Anda di halaman 1dari 47

Mengenal

Sosiologi Hukum

1
I. PENDAHULUAN
A. Pengantar

Sejak dilahirkan, maka manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk


senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan
orang-orang lain, antara lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur.
Namun demikian, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu teratur
pula bagi orang lain.
Apabila masing-masing mempunyai pendapat mengenai keteraturan yang
ternyata berbeda-beda, maka besar kemungkinan akan terjadi bentrokan
kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat yang harus dicegah. Keadaan
tersebut harus dicegah, untuk mempertahankan integrasi dan integritas
masyarakat.

Kebutuhan akan pedoman-pedoman perilaku yang akan dapat


memberikan pegangan bagi manusia, antara lain, menimbulkan norma atau
kaidah. Norma atau kaidah tersebut, dari sudut hakekatnya merupakan suatu
pandangan menilai terhadap perilaku manusia.
Dengan demikian, maka suatu norma atau kaedah merupakan patokan-
patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas. Walaupun pada
kahekatnya kebutuhan berasal dari masyarakat, akan tetapi sebagai
pandangan menilai, norma atau kaedah merupakan suatu hasil pemikiran
normatif dan juga filosofis.
2
Suatu norma atau kaedah, apabila dipandang dari sudut lain, juga
merupakan hasil abstraksi dari pola perilaku. Apabila secara empiris suatu
perilaku diulang-ulang dalam bentuk yang sama, maka perilaku tersebut menjadi
suatu pola perilaku.
Kalau pola perilaku tersebut dianggap akan dapat mencapai suatu taraf ke-
imanan tertentu, taraf hati nurani yang bersih, kesedapan dalam pergaulan hidup
dan kedamaian, maka pola perilaku tersebut menjadi norma.

Proses tersebut merupakan suatu pandangan sosiologis, yang


telah lebih menekankan pada kuantita perilaku yang terwujud secara
empiris.
Proses terjadinya pola perilaku yang kemudian menjadi norma
atau kaedah, dipelajari oleh sosiologi. Lama-kelamaan, dengan
adanya proses pengkhususan atau spesialisasi di dalam pelbagai ilmu
sosial, maka tumbuh pula suatu cabang sosiologi yang dinamakan
sosiologi hukum.
3
Dalam hal ini perlu dibedakan antara terjadinya pola perilaku dengan proses
terjadinya norma atau kaedah. Apabila dilihat dari sudut proses terjadinya pola
perilaku (hukum), maka gejala atau peristiwa itu lebih banyak dipelajari oleh
sosiologi hukum sebagai spesialisasi dari sosiologi.
Proses terjadinya norma atau kaedah (hukum) dari pola perilaku tertentu,
lebih banyak dipelajari oleh sosiologi hukum sebagai bagian dari ilmu kenyataan
yang merupakan cabang dari pada ilmu-ilmu hukum.

Dengan demikian, maka sosiologi hukum dapat merupakan


cabang sesiologi maupun ilmu-ilmu hukum sekaligus. Hal itu akan
jelas, dengan menelaah sudut atau titik tolak di dalam mempelajari
gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa sosial yang diidentifikasikan
sebagai hukum.
Agar menjadi lebih jelas lagi, maka ada baiknya untuk sedikit
menguraikan perihal disiplin hukum di bawah ini.

4
B. Disiplin hukum dan sosiologi hukum

Suatu disiplin merupakan sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala


yang dihadapi, yang pada umumnya dibedakan antara disiplin analisis dan preskriptif.
Disiplin analisis merupakan sistem ajaran menganalisa, memahami serta
menjelaskan gejala yang dihadapi (atau kenyataan), misalnya, sosiologi, psikologi dan
seterusnya.
Disiplin preskriptif merupakan sistem ajaran yang menentukan apakah yang
seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan, misalnya,
filsafat, hukum dan seterusnya.

Disiplin hukum yang merupakan disiplin preskriptif mencakup:


1. Ilmu-ilmu hukum, yakni:
a. Ilmu tentang kaedah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistem
kaedah-kaedah dengan dogmatik dan sistematik hukum.
b. Ilmu pengetahuan, yakni ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dari
sistem hukum yang berikut:
1) Subjek hukum
2) Hak dan kewajiban
3) Peristiwa hukum
4) Hubungan hukum
5) Objek hukum 5
c. Ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap tindak atau
perikelakuan, yang teridi dari :
1) Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.
2) Antropologi hukum, yang terutama mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya
pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat-masyarakat yang sedang
mengalami proses modernisasi.
3) Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan dari pada jiwa, manusia.
4) Perbandingan hukum yang memperbandingkan sistem – sistem hukum yang berlaku di
dalam suatu atau beberapa masyarakat
5) Sejarah hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul daripada sistem hukum
dalam suatu masyarakat tertentu.

2. Politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-
nilai tersebut
3. Filsafat hukum yang mencakup kegiatan:
a. Perenungan nila-nilai
b. Perumusan nilai-nilai
c. Penyerasian nilai-nilai yang berpasangan tetapi kadangkala bersitegang.

Dari sistematika di atas kiranya menjadi jelas bagaimana kaitan sosiologi hukum
dengan ilmu-ilmu hukum lainnya, maupun dengan filsafat hukum. Hal ini antara lain
disebabkan, karena hukum mempunyai tiga dimensi, yakni sebagai nilai, kaedah dan
6
perikelakuan.
II. SEJARAH PEBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
A. Pengantar

Dari sudut sejarah, istilah sosiologi hukum untuk pertama kalinya


diperkenalkan oleh seorang Itali yang bernama Anzilotti pada tahun
1882. Dari sudut perkembangan terbentuklah ilmu tersebut dapat
dinyatakan, bahwa sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-
hasil pemikiran para ahli pemikir baik dari bidang filsafat hukum, ilmu
hukum maupun sosiologi.
Hasil-hasil pemikiran tersebut mewakili kelompok-kelompok disiplin
filsafat, ilmu hukum maupun disiplin nomotetis. Oleh karena itu,
sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran disiplin-disiplin
tersebut.

Betapa besarnya pengaruh filsafat hukum dan ilmu-ilmu hukum masih


terasa hingga dewasa ini, dan hal tersebut nyata sekali dari masukan (input)
yang diberikan oleh pelbagai alairan atau madzhab.

Faktor-faktor penting yang merupakan masukan dari aliran-aliran atau


madzhab- madzhab tersebut, adalah misalnya:
7
Aliran/Madzhab Faktor-faktor yang relevan
1. Aliran hukum alam (Aristoteles, 1. Hukum dan moral
2. Kepastian hukum dan keadilan yang dianggap sebagai
Aquinas, Grotnis tujuan dan syarat utama dari hukum
2. Madzhab Formalisme 1. Logika hukum
2. Fungsi keajegan dari hukum
3. Peranan formil dari penegak/petugas/pejabat hukum
3. Madzhab kebudayaan dan sejarah 1. Kerangka kebudayaan dan hukum; hubungan antara hukum
dan sistem nilai-nilai
(van Savigny, Maine) 2. Hukum dan perubahan –perubahan sosial
4. Aliran Utilitarianism dan Sociological 1. Konsekuensi-konsekuensi dari hukum
2. Penggunaan yang tidak wajar dari pembentukan undang-
Jurisprudence (Bentham, Thering, undang
Ehrlich dan Pound) 3. Klasifikasi tujuan dan kepentingan warga dan masyarakat,
serta tujuan-tujuan sosial
5. Aliran Sociological Jurisprudence dan 1. Hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
2. Faktor politik dan kepentingan dalam hukum
Legal Realism: (Ehrlich, Pound, 3. Stratifikasi sosial dan hukum
Holmes, Llewellyn, Frank) 4. Hubungan antara hukum tertulis/resmi dengan kenyataan
hukum/hukum yang hidup
5. Hukum dan kebijaksanaan umum
6. Segi perikemanusiaan dari hukum
7. 8
Studi tentang keputusan pengadilan dan pola perikelakuan
(hakim).
Semenjak Anzilotti mengemukakan istilah sosiologi hukum, timbul aneka macam
argumen, yang biasanya berkisar pada ruang lingkup sosiologi hukum dan perspektifnya
dibidang penelitian. Diskusi-diskusi tersebut hingga dewasa ini masih berlangsung terus,
terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang (seperti Indonesia) di
mana kegunaan sosiologi cenderung belum melembaga dengan kuat.
Sosiologi hukum sebenarnya merupakan ilmu tentang kenyataan hukum, yang ruang
lingkupnya adalah :
1. Dasar sosial dari hukum, atas dasar anggapan bahwa hukum timbul serta tumbuh dari
proses-proses sosial lainnya (the genetic sociology of law)
2. Efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainya dalam masyarakat (the operational
sociology of law)

Apabila yang dipersoalkan adalah perspektif penelitiannya, maka dibedakan antara:


1. Sosiologi hukum teoritis yang bertujuan untk menghasilkan generalisasi/abstraksi
setelah pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan-keteraturan sosial dan
pengembangan hipotesa-hipotesa
2. Sosiologi hukum empiris yang bertujuab untuk menguji hipotesa-hipotesa dengan cara
mempergunakan atau mengolah data yang dihimpun di dalam keadaan yang
dikendalikan secara sistematis dan metodologis

9
Pembedaan tersebut di atas hingga kini masih tetap dipermasalahkan
eksistensinya antara pendukung-pendukung Madzhab sosiologi neo-positivis atau
analitis dengan pendukung-pendukung Madzhab sosiologi dialektis atau kritis.
Pihak pertama beranggapan bahwa sosiologi merupakan sarana ilmiah untuk
menjelaskan gejala sosial. Sebaliknya, pihak kedua tidak berhenti di situ saja, akan
tetapi dianggapnya bahwa tugas seterusnya adalah untuk mengadakan evaluasi
terhadap gejala sosial yang diteliti.
Evaluasi atau kritik tersebut tak dapat diuji secara empiris karena didasarkan pada
sifat hakekat manusia dan masyarakat. Bagi mereka analisa data empiris baru
merupakan tahap awal dari kegiatan untuk menyusun teori.

Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa di dalam
kerangka akademis, maka penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagai suatu
usaha untuk memungkinkan pembentukan teori hukum yang bersifat sosiologis
(sociologische rechtstheotieen).
Artinya suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum menurut jalan fikiran
yuridis-tradisionil. Untuk memperjelas hal ini mungkin ada baiknya untuk
memberikan uraian tentang disiplin hukum sehingga kaitannya dengan ilmu-ilmu
hukum menjadi jelas.
10
B. Sejarah perkembangan sosiologi hukum

1. Pengaruh dan filsafat hukum


Di muka telah dijelaskan bahwa perkembangan sosiologi hukum tak mungkin
dilepaskan dari pengaruh filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi. Filsafat hukum,
dalam hal ini para ahli filsafat hukum, sebenarnya merupakan pembuka jalan
terbentuknya dan perkembangan selanjutnya dari sosiologi hukum.
Pertama-tama perlu disebut nama-nama Pound, Cardozo dan Holmes dari
aliran “Sosiological jurisprudence” yang berkembang di Amerika Serikat pada awal
abad ke-20.

Kemudian perlu dicatat nama Ehrlich dari Jerman yang terkenal dengan teori
“lebende Recht” juga pada awal abad ke-20. Lundstedt, Olivecrone dan
Hagerstrom merupakan tokoh-tokoh aliran Realisme hukum yang berkembang
sebelum dan sesudah Perang Dunia kedua.
Ahli filsafat hukum Rusia Petrazycki dengan ajaran-ajarannya sangat
berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi hukum di Eropa (murid muridnya
adalah antara lain Timasheff, Gurvitch dan Sorokin).

11
Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk
menetralisasikan atau merealisasikan dogmatik hukum, oleh karena tekanan
lebih banyak diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum (law in
action).
Pound, misalnya berpendapat bahwa hukum adalah suatu proses yang
mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan
keputusan hakim/pengadilan.
Pound mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk
mengarahkan dan membina masyarakat. Untuk memenuhi fungsinya tersebut,
maka sorotan yang terlalu besar pada aspek statis dari hukum harus
ditinggalkan.

Cardozo kemudian berpendapat, bahwa hukum bukanlah merupakan


penterapan murni dari peraturan perundang-undangan. Terhadap hukum
berpengaruh pula kepentingan – kepentingan sosial yang hidup dalam
masyarakat.
Fungsi sosiologi hukum adalah untuk menguji apa hukum dan peraturan
perundang-undangan benar-benar berfungsi dalam masyarakat.

12
2. Ilmu hukum : Hans Kelsen
Kelsen terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Ajaran Murni tentang hukum
(The Pure Theory of Law), di mana Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh
faktor-faktor politisi sosiologis, filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah suatu
teori yang murni tentang hukum yang “dibersihkan” dari segala faktor yang
mempengaruhinya.
Oleh karena itu Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai kaedah; hukum sebagai
perikelakuan yang ajeg merupakan objek sosiologi hukum yang baginya bukan
merupakan ilmu hukum.

Menurut Kelsen setiap data hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-
kaedah (stufenbau).
Dipuncak “stufenbau” tersebut terdapat “grundnorm” atau kaedah dasar dari suatu
tata kaedah hukum nasional yang bukan merupakan suatu kaedah hukum positif yang
dibentuk oleh suatu tindakan legislatif manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil
analisa pemikiran yuridis (jadi, hanya dipostulasikan oleh pikiran manusia).
Kaedah dasar tersebut merupakan dasar dari segala pandangan menilai yang
bersifat yuridis yang memungkinkan dalam kerangka tata kaedah hukum suatu Negara.

Kelsen kemudian menghubungkan hal “stufenbau” dan kaedah dasar dengan


suatu Negara tertentu; kesimpulannya adalah, bahwa isi perumusan kaedah dasar
Negara yang satu boleh berbeda dengan Negara lain, halmana tergantung dari sifat
13
masing-masing Negara.
Teori “stufenbau” dari Kelsen sebenarnya berisikan hal-hal, sebagai berikut :
a. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara hierarkhis
b. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat terbawah
keatas, adalah :
1) Kaedah-kaedah individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama
pengadilan;
2) Kaedah-kaedah umum di dalam undang-undang atau hukum kebiasaan;
3) Kaedah-kaedah daripada konstitusi.
Ketiga macam kaedah tersebut merupakan kaedah-kaedah hukum positif; di atas
konstitusi adalah tempatnya kaedah besar (hipotetis) yang lebih tinggi dan bukan
merupakan kaedah hokum positif, akan tetapi merupakan kaedah yang dihasilkan oleh
pemikiran yuridis.
c. Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau
ditentukan oleh kaedah-kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa perbedaan
hukum dengan kebiasaan (belaka) terletak pada unsur kekuatan resmi, yang dapat
memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu, hingga kini ada
kecenderungan kuat dalam penterapan hukum untuk mempertaankan prinsip dan pola
yang telah ada dalam sistem hukum.

14
3. Sosiologi: pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber
Di dalam menguraikan teori-teorinya tentang masyarakat. Durkheim menaruh
perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis-
jenis solidaritas dalam masyarakat.
Hukum dirumuskannya sebagai kaedah yang bersanksi, di mana berat-ringannya
sanksi tergantung pada :
a. Sifat pelanggaran;
b. Anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik-buruknya perikelakuan-
perikelakuan tertentu;
c. Peranan sanksi tersebut dalam masyarakat.

Sejalan dengan itu, maka kaedah-kaedah hukum yang ada


diklasifikasikannya ke dalam dua macam kaedah hukum, yang didasarkan
pada jenis-jenis sanksi, yaitu kaedah hukum represif dan restitutif.
Di dalam masyarakat dapat dijumpai daedah-kaedah hukum yang
sanksinya mendatangkan penderitaan bagi pelanggarnya. Sanksi kaedah-
kaedah tersebut menyangkut hari depan dan kehormatan warga
masyarakat, bahkan apabila sanksi tersebut dikenakan pada diri
seseorang, maka kemerdekaannya dirampas.
Kaedah itu merupakan kaedah hukum represif, yang merupakan hukum
pidana.
15
Selain daripada itu, terdapat sanksi yang tujuan utamanya adalah pemulihan
keadaan (seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah
yang mungkin menyebabkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat).
Kaedah dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum restritutif yang
antara lain mencakup hukum perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum
administratif, dan sebagainya, setelah dikurangi unsur-unsur pidana yang terdapat
didalamnya.

Menrut Durkheim, maka setiap kaedah hukum mempunyai tujuan berganda, yakni:
a. Menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban
b. Menetapkan dan merumuskan sanksi-sanksi
Di dalam hukum perdata (dan hukum sanksi-sanksinya), kedua tujuan tersebut
dirumuskan secara terpisah dengan tekanan pada perumusan kewajiban-kewajiban.
Pada hukum pidana hanya dirumuskan sanksi-sanksinya, oleh karena dianggap
bahwa dalam bidang itu warga-warga masyarakat telah mengetahui kewajiban-
kewajibannya.

Jenis-jenis kaedah hukum tersebut kemudian dikaitkan dengan bentuk-bentuk


solidaritas, yang menjadi ciri masyarakat-masyarakat tertentu. Titik tolaknya adalah
bentuk solidaritas, oleh karena jenis kaedah hukum merupakan akibat dari bentuk-
bentuk solidaritas tertentu.
16
Adapun bentuk-bentuk solidaritas tersebut, adalah :
a. Solidaritas mekanis yang terutama terdapat pada masyarakat sederhana yang relatif
masih homogin struktur sosial dan kebudayaannya.
Pada bentuk solidaritas ini, seorang warga masyarakat tergantung pada kelompoknya
dan keutuhan masyarakat terjamin oleh hubungan antar manusia yang erat dank arena
adanya tujuan bersama.
Pada masyarakat dengan solidaritas mekanis, hukumnya yang pokok adalah hukum
pidana dengan sanksi represif. Hal ini disebabkan, oleh karena :
1) Pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang mencemaskan
keyakinan bersama.
2) Masing-masing warga masyarakat merasa dirinya terancam oleh penyimpangan
tersebut.
3) Reaksi negatif terhadap penyimpangan tersebut memperkuat solidaritas
masyarakat.

b. Solidaritas organik yang ditandai antara lain, oleh adanya pembagian kerja
dalam masyarakat, yang biasanya dijumpai pada masyarakat yang kompleks
dan heterogin struktur sosial dan kebudayaannya.
Pada bentuk solidaritas ini yang berlaku adalah hukum dengan sanksi restitutif,
oleh karena yanglebih penting adalah mengembalikan kedudukan seseorang
yang dirugikan. 17
Teori Durkheim tersebut terutama mengetengahkan hal-hal, sebagai berikut :
a. Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu masyarakat
b. Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun
untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.

Dari ajaran-ajaran yang luas dari Max Weber, maka yang menarik adalah tipe-tipe
ideal dari hukum yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan, yaitu:
a. Hukum irrasionil dan material, di mana pembentuk undang-undang dan hakim
mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosionil
tanpa mengacu pada suatu kaedah hukum;
b. Hukum irrasionil dan formil, di mana pembentuk undang-undang dan hakim
berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan-
ramalan;
c. Hukum rasional dan materiel, di mana keputusan para pembentuk undang-
undang dan hakim didasarkan pada kitab suci, ideologi atau kebijaksanaan
penguasa;
d. Hukum rasionil dan formil, di mana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep
dari ilmu hukum.
18
III. RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

Sejak lama telah diusahakan oleh para sarjana untuk memberikan batas-batas
tertentu pada ruang lingkup sosilologi hukum. Pembatasan tersebut terutama
diberikan oleh karena hubungannya yang erat dengan ilmu-ilmu perilaku lainnya
(behavioral sciences).
Pelbagai pendapat mengenai hal itu secara umum dapat dikelompokkan ke
dalam paling sedikit empat pendekatan yang biasanya dinamakan pendekatan
instrumental, pendekatan hukum alam, pendekatan positivistik, dan pendekatan
paradigmatik.

A. Pendekatan instrumental
Adam Podgorecki pernah menyatakan, bahwa sosiologi hukum merupakan
suatu disiplin teoritis dan umum, yang mempelajari keteraturan dari berfungsinya
hukum. Tujuan disiplin itu adalah untuk mendapakan prinsip-prinsip hukum dan
ketertiban yang disadari secara rasionil, dan didasarkan pada diagnosis yang
mempunyai dasar yang mantap.
Dengan demikian, maka tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk
menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat
berlaku secara efisien.
19
Misalnya, seorang pembentuk hukum berkeinginan untuk mengurangi korban
kecelakaan lalu-lintas dengan mewajibkan pengemudi dan penumpang kendaraan
bermotor untuk senantiasa memakai pengikat kursi.
Menjalankan atau mengendarai kendaraan bermotor tanpa memakai pengikat
kursi, dapat mengakibatkan dijatuhkannya hukuman; sebaliknya, bagi mereka yang
senantiasa mempergunakan pengikat kursi dapat diberikan atas dasar
kepatuhannya.
Hukum yang dibentuk dapat pula ditujukan pada pabrik mobil yang dapat
memebuat mobil sedemikian rupa, sehingga aliran listrik tidak akan berfungsi
sebelum atau penumpang kendaraan tersebut memakai pengikat kursi.

Dengan demikian, maka hukum merupakan suatu sarana bagi pembuat


keputusan; demikian pula halnya dengan studi teradap hukum. Studi terhadap hukum
haruslah tertuju pada masalah efektivitas hukum maupun akibat-akibat yang tidak
diperhitungkan dalam proses legislasi.
Oleh karena itu, maka studi instrumental dari hukum dan perilaku harus dapat
membantu pembentukan hukum agar dapat mengadakan prediksi terhadap akibat-
akibat diperlakukannya hukum-hukum tertentu.

20
Podgorecki menyatakan bahwa studi instrumental terhadap hukum sangat
penting terutama dalam masyarakat-masyarakat sosialis, di mana perubahan-
perubahan diatur melalui peratuan perundang-undangan.
Ada beberapa ilmuwan lainnya yang sependapat dengan Podgorecki, misalnya
G.F.A. Sawyerr. Sawyerr menyatakan, bahwa studi-studi instrumental terhadap
hukum harus bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang baik bagi pelaksana
hukum.
Hukum harus lebih peka terhadap situasi sosial sehingga hukum dapat
dipergunakan untuk mengadakan dan menjalankan perencanaan-perencanaan
perkembangan ekonomi dan sosial.

Roscoe Pound juga pernah menyarankan, agar dipergunakan pendekatan


instrumental yang agak berbeda dengan apa yang disarankan oleh Podgorecki
dan Sawyerr.
Pound ingin mengingatkan bahayanya bagi pemerintah untuk mengatur
setiap aspek kehidupan sosial dengan hukum.
Penggunaan hukum, kata Pound, mempunyai keterbatasan-keterbatasan
tertentu yang tidak boleh dilanggar karena sikap tindak yang terlampau smbisius.
Oleh sebab itu maka setiap masyarakat harus dapat menentukan batas-batas
penggunaan hukum.
21
Kebayakan studi yang dilakukan di Amerika Serikat mempergunakan
pendekatan instrumental tersebut. Banyak ilmuwan yang mempelajari dampak (atau
tidak adanya dampak) dari keputusan-keputusan dan peraturan perundang-
undangan, untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial.
Hasil dari studi tersebut adalah, terdapatnya jurang pemisah antara hukum
dengan apa yang terjadi di dalam praktik, sehingga para peneliti menganjurkan agar
perbedaan-perbedaan tersebut diperkecil dan kalau dapat bahkan dihilangkan.

Di samping saran-saran untuk menerapkan pendekatan instrumental, maka


banyak ilmuwan-ilmuwan yang melancarkan kritik terhadap penggunaan pendekatan
tersebut.
Colin M. Campbell, misalnya, menyatakan bahwa akibat pertama dari tekanan
terhadap prioritas kegunaan, apabila dibandingkan dengan pemahaman teoritis
adalah bahwa struktur sosial umum tidak diperhatikan, sehingga hukum dianggap
sebagai suatu gejala yang berdiri sendiri.
Dengan menyatakan itu, maka sebenarnya Campbell ingin mengingatkan
bahayanya mempergunakan pendekatan instrumental secara berlebih-lebihan.

22
B. PENDEKATAN HUKUM ALAM DAN KRITIK PENDEKATAN POSITIVISTIK

Philip Selznick menganggap, bahwa pendekatan instrumental merupakan titik


atau tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologis hukum. Tetapi
selanjutnya akan tercapai, apabila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap
tersebut akan tercapai, apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan
tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas.
Pada tahap itu, maka seorang sosiolog harus siap untuk menelaah arti dari pada
legalitas (legality) agar dapat menentukan wibawa moralnya dan untuk menjelaskan
peranan ilmu sosial dalam menciptakan masyasakat yang didasarkan pada keadilan.

Menurut Selznick, maka legalitas merupakan sinonim dari “rule of law”.


Selznick berpendapat bahwa unsur pokok dari rule of law adalah pembatasan dari
kekuasaan resmi oleh prinsip-prinsip rasionil dari ketertiban sipil (civil order).
Apabila hal itu ada, maka tidak ada suatu kekuasaanpun yang kekal terhadap
kritik maupun pembatasan. Legalitas menimbulkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi maupun tujuan-tujuan yang harus dicapai.
Menurut Selznick, maka legalitas hanya berkaitan dengan bagaimana
keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dibuat dan dilaksanakan dan bukan
menyangkut isinya.

23
Cita-cita dari legalitas akan terhalang, apabila warga masyarakat dipenjarakan
tanpa proses peradilan dan kalau peraturan-peraturan dilaksanakan untuk menghukum
orang-orang yang melakukan tindakan yang pada waktu itu adalah sah.
Akan tetapi legalitas adalah lebih dari pada semata-mata mengikuti prosedur
secara ketat; titik sentral dan legalitas adalah pengurangan kesewenang-wenangan.
Pengurangan atau pembatasan kesewenang-wenangan tidak akan disamakan dengan
pelaksanaan peraturan-peraturan formil dan tata cara.

Keadilan formil mempersamakan kedudukan para pihak dan memungkinkan


terjadinya prediksi terhadap keputusan-keputusan; oleh karena itu, maka hal itu
merupakan sumbangan utama untuk meringankan peraturan yang sewenang-wenang.
Akan tetapi perlu diakui, bahwa hukum yang benar juga mempunyai akibat-akibat yang
agak membahayakan, oleh karena hal itu akan dapat memisahkan sarana dengan
tujuan. Apabila hal itu terjadi, maka legalitas merosot menjadi legalisem.

Keadilan substantif akan terbengkelai, apabila terjadi ikatan yang terlalu kuat
dengan pendukungan otonomi dan integritas proses hukum. Ketaatan yang terlapau
kaku pada pelaksanaan peraturan secara mekanis, menghalangi keluwesan system
hukum untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan-kepentingan dan keadaan-
keadaan baru, atau untuk menyesuaikan diri dengan ketidak-samaan sosial yang
terjadi. 24
Keadilan formil cenderung untuk menmgabdikan diri pada status quo. Oleh karena
itu, maka hal itu dapat dianggap sewenang-wenang oleh orang-orang yang merasa
kepentingannya tidak diperhatikan, atau oleh orang – orang yang berada di luar sistem
masyarakat yang bersangkutan.

Lebih lanjut Selznick menjelasakan, bahwa studi sosiologis mengenai legalitas


menduga bahwa potensi hukum untuk mengkonkritkan nilai-nilai, akan dapat
dilaksanakan secara lengkap. Keputusan-keputusan hukum dilaksanakan oleh
manusia di dalam pelbagai lembaga, yang mengalami tekanan-tekanan eksternal dan
halangan-halangan, serta segala masalah batiniyah yang mengakibatkan terjadinya
kekecewaan-kekecweaan.

Pada saat berrsamaan, maka pola-pola kehidupan tertentu ternyata lebih sesuai
dengan “rule of law”. Kegiatan-kegiatan ilmiah untuk menemukan kondisi-kondisi
sosial yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan hukum, serta cara – cara untuk
menyesuaikannya, merupakan tugas utama dari kegiatan ilmiah sosiologi hukum.
Empat topik merupakan kerangka penelitian dari legalitas, yaitu : tradisi dari
keadaan sah ke legalitas; konsensus rasional dan kewenangan pribadi; kritisisem
yang melembaga dan penahanan diri yang telah melembaga.

25
Adanya legalitas menimbulkan dugaan, bahwa kekuasaan yang dilaksanakan
oleh pejabat-pejabat umum merupakan kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah
cenderung untuk menahan diri. Kekuasaan tersebut bersatu padu dengan sahnya
keinginan penguasa dan mayoritas tidaklah bebas sepenuhnya.
Walaupun demikian, di dalam kenyataannya sering terjadi kesewenang-
wenangan. Keadaan yang sah sebenarnya baru merupakan langakah pertama yang
menuju ke legalitas. Akan tetapi keadaan yang sah tersebut mengandung bibit-bibit
kehidupan legalitas, yang didasarkan pada prinsip bahwa pelaksanaan kekuasaan
haruslah disahkan.
Selanjutnya timbul pendapat-pendapat, bahwa setiap tindakan resmi haruslah
mempunyai dasar. Dasar-dasar tersebut memerlukan evaluasi, dan evaluasi
memerlukan pengembangan standar-standar secara publik. Apabila dasar-dasar
tersebut mengalami kekurangan-kekurangan, maka wewenang cenderung merosot
kewibawaannya.

Proses tradisi keadaan yangsah ke legalaitas, memerlukan suatu pengakuan


bahwa setiap tindakan resmi dapat dipertanyakan atau dipermasalahkan, serta
dihargai. Ukurannya bukanlah apakah seorang penguasa itu bijaksana atau baik,
akan tetapi apakah tindakan-tindakannya adalah sah berdasarkan kekuasaan-
kekuasaan yang diberikan.
26
Legalitas memerlukan penanaman yang kokoh danprinsip-prinsip keadaan yang
sah pada pola berpikir warga-warga masyarakat. Akan tetapi, suatu konsensus murni
danrasional mengenai hal itu tidak akan mungkin ada.
Namun demikian, keadaan semacam itu akan dapat didekati, apabila terjadi
kondisi-kondisi, sebagai berikut :
1. Kalau kondisi sejarah membuktikan, bahwa perasaan mendukung perilaku rasionil;
2. Kalau ada kesempatan luas akan timbulnya pendapat umum yang didasarkan
pada kebebasan mengungkapkan kepentingan dan cita-cita.

Kalau cita-cita legalitas hendak dicapai, maka kritik yang didasarkan pada penalaaran
terhadap peraturan atau diskresi resmi, harus dimasukkan ke dalam mekanisme
pembentukan hukum. Penelitian-penelitian sosiologis menemukan cita-cita antara
pentaatan terhadap prosedur dengan kenyataan kehidupan. Umpamanya, kebebasan dan
objektivitas para petugas hukum dilemahkan oleh faktor-faktor pribadi dan lingkungan
tertentu.

Setiap petugas hukum pada dasarnya adalah petugas peradilan sampai derajat-
derajat tertentu. Di dalam peranannya itu dia melaksanakan diskresi yang
mempengaruhi hak-hak dari warga-warga masyarakat. Hukum memberikan patokan
agar diskresi tersebut dibatasi, akan tetapi juga menghendaki kebebasan agar
mencapai keadilan bagi para warga masyarakat.
Agar kedua hal tersebut tercapai dengan serasi, diperlukan kemampuan untuk 27
mengendalikan diri dan mekanisme-mekanisme sosial untuk membentuk nilai-nilai
dan aturan perilaku yang serasi dan wajar.
Jerome H. Skolnick mengemukakan suatu versi lain, yang agak mengurangi
kualitas normatif sebagaimana dikemukakan oleh Selznick.
Dia berpendapat, bahwa para sosioloog harus mempelajari kondisi-kondisi yang
menyebabkan warga masyarakat menganggap bahwa peraturan yang berlaku benar-
benar merupakan hukum, serta bagaimana warga masyarakat menafsirkan peraturan-
peraturan tersebut dan mentransformasikan prinsip-prinsipnya ke dalam lembaga-
lembaga sosial dalam masyarakat.

Untuk memperkuat pendapatnya, maka Skolnick mengutip pendapat Fuller,


yang menyatakan bahwa legalitas tidak akan mungkin tercapai apabila yang
berwenang:
1. Gagal memenuhi peraturan-peraturan yang berlaku;
2. Gagal untuk mengumumkan berlakunya peraturan-peraturan atau mengusahakan
agar warga masyarakat mengetahui peraturan-peraturan tersebut;
3. Membuat peraturan perundang-undangan secara restroaktif (berlaku surut);
4. Membuat peraturan-peraturan yang tidak jelas;
5. Menyusun peraturan-peraturan yang saling bertentangan;
6. Mengharuskan pihak lain untuk bertindak di luar batas kemampuannya;
7. Terlalu sering merubah peraturan, sehingga warga masyarakat tidak mempunyai
pedoman bertindak yang mapan;
8. Melaksanakan peraturan-peraturan yang berbeda dengan peraturan-peraturan 28
yang telah diumumkan.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Skolnick menganggap legalitas
sebagai suatu modal penelitian, dan bukan sevagai faktor yang penting yang harus
terpadu di dalam kehidupan berorganisasi

Black yang bayak mengulas pendapat-pendapat Selznick dan Skolnick


berpendapat, bahwa pendekatan positivistik akan akan adapat mengatasi kelemabah-
kelamahan pendekatan hokum alam. Menurut Black, maka dasar-dasar pendekatan
positivistik, adalah sebagai berikut :
1. Dengan ilmu pengetahuan hanya dapat diketahui gejala-gejala dan bukan
esensinya. Oleh karena itu, maka kegiatan untuk menemukan konsep hukum
yang benar bukanlah merupakan kegiatan ilmiah.
2. Suatu ide ilmiah senantiasa memerlukan acuan empiris, sehingga ide keadilan,
misalnya, yang tidak mempunyai dasar empiris, tidak mempunyai tempat di
dalam sosiologi hukum.
3. Pandangan-pandangan menilai tidak dapat dikemukakan dalam dunia empiris;
ilmu pengetahuan tidak dapat menilai kenyataan yang dihadapinya.

Menurut Black, maka pusat perhatian sosiologi hukum adalah pengembangan


suatu teori umum tentanghukum, yang membahas semua jenis pengendalian sosial
yang dilakukan oleh pemerintah. Teori itu harus membahas hubungan antara hukum 29
dengan lain-lain aspek kehidupan sosial, seperti misalnya, stratifikasi, lain-lain
bentuk pengendalian sosial, pembagian kerja, integrasi sosial dan seterusnya.
C. Pendekatan Paradikmatik

Para pelopor pendekatan parakdikmatik mengambil suatu paradikma dari Thomas


S. Kuhn, yang disebut sebagai paradikma yang mominan. Paradikma yang dominan
tersebut mencakup unsur-unsur kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan, cara-cara dan
dugaan-dugaan yang dipunyai warga masyarakat tertentu.
Kuhn menaruh perhatian pada masalah bagaimana ilmu pengetahuanberuban,
tumbuh dan berkembang. Dia mengadakan pembedaan antara ilmu pengetahuan normal
(normal science), dengan revolusi ilmiah (scientific revolution).

Di dalam keadaan atau tahap ilmu pengetahuan normal, maka terdapat paradigm
dominan yang dianuti oleh warga-warga kalangan ilmiah. Paradigm tersebut menjadi
pedoman berpikir dan bekerja. Suatu revolusi ilmiah terjadi, apabila muncul suatu
paradigm yang baru, yang membawa suasana baru pula.
Oleh karena itu, maka pokok-pokok pendekatan paradigmatik, adalah sebagai
berikut :
1. Sosiologi hukum bertugas untuk mempelajari dan mengkritik paradigma-paradigma
yang ada yang menjadi pedoman kalangan profesi hukum dan norma-norma hukum
yang menjadi dasar system hukum masyarakat;
2. Mempelajari kenyataan hukum, mengidentifikasikan perbedaan antara kenyataan
dengan paradigma yang berlaku, dan mengajukan rekomendasi untuk mengadakan
perubahan pada perilaku atau norma;
3. Mengajukan paradigma-paradigma yang baru. 30
BAB IV PARADIGMA SOSIOLOGI HUKUM

Apabila perumusan menganai sosiologi hukum tersebut di muka dapat


dijadikan pegangan sementara, maka fokusnya adalah hubungan timbal-
balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Masalahnya adalah
apakah yang diartikan dengan hukum dan apa pula arti gejala sosial
lainnya.

Sejak dahulu kala sudah ada pendapat-pendapat yang


menyatakan bahwa tak akan mungkin merumuskan definisi
hukum, karena ruang lingkupnya sangat luas. Oleh karena
itu, agar ada suatu pegangan, lebih baik dibuat klasifikasi
mengenai pengertian yang diberikan pada hukum. Artinya,
bagaimanakah masyarakat mengartikan atau memberi arti
pada hukum, terlepas dari apakah itu benar atau keliru.

31
Arti-arti yang diberikan pada hukum, adalah sebagai berikut :
A. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
B. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi.
C. Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau
perikelakuan yang panatas atau diharapkan
D. Hukum sebagai lembaga sosial (social institution) yang merupakan
himpunan dari kaedah-kaedah dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
E. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-
kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta
berbentuk tertulis.
F. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan
yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.

32
G. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi
yang menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada
hukum, akan tetapi yang juga didasarkan pada penilaianpribadi.
H. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan
I. Hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial, yang
mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak,
yang bertujuan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa
warga-warga masyarakat (dari segala lapisan) agar mematuhi
kaedah-kaedah dan nilai-nilai.
J. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, yaitu
perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian.
K. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang apa yang diangap baik
(sehingga harus dianuti atau ditaati) dan apa yang diangap buruk
(sehingga harus dihindari). 33
L. Hukum sebagai seni.
Perihal gejala-gejala sosial, maka sebagai ruang lingkunya dapat
dipergunakan sistematika, sebagai berikut:
1. Struktur sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur
sosial yang pokok, yakni:
a. Kelompok sosial;
b. Kebudayaan;
c. Lembaga-lembaga sosial;
d. Stratifikasi;
e. Kekuasaan dan wewenang.
2. Proses sosial, yaitu pengaruh timbal – balik antara pembagai bidang
kehidupan, yang mencakup :
a. Interaksi sosial;
b. Perubahan-perubahan sosial;
c. Masalah-masalah sosial

34
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka dapat disusun
suatu paradigma sosiologi hukum yang ruang lingkupnya
adalah pengaruh timbal – balik antara hukum dengan
gejala-gejala sisal lainnya. Secara visual gambarannya
adalah sebagai berikut :

Gejala Gajala
Hukum
sosial lain sosial lain

Penjabaran daripada gambaran tersebut di atsa dapat ditelaah pada


sistematika, sebagai berikut :
35
1. Kelompok-kelompok Hukum
sosial

2. Kebudayaan (terutama
nilai-nilai dan kaedah- Hukum
kaedah lainnya

3. Lembaga-lembaga Hukum
sosial

4. Stratifikasi Hukum

5. Kekuasaan dan Hukum


wewenang

6. Interaksi Sosial Hukum

7 Perubahan-perubahan Hukum
sosial

8. masalah sosial 36
Hukum
Dengan bertitik tolak pada peradigma tersebut di atas, maka akan dapat
diketahui, hal-hal sebagai berikut:
A. Idiologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan dan pembentukan
hukum
B. Unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhi substansi hukum
C. Lembaga-lembaga sosial yang berpengaruh secara langsung maupun secara
tidak langsung terhadap hukum
D. Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang pengaruhnya
sangat menentukan di dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum.
E. Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau
melahan dirugikan oleh adanya hukum-hukum tertentu dalam masyarakat.
F. Kesadaran hukum masyarakat dan kemungkinan untuk membentuk
kesadaran hukum tersebut.
G. Unsur-unsur hukum yang dapat merubah perikelakuan warga-warga
masyarakat.
37
H. Kekuatan, kemampuan dan kesungguhan hari dari para penegak hukum.
I. Derajat kepatuhan hukum warga masyarakat dan pemimpin-pemimpinnya,
terutama yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
J. Hukum yang berfungsi, yang senantiasa dapat dikembalikan pada kaitan
antara faktor:

1. Hukum itu sendiri


2. Mentalitas penegak hukum
3. Fasilitas
4. Derajat kepatuhan warga masyarakat.

38
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui, karena adanya kelemahan-kelemahan
pada sistem hukum dan unsur-unsur lain dari masyarakat, yang terutama dijumpai
pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang (seperti Indonesia)
Kelamahan-kelemahan tersebut adalah, antara lain:
A. Seringkali prosedur hukum berlangsung secara lamban dan ditandai dengan
adanya “red-tape”
B. Hukum dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah, di mana pemecahannya
tidak bersifat tuntas.
C. Adanya asumsi yang kuat dari kalangan hukum, bahwa hukum yang resmi dengan
sendirinya berlaku.
D. Kewajiban hukum seringkali “kalah” oleh kewajiban lembaga-lembaga sosial lainnya,
padahal sesuai dengan perkembangan masyarakat, semakin banyak bidang-bidang
kehidupan yang diaturnya.
E. Kurangnya pemahaman tentang bagian-bagian masyarakat terhadap nama hukum-
hukum tertentu diperlukan untuk menjadi pedoman bagi perikelakuannya
F. Alat-alat komunikasi hukum yang kurang memadai dan kurang proporsional
G. Adanya kalangan-kalangan tertentu yang merasa dirinya kurang terikat pada hukum
yang telah dibentuknya.
H. Adanya kecenderungan untuk mengefektifkan hukum dalam waktu yang sesingkat
mungkin.
39
Sebagai bahan pertimbangan, maka akan diketengahkan paradigma lain, yang
pernah dikemukakan oleh Marc Galanter. Galanter mengatakan, bahwa suatu paradigm
berfungsi sebagai lensa, melalui mana seseorang akan dapat menelaan gejala hukum
secara seksama.
Paradigma yang dikemukakan oleh Gelanter, berwujud pernyataan-pernyataan yang
sebenarnya berisikan saran-saran. Wujud paradigma tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah-pemerintah merupakan lokus primer dari pengendalian hukum; proses
hukum yang dihasilkan oleh pemerintah, merupakan sumber penemu bnagi
pengaturan dan ketertiban masyarakat;
2. Peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga hukum di dalam suatu
masyarakat, merupakan suatu sistem yang berisikan unsur-unsur yang mempunyai
kaitan secara fungsional;
3. Unsur pokok dari pada sistem hukumadalah perangkat norma-norma atau patokan-
patokan, prinsip-prinsip, serta prosedur untuk menetapkan, merubah maupun
mengumumkan hukum;
4. Sistem hukum berpusat pada pengadilan-pengadilan yang fungsinya adalah
mengumumkan, menerapkan, menafsirkan peraturan-peraturan;
5. Proses peradilan merupakan proses hukum dasar yang menentukan;
6. Peraturan-peraturan merupakan perwujudan daripada keinginan-keinginan sosial; 40
7. Partisipasi yang seluas-luasnya di dalam pembentukan hukum, menjamin bahwa
hukum merupakan perwujudan dari kepentingan-kepentingan sosial dalam arti yang
luas;
8. Pernyataan-pernyataan normatif, lembaga-lembaga normatif maupun petugas-
petugas hukum, ditempatkan pada jenjang tertentu, yang mempunyai derajat
wewenang yang berbeda-beda;
9. Unsur-unsur yang lebih tinggi mengatur aktivitas, sedangkan unsur-unsur yang lebih
rendah menjalankan aktivitas tersebut;
10. Unsur-unsur yang lebih tinggi mengendalikan unsur-unsur yang lebih rendah;
11. Perilaku subjek hukum cenderung sesuai dengan peraturan;
12. Pejabat diatur oleh peraturan-peraturan;
13. Peraturan-peraturan mengendalikan perilaku warga masyarakat;
14. Kepatuhan hukum merupakan hal dari izin serta penggunaan kekuatan pemerintah;
Apabila paradigm di atas dipelajari, maka ternyata bahwa sistematikanya kurang baik,
dan kurang menggambarkan hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya. Hukum cenderung dianggap sebagai suatu sarana dari pemegang kekuasaan
resmi.

41
V. SOSIOLOGI HUKUM DI INDONESIA
Sosiologi hukum dan hukum adat

Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas dan mungkin juga dianggap


kurang sistematis, namun para sarjana hukum Indonesia yang memusatkan
perhatiannya pada masalah Hukum Adat, pernah menyinggung masalah-
masalah menurut pendekatan sosiologi hukum.
Pendapat-pendapat dari para sarjana hukum tersebut, mungkindianggap
sebagai suatu pembuka jalan bagi lahirnya sosiologi hukum di Indonesia.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa penelitian-penelitian terhadap hukum adat
secara sadar maupun tidak memerlukan pendekatan yang lebih dari sekedar
pendekatan dogmatik hukum belaka.
Kalau Hukum Adat diidentikkan dengan hukum kebiasaan, maka
identifikasinya terutama dilakukan secara empiris atau dengan metode
induktif. Andaikata titik tolaknya adalah hukum adat yang tercatat
(beschrevenadatrecht), maka pengujiannyapun dilakukan secara empiris.

42
Sarjana-sarjana hukum adat Belanda seperti van Vollenhoven dan ter Haar
secara langsung meupun tidak langsung, mengakui hal itu. Teori ter Haar yang dikenal
dengan nama “beslissingen leer” bertitik tolak pada anggapan, bahwa timbulnya dan
terpeliharanya hukum adat terjadi karena :
1. Keputusan para pejabat hukum, dan
2. Keputusan warga-warga masyarakat

Ajaran-ajaran Soepomo juga banyak berisikan konsep-konsep yang dasarnya


sosiologi hukum (dan antropologi hukum), sebagaimana dapat dibaca dalam buku-
bukunya (antara lain:
1. Hukum perdata dat jawa barat (yang diterjemahkan olah Ny. Nani Soewondo, SH)
yang merupakan identifikasi terhadap bidang-bidang hukumadat seperti :
a. Hukum kekeluargaan
b. Hukum perkawinan
c. Hukum waris
d. Hukum tanah
43
e. Hukum utang – piutang
f. Hukum pelanggaran
Identifikasi dilakukan atas dasar penelitian empiris yang ditekankan pada
penggunaan metode studi kasus; metode analisa yang dipergunakan adalah metode
induktif untuk kemudian merumuskannya dalam bantuk kaedah hukum
2. Bab-bab tentang hukum adat, di mana aspek-aspek sosiologi
hukum adakan dapat diketemukan dalam uraian-uraiannya tentang
sistem hukum adat, peradilan hukum adat, tata susunan
masyarakat Indonesia adat waris.

Pendeknya tentang teori-teori atau kosepsi-konsepsi hukum adat


tersebut dapat ditonjolkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pengembangan ilmu hukum adat dan penelitian hukum adat
membuka jalan bagi tumbuhnya teori-teori hukum yang bersifat
sosiologis
2. Studi hukum adat merupakan suatu jembatan yang
menghubungkan pendekatan yuridis murni dengan pendekatan
sosiologis murni.

44
B. Penelitian SOSIOLOGI Hukum

Penelitian sosiologi hukium sebagai sarana dari tatsachenwissenschaft


agak berbeda dengan penelitian ilmu kaedah dan ilmu pengertian yang
merupakan normwissenchaft. Hal ini terutama disebabkan, karena titik tolak
yang berbeda yang didasarkan pada kader referensi yang berbeda pula.
Pada umunya ada suatu kecenderungan, bahwa penelitian sosiologi
hukum bertitik tolak pada pengertian-pengertian abstrak yang diujikan pada
kenyataan. Di dalam penelitian terhadap hubungan timbal balik antara hukum
dengan proses-proses sosial lainnya, asumsi dasarnya adalah bahwa
kemungkinan besar terdapat perbedaan antara hukum positif dengan hukum
yang hidup (yang merupakan fakta).

Pertama-tama penelitian sosiologi hukum berarti, penelitian terhadap


hukum yang hidup. Hukum yang hidup merupakan bagian dari sistim hukum
yang diterapkan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Apabila hukum
dilaksanakan oleh pejabat-pejabat hukum berbeda dengan hukum positif tertulis,
maka terdapat jurang pemisah antara hukum yang hidup dengan hukum positif
tertulis.
45
Demikian pula halnya, apabila hukum yang dipraktekkan oleh
subjek-subjek hukum lainnya dalam bidang-bidang tertentu adalah
berbeda dengan hukum positif tertulis. Dalam hal ini dapat dikatakan,
bahwa efektivitas hukum positif tertulis adalah relatif rendah.

Apabila efektivitas hukum positif tertulis telah diteliti, maka langkah


selanjutnya adalah menelaah proses-proses hukum dan sosial lainnya,
dengan menganalisanya dalam kerangka sebab akibat. Dalam hal ini
peneliti dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengadakan identifikasi terhadap keajegan-keajegan daripada


kausalitas yang ada;
2. Menguji hipotesa-hipotesa melalui penelitian yang bersifat
eksplanatoris.

46
Alat pengumpulan data yang biasanya dipergunakan adalah studi
dokumenter, pengamatan dan wawancara. Metode pengolahan data dapat
dilakukan secara kwalitatif dan/atau kwantitatif. Data diperoleh melalui metode
survey, studi kasus ataupun eksperimen.
Penelitian sosiologi hukum yang dilakukan oleh fakultas-fakultas hukum
negeri di Indonesia, cenderung bertujuan untuk:

1. Mengadakan identifikasi terhadap hukum tidak tertulis;


2. Mengadakan identifikasi terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas hukum tertulis;
3. Mengukur efektivitas hukum tertulis.

Sumber : Soerjono Soekanto, 1986. Mengenal sosiologi Hukum,


Alumni, Bandung. 47

Anda mungkin juga menyukai