I. LATAR BELAKANG
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat,
sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi
ius, dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran hukum dalam masyarakat
sangat penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis
normatif dari kehidupan masyarakat. Sebagai alat pengendali sosial, hukum dianggap
berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang
menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai
perilaku tidak baik. Namun, apa yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik
menurut yang lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa
hidup bersama atau berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi
pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai
kebaikan tersebut. manusia selalu ingin hidup tentram dan damai, manusia
memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian
terciptalah perlindungan kepentingan berwujud kaidah sosial, termasuk didalamnya
kaidah hukum.
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial
dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar
pribadi. Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaidah agama dan
kaidah kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan kepada manusia sebagai individu,
sedangkan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah sopan
santun atau tata karma yang meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan,
berbusana, kaidah hukum, dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini ditujukan bagi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya manusia sebagai makhluk
sosial.1[1]
Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan
atau kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang lain. Norma atau
kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan keadilan dalam masyarakat.
Dimana dalam aliran sociological jurisprudence menganggap bahwa hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Sehingga dalam penegakan hukum hendaknya selain memperhatikan aspek
hukumnya juga melihat aspek sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat
bagi orang banyak.
Penegakan hukum yang sebenarnya merupakan barometer berlangsungnya
kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia, baik itu yang memiliki implikasi
terhadap tatanan budaya, sosial, dan ekonomi yang terganggu, karena perspektif
penegakan hukum yang labilitas. Adanya kehendak bahwa hukum sebagai suatu
supremasi dari negara yang berasaskan hukum tampaknya masih menimbulkan
keragu-raguan manakala ada suatu relevansi yang ketat antara hukum dengan politik
kekuasaan, khususnya terhadap kasus yang memiliki padanan dengan korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN).
Dewasa ini pemberitaan di Indonesia selalu dipenuhi dengan kasus korupsi
para pejabat negara, seolah korupsi telah mendarah daging sehingga sulit untuk
diberantasi. korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-
orang yang berkuasa atau para pejabat negara yang memiliki kewenangan dimana ia
menyalahgunakan kewenangan tersebut. akibat dari perbuatan korupsi ini adalah
berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi
adalah segolongan orang-orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang
banyak.
1[1] Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012,
hlm. 15
Kesenjangan sosial dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur
masyarakat Indonesia, dipahami oleh para ahli turut menyuburkan hubungan patron-
klien (pengayoman) yang pada gilirannya memberikan kontribusi besar bagi
langgengnya budaya korupsi di masyarakat.2[2] Misalnya dalam membuat SIM
(Surat Izin Mengemudi), kita seolah dibiasakan untuk membayar “lebih” guna
mendapatkan SIM secara cepat dan instan. Contoh lain pejabat politik harus
membayar mahal untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum, dan untuk mencapai
jabatan yang diinginkan dibutuhkan pendukung yang banyak, untuk mendapatkan
pendukung yang banyak dicarilah organisasi masyarakat atau kelompok tertentu yang
bisa membawa masa, tentu saja hal tersebut membutuhkan dana, dimana bukan
rahasia lagi setiap kampanye para calon legislatif memberikan uang kepada
masyarakat untuk memilihnya. Setelah terpilih tidak menutup kemungkinan pejabat
tersebut berpikir untuk mengembalikan uangnya melalui uang negara.
Peraturan mengenai pemberantasan korupsi sudah ada, bahkan disertai dengan
hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di
Indonesia tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat para koruptor takut
untuk melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya pun belum ada koruptor di
Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali korupsi dilakukan tidak secara
personal, tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara
tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya.
II. TUJUAN PENULISAN
1. untuk mengetahui dan menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas
tindak pidana korupsi
2. untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana
korupsi dalam kajian sosiologi hukum.
2[2] Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 163
1. Bagaimanakah peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana
korupsi?
2. Bagaimanakah penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana
korupsi dikaji melalui sosiologi hukum?
PEMBAHASAN
A. TEORI EFEKTIVITAS HUKUM
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah
dibuat ternyata tidak efektif didalamnya, dan efektifitas hukum ini mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan
hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-
benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Satjipto Rahardjo membedakan
istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of
law). Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang
dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat
menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain.
Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.3[3] Penegakan
hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan
yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya,
hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan
kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan
asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the
Basic Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat
3[3] Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia., Cetakan Kedua, Buku
Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 169
menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang
sangat kompleks tersebut.4[4]
4[4] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua,
Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hlm.70
7[7] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 55
pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus
dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan
eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur
dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono
Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan berpengaruh, semua
faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas hukum.
9[9] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006,
hlm. 6
pelanggaran hukum masyarakat kelas menengah. Inilah yang pernah dikuatirkan
Honore de Balzac sebagaimana dikutip Pillipe Sands bahwa hukum di dunia sudah
berubah menjadi seperti sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles d’araignees a
tavers lesquelles passent les grosses mouches et ou restent les petites” (hukum,
seperti sarang laba-laba, menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan yang
besar-besar lolos).10[10] Sering dijumpai dalam hukum di Indonesia ini seolah
penegakan hukum hanya berlaku bagi “yang tidak mampu”, sehingga terkesan bahwa
hukum tajam bagi kalangan menengah dan bawah kemudian tumpul untuk kalangan
atas, hal ini terbukti dengan berbagai kasus rakyat miskin yang terjerat kasus hukum
karena mengambil sandal jepit dan mencuri pisang, seolah hal ini merupakan kasus
besar yang segera ditindak dan divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-olah tumpul
dapat kita lihat pada kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami
perkembangan yang signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi
publik. Dalam hal ini terasa percuma untuk merancang undang-undang dan
menjadikannya sebagai suatu produk hukum, jika hukum yang sudah dibuat itu tidak
bermanfaat karena keinginan dan alat untuk melaksanakannya lemah.
Berkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap suatu produk hukum, sangat
tepat apa yang dikemukakan Ivor Jennings bahwa “The most law-abiding citizen in
the world, particulary when the law seem to him to be sensible; but no man is more
ready to take offence when it broken. He doesn’t obey orders because they are given
by one person in authority; he obeys orders when they are lawful orders, issued by a
person who has legal authority to issue them. Memang penting otoritas hukum itu,
tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan terhadap hukum baik oleh pembuat hukum
itu sendiri maupun masyarakat. Dalam pelaksanaan penegakan hukum hal yang
terpenting adalah semangat penyelenggara negara atau semangat aparatur penegak
hukumnya (the man behind the law), sebagaimana yang diamanatkan dalam
Penjelasan Umum UUD 1945:
11[11] Soerjono soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989, hlm 11
mengangkat derajat ilmiah dari pendidikan hukum. Pernyataan ini dikemukakan atas
asumsi bahwa sosiologi hukum dapat memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan modern
untuk melakukan atau membuat deskripsi, penjelasan, pengungkapan, dan prediksi.
Jika keempat hal diatas merupakan tuntutan ilmu pengetahuan hukum saat ini sebagai
dampak “modernisasi”, maka harus diakui dengan jujur bahwa pendidikan hukum
dalam kajian jurisprudence model: rules (normative), logic, practical, dan decision
yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan pemahaman hukum yang utuh.
Pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri atas social
structure, behavior, variable, observer, scientific, dan explanation akan menjadikan
ilmu hukum itu responsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.
Karena itu, suatu pemahaman dan pengkajian hukum dalam konteks sosial yang lebih
besar merupakan suatu keharusan, sehingga hukum akan tampak sebagai social
control dalam masyarakat atau hukum ada karena adanya masyarakat dan bukan
berarti masyarakat meninggalkan hukum yang telah dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Bila dilihat karakteristik kajian sosiologi hukum disebutkan bahwa
sosiologi hukum berusaha memberikan deskripsi dalam praktik-praktik hukum.
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum
di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang
mempengaruhi dan lain sebagainya. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan
empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi
suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu. Terakhir,
karakteristik kajian sosiologi hukum adalah tidak melakukan penilaian terhadap
hukum, tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan objek pengamatan
yang setaraf.12[12]
Dari karakteristik kajian sosiologi hukum diatas, dapat menjadi pedoman
dalam menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana
korupsi di Indonesia ini. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
12[12] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8-9
sebagainya. Secara garis besar korupsi adalah suatu tindakan untuk memperkaya diri
yang merugikan keuangan negara. Untuk menemukan penyebab korupsi, dapat
menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai
motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan
manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang
melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab
itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.13[13]
Manusia sebagai makhluk sosial tentu ingin dipandang dan dihormati oleh
manusia lainnya, bagi sebagian besar orang, uang dapat membuatnya dipandang dan
dihormati, dengan uang pula mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan,
tak sedikit orang yang beranggapan bahwa seseorang dikatakan berhasil bilamana
orang tersebut sudah mapan dalam segi materi, yaitu memiliki rumah mewah
dikawasan elit, mobil mewah dan tak jarang para orangtua adu gengsi untuk
menyekolahkan anaknya disekolahan yang bonafit. Atas dasar itu lah orang-orang
selalu ingin menjadi kaya, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa
mengakses kekayaan. ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses
kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal.
Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan.
Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka
seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan
tersebut diperoleh. Lebih rincinya pada faktor eksternal ini jika ada kesempatan
seseorang untuk korupsi maka ia akan melakukannya untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang menurutnya tidak pernah cukup. Hal ini senada dengan faktor internal
yang terdapat dari dalam diri orang itu sendiri yaitu moralitas. Bila seseorang tidak
memiliki moral yang baik maka ia dengan mudah nya melakukan korupsi tanpa
memikirkan akibat dari perbuatannya itu.
14[14] Andi hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007, hlm. 259
tetapi juga diperlukan penyelesaian secara sosiologis agar hukum tersebut serasi
dengan masyarakat.
Peran serta masyarakat akan mempengaruhi keberhasilan pemberantasan
korupsi. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi”
maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap
demikian, diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang
terjadi. Partisipasi masyarakat juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap
acara atau undangan dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah
hukuman masyarakat yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi.
Peran serta masyarakat di dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
berbunyi :
1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk :
a) Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi.
b) Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
c) Hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
d) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
a. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.
b. Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung
jawa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma
agama dan norma sosial lainnya.
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Untuk mengurangi angka korupsi, di samping upaya pencegahan dan pemberantasan,
juga diperlukan perubahan budaya dan dukungan masyarakat luas.
2. Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi
Dikaji Melalui Sosiologi Hukum
Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi
syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara
filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu
berfungsi dalam masyarakat, yaitu kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas
atau penegak hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum,
kesadaran masyarakat.15[15] Agar hukum itu berfungsi atau memiliki efektivitas
maka suatu kaidah hukum harus berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Bila
kaidah hukum berlaku secara yuridis saja, ada kemungkinan kaidah itu merupakan
kaidah mati, dan jika hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan,
maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa, dan begitu pula jika kaidah hukum hanya
berlaku secara filosofis, maka kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-
citakan.16[16] Sehingga jika dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, agar Undang-Undang tersebut berjalan efektif
maka harus memenuhi unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Dikaji melalui berlakunya secara yuridis, Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ini dibuat sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan kaedah hukum yang lebih tinggi, undang-undang ini dipaksakan
berlakunya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan secara filosofis undang-
undang ini memiliki tujuan untuk menjamin kepastian hukum, menghindari
keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Selain itu agar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dapat berjalan secara efektif dilihat pula bagaimana penegakan hukumnya.
16[16] Ibid.
Disinilah permasalahan intinya penegakan hukum untuk kasus korupsi sangat lemah,
seringkali hukuman bagi koruptor tidak setimpal dengan perbuatannya yang sudah
merugikan keuangan negara yang berdampak pada seluruh masyarakat negara
Indonesia, bahkan ada koruptor yang dibebaskan dengan dalih tidak cukup bukti,
sedangkan kita tahu dewasa ini banyak putusan hakim yang kental isu suap, bahkan
ada hakim yang terbukti menerima suap.
Tentu ini membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di
Indonesia, ditambah lagi dengan banyaknya kasus yang ditangani, tapi ketika sampai
di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan
keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan,
seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah. Menghadapi beban
penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks,
lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi
diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi
lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas
dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus
dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh
politik dan kepentingan politik. Masyarakat kebanyakan masih menganggap suap
sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di
semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang
belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk kedalam
tindak pidana. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah
awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.
Penegakan hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada yang
berkuasa menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang kehilangan moralitas.
Agar rasa keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga dan aparat penegak hukum
perlu direformasi. Masyarakat perlu meneruskan gerakan moral untuk menolak
praktik ketidakadilan. Keadilan tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung
rasa kemanusiaan. Hukum hanya jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis,
stabil, dan menghargai sesamanya. Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta
Direktur Newseum Taufik Rahzen secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya
menolak tindakan hukum yang tegas kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap
kasus besar, terutama korupsi.17[17] Hukum yang semestinya melindungi dan
menegakkan keadilan justru terasa tak adil. Semua itu mencerminkan arogansi
penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur proses hukum. Tanpa
memihak pada keadilan dan rakyat, hukum hanya prosedur yang kehilangan
moralitas. Hukum menjadi permainan bagi sebagian orang. Jika kondisi ini berlanjut,
rakyat terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka mudah diincar
jerat hukum. Akibatnya, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap
hukum dan pemerintah.
Untuk menghindari hal itu sebaiknya semua elemen bangsa harus mendorong
reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman agar
menjalankan hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi ini harus dikerjakan
bersama oleh legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil society, Masyarakat diharapkan
terus menggalang solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal
ini perlu kerja sama dengan semua tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial.
Begitupun media, baik media cetak maupun elektronik juga perlu untuk tetap
mengawal hukum dan mendorong penegakan keadilan.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam
masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang,
yaitu:18[18]
1. Fungsi hukum sebagai sosial kontrol didalam masyarakat;
Mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem
kaidah dan nilai yang berlaku.
2. Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat;
ketiga jenis pendekatan dalam ilmu hukum dapat digambarkan dengan dimulai dari :
Pendekatan empiris di bidang hukum, Pendekatan normatif, Pendekatan filosofis.
Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu diantara pendekatan dalam ilmu
hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya suatu produk hukum dan keputusan
hukum yang optimal, maka ketiga pendekatan ilmu hukum tersebut harus
diimplementasikan secara proporsional dan harmonis oleh para penegak hukum, yang
pada akhirnya dapat mewujutkan penegakan hukum yang bermartabat.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi
di Indonesia, antara lain :
a. Upaya pencegahan (preventif).
b. Upaya penindakan (kuratif).
c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
PENUTUP
Dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu diketahui sebelumnya faktor
penyebab dari korupsi itu sendiri, faktor penyebab orang melakukan korupsi
disebabkan dua faktor yaitu faktor ekstern dan faktor intern, dimana faktor ekstern
23[23] Ibid
berasal dari ketidakpuasan orang tersebut atas harta yang dimiliknya juga karena
kebutuhan ekonomi, dan faktor intern yaitu moral dari orang itu sendiri. Sehingga
yang perlu dibenahi adalah moral dari pejabat negara Indonesia khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya, karena hukum sudah mengatur sedemikian
rupa mengenai tindak pidana korupsi, hanya saja dalam penegakannya,
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditegakan secara adil, melainkan
penegakan hukum disini masih tembang pilih, sehingga terkesan hukum itu tumpul
untuk kalangan atas. Dimana dalam membicarakan keadilan merupakan sesuatu yang
bersifat subjektif, sehingga dalam menegakan keadilan tidak hanya membutuhkan
hukum secara yuridis, melainkan juga melihat sisi sosiologis nya. Sanksi yg lemah
dan penerapan hukum yg tidak konsisten masih mewarnai penegakan hukum dalam
memberantas korupsi di Indonesia ini. Jika Indonesia benar-benar ingin memberantas
korupsi maka dimulai dari moral yang baik bagi setiap masyarakat Indonesia,
terutama moral para pejabat negara yang menjadi panutan bagi masyarakat.
Keseriusan penegak hukum dalam menegakan hukum yang adil bagi seluruh
masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, dan peran serta masyarakat itu sendiri
untuk memberantas korupsi, dan untuk tindakan represif bagi koruptor, perlu adanya
sanksi yang “memiskinkan” koruptor serta sanksi dari masyarakat bagi para koruptor.
Agar diharapkan pemberantasan korupsi di Indonesia ini dapat berjalan secara efektif.