to it, shall apply:
(a) International conventions, whether general or particular, establishing rules
expressly recognized by contesting states;
(b) International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
(c) The general principles of law recognized by civilized nations;

12
Lihat Rome Statute 1998, article 1.
13
Lihat Rome Statute 1998, article 5.
14
Lihat betapa kuatnya peranan 5 anggota permanent Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa
Bangsa jika dibandingkan dengan General Assembly, seperti dalam article 10-14 Piagam PBB.
15
Lihat pembahasan tentang sumber sumber hukum internasional dalam Abdul Ghafur Hamid dan
khin Maung Sein, Source of International Law: A Re-Evaluation, IIUM Law Journal, Vol.11, Nomor 2,
2003, hal. 3.

6
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

(d) Subject to the provisions of article 59, Judicial decisions and the teachings of the
most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.16

Penggunaan istilah the general principle of law recognized by Civilized Nations,


mengekplisitkan seperiositas sebagian bangsa dari bangsa yang lain, sebagian dianggap
negara negara beradab, sedangkan sebagian lain tidak beradab.17 Hal ini menyebabkan
pembentukan hukum HAM lebih banyak diwarnai ole ide ide HAM barat. Pandangan
HAM barat lebih cenderung kepada hak sipil dan politik individu, dalam arti bagaimana
mengurangi kewenangan pemerintah terhadap rakyatnya, sedangkan negara negara soviet
mengutamakan hak hak dasar dan kebebasan untuk perdamaian dan keamanan dunia,
peran negara cenderung lebih besar karena negara adalah kumpulan dari individu
individu.

Prinsip Prinsip Dasar HAM Internasional


1. Domestic Jurisdiction
Aturan dasar ini bermakna, negara tidak punya hak untuk mencampuri urusan
negara lain sebagai konsekwensi dari equality dan sovereigny negara, sesuai
dengan article 2(7) United Nation Charter.
2. Penyelesaian dengan aturan hukum domestic sebelum mekanisme hukum
internasional diterapkan. Prinsip ini merupakan perpanjangan dari prinsip
pertama.
3. Prioritas hak hak tertentu, meskipun dalam keadaan perang atau darurat, seperti
dalam Europian Convention tersebut hak hidup, larangan penyiksaan dan
perbudakan dsb.
4. Customary international law dan human rights. Berbagai macam aturan tentang
HAM baik internasional maupun regional sekarang dianggap menjadi customary
16
Article 59 stated that “the decision of the court has no binding force except between the parties
and in respect of that particular case”. See completely related article of Statute of the International Court of
justice (1945) in Evan, Malcom D, International Law Documents, (3rd edition, Backstone, 1991, London)
p.26-36.
17
Hikmahanto Juwana menyatakan hal ini merupakan “penghinaan” dalam konteks masyarakat
internasional , bahwa Piagam PBB tidak diamandmen dan masih dicantumkan kata kata “bangsa bangsa
yang beradab”, lihat Hikmahanto Juwana, Pemberdayaan Budaya hukum dalam Perlindungan HAM di
Indonesia; HAM dalam Perspektif Sistem Hukum Internasional, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia,
hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung,
2005. Hal.72

7
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

international law (hukum kebiasaan internasional) dari sudut pandang praktek


negara neagra, antara lain termasuk, larangan penyiksaan, genosida, perbudakan
dan prinsip non diskriminasi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, sebagimana disebutkan oleh Tunkin, bahwa
HAM dalam hukum internasional bermakna:
Semua negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak hak dasar dan
kebebasan dari semua orang dalam wilayah teritorialnya.
Negara berkewajiban untuk tidak membolehkan adanya diskriminmasi atas dasar
jenis kelamin, ras, agama dan bangsa.
Negara membpunyai kewajiban untuk mempromosikan penghormatan universal
dan bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan ini.18

Tahapan Tahapan Perkembangan HAM Internasional


Perlindungan HAM dalam hukum internsional dalam beberapa tahap:
1. Periode pembentukan sistem, dari piagam PBB ke deklarasi Universal HAM
(1945-1948);
2. Periode perbaikan sistem, menuju kepada pengesahan berbagai konvensi dan
isntrumen HAM internasional (1949- 1966);
3. Periode pelaksanaan sistem, dimulai dari pengesahan instrumen hingga konferensi
Wina (1967-1993);
4. Periode perluasan sistem, dari konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak lanjut
(1993-1995);
5. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996- sekarang).

Upaya untuk memajukan HAM di tingkat internasional dilakukan dengan


berbagai cara, seperti: upaya pembakuan standar internasional, kegiatan
monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM. Terdapat 6 badan pemantauan instrumen
HAM yaitu: Komite HAM yang memantau hak hak sipil dan politik, Komite Ekonomi
dan sosial budaya, Komite pengahapusan segala bentuk diskriminasi, Komite anti
penyiksaan, dan Komite hak hak anak. dan terakhir dengan kerjasama tehnis.

C. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia


Secara konstitusional, indonesia sejak berdirinya sudah mencantumkan norma
HAM dalam pembukaan UUD 1945...” Maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.” komitmen
ini bersumber dari Pancasila, khususnya sila kedua, yaitu: Kemanusiaan yang adil dan

18
G.Tunkin, Theory of International Law, London, 1974, p. 81.

8
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

beradab. Hal ini meingindikasikan bahwa hak dasar adalah hak untuk menentukan nasib
sendiri ( the right to self determination)19. Selanjutnya dibentuklah Undang Undang
nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia, dimana pengertian HAM dalam pasal 1
Undang undang ini adalah:
“ seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagi
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Hak asasi manusia dewasa ini sudah tercantum dalam undang undang dasar 1945,
sehingga sudah resmi menjadi hak hak konstitusi setiap orang. Namun tidak semua hak
hak konstitusi identik dengan hak asasi manusia. Seperti hak warga negara untuk
menduduki jabatan dalam pemerintahan. Sedangkan arti pelanggaran HAM sesuai
dengan pasal 1 ayat 6 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM adalah:
“ Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang undang ini dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”

Pelanggaran ini dapat dibedakan menjadi dua katagori: pelanggaran terhadap


HAM pada umumya dan pelanggaran HAM yang berat (Kejahatan Genosida dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan).
Bergulirnya isu pelanggaran HAM berat baik secara individual maupun
kelembagaan di Indonesia menimbulkan kesan disementara masyarakat internasional
bahwa indoenesia kurang peka terhdap masalah HAM. Kesan ini kemudian diantisipasi
oleh indonesia dengan berbagai langkah pembenahan terutama mentransformasikan
norma norma internasional HAM kedalam instrumen hukum nasional, sebagai berikut:

1. Undang Undang dasar 1945 diamandemen (pasal 28 A s/d 28 J)


2. Ketetapan MPR khusus mengenai HAM (TAP MPR No. XVII/MPR/1998)
3. Keppres nomor 50/1993(berdirinya Komisi Nasional HAM)
4. Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
5. Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

19
Lihat M.Yakub A.Kadir, The Right to Self Determination untuk Aceh: Sebuah Tanggapan Terhadap
Pendapat Prof. Dr. Amin Rais, di www. Acehinstitute.org. 10 maret 2009.

9
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

6. Keppres Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
2004-2009, dan sebaginya;
7. Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (Undag
undang Nomor 7 1984), Inpres Nomor 9 tahun 2000 mengenai Gender
mainstreaming, Undang undang nomor 23 tahun 2004 mengenai penghapusan
kekerasan dalam Rumah Tangga;
8. Konvensi hak hak anak (Keppres Nomor 36 tahun 1990), UU nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak;
9. Konvensi Internasional menentang Apartheid;
10. Konvensi Menentang Penyiksaan, perlakuakn atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan (UU Nomor 5 tahun 2000)
11. Undang Undang nomor 11 tahun 2005 tentang pengesahan Internasional
Covenant on Economic, Social and Cultural Right;
12. Undang Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International
Convenant on Civil and Political Right.

Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani Konvensi Internasional


mengenai perlindungan dan pemajuan hak hak dan martabat penyandang cacat pada 30
Maret 2007 dan Konvensi Internasional Perlindungan bagi semua orang dari
penghilangan paksa pada 12 Maret 2007.

Pelanggaran HAM yang berat dalam hukum nasional diselesaikan melalui


mekanisme:
1. Pengadilan HAM, untuk kasus kasus pelanggaran HAM berat setelah Undang
Undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM;
2. Pengadilan HAM Ad Hoc, untuk kasus kasus pelanggaran HAM berat sebelum
undang undang tentang pengadilan HAM (pasal 43 UU nomor 26 tahun 2000);
3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai dengan Undang Undag No 27 tahun
2004 (dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI, Nomor 006/PUU-
IV/2006).

Disamping itu pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan keppres Nomor 40


Tahun 2004 tentang rencana aksi HAM nasional terdiri dari 6 program utama:
1. Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM
2. Persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional
3. Persiapan harmonisasi peraturan perundang undangan
4. Diseminasi dan pendidikan HAM
5. Penerapan norma dan standar HAM
6. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan20

20
Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi
Nasional Indonesia Tahun 2004-2009, Dirjen Perlindungan HAM, Depkumham RI, 2004.

10
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

Meskipun Indonesia sudah mentransformasikan begitu banyak intrumen HAM


international kedalam sistem hukum nasional, namun upaya untuk
mengimplementasikannya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Menurut Hikmahanto
Juwana, hal ini disebabkan oleh empat penyebab utama, yaitu: pertama, perancangan dan
pembentukan berbagai perjanjian internasional dibidang HAM sangat terdeviasi oleh
kerangka berpikir dari perancang, bahkan perancang pada umumya tidak memperhatikan
infrastruktur pendukung bagi implementasi yang efektif. Kedua, kendala pada saat
perjanjian Internasional di perdebatkan, ketiga, adanya asumsi bahwa tujuan dari
pembentukan perjanjian internasional hanya untuk tujuan politis semata bukan untuk
tujuan mulia menghormati HAM. Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM
setelah diikuti kerab hanya mendapatkan perhatian setengah hati oleh negara negara
berkembang.21

D. Kesimpulan
HAM dalam hukum internasional dan nasional adalah cerminan ketidak
seimbangan dunia yang masih melanggar HAM itu sendiri, ini terjadi karena beberapa
faktor seperti: masih kuatnya diskriminasi antara negara maju dan berkembang dalam
ratifikasi konvensi konvensi HAM, HAM masih menjadi alat alat politis, lemahnya SDM
negara negara berkembang untuk dapat bersaing dan keterkaitan antara HAM dengan
ekonomi dan politik internasional.
Transformasi norma dan aturan hak asasi manusia internasional yang bersifat
deklaratif dan preskriptif (soft law) tidak akan banyak bermakna tanpa diikuti oleh
transformasi kedalam hukum nasional, yang mengharuskan penyiapan aparatur penegak
hukum, penyiapan infrastruktur pendukung dan perubahan budaya hukum masyarakat
(hard law).
Indonesia mengalami kemajuan besar dalam pembentukan hukum HAM, namun
mengalami banyak kendala dalam penegakannya. Hal ini disebabkan oleh tujuan
penegakan HAM masih cenderung politis, subtansi hukum HAM merupakan dominasi
norma negara barat, bukan berdasarkan budaya hukum nasional, dan bersifat vertikal
21
Lihat Hikmahanto Juwana, Pemberdayaan Budaya Hukum Dalam Perlindunga HAM di Indonesia;
HAM Dalam Perspektif Hukum Internasional, dalam Prof. Dr. Muladi, SH (Ed.), Hak Asasi Manusia,
Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT.Refika Aditama, 2005.
hlm. 70-75.

11
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

tidak horizontal. Penggalian norma HAM lokal yang sudah mengakar dalam budaya
berbagai suku bangsa seharusnya ditransformasikan menjadi HAM nasional, untuk
kemudian ditingkatkan menajadi HAM internasional, bukan sebaliknya,
mentransformasikan aturan aturan HAM internasional dalam hukum nasional bahkan
lokal, tetapi kemudian kesulitan dalam memahami dan mengaplikasikannya.

12
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Hamid dan khin Maung Sein, Source of International Law: A Re-
Evaluation, IIUM Law Journal, Vol.11, Nomor 2, 2003.

Baharuddin Lopa, Al-Quran dan Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1996.

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, peranan dan fungsi dalam era dinamika
Global, Penerbit: Alumni Bandung, 2005.

Dinah Shelton, An Introduction to the History of International Human Right Law,


Working Paper August 2007, Legal Studies Research Paper No. 346, The George
Washington University, Law School.

Evan, Malcom D, International Law Documents, (3rd edition, Backstone, 1991, London)

Frederic S. Pearson & Martin Richester, International Relation, The Global Condition in
the Late Twentieth Century, McGraw-Hill, 1992.

G.Tunkin, Theory of International Law, London, 1974.

Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (penyunting), Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

Jorge R Coquia and Miriam Defensor Santiago, International Law, Central Professional
Books, Philippine, 1998.

Joseph Raz, Human Rights Without Foundation, University of Oxford, Faculty of Law
Legal Studies Research Paper Series, Working Paper No 14/2007.

M.Yakub A.Kadir, The Right to Self Determination untuk Aceh: Sebuah Tanggapan
Terhadap Pendapat Prof. Dr. Amin Rais, di www.acehinstitute.org.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Muladi (Ed.), Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, 2005.

Stephen Ryan, United Nations Dan International Politics, Macmillan Press, London,
2000.

13

Anda mungkin juga menyukai