TENTANG
KONSEP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
i
Kata Pengantar
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna,
suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural
masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal
dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 1
Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu
makna yaitu menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk
menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial
yakni Wetboek van Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan
turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda tahun 1886.2 Dari hal
tersebut di atas, terkandung tekat dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan
suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan substansi hukum
pidana yang dicita-citakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apa Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana ?
b. Apa saja aspek dalam Pembaharuan Hukum Pidana?
c. Alasan Pembaharuan Hukum Pidana?
C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini sesuai Latar Belakang yang telah
di sampaikan di atas ialah untuk memberikan pemahaman kepadamasyarakat
luas terutama yang berada di dalam ruang lingkup bisnis bahwa pentingnya
sebuah Paten terhadap benda atau suatu hal yang telah dia ciptakan.
2.
1 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta. Hal. 30
2 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni, Bandung, hal 4.
BAB II
PEMBAHASAN
KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur mengenai konsep yang
dianut berkaitan dengan pengertian Tindak Pidana maupun
Pertanggunjawaban Pidana. Keadaan ini sering kali menimbulkan perdebatan
dan juga perbedaan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Sekalipun
pada dasarnya kebanyakan para pengajar hukum pidana Belanda
dipengaruhi oleh pandangan yang bersifat monistis, yang pada dasarnya
melihat persoalan “pertanggungjawaban”sebagai bagian dari “tindak pidana”.
Hal ini berarti bahwa dalam suatu “tindak pidana” dengan sendirinya
mencakup pula kemampuan bertanggungjawab. Sudah sejak lama di
Indonesia berkembangan pemikiran yang bersifat dualistis, diantaranya
secara khusus dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Moelyatno sebagaimana
disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas
Gajahmada, yang pada dasarnya beranggapan bahwa konsep yang
memisahkan “tindak pidana” dengan persoalan “pertanggungjawaban
pidana”dianggap lebih sesuai dengan cara berpikir bangsa Indonesia.
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan
latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu
sendiri. Menurut penulis latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspeksosio-politik, sosio-
filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya
kebijakan sosial, kebijakan kriminal & kebijakan penegakan hukum). Artinya,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan
dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek & kebijakan yg
melatar belakanginya. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya mengandung makna, suatu upaya melakukan reorientasi &
reformasi hukum pidana yg sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-
filosofi, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yg melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
3.
Makna dan hakikat dari pembaharuan hukum pidana dapat ditempuh
3
dengan dua cara sebagai berikut :
3 Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Madia Group, Jakarta. Hal. 29-
30
Mempelajari hal yang bersifat dogma atau substansial dalam KUHP
hendaklah diiringi dengan kebijaksanaan dan kewaspadaan. Artinya, jika hal-
hal yang berbau dogma didalam KUHP digunakan secara kaku (tanpa
kebijaksanaan), maka output yang dihasilkan tentu saja menghambat tujuan
penegakan hukum pidana, bahkan tidak tertutup kemungkinan menghambat
ide-ide pembaharuan hukum pidana Indonesia yang selalu digaungkan.
Selain itu, pembaharuan hukum pidana juga merupakan bagian dari
upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok-pokok pemikiran atau ide-ide
dasar atau nilai-nilai sosio filosofik, sosio-politik dan sosio kultural yang
melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum pidana selama
ini. Bukanlah pembaharuan hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum
pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum
pidana lama warisan penjajah (KUHP WvS). Dengan demikian, pembaharuan
hukum pidana haruslah dirumuskan dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Oleh karena
itu, sudah seharusnya pembaharuan hukum pidana bersumber pada ide-ide
dasar Pancasila, yang merupakan landasan nilai-nilai kehidupan kebangsaan
yang dicita-citakan dan digali untuk bangsa Indonesia. Ide-ide dasar
Pancasila mengandung keseimbangan nilai/ide didalamnya. Berikut
4
keseimbangan ide/nilai yang dimaksud :
1. Religiustik;
2. Humanistik;
3. Nasionalisme;
4. Demokrasi;
5. Keadilan Sosial.
4 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2011) hlm 4
5
2. Sosio demokrasi (penyatuan antara ide demokrasi dan keadilan
sosial)
3. Sosio nasionalisme (penyatuan antara ide humanistik dan
nasionalisme)
Jadi Menurut Penulis untuk menjawab apa urgensi atau esensi dari
pembaharuan hukum pidana yaitu pembaharuan hukum pidana sudah
menjadi kebutuhan yang mendesak untuk adanya perubahan mendasar dala
rangka mencapai tujuan dari pidana yang lebih baik dan manusiawi.
Kebutuhan tersebut sejalan dengan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan
suatu penegakan hukum (law enforcement) yang lebih adil terhadap setiap
bentuk pelanggaran hukum pidana di era reformasi ini. Suatu era yang sangat
membutuhkan adanya keterbukaan, demokrasi, perlindungan HAM,
penegakan hukum dan keadilan/kebenaran pada segenap aspek dari
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6 Erdianto Efandi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Hal. 220
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya
perbuatan, pada pokoknya konsep bertolak dari dasar bahwa sumber
hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi
bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Konsep
memperluas perumusan asas legalitas secara materiil, yaitu ketentuan
pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat. Namun yang perlu diingat bahwa berlakunya
hukum yang hidup hanya untuk delik yang tidak ada bandingannya atau
tidak diatur dalam undang-undang. Perluasan asas legalitas juga
dilakukan konsep terhadap rumusan asas legalitas, yaitu bahwa
ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup yang menentukan bahwa hukum adat setempat patut dipidana
bilamana perbuatan itu tidak ada persamaan dalam peraturan
perundang-undangan.
2. Pertanggungjawaban Pidana
7.
3. Pidana dan Pemidanaan
Pada awalnya, KUHP (WvS) dipandang sebagai induk dan sebagai wujud
dari kodifikasi dan unifikasi. Namun dalam perkembangannya, KUHP
dianggap tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan
dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru, yang tentu saja
sejalan dengan perkembangan pemikiran dan aspirasi kebutuhan
masyarakat.
7.
Selain itu, KUHP yang berlaku saat ini bukanlah hukum pidana yang berasal
dari nila-nilai dasar dan nilai-nilai sosiofilosofik, sosio-politik dan sosio-kultural
yang hidup dalam masyarakat Indonesia 7, sehingga sudah sepantasnya
timbul pertanyaan, apakah KUHP pada saat ini masih pantas disebut sebagai
bagian dari hukum positif Indonesia, terutama hukum pidana?
KUHP warisan kolonial ini bukanlah sistem hukum pidana yang utuh,
karena terdapat beberapa pasal/delik yang dicabut. Oleh karena itu
bermunculan Undang-undang baru diluar KUHP yang mengatur delik-delik
khusus dan aturan-aturan khusus. Namun Undang-undang baru diluar KUHP
itu walaupun merupakan produk nasional, masih tetap berada dalam naungan
aturan umum KUHP (WvS) sebagai sistem induk buatan kolonial. Pendek
kata, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana kolonial masih tetap
bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia 8.
7 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru
Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), hlm. 13.
8 Meminjam istilah yang digunakan oleh Tim Penyusun Konsep Pertama Buku I KUHP baru tahun 1964.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Maka penulis menganjurkan rekomendasi, agar dalam mempelajari hal
yang bersifat dogma atau substansial dalam KUHP hendaklah diiringi
dengan kebijaksanaan dan kewaspadaan. Artinya, jika hal-hal yang
berbau dogma didalam KUHP digunakan secara kaku (tanpa
kebijaksanaan), maka output yang dihasilkan tentu saja menghambat
tujuan penegakan hukum pidana, bahkan tidak tertutup kemungkinan
menghambat ide-ide pembaharuan hukum pidana Indonesia yang selalu
digaungkan. Sehingga sudah sepantasnya kita menggalang pembaharuan
hukum pidana Indonesia yang berasal dari nila-nilai dasar dan nilai-nilai
sosiofilosofik, sosio-politik dan sosio-kultural yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.
9.
DAFTAR PUSTAKA
10.