PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil
yang terbagi pula dalam daerah-daerah yang masing-masing mempunyai hukum
tersendiri dan berbeda-beda pulau yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu untuk pembinaan dan pembentukan Hukum Nasional haruslah
mengambil Hukum Adat sebagai dasar, sebagaimana tertera dalam ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor : I dan II/MPRS/1960,
Lampiran B paragrap 402 sebagai berikut : “ Pembinaan Hukum Nasional agar
berlandaskan pada Hukum Adat yang sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat
Indonesia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.”
Hukum merupakan suatu cara untuk mengatur tindak tanduk manusia di dalam
masyarakat yang selalu dalam keadaan berubah-ubah yang sesuai dengan pola politik
perkembangan yang menjiwai masyarakat itu. Selain apa yang telah di atur dalam
hukum positif Indonesia, Hukum Adat mengenal atau mengatur pula masalah-
masalah yang meliputi hukum kekeluargaan adat, hukum perkawinan adat, hukum
waris adat dan lain sebagainya.
Upacara pernikahan merupakan satu siklus hidup yang kaya akan makna dan biasa
dirayakan oleh hampir seluruh umat manusia, tak terkecuali juga di wilayah wilayah
Nusantara. Pun begitu dengan proses-proses menjelang berlangsungnya upacara akad
nikah itu sendiri. Adakalanya, untuk beberapa kebudayaan, terutama di wilayah
1
Nusantara, proses menuju terlaksananya sebuah perkawinan tidaklah sedatar yang
dibayangkan, melainkan harus melewati beberapa tahapan yang begitu rumit namun
sarat akan makna filosofis berdasarkan kearifan lokal dari daerah masing-masing.
Mengenai kebudayaan masyarakat Lombok hampir mirip dengan Bali karena apa
yang menjadi budaya di masyarakat Bali ada juga di pulau Lombok, hal ini
dipengaruhi oleh kekuasaan Bali terhadap Lombok di era tempo dulu. Disamping itu
juga di pulau ini anda juga bisa menemukan masyarakat Bali beserta ornamen tempat
ibadahnya di berbagai daerah Lombok terutama di kawasan Kota mataram.
Di pulau Lombok kita akan menemukan berbagai budaya yang menarik untuk anda
ketahui, salah satunya adalah tradisi “Merarik” tradisi ini adalah sebutan untuk istilah
pernikahan oleh masyarakat setempat. Secara etimologis kata merari’ diambil dari
kata “lari”, berlari. Merari’an berarti “melai’ang” yang artinya melarikan, merari’
merupakan tradisi masyarakat suku Sasak yang berada di Lombok yang sangat
identik dengan “kawin lari”. Kawin lari disni bukan berarti menikah tanpa adanya
tanggung jawab dari seorang laki-laki, melainkan merari’ dengan metode kawin lari
ini adalah suatu kebanggan tersendiri bagi kaum laki-laki (mame) pada masyarakat
Lombok terutama suku Sasak. Tradisi merari’ merupakan salah satu cara pernikahan
yang paling sering digunakan oleh masyarakat setempat, karena cara ini dianggap
terhormat bagi kaum Adam masyarakat setempat.
Lalu kapan sih tradisi ini muncul di masyarakat adat suku Sasak? Mengenai
kemunculan tradisi ini tidak ada yang tau pasti karena sumber tertulis mengenai
tradisi ini sangat minim, namun paling tidak terdapat dua asumsi yang paling
mengemuka yaitu dari tokoh adat suku Sasak, Lalu Azhar (mantan wagub NTB)
menyatakan bahwa tradisi merari’ ini merupakan tradisi lokal yang orisinal alias asli
dari masyarakat stempat, lebih lanjut lagi bahwa tradisi ini sudah ada sebelum Bali
dan Belanda menguasai Lombok. Kedua, dari hasil penelitian ilmuan Belanda yang
bernama Niewenhuyzen, menurutnya sebagian besar adat suku Sasak memiliki
2
kesamaan dengan adat suku bali namun adat yang selama ini dikenal dengan
“merarik” adalah adat suku Sasak yang sebenarnya.
Fenomena budaya merarik yang terdapat pada masyarakat Sasak ini merupakan
wujud kearifan lokal yang di dalamnya terlibat suatu keyakinan bagi masyarakatnya
untuk menjalaninya sebagai pembuktian keberanian seorang laki-laki pada calon
istrinya. Adapun beberapa alasan yang melatar belakangi masyarakat melakukan
perkawinan dengan merarik adalah karena itu merupakan adat istiadat yang memang
sudah ada dan membudaya dalam masyarakat dan ini dilakukan oleh sebagaian besar
masyarakat di Sakra. Alasan yang kedua adalah karena adanya pertentangan yang
didapatkan dari orang tua mengenai hubungan yang dijalani sehingga dipilihlah cara
merarik sebagai jalan keluarnya. Alasan selanjutnya adalah ketidaktahuan dari pihak
perempuan bahwa dirinya dibawa lari oleh pasangannya. Dari alasan tersebut bisa di
ungkapkan bahwa secara tidak sadar mereka melakukan perkawinan dengan merarik
karena itu merupakan suatu budaya yang secara turun temurun telah diwariskan oleh
nenek moyang mereka terdahulu sehingga tetap dijalankan.
Akan tetapi pada masa sekarang ini walaupun pemikiran-pemikiran semacam itu
masih ada, tapi dengan perkembangan zaman yang lebih modern dan tingkat
pendidikan yang maju, hal yang demikian itu semakin memudar. Bertitik tolak dari
uraian di atas, maka saya tertarik untuk menggali informasi yang lebih mendalam,
dengan mengambil judul “TRADISI KAWIN CULIK SUKU SASAK LOMBOK
NUSA TENGGARA BARAT” yang akan dibahas di bab selanjutnya.
3
BAB II
PERMASALAHAN
4
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hukum Perkawinan Suku Sasak Lombok Dalam Masyarakat Adat Suku Sasak
Lombok
Dalam Masyarakat Adat Suku Sasak Lombok di kenal lima cara dalam
melaksanakan perkawinan yaitu :
a. Memadik (melamar)
d. Memaksa/memagah
e.Kawin gantung
5
Yaitu perkawinan yang di kehendaki oleh orang tua keduabelah pihak sedari
kedua calon mempelai masih kecil.
Pada dasarnya bentuk perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Sasak
Lombok sama halnya dengan bentuk perkawinan adat masyarakatIndonesia.
Dalam hukum adat Suku Sasak bentuk perkawinan yang dilakukandapat pula
dengan bentuk kawin lari. Kawin lari dalam masyarakat Suku Sasak biasanya
terjadi karena sudah merupakan suatu kebiasaan yang sudah ditetapkan dan
diatur di dalam hukum adat Suku Sasak. Sebagaimana di kemukakan
sebelumnya bahwa masyarakat Suku Sasak Lombok mengenal lima cara dalam
pelaksanaan perkawinan. Salah satunya adalah Merarik atau kawin dengan cara
lain bersama merupakan cara pelaksanaan perkawinan yang sangat dominan di
laksanakan oleh masyarakat Suku Sasak Lombok, sehingga dalam
perkembangannya kata merarik dapat diartikan pula dengan kawin. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Cara pelaksanaannya, sejak perkenalan antara pihak laki-laki dengan
pihakperempuan sampai dengan penyelesaian pelaksanaan perkawinan telah
diatur termasuk sanksi-sanksi apabila ketentuan tersebut dilanggar.
6
4. Si perempuan bebas memilih siapa calon suami yang di inginkannya diantara
laki-laki yang mengingininya karena mereka di dahului dengan acarayang
disebut midang dimana laki-laki diperkenalkan untuk datangberkunjung kerumah
si gadis pada malam hari, yang sebelumnya telahdidahului oleh perkenalan
antara si perempuan dengan laki-laki di tempattempattertentu misalnya pada saat
menanam padi, panen atau keramaianatas acara adat lainnya
Prosesi merarik pada masyarakat Sasak dilaksanakan dalam lima tahap tindakan
(aksi). Tindakan pertaman adalah memaling (mencuri) yaitu tahap melarikan diri
atau lari bersama pasangan, proses kedua, sembunyi (sebo’) yang berarti gadis
yang sudah dilarikan disembunyikan di rumah keluarga atau sahabat calon
suami. Proses ketiga adalah mesejati yaitu tindakan pemberitahuan kepada pihak
keluarga gadis yang dilakukan oleh dua orang utusan dari pihak laki-laki tentang
pencurian anak gadisnya, proses keempat yaitu pembicaraan antara kedua
keluarga pasangan kaitannya dengan jumlah besarnya mas kawin (mahar) dan
biaya prosesi lainnya yang disebut selabar. Selanjutnya proses yang kelima
adalah proses sorong serah dan nyongkolan. Di bawah ini akan dijelaskan secara
detail prosesi maupun tahapan adat perkawinanan masyarakat Sasak, sebagai
berikut:
a. Memaling atau memaren (mencuri) yaitu tahap melarikan diri atau lari
bersama pasangan. Sebelum seorang pemuda dan pemudi Sasak melakukan
perkawinan terdapat suatu masa perkenalan yang menjadi cikal bakal
terbentuknya ikatan pacaran atau dalam bahasa Sasak dikenal dengan beberayean
atau bekemelean. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI adat istiadat
daerah Nusa Tenggara Barat 1997: 157). Ini semua tidak lepas dari pola
pergaulan dan interaksi antara laki-laki dan perempuan Sasak.
7
Jika dua insan Sasak saling menaruh hati, agresif pemuda dituntut. Pemuda
tersebut baik melalui perjanjian atau tidak datang bertandang ke rumah gadis
yang diidamkannya. Pemuda itu datang ke rumah sang gadis dengan maksud
untuk mencari dan mengkomunikaasikan cinta antara mereka, disebut midang.
Menurut para informan dari para tokoh-tokoh adat dan masyarakat Sasak
menjelaskan bahwa ada tiga opsi cara yang mungkin digunakan untuk pelarian
diri. Pertama, pasangan memutuskan untuk bertemu disuatu tempat kemudian
melarikan diri, kedua adalah pihak laki-laki dengan melalui perantara biasanya
keluarga laki-laki mengatas namakan lelaki yang akan melakukan pelarian diri
dan juga merancang untuk bertemu di suatu tempat, terakhir yaitu pelamar laki-
laki menggunakan magis untuk menarik perempuan ke sebuah tempat di mana
laki-laki itu menunggu untuk melarikan diri. Pelarian diri itu dilaksanakan
setelah adanya perundingan dan kesepakatan awal antar calon pasangan tentang
penentuan waktu pelarian diri yang dilakukan melalui kelambagan adat yang
disebut midang atau ngayo. Pelaksanaan hasil perundingan untuk melarikan diri
biasanya dilaksanakan pada malam sekitar pukul 6.30 hingga 7.30 antara waktu
magrib dan isya’, tatkala penduduk sedang bersimpangan dan lalu lalang ke
masjid untuk menunaikan shalat magrib atau saat makan malam. Waktu tersebut
digunakan agar tidak terlalu kentara seandainya seseorang wanita berjalan
sendirian di halaman rumahnya, demikian juga pihak keluarga yang tentu tidak
terlalu curiga andai sang anak gadisnya keluar rumah dengan alasan ke masjid
atau ke tempat kerabat dekat rumahnya. Proses memaling dimaksudkan sebagai
permulaan tindakan pelaksanaan perkawinan. Oleh beberapa kemungkinan adat,
tindakan tersebut mungkin berakibat pada kagagalan-kegagalan, tetapi sangat
kecil kemungkinan kegagalan jika seorang gadis telah berhasil dilarikan oleh
seorang pemuda. Karena seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa menjadi hal
yang tidak wajar bagi masyarakat adat Sasak bila satu perkawianan dihalang-
halangi oleh wali perempuan dan menurut Bapak Lalu Intayang selaku
pemangku adat bagi masyarakat Sakra akan menjadi suatu aib bagi keluarga jika
8
seorang perempuan sudah dibawa lari oleh laki-laki dan sudah sempat menginap
barang satu hari jadi mereka harus dinikahkan.
9
dan perempuan tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan wali perempuan
sampai ada utusan khusus dari pihak laki-laki atas pengetahuan administrasi desa
guna pemberitahuan kepada wali
perempuan.
10
Keliang yang menerima pemberitahuan tersebut dengan kalimat singkat
menjawab sampun tiang terima. Setelah pemberitahuan kedua pembayun
tersebut secara resmi diterima oleh keliang, maka keliang memberitahukan
kepada pembayaun, agar kedua pembayun datang lagi tiga hari setelah hari itu.
Kedatangan yang berikutnya dimaksudkan untuk prosesi berikutnya yaitu
selabar. Sedangkan selabar berasal dari kata abar (bahasa kawi artinya bersinar-
sinar terang), adalah proses mengabari keluarga perempuan oleh pihak laki-laki
yang didampingi oleh kepala lingkungan, bahwa anak perempuan mereka telah
dibawa oleh laki-laki atau calon suaminya. Dalam adat perkawinan sasak bila
tidak melakukan mesejati dan selabar akan mengalami kusulitan untuk nuntut
wali, karena orang tua perempuan menganggap anaknya diculik
11
Proses adat berikutnya setelah nuntut wali adalah bait janji. Maksud bait janji
adalah proses musyawarah utusan dari kedua belah pihak untuk membicarakan
bagaimana penyelesaian masalah adat untuk prosesi sorong serah, aji karma
yang digunakan untuk sorong serah, sekaligus membahas besarnya arta
gegawan, yaitu harta atau uang yang akan dibawa untuk diserahkan kepada
pihak perempuan sebagai penunjang jalannya acara adat. Dalam proses ini
terjadi pula prosesi pisuke yaitu proses tawar menawar atau menimbang
kesepakatan antara kedua belah pihak laki-laki dan perempuan sebagai ganti
atas kehilangan anak perempuan.
12
Kata sorong dalam bahasa Sasak berarti menyodorkan, dorong (mendorong),
sedangkan serah artinya seserahan, memberikan atau menyerahkan. Sebagai
bahasa adat Sasak sorong serah berarti upacara pemberian seserahan dan syarat-
syarat perkawinan yang telah disepakati oleh mempelai laki-laki dan keluarganya
kepada mempelai perempuan dan keluarganya Pada momentum sorong serah,
pembayaran denda-denda adat dilakukan oleh pihak keluarga mempelai laki-laki
yang timbul karena perkawinana dengan pelarian diri baik yang berpola memagah
di mana perempuan yang dilarikan tidak dalam pengawasan orang tua atau sedang
berada di rumah orang lain ataupun pembanyaran denda pelengkak bila mempelai
laki-laki maupun perempuan menikah dengan mendahului kakaknya. Hal yang
paling penting dan harus dilakukan dalam prosesi sorong serah adalah
pembanyaran dan penyerahan ajikarama. Ajikrama sendiri berasal dari bahasa
Sansekerta, aji dan krama. Aji artinya raja, mulia dan krama artinya adat.
Ajikrama berarti adat yang mulia, dapat juga diartikan benda adat yang mulia.
Dikatakan mulia karena kedudukan dan fungsinya dalam adat Sasak adalah untuk
menetapkan harkat martabat anak-anak yang akan lahir dari perkawinan tersebut.
Pada setiap kampung kadang kadang memiliki ketentuan ajikrama yang berbeda-
beda. Secara umum ketentuan ajikrama berupa:
a. Kepeng penyorong (uang sorong serah), merupakan denda denda adat
pelarian diri yang jumlahnya dahulu ditetapkan sebanyak uang adat, pada
masa sekarang sering dinilai dengan uang rupiah.
b. Kotak yang berisi kain yang terdiri dari lekasan dan kain putih, sering juga
dibawa dalam bokor yaitu wadah yang terbuat dari kuningan menyerupai
tempayan merupakan salah satu benda adat masyarakat Sasak.
13
c. Tumpuan wirang berupa senjata tajam semacam keris-keris pusaka yang
digunakan hanya sebagai simbol-simbol adat.
Dua proses akhir dari prosess perkawinan Sasak adalah nyongkolan atau
nyondol dan bales honos nae atau bales lampak.
14
Gambar 3.3 Acara Nyongkolan
3.4 Prinsip Dasar Kawin Merarik Menurut Hukum Adat Suku Sasak
Menurut hasil disertasi M Nur Yasin tentang budaya merarik suku Sasak
menyebutkan bahwa prinsip dasar pernikahan (merari’) di pulau Lombok dibagi
menjadi empat bagian, yaitu;
15
1. Prestise Bagi Keluarga Perempuan, Kawin lari (merari’) diyakini sebagai
bentuk penghormatan atas harkat dan martabat keluarga besar perempuan (nine),
gadis yang menikah dengan cara diculik tersebut tidak dianggap sebagai
pelecehan sepihak dari keluarga laki-laki. Bahkan jika ada perkawinan seorang
perempuan tanpa melaui penculikan (merari’/kawin lari) maka keluarga besar
perempuan tersbut dianggap terhina. Asumsi ini sangat mengakar kuat dalam
struktur masyarakat Lombok.
16
anaknya kepada calon menantunya (laki-laki). Jika semakin tinggi tingkat
pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua seseorang maka semakin besar
pula nilai ekonomis yang ditawarkan. Akan tetapi komersialisasi akibat kawin
lari (merari’) ini akan melemah jika diantara calon suami/istri berasal dari luar
suku Sasak, hal ini disebabkan oleh adanya dialog peradaban, adat dan budaya
antara nilai yang menjadi pedoman orang suku Sasak dan pedoman orang luar
suku Sasak.
3.5 Tata tertib Pelaksanaan Kawin Merarik Menurut Hukum Adat Suku Sasak
Apabila salah satu ketentuan adat ada yang dilanggar maka terjadilah delik adat
yang berakibat timbulnya reaksi dan koreksi dari petugas hokum adat dan
masyarakat. Begitu pula jika terjadi pelanggaran adat mengenai perkawinan
merarik pada masyarakat adat Suku Sasak di Lombok. Apabila ada warga
masyarakat melanggar aturan-aturan adat dimana salah satu pihak membatalkan
perkawinan merarik yang telah disepakati,terlebih dahulu akan diselesaikan
melalui musyawarah adat. Para petugas hukum adat baru akan menyelesaikan
masalah mengenai pembatalan perkawinan merarik ini apabila ada permintaan
dari yang berkepentingan dalam hal ini pihak si perempuan, keluarga dan
kerabatnya serta para tetua adat yang merasa direndahkan martabatnya. Menurut
tetua adat, bahwa dengan ingkarnya si laki-laki yang membatalkan niatnya
mengawini perempuan yang telah dilarikannya, maka tindakan laki-laki tersebut
17
menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam lingkungan masyarakat adat
setempat, seperti keonaran, keresahan,kerusuhan (ngerayang). Tindakan laki-laki
tersebut menyimpang dari adat kebiasaan masyarakat yang berlaku selama ini.
Masyarakat dapat desa tempat domisili gadis menjadi malu dan direndahkan
harga diri dan martabatnya. Sehingga tetua adat dan masyarakat adat yang
bersangkutan menilai perbuatan si laki-laki sebagai perbuatan yang melanggar
hukum adat yang disebut “Nambarayang” atau“Ngampesake”dan untuk
pelanggaran adat ini ada sanksinya. Menurut tetua adat adanya unsur-unsur yang
terkandung dalam hukum adatdelik nambarayang ini adalah “setiap sikap
tindakan-tindakan yangbersifat menyepelekan, mengesampingkan atau
meniadakan kaidahadat istiadat yang dapat menimbulkan keonaran, kekacauan
dan keresahan masyarakat adat (ngorayang) akan mendapat sanksi adat. Dengan
berlakunya hukum adat sebagai hukum positif di Negara kita sampai saat ini
masih diakui oleh masyarakat Indonesia serta memberikan dasar hukum dalam
Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1Tahun 1951.Undang-
undang darurat nomor 1 tahun 1951 pasal 5 ayat 3 sub bmenentukan sebagai
berikut ;bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
sebagai hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga masih
langsung berlaku dan ditaati oleh lingkungan masyarakat ada perbuatan si laki-
laki yang melanggar hukum adat yang masih hidupdalam masyarakat adat berupa
delik adat nambarayang ternyata tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Menurut tetua adat,delik nambara yang ini dapat
diselesaikan dengan cara:
18
2. Antara laki-laki dan si perempuan dipertemukan dalam majelis adat untuk
menjelaskan duduk persoalannya.
3. Jika pihak laki-laki tetap tidak mau mengawini perempuan yang telah dilarikan
nya maka si laki-laki harus membayar denda yaitu harus memenuhi semua
kebutuhan hidup si perempuan sampai si perempuan menikah dengan orang lain.
Sanksi-sanksi dari tetua adat yang dapat dikenakan kepada laki-laki yang
membatalkan perkawinan merarik :
1. Harus diasingkan dari krame adat dan semua kegiatan yang dilaksanakanoleh
laki-laki dan kerabatnya tidak dianggap dalam masyarakat(dikucilkan).
3. Dikenakan sanksi awig pati, yaitu denda berupa uang logam 46.000.
4. Keturunan laki-laki tersebut sampai kapan pun di cap oleh masyarakat adat
sebagai orang yang melanggar adat istiadat, melanggar tata tapsile sehingga tidak
berhak menjadi orang di depan (pemimpin) dan keturunannya tidak boleh
menuntut kepada siapapun jika suatu hari anak-anaknya diperlakukan begitu pula.
Salah satu nilai positif yang paling mendasar dari adanya tradisi merari’ pada
masyarakat suku Sasak Lombok adalah adanya sikap heroik (kepahlawanan) bagi
kaum laki-laki, sehingga dengan demikian tradisi ini sangat dipertahankan oleh
masyarakat setempat.
Walaupun merarik adalah suatu adat yang diperbolehkan dalam masyarakat, akan
tetapi merarik dapat menimbulkan dampak negative dalam suatu perkawinan
misalnya saja dengan adanya adat merarik ini banyak kasus perkawinan di bawah
19
umur yang terjadi. Padahal adat tidak mungkin secara gampang membatalkan
suatu perkawinan apa lagi si gadis sudah dilarikan oleh calon suaminya. Jika
ditarik dari tempat persembunyiannya karena soal umur pihak keluarga akan
menjadi malu dan si pemuda dan gadis yang gagal melakukan perkawinan disebut
penganten burung artinya pengantin yang batal. Sebutan atau predikat pengantin
gagal itu akan menyebabkan keluarga dan yang bersangkutan sangat malu
dihadapan masyarakat. Biasanya jalan keluar yang diambil agar pernikahan tetap
dilaksanakan adalah dengan pemalsuan-pemalsuan tahun lahir si gadis. Dampak
dari perkawinan dibawah umur ini akan bias terjadi kawin cerai antar mereka.
Karena mereka menikah dalam usia yang belum matang, tingkat emosi masih
belum stabil dan bisa juga mereka melakukan lari bersama sebelum mereka
benar-benar saling kenal satu dengan yang lainya sehingga tidak jarang terjadi
perceraian.
Berdasarkan penuturan akademisi IAN Mataram, dalam peristiwa merari’ ini
terdapat sembilan superioritas kaum laki-laki sebagai suami terhadap kaum
perempuan sebagai istri, superioritas tersebut antara lain;
1. Adanya sikap otoriter suami dalam menentukan setiap keputusan keluarga.
2. Pekerjaan domestik hanya dilakukan oleh istri, misalnya nyapu, masak, dll.
Jika pekerjaan domestik ini dilakukan oleh laki-laki maka perempuan dianggap
melannggar adat karena merendahkan derajat kaum lelaki, oleh sebab itu
pekerjaan domestik ini sangat tabu jika dikerjakan kaum laki-laki.
20
bangsawan (gelar bangsawan masyarakat suku Sasak adalah Lalu/Baiq) maka
keturunannya tidak boleh menampilkan gelar itu, jika sebaliknya lelaki berasal
dari kaum bangsawan dan istrinya dari kaum non bangsawan maka keturunanya
boleh ditampilkan gelar kebangsawanan tersebut.
6. Nilai perkawinan itu akan ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang
“Pisuke” (jaminan)
9. Peluang poligami sangat tinggi bila dibanding dengan masyarakat suku lain.
21
BAB IV
KESIMPULAN
1. Dalam Masyarakat Adat Suku Sasak Lombok di kenal lima cara dalam
melaksanakan perkawinan yaitu :
a. Memadik (melamar)
d. Memaksa/memagah
e.Kawin gantung
22
Yaitu perkawinan yang di kehendaki oleh orang tua keduabelah pihak sedari
kedua calon mempelai masih kecil.
23
3. Prosesi merarik pada masyarakat Sasak dilaksanakan dalam lima tahap
tindakan (aksi). Tindakan pertaman adalah memaling (mencuri) yaitu tahap
melarikan diri atau lari bersama pasangan, proses kedua, sembunyi (sebo’) yang
berarti gadis yang sudah dilarikan disembunyikan di rumah keluarga atau sahabat
calon suami. Proses ketiga adalah mesejati yaitu tindakan pemberitahuan kepada
pihak keluarga gadis yang dilakukan oleh dua orang utusan dari pihak laki-laki
tentang pencurian anak gadisnya, proses keempat yaitu pembicaraan antara kedua
keluarga pasangan kaitannya dengan jumlah besarnya mas kawin (mahar) dan
biaya prosesi lainnya yang disebut selabar. Selanjutnya proses yang kelima adalah
proses sorong serah dan nyongkolan.
4. Akibat perkawinan merarik menurut hukum adat suku Sasak apabila terjadi
penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakt
adat suku Sasat maka akan diambil tindakan hukum sebagaimana mestinya oleh
ketua adat atau masyarakat adat yang berupa denda yang jumlahnya disesuaikan
dengan status sosial.
a. Apabila ada warga masyarakat melanggar aturan-aturan adat dimana salah satu
pihak membatalkan perkawinan merarik yang telah disepakati, terlebuh dahulu
akan diselesaikan melalui“Gundern” (musyawarah adat ).
c. Jika pihak laki-laki tetap tidak mau mengawini perempuan yang telah
dilarikannya maka si laki-laki harus membayar denda yaitu harus memenuhi
semua kebutuhan hidup si perempuan sampai si perempuan tersebut menikah
dengan orang lain.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997. Adat Istiadat Daerah Nusa
Tenggara Barat. Jakarta: Proyek pengkajian Nilai-Nilai Budaya Pusat, CV
Eka Dharma
https://dokumen.tips/documents/perkawinan-merarik-menurut-hukum-adat.html
26