Abstract
Human Rights has been a contentious issue within international law and national law. It has
emerged within the frame of “untold sorrow to mankind” after world war I and II. The
international human rights norms have been transformed to some extend into Indonesian legal
system. However; this transformation has faced difficulties in implementation since the norm
deduced from different values and cultures. Moreover, the international political and economical
issues become a hidden issue surrounding its enforcement. This paper attempts to describe and
analyze the development of human rights from International Law into Indonesian legal system,
as well as some constraints around it.
A. Pendahuluan
Hak asasi manusi (HAM) merupakan istilah yang lahir dari keprihatinan nasib
kemanusiaan yang menghendaki pengakuan dan penghormatan terhadap sifat sifat
tertentu yang melekat pada setiap diri umat manusia secara universal (tidak mengenal
batas ruang dan waktu).3 Hal ini termaktub dalam pembukaan Charter of the United
Nation (Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa) 1945 “...untold sorrow to mankind, and to
reaffirm faith in fundamental human rights…” (duka kemanusiaan yang tak terucapkan
dan untuk meneguhkan keyakinan atas dasar Hak Asasi Manusia…)”. kemudian dalam
mukaddimah Rome Statute 1998 tentang berdirinya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) ditegaskan lagi: ”Mindful that during this century millions
of children, women, and man have been victims of unimaginable atrocities that deeply
shock the conscience of humanity”. 4 ( Menyadari bahwa dalam abad ini berjuta juta anak,
1
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
perempuan, dan laki laki telah menjadi korban kekejaman tak terbayangkan yang sangat
mengguncang nurani kemanusiaan). Ini adalah pengakuan dari keresahan yang
mendalam atas nasib kemanusiaan setelah perang dunia I dan II. Ide universal ini
kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum internasional dan nasional di
berbagai negara agar supaya dapat melindungi dan menegakkan nilai nilai HAM
universal tersebut.
Pada dasarnya hak asasi manusia sudah ada bersamaan dengan adanya manusia
itu sendiri. Karena itu membicarakan sejarah hak asasi manusia, berarti membicarakan
sejarah kehidupan manusia sejak pertama kali, yaitu sejak penciptaan Nabi Adam AS.
sampai sekarang ini. Kehadiran instrument hukum international dan hukum nasional
tidaklah berarti sebagai awal ataupun final dari sejarah HAM. HAM harus dipertahankan
dan diperjuangkan sampai batas maksimal. Perjuangan ini terus berlanjut sampai
kehidupan manusia menemukan titik keseimbangan.
Sebagai ide universal, negara negara dunia tidak dapat menolak ide tersebut,
meskipun kemudian disadari bahwa perjanjian perjanjian HAM internasional
menimbulkan kendala kendala dalam implementasi di setiap negara yang berbeda.5
Tulisan ini bermaksud menarik benang merah HAM dari hukum internasional
hingga menjadi hukum nasional serta beberapa persoalan yang mengitarinya.
5
Lihat Joseph Raz, Human Rights Without Foundation, University of Oxford, Faculty of Law
Legal Studies Research Paper Series, Working Paper No 14/2007.
2
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
subyek hukum internasional.6 Namun menurut Prof. George Scelle, hanya individu yang
menjadi subjek hukum internasional.7 Pendukung terhadap pendapat ini menyatakan
bahwa tujuan akhir dari pengaturan pengaturan konvensional adalah individu dan oleh
karena itu individu mendapatkan perlindungan internasional. Pendapat lain menyatakan
bahwa negara sebenarnya adalah entitas abstract, dan pada dasarnya negara terdiri dari
individu individu, sehingga sudah sewajarnya individu dapat dikatogorikan sebagai
subjek hukum internasional meskipun terbatas dalam hal hal tertentu. Kehadiran
peradilan militer Nuremburg 1945, yang ditujukan untuk menghukum para pelaku
kejahatan perang selama perang dunia II, International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia, International Criminal Tribunal for Rwanda, berhasil menegaskan status
individu menjadi subjek hukum internasional (individual responsibility), sehingga secara
langsung individu mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internsional.8
Untuk melindungi HAM, instrument yuridis menjadi suatu hal yang sangat
diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan penegakan
HAM. Secara historis empiris, ada beberapa instrument yuridis internasional yang
muncul untuk melindungi HAM, antara lain:9
1. Magna Charta 1215, dokumen ini mencatat beberapa hak yang diberikan oleh
Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan
mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John tersebut.
2. Bill of Rights 1698, ini merupakan undang undang yang diterima oleh parlemen
Inggris setelah terjadi perlawanan terhadap raja James II dalam revolusi tidak
berdarah yang dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
3. Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789, naskah yang dicetuskan
pada permulaan revolusi perancis, sebagai perlawanan terhadap rezim yang lama.
4. Declaration of Independence, naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada
tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari konstitusi Amerika pada tahun
1791.
6
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Penerbit Alumni Bandung, 2005, hlm. 57-58.
7
Lihat Madame Paul Bastiad, Cours de Droit International Public Approfondi, Les Cours de
Droit, Paris 1958-1959, p. 23, sebagaimana dikutip dalam Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 57.
8
Lihat pasal 1 Statuta Rome 1998: “ …and shall have the power to exercise its jurisdiction over
persons for the most serious crimes of international concern…”. Lihat juga Frederic S. Pearson & Martin
Richester, International Relation, The Global Condition in the Late Twentieth Century, McGraw-Hill,
1992, p. 332. lihat Jorge R Coquia and Miriam Defensor Santiago, International Law, Central Professional
Books, Philippine, 1998, p. 79-83.
9
Baca lebih lengkap di Dinah Shelton, An Introduction to the History of International Human
Right Law, Working Paper August 2007, Legal Studies Research Paper No. 346, The George Washington
University, Law School.
3
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
Hak hak yang dihasilkan dalam dokumen tersebut sangat dipengaruhi oleh
gagasan Hukum Alam, dan hanya terbatas pada hak hak yang bersifat politis seperti
persamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih, dan lainnya. Namun instrumen
yuridis yang lahir pada masa pertengahan tersebut menjadi dasar bagi pembentukan
instrumen yuridis perlindungan HAM modern. Salah satu tonggak terwujudnya
perlindungan HAM modern adalah empat hak yang dirumuskan peresiden Amerika
serikat, Franklin D. Roosevelt, yaitu:10
1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech)
2. Kebebasan beragama (Freedom of Religion)
3. Kebebasan dari ketakutan (Freedom from Fear)
4. Kebebasan dari kemelaratan (Freedom of Poverty)
Perserikantan Bangsa Bangsa (PBB) menjadi organisasi internasional yang
memberi konstribusi besar dalam pembentukan perlindungan HAM internasional.
Dokumen yang dihasilkan, yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada
tanggal 10 Desember 1948, melalui Majelis Umum PBB ini mengambil dasar pemikiran
dari konsepsi HAM yang dikembangkan oleh kebudayaan Barat, dan tidak ada satu
negara PBB pun yang melawan hal ini, meskipun Arab Saudi, Afrika Selatan dan negara
Blok Soviet bersikap abstain.11 UDHR mengatur mengenai hak hak yang harus
dilindungi, yaitu pasal 3-21 mengenai hak hak sipil dan politik, pasal 22-27 mengenai
hak hak ekonomi, sosial dan kebudayaan. Meskipun UDHR mempunyai arti historis
penting dan nilai nilai politik yang tinggi, UDHR tidak mempunyai kekuatan mengikat
(not legally binding) kepada negara negara anggota PBB. Namun demikian ketentuan
ketentuan dalam UDHR telah banyak dimasukan dalam legislasi nasional masing masing
negara anggota PBB, sehingga prinsip prinsip dalam UDHR dapat dianggap sebagai
Customory International Law.
Pada mulanya, negara negara anggota PBB merencanakan untuk membuat
instrument tunggal yang disebut dengan “International Bill Of Rights”, namun terjadi
perubahan sehingga pada tahun 1951 disepakati untuk membuat dua Kovenen
Internasional. Perubahan kesepakatan dari satu instrument tunggal menjadi dua kovenan
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.
120.
11
Stephen Ryan, United Nations Dan International Politics, Macmillan Press, London, 2000, p.
140.
4
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
5
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
Disamping itu lahir juga aturan aturan perlindungan HAM di tingkat regional, seperti:
The Europian Convention on Human Rights (Konvensi HAM Eropa 1950)
The European convention for the prevention of terture and inhuman and
degrading treatment or punishment 1987
The American Convention of human rights 1978
The Banjul charter on human and people rights 1981 (Organization of
African unity)
12
Lihat Rome Statute 1998, article 1.
13
Lihat Rome Statute 1998, article 5.
14
Lihat betapa kuatnya peranan 5 anggota permanent Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa
Bangsa jika dibandingkan dengan General Assembly, seperti dalam article 10-14 Piagam PBB.
15
Lihat pembahasan tentang sumber sumber hukum internasional dalam Abdul Ghafur Hamid dan
khin Maung Sein, Source of International Law: A Re-Evaluation, IIUM Law Journal, Vol.11, Nomor 2,
2003, hal. 3.
6
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
(d) Subject to the provisions of article 59, Judicial decisions and the teachings of the
most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.16
7
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
18
G.Tunkin, Theory of International Law, London, 1974, p. 81.
8
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
beradab. Hal ini meingindikasikan bahwa hak dasar adalah hak untuk menentukan nasib
sendiri ( the right to self determination)19. Selanjutnya dibentuklah Undang Undang
nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia, dimana pengertian HAM dalam pasal 1
Undang undang ini adalah:
“ seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagi
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak asasi manusia dewasa ini sudah tercantum dalam undang undang dasar 1945,
sehingga sudah resmi menjadi hak hak konstitusi setiap orang. Namun tidak semua hak
hak konstitusi identik dengan hak asasi manusia. Seperti hak warga negara untuk
menduduki jabatan dalam pemerintahan. Sedangkan arti pelanggaran HAM sesuai
dengan pasal 1 ayat 6 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM adalah:
“ Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang undang ini dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”
19
Lihat M.Yakub A.Kadir, The Right to Self Determination untuk Aceh: Sebuah Tanggapan Terhadap
Pendapat Prof. Dr. Amin Rais, di www. Acehinstitute.org. 10 maret 2009.
9
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
6. Keppres Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
2004-2009, dan sebaginya;
7. Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (Undag
undang Nomor 7 1984), Inpres Nomor 9 tahun 2000 mengenai Gender
mainstreaming, Undang undang nomor 23 tahun 2004 mengenai penghapusan
kekerasan dalam Rumah Tangga;
8. Konvensi hak hak anak (Keppres Nomor 36 tahun 1990), UU nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak;
9. Konvensi Internasional menentang Apartheid;
10. Konvensi Menentang Penyiksaan, perlakuakn atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan (UU Nomor 5 tahun 2000)
11. Undang Undang nomor 11 tahun 2005 tentang pengesahan Internasional
Covenant on Economic, Social and Cultural Right;
12. Undang Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International
Convenant on Civil and Political Right.
20
Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi
Nasional Indonesia Tahun 2004-2009, Dirjen Perlindungan HAM, Depkumham RI, 2004.
10
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
D. Kesimpulan
HAM dalam hukum internasional dan nasional adalah cerminan ketidak
seimbangan dunia yang masih melanggar HAM itu sendiri, ini terjadi karena beberapa
faktor seperti: masih kuatnya diskriminasi antara negara maju dan berkembang dalam
ratifikasi konvensi konvensi HAM, HAM masih menjadi alat alat politis, lemahnya SDM
negara negara berkembang untuk dapat bersaing dan keterkaitan antara HAM dengan
ekonomi dan politik internasional.
Transformasi norma dan aturan hak asasi manusia internasional yang bersifat
deklaratif dan preskriptif (soft law) tidak akan banyak bermakna tanpa diikuti oleh
transformasi kedalam hukum nasional, yang mengharuskan penyiapan aparatur penegak
hukum, penyiapan infrastruktur pendukung dan perubahan budaya hukum masyarakat
(hard law).
Indonesia mengalami kemajuan besar dalam pembentukan hukum HAM, namun
mengalami banyak kendala dalam penegakannya. Hal ini disebabkan oleh tujuan
penegakan HAM masih cenderung politis, subtansi hukum HAM merupakan dominasi
norma negara barat, bukan berdasarkan budaya hukum nasional, dan bersifat vertikal
21
Lihat Hikmahanto Juwana, Pemberdayaan Budaya Hukum Dalam Perlindunga HAM di Indonesia;
HAM Dalam Perspektif Hukum Internasional, dalam Prof. Dr. Muladi, SH (Ed.), Hak Asasi Manusia,
Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT.Refika Aditama, 2005.
hlm. 70-75.
11
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
tidak horizontal. Penggalian norma HAM lokal yang sudah mengakar dalam budaya
berbagai suku bangsa seharusnya ditransformasikan menjadi HAM nasional, untuk
kemudian ditingkatkan menajadi HAM internasional, bukan sebaliknya,
mentransformasikan aturan aturan HAM internasional dalam hukum nasional bahkan
lokal, tetapi kemudian kesulitan dalam memahami dan mengaplikasikannya.
12
Jurnal Kanun, No.48 Year IX, December 2009, Law Faculty, Syiah Kuala University.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Hamid dan khin Maung Sein, Source of International Law: A Re-
Evaluation, IIUM Law Journal, Vol.11, Nomor 2, 2003.
Baharuddin Lopa, Al-Quran dan Hak Asasi Manusia, PT Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1996.
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, peranan dan fungsi dalam era dinamika
Global, Penerbit: Alumni Bandung, 2005.
Evan, Malcom D, International Law Documents, (3rd edition, Backstone, 1991, London)
Frederic S. Pearson & Martin Richester, International Relation, The Global Condition in
the Late Twentieth Century, McGraw-Hill, 1992.
Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (penyunting), Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.
Jorge R Coquia and Miriam Defensor Santiago, International Law, Central Professional
Books, Philippine, 1998.
Joseph Raz, Human Rights Without Foundation, University of Oxford, Faculty of Law
Legal Studies Research Paper Series, Working Paper No 14/2007.
M.Yakub A.Kadir, The Right to Self Determination untuk Aceh: Sebuah Tanggapan
Terhadap Pendapat Prof. Dr. Amin Rais, di www.acehinstitute.org.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.
Muladi (Ed.), Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, 2005.
Stephen Ryan, United Nations Dan International Politics, Macmillan Press, London,
2000.
13