OLEH
Ketentuan Pasal 38 ayat (1) tidak dapat dipisahkan dari ketentuan ayat (2) yang
menyatakan bahwa keberadaan sumber-sumber hukum internasional itu tidak dapat
mengesampingkan kekuasaan Mahkamah untuk memutus perkara berdasarkan azas ex
aequo et bono, dalam hal para pihak menerima penerapan azas itu.
Sebagai catatan: Ex aequo et bono merupakan azas hukum yang berarti mohon putusan
yang seadil-adilnya. Azas ini juga dapat dimaknai dalam “keadilan dan keterbukaan (in
justice and fairness), sesuai dengan keadilan dan kebaikan (according to what is just and
good), atau sesuai dengan kepatutan dan rasa keadilan (according to equity and
conscience)”.
1. Perjanjian Internasional
Pada mulanya, perjanjian internasional didefinisikan sebagai perjanjian yang dilakukan
antara negara dengan negara dan bertujuan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Namun dalam perkembangannya, perjanjian international tidak terbatas hanya pada
perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai subyek hukum internasional, melainkan juga
negara dengan organisasi internasional, misalnya Perjanjian antara Amerika Serikat
dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang tempat kedudukan kantor tetap
PBB di New York, dan perjanjian antar organisasi internasional. Termasuk kedalam
kategori perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara dengan Tahta Suci,
sebagai subyek hukum internasional yang diakui negara-negara.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan pengertian perjanjian internasional
adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
G. Schwarzenberger mendefinisikan traktat sebagai suatu persetujuan antara subjek-
subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat
dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral ataupun multilateral.
Boer Mauna menjelasakan bahwa perjanjian internasional (Traktat) adalah semua
perjanjian yang dibuat antara subjek-subjek aktif hukum internasional dan yang diatur
oleh hukum internasional serta berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum.
International Law of Commission (ILC) mendefinisikan traktat sebagai semua
perjanjian dalam bentuk tertulis apakah dirumuskan dalam suatu instrumen tunggal atau
dalam beberapa instrumen tambahan yang dibuat oleh dua atau beberapa negara atau
subjek-subjek hukum internasional lainnya dan diatur oleh hukum internasional, istilah
apa pun yang dipakai.
Sementara rumusan yang diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum
perjanjian. Di sana dikemukakan bahwa traktat (perjanjian internasional) adalah suatu
perjanjian yang dibuat diantara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dirumuskan dalam satu atau dua atau lebih instrumen
yang berkaitan dan apa saja nama yang dipakai untuk itu.
Berkaitan dengan sitilah atau nama yang sering dipakai dalam Perjanjian Internasional
yaitu: 1) Treaty; 2) Convention; 3) Agreement; 3)MofU; 4) Protocol ; 5) Charter; 6)
Declaration; 7) Final Act Arrangement; 8) Exchange of Notes; 9) Agreed Minutes; 10)
Summary Records; 11) Process Verbal; 12) Modus Vivendi; 13) Letter of Intent, dll.
Law Making Treaty adalah perjanjian yang meletakkan kaedah-kaedah hukum bagi
masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan. Misalnya, Konvensi tentang
Hukum Laut, Konvensi Ruang Angkasa dan benda-benda Langit lainnya, atau
Konvensi Hak Asasi Manusia, dan lain-lain. Bentuk perjanjiannya adalah Multilateral.
2. Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional merupakan sumber terpenting hukum internasional. Akan
tetapi di dalam perkembangannya, karena semakin banyak persoalan yang diatur
dengan perjanjian internasional, maka tempat tersebut kemudian diduduki oleh
perjanjian internasional. Tidak setiap kebiasaan merupakan sumber hukum
internasional. Hanya kebiasaan yang diterima sebagai hukum oleh masyarakat
internasional yang merupakan sumber hukum dalam sistem hukum internasional.
Karena itu, Prof. Mochtar manyatakan ada dua unsur utama suatu kebiasaan dapat
dikategorikan sebagai sumber hukum internasional yaitu: (1) merupakan
kebiasaan yang bersifat umum; dan (2) kebiasaan itu diterima sebagai hukum oleh
masyarakat internasional. Atau menurut Schwarzenberger, hukum kebiasaan
internasional (international customary law) harus mengandung dua elemen, yaitu: (1)
praktek umum negara-negara (a general practice of States); dan (2) praktek umum itu
diterima oleh oleh negara-negara sebagai hukum (the acceptance by States of this
general practice as law).
Jika hanya unsur pertama saja yang ada, itu baru merupakan kesopanan internasional.
Sebagai contoh misalnya, kebiasaan memberikan sambutan penghormatan waktu
kedatangan tamu resmi dari negara lain, dalam hal ini kepala negara atau kepala
pemerintahan. Wujud sambutannya dengan tembakan meriam atau saat ini tembakan
senjata, akan tetapi jika ini tidak dilakukan, tamu tidak dapat menuntut supaya diadakan
tembakan meriam atau senjata.
Untuk membuktikan keberadaan hukum kebiasaan internasional, praktek dari negara-
negara saja tidak cukup hanya dalam bentuk mengikuti kebiasan tersebut, melainkan
harus dalam kaitannya dengan kewajiban yang mengikat negara yang
bersangkutan beserta akibat-akibat hukum dari kewajiban itu. Kewajiban
demikian itu juga terdapat didalam praktek kebiasaan umum praktek negara-negara
dunia.
Dengan demikian, maka praktek negara-negara menurut Prof. Mochtar merupakan
unsur material (raw material) dari hukum kebiasaan. Karena itu, elemen praktek
negara-negara merupakan elemen mendasar dalam penentuan suatu kebiasaan
untuk dapat dikategorikan sebagai kebiasaan hukum internasional. Prof. Brierly
menyebut praktek negara-negara itu sebagai “what states do in their relations with one
another”, atau Prof. Mc Dougal menyebutnya “process of continuous interaction, of
continuous demand and response”.
Karena itu, praktek negara-negara itu mengandung unsur: (a) perbuatan (any act); (b)
penerjemahan dalam bentuk aturan (articulation); (c) bentuk perbuatan atau perilaku
lain dari negara (other behavior of a States) sepanjang perbuatan itu merupakan bentuk
perilaku yang sadar sebagai bentuk pengakuan terhadap hukum kebiasaan yang sudah
ada.
Sedangkan unsur kedua (yaitu kebiasaan itu diterima sebagai hukum oleh masyarakat
internasional) Prof. Mochtar menyebutnya sebagai Unsur Piskologis. Unsur piskologis
menghendaki bahwa kebiasaan internasional diraasakan memenuhi suruhan kaidah atau
kewajiban hukum. Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan
diterima sebagai hukum apabila negara-negara itu tidak menyatakan keberatan
kepadanya. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya, dengan
jalan diplomatik yaitu protes, atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan
ke hadapan mahkamah.
Beberapa contoh ketentuan hukum internasional yang terbentuk melalui proses
kebiasaan, misalnya: penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yaitu
bendera yang memberi perlindungan terhadap utusan yang dikirim untuk mengadakan
hubungan dengan pihak musuh di dalam keadaan perang; hukum perlakuan tawanan
perang dalam peristiwa perang. Disamping banyak kebiasaan internasional yang
diterima sebagai hukum, terdapat juga kebiasaan internasional yang ditinggalkan oleh
masyarakat internasional, seperti misalnya praktek Jerman menenggelamkan kapal
musuh dengan cara menembak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tanpa
memberikan kesempatan kepada pihak kapal untuk menyelamatkan diri.
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Prinsip-prinsip hukum umum adalah prinsip-prinsip hukum yang mendasari sistem
hukum modern (adalah sistem hukum positif), tidak terbatas hanya pada azas-azas
hukum internasional, melainkan azas-azas hukum pada umumnya, seperti: azas itikad
baik (bona fides), azas pacta sunt servanda, azas penyalahgunaan hak (abuse of rights),
dll.
Sistem hukum modern ini merupakan sistem hukum Barat yang berpijak pada sistem
hukum Romari. Prinsip-prinsip hukum itu terkandung di dalam sistem hukum Romawi
yang dibawa oleh bangsabangsa Barat di dalam proses imperialism dan kolonialisme
bangsa-bangsa Eropa Barat ke sebagian besar permukaan bumi. Pencantuman prinsip-
prinsip hukum umum sebagai sumber hukum formal bertujuan untuk memberikan dasar
kepada hakim Mahkamah untuk mengagali hukum dalam memustus perkara yang
dihadapkan kepadanya dan membuat hakim menerima setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Hakim tidak dapat menyatakan dirinya tidak dapat menangani perkara
karena alasan tidak tersedianya hukum (non-liquet).
Menurut Schwarzenberger, suatu prinsip hukum dapat dikualifikasikan sebagai prinsip
hukum umum, berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah, bila memenuhi tiga
persyaratan:
a. Harus merupakan prinsip hukum umum yang dapat dibedakan dengan ketentuan
hukum yang bersifat terbatas atau sangat sempit (it must be a general principle
of law as distinct from a legal rule of more limited functional scope);
b. harus diakui oleh bangsa-bangsa beradab, yang berbeda dengan masyarakat
barbar (it must be recognized by civilized nations as distinct from barbarous or
savage communities);
c. harus merupakan praktek dari beberapa negara dalam jumlah yang wajar, dan
merupakan bagian dari sistem hukum sebagai pembentuk sistem hukum dunia
(it must share by a fair number of civilized nations, and it is arguable that these
must include at least the principal legal sistems of the world).
Prof. Mochtar menegaskan bahwa yang menjadi sumber hukum internasional adalah
perinsip hukum umum dan tidak terbatas hanya asas hukum internasional. Arti
perkataan ‘umum’ disini adalah untuk menjelaskan bahwa hukum internasional sebagai
suatu sistem hukum merupakan sebagian dari suatu keseluruhan yang lebih yaitu
hukum pada umumnya. Dengan demikian yang dimaksud dengan asas hukum umum
misalnya asas hukum perdata seperti asas pacta sunt servanda, asas bona vides, abus de
droit, atau asas adimplenti non est adiplendum dalam hukum perjanjian, dll. Selain itu
juga yang dimaksud asas hukum umum dalam Pasal 38 ayat (1) meliputi juga asas-asas
dalam hukum acara, hukum pidana dan sudah barang tentu juga termasuk asas hukum
internasional, seperti misalnya asas kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaan
negara, asas non-intervensi dan sebagainya.