Sosiologi Hukum
1
I. PENDAHULUAN
A. Pengantar
4
B. Disiplin hukum dan sosiologi hukum
2. Politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-
nilai tersebut
3. Filsafat hukum yang mencakup kegiatan:
a. Perenungan nila-nilai
b. Perumusan nilai-nilai
c. Penyerasian nilai-nilai yang berpasangan tetapi kadangkala bersitegang.
Dari sistematika di atas kiranya menjadi jelas bagaimana kaitan sosiologi hukum
dengan ilmu-ilmu hukum lainnya, maupun dengan filsafat hukum. Hal ini antara lain
disebabkan, karena hukum mempunyai tiga dimensi, yakni sebagai nilai, kaedah dan
6
perikelakuan.
II. SEJARAH PEBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
A. Pengantar
9
Pembedaan tersebut di atas hingga kini masih tetap dipermasalahkan
eksistensinya antara pendukung-pendukung Madzhab sosiologi neo-positivis atau
analitis dengan pendukung-pendukung Madzhab sosiologi dialektis atau kritis.
Pihak pertama beranggapan bahwa sosiologi merupakan sarana ilmiah untuk
menjelaskan gejala sosial. Sebaliknya, pihak kedua tidak berhenti di situ saja, akan
tetapi dianggapnya bahwa tugas seterusnya adalah untuk mengadakan evaluasi
terhadap gejala sosial yang diteliti.
Evaluasi atau kritik tersebut tak dapat diuji secara empiris karena didasarkan pada
sifat hakekat manusia dan masyarakat. Bagi mereka analisa data empiris baru
merupakan tahap awal dari kegiatan untuk menyusun teori.
Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa di dalam
kerangka akademis, maka penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagai suatu
usaha untuk memungkinkan pembentukan teori hukum yang bersifat sosiologis
(sociologische rechtstheotieen).
Artinya suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum menurut jalan fikiran
yuridis-tradisionil. Untuk memperjelas hal ini mungkin ada baiknya untuk
memberikan uraian tentang disiplin hukum sehingga kaitannya dengan ilmu-ilmu
hukum menjadi jelas.
10
B. Sejarah perkembangan sosiologi hukum
Kemudian perlu dicatat nama Ehrlich dari Jerman yang terkenal dengan teori
“lebende Recht” juga pada awal abad ke-20. Lundstedt, Olivecrone dan
Hagerstrom merupakan tokoh-tokoh aliran Realisme hukum yang berkembang
sebelum dan sesudah Perang Dunia kedua.
Ahli filsafat hukum Rusia Petrazycki dengan ajaran-ajarannya sangat
berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi hukum di Eropa (murid muridnya
adalah antara lain Timasheff, Gurvitch dan Sorokin).
11
Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk
menetralisasikan atau merealisasikan dogmatik hukum, oleh karena tekanan
lebih banyak diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum (law in
action).
Pound, misalnya berpendapat bahwa hukum adalah suatu proses yang
mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan
keputusan hakim/pengadilan.
Pound mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk
mengarahkan dan membina masyarakat. Untuk memenuhi fungsinya tersebut,
maka sorotan yang terlalu besar pada aspek statis dari hukum harus
ditinggalkan.
12
2. Ilmu hukum : Hans Kelsen
Kelsen terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Ajaran Murni tentang hukum
(The Pure Theory of Law), di mana Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh
faktor-faktor politisi sosiologis, filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah suatu
teori yang murni tentang hukum yang “dibersihkan” dari segala faktor yang
mempengaruhinya.
Oleh karena itu Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai kaedah; hukum sebagai
perikelakuan yang ajeg merupakan objek sosiologi hukum yang baginya bukan
merupakan ilmu hukum.
Menurut Kelsen setiap data hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-
kaedah (stufenbau).
Dipuncak “stufenbau” tersebut terdapat “grundnorm” atau kaedah dasar dari suatu
tata kaedah hukum nasional yang bukan merupakan suatu kaedah hukum positif yang
dibentuk oleh suatu tindakan legislatif manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil
analisa pemikiran yuridis (jadi, hanya dipostulasikan oleh pikiran manusia).
Kaedah dasar tersebut merupakan dasar dari segala pandangan menilai yang
bersifat yuridis yang memungkinkan dalam kerangka tata kaedah hukum suatu Negara.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa perbedaan
hukum dengan kebiasaan (belaka) terletak pada unsur kekuatan resmi, yang dapat
memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu, hingga kini ada
kecenderungan kuat dalam penterapan hukum untuk mempertaankan prinsip dan pola
yang telah ada dalam sistem hukum.
14
3. Sosiologi: pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber
Di dalam menguraikan teori-teorinya tentang masyarakat. Durkheim menaruh
perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis-
jenis solidaritas dalam masyarakat.
Hukum dirumuskannya sebagai kaedah yang bersanksi, di mana berat-ringannya
sanksi tergantung pada :
a. Sifat pelanggaran;
b. Anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik-buruknya perikelakuan-
perikelakuan tertentu;
c. Peranan sanksi tersebut dalam masyarakat.
Menrut Durkheim, maka setiap kaedah hukum mempunyai tujuan berganda, yakni:
a. Menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban
b. Menetapkan dan merumuskan sanksi-sanksi
Di dalam hukum perdata (dan hukum sanksi-sanksinya), kedua tujuan tersebut
dirumuskan secara terpisah dengan tekanan pada perumusan kewajiban-kewajiban.
Pada hukum pidana hanya dirumuskan sanksi-sanksinya, oleh karena dianggap
bahwa dalam bidang itu warga-warga masyarakat telah mengetahui kewajiban-
kewajibannya.
b. Solidaritas organik yang ditandai antara lain, oleh adanya pembagian kerja
dalam masyarakat, yang biasanya dijumpai pada masyarakat yang kompleks
dan heterogin struktur sosial dan kebudayaannya.
Pada bentuk solidaritas ini yang berlaku adalah hukum dengan sanksi restitutif,
oleh karena yanglebih penting adalah mengembalikan kedudukan seseorang
yang dirugikan. 17
Teori Durkheim tersebut terutama mengetengahkan hal-hal, sebagai berikut :
a. Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu masyarakat
b. Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun
untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Dari ajaran-ajaran yang luas dari Max Weber, maka yang menarik adalah tipe-tipe
ideal dari hukum yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan, yaitu:
a. Hukum irrasionil dan material, di mana pembentuk undang-undang dan hakim
mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosionil
tanpa mengacu pada suatu kaedah hukum;
b. Hukum irrasionil dan formil, di mana pembentuk undang-undang dan hakim
berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan-
ramalan;
c. Hukum rasional dan materiel, di mana keputusan para pembentuk undang-
undang dan hakim didasarkan pada kitab suci, ideologi atau kebijaksanaan
penguasa;
d. Hukum rasionil dan formil, di mana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep
dari ilmu hukum.
18
III. RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM
Sejak lama telah diusahakan oleh para sarjana untuk memberikan batas-batas
tertentu pada ruang lingkup sosilologi hukum. Pembatasan tersebut terutama
diberikan oleh karena hubungannya yang erat dengan ilmu-ilmu perilaku lainnya
(behavioral sciences).
Pelbagai pendapat mengenai hal itu secara umum dapat dikelompokkan ke
dalam paling sedikit empat pendekatan yang biasanya dinamakan pendekatan
instrumental, pendekatan hukum alam, pendekatan positivistik, dan pendekatan
paradigmatik.
A. Pendekatan instrumental
Adam Podgorecki pernah menyatakan, bahwa sosiologi hukum merupakan
suatu disiplin teoritis dan umum, yang mempelajari keteraturan dari berfungsinya
hukum. Tujuan disiplin itu adalah untuk mendapakan prinsip-prinsip hukum dan
ketertiban yang disadari secara rasionil, dan didasarkan pada diagnosis yang
mempunyai dasar yang mantap.
Dengan demikian, maka tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk
menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat
berlaku secara efisien.
19
Misalnya, seorang pembentuk hukum berkeinginan untuk mengurangi korban
kecelakaan lalu-lintas dengan mewajibkan pengemudi dan penumpang kendaraan
bermotor untuk senantiasa memakai pengikat kursi.
Menjalankan atau mengendarai kendaraan bermotor tanpa memakai pengikat
kursi, dapat mengakibatkan dijatuhkannya hukuman; sebaliknya, bagi mereka yang
senantiasa mempergunakan pengikat kursi dapat diberikan atas dasar
kepatuhannya.
Hukum yang dibentuk dapat pula ditujukan pada pabrik mobil yang dapat
memebuat mobil sedemikian rupa, sehingga aliran listrik tidak akan berfungsi
sebelum atau penumpang kendaraan tersebut memakai pengikat kursi.
20
Podgorecki menyatakan bahwa studi instrumental terhadap hukum sangat
penting terutama dalam masyarakat-masyarakat sosialis, di mana perubahan-
perubahan diatur melalui peratuan perundang-undangan.
Ada beberapa ilmuwan lainnya yang sependapat dengan Podgorecki, misalnya
G.F.A. Sawyerr. Sawyerr menyatakan, bahwa studi-studi instrumental terhadap
hukum harus bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang baik bagi pelaksana
hukum.
Hukum harus lebih peka terhadap situasi sosial sehingga hukum dapat
dipergunakan untuk mengadakan dan menjalankan perencanaan-perencanaan
perkembangan ekonomi dan sosial.
22
B. PENDEKATAN HUKUM ALAM DAN KRITIK PENDEKATAN POSITIVISTIK
23
Cita-cita dari legalitas akan terhalang, apabila warga masyarakat dipenjarakan
tanpa proses peradilan dan kalau peraturan-peraturan dilaksanakan untuk menghukum
orang-orang yang melakukan tindakan yang pada waktu itu adalah sah.
Akan tetapi legalitas adalah lebih dari pada semata-mata mengikuti prosedur
secara ketat; titik sentral dan legalitas adalah pengurangan kesewenang-wenangan.
Pengurangan atau pembatasan kesewenang-wenangan tidak akan disamakan dengan
pelaksanaan peraturan-peraturan formil dan tata cara.
Keadilan substantif akan terbengkelai, apabila terjadi ikatan yang terlalu kuat
dengan pendukungan otonomi dan integritas proses hukum. Ketaatan yang terlapau
kaku pada pelaksanaan peraturan secara mekanis, menghalangi keluwesan system
hukum untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan-kepentingan dan keadaan-
keadaan baru, atau untuk menyesuaikan diri dengan ketidak-samaan sosial yang
terjadi. 24
Keadilan formil cenderung untuk menmgabdikan diri pada status quo. Oleh karena
itu, maka hal itu dapat dianggap sewenang-wenang oleh orang-orang yang merasa
kepentingannya tidak diperhatikan, atau oleh orang – orang yang berada di luar sistem
masyarakat yang bersangkutan.
Pada saat berrsamaan, maka pola-pola kehidupan tertentu ternyata lebih sesuai
dengan “rule of law”. Kegiatan-kegiatan ilmiah untuk menemukan kondisi-kondisi
sosial yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan hukum, serta cara – cara untuk
menyesuaikannya, merupakan tugas utama dari kegiatan ilmiah sosiologi hukum.
Empat topik merupakan kerangka penelitian dari legalitas, yaitu : tradisi dari
keadaan sah ke legalitas; konsensus rasional dan kewenangan pribadi; kritisisem
yang melembaga dan penahanan diri yang telah melembaga.
25
Adanya legalitas menimbulkan dugaan, bahwa kekuasaan yang dilaksanakan
oleh pejabat-pejabat umum merupakan kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah
cenderung untuk menahan diri. Kekuasaan tersebut bersatu padu dengan sahnya
keinginan penguasa dan mayoritas tidaklah bebas sepenuhnya.
Walaupun demikian, di dalam kenyataannya sering terjadi kesewenang-
wenangan. Keadaan yang sah sebenarnya baru merupakan langakah pertama yang
menuju ke legalitas. Akan tetapi keadaan yang sah tersebut mengandung bibit-bibit
kehidupan legalitas, yang didasarkan pada prinsip bahwa pelaksanaan kekuasaan
haruslah disahkan.
Selanjutnya timbul pendapat-pendapat, bahwa setiap tindakan resmi haruslah
mempunyai dasar. Dasar-dasar tersebut memerlukan evaluasi, dan evaluasi
memerlukan pengembangan standar-standar secara publik. Apabila dasar-dasar
tersebut mengalami kekurangan-kekurangan, maka wewenang cenderung merosot
kewibawaannya.
Kalau cita-cita legalitas hendak dicapai, maka kritik yang didasarkan pada penalaaran
terhadap peraturan atau diskresi resmi, harus dimasukkan ke dalam mekanisme
pembentukan hukum. Penelitian-penelitian sosiologis menemukan cita-cita antara
pentaatan terhadap prosedur dengan kenyataan kehidupan. Umpamanya, kebebasan dan
objektivitas para petugas hukum dilemahkan oleh faktor-faktor pribadi dan lingkungan
tertentu.
Setiap petugas hukum pada dasarnya adalah petugas peradilan sampai derajat-
derajat tertentu. Di dalam peranannya itu dia melaksanakan diskresi yang
mempengaruhi hak-hak dari warga-warga masyarakat. Hukum memberikan patokan
agar diskresi tersebut dibatasi, akan tetapi juga menghendaki kebebasan agar
mencapai keadilan bagi para warga masyarakat.
Agar kedua hal tersebut tercapai dengan serasi, diperlukan kemampuan untuk 27
mengendalikan diri dan mekanisme-mekanisme sosial untuk membentuk nilai-nilai
dan aturan perilaku yang serasi dan wajar.
Jerome H. Skolnick mengemukakan suatu versi lain, yang agak mengurangi
kualitas normatif sebagaimana dikemukakan oleh Selznick.
Dia berpendapat, bahwa para sosioloog harus mempelajari kondisi-kondisi yang
menyebabkan warga masyarakat menganggap bahwa peraturan yang berlaku benar-
benar merupakan hukum, serta bagaimana warga masyarakat menafsirkan peraturan-
peraturan tersebut dan mentransformasikan prinsip-prinsipnya ke dalam lembaga-
lembaga sosial dalam masyarakat.
Di dalam keadaan atau tahap ilmu pengetahuan normal, maka terdapat paradigm
dominan yang dianuti oleh warga-warga kalangan ilmiah. Paradigm tersebut menjadi
pedoman berpikir dan bekerja. Suatu revolusi ilmiah terjadi, apabila muncul suatu
paradigm yang baru, yang membawa suasana baru pula.
Oleh karena itu, maka pokok-pokok pendekatan paradigmatik, adalah sebagai
berikut :
1. Sosiologi hukum bertugas untuk mempelajari dan mengkritik paradigma-paradigma
yang ada yang menjadi pedoman kalangan profesi hukum dan norma-norma hukum
yang menjadi dasar system hukum masyarakat;
2. Mempelajari kenyataan hukum, mengidentifikasikan perbedaan antara kenyataan
dengan paradigma yang berlaku, dan mengajukan rekomendasi untuk mengadakan
perubahan pada perilaku atau norma;
3. Mengajukan paradigma-paradigma yang baru. 30
BAB IV PARADIGMA SOSIOLOGI HUKUM
31
Arti-arti yang diberikan pada hukum, adalah sebagai berikut :
A. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
B. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau
gejala-gejala yang dihadapi.
C. Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau
perikelakuan yang panatas atau diharapkan
D. Hukum sebagai lembaga sosial (social institution) yang merupakan
himpunan dari kaedah-kaedah dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
E. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-
kaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta
berbentuk tertulis.
F. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan
yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
32
G. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi
yang menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada
hukum, akan tetapi yang juga didasarkan pada penilaianpribadi.
H. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan
I. Hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial, yang
mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak,
yang bertujuan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa
warga-warga masyarakat (dari segala lapisan) agar mematuhi
kaedah-kaedah dan nilai-nilai.
J. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, yaitu
perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian.
K. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang apa yang diangap baik
(sehingga harus dianuti atau ditaati) dan apa yang diangap buruk
(sehingga harus dihindari). 33
L. Hukum sebagai seni.
Perihal gejala-gejala sosial, maka sebagai ruang lingkunya dapat
dipergunakan sistematika, sebagai berikut:
1. Struktur sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur
sosial yang pokok, yakni:
a. Kelompok sosial;
b. Kebudayaan;
c. Lembaga-lembaga sosial;
d. Stratifikasi;
e. Kekuasaan dan wewenang.
2. Proses sosial, yaitu pengaruh timbal – balik antara pembagai bidang
kehidupan, yang mencakup :
a. Interaksi sosial;
b. Perubahan-perubahan sosial;
c. Masalah-masalah sosial
34
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka dapat disusun
suatu paradigma sosiologi hukum yang ruang lingkupnya
adalah pengaruh timbal – balik antara hukum dengan
gejala-gejala sisal lainnya. Secara visual gambarannya
adalah sebagai berikut :
Gejala Gajala
Hukum
sosial lain sosial lain
2. Kebudayaan (terutama
nilai-nilai dan kaedah- Hukum
kaedah lainnya
3. Lembaga-lembaga Hukum
sosial
4. Stratifikasi Hukum
7 Perubahan-perubahan Hukum
sosial
8. masalah sosial 36
Hukum
Dengan bertitik tolak pada peradigma tersebut di atas, maka akan dapat
diketahui, hal-hal sebagai berikut:
A. Idiologi dan falsafah yang mempengaruhi perencanaan dan pembentukan
hukum
B. Unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhi substansi hukum
C. Lembaga-lembaga sosial yang berpengaruh secara langsung maupun secara
tidak langsung terhadap hukum
D. Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang pengaruhnya
sangat menentukan di dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum.
E. Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau
melahan dirugikan oleh adanya hukum-hukum tertentu dalam masyarakat.
F. Kesadaran hukum masyarakat dan kemungkinan untuk membentuk
kesadaran hukum tersebut.
G. Unsur-unsur hukum yang dapat merubah perikelakuan warga-warga
masyarakat.
37
H. Kekuatan, kemampuan dan kesungguhan hari dari para penegak hukum.
I. Derajat kepatuhan hukum warga masyarakat dan pemimpin-pemimpinnya,
terutama yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
J. Hukum yang berfungsi, yang senantiasa dapat dikembalikan pada kaitan
antara faktor:
38
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui, karena adanya kelemahan-kelemahan
pada sistem hukum dan unsur-unsur lain dari masyarakat, yang terutama dijumpai
pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang (seperti Indonesia)
Kelamahan-kelemahan tersebut adalah, antara lain:
A. Seringkali prosedur hukum berlangsung secara lamban dan ditandai dengan
adanya “red-tape”
B. Hukum dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah, di mana pemecahannya
tidak bersifat tuntas.
C. Adanya asumsi yang kuat dari kalangan hukum, bahwa hukum yang resmi dengan
sendirinya berlaku.
D. Kewajiban hukum seringkali “kalah” oleh kewajiban lembaga-lembaga sosial lainnya,
padahal sesuai dengan perkembangan masyarakat, semakin banyak bidang-bidang
kehidupan yang diaturnya.
E. Kurangnya pemahaman tentang bagian-bagian masyarakat terhadap nama hukum-
hukum tertentu diperlukan untuk menjadi pedoman bagi perikelakuannya
F. Alat-alat komunikasi hukum yang kurang memadai dan kurang proporsional
G. Adanya kalangan-kalangan tertentu yang merasa dirinya kurang terikat pada hukum
yang telah dibentuknya.
H. Adanya kecenderungan untuk mengefektifkan hukum dalam waktu yang sesingkat
mungkin.
39
Sebagai bahan pertimbangan, maka akan diketengahkan paradigma lain, yang
pernah dikemukakan oleh Marc Galanter. Galanter mengatakan, bahwa suatu paradigm
berfungsi sebagai lensa, melalui mana seseorang akan dapat menelaan gejala hukum
secara seksama.
Paradigma yang dikemukakan oleh Gelanter, berwujud pernyataan-pernyataan yang
sebenarnya berisikan saran-saran. Wujud paradigma tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah-pemerintah merupakan lokus primer dari pengendalian hukum; proses
hukum yang dihasilkan oleh pemerintah, merupakan sumber penemu bnagi
pengaturan dan ketertiban masyarakat;
2. Peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga hukum di dalam suatu
masyarakat, merupakan suatu sistem yang berisikan unsur-unsur yang mempunyai
kaitan secara fungsional;
3. Unsur pokok dari pada sistem hukumadalah perangkat norma-norma atau patokan-
patokan, prinsip-prinsip, serta prosedur untuk menetapkan, merubah maupun
mengumumkan hukum;
4. Sistem hukum berpusat pada pengadilan-pengadilan yang fungsinya adalah
mengumumkan, menerapkan, menafsirkan peraturan-peraturan;
5. Proses peradilan merupakan proses hukum dasar yang menentukan;
6. Peraturan-peraturan merupakan perwujudan daripada keinginan-keinginan sosial; 40
7. Partisipasi yang seluas-luasnya di dalam pembentukan hukum, menjamin bahwa
hukum merupakan perwujudan dari kepentingan-kepentingan sosial dalam arti yang
luas;
8. Pernyataan-pernyataan normatif, lembaga-lembaga normatif maupun petugas-
petugas hukum, ditempatkan pada jenjang tertentu, yang mempunyai derajat
wewenang yang berbeda-beda;
9. Unsur-unsur yang lebih tinggi mengatur aktivitas, sedangkan unsur-unsur yang lebih
rendah menjalankan aktivitas tersebut;
10. Unsur-unsur yang lebih tinggi mengendalikan unsur-unsur yang lebih rendah;
11. Perilaku subjek hukum cenderung sesuai dengan peraturan;
12. Pejabat diatur oleh peraturan-peraturan;
13. Peraturan-peraturan mengendalikan perilaku warga masyarakat;
14. Kepatuhan hukum merupakan hal dari izin serta penggunaan kekuatan pemerintah;
Apabila paradigm di atas dipelajari, maka ternyata bahwa sistematikanya kurang baik,
dan kurang menggambarkan hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya. Hukum cenderung dianggap sebagai suatu sarana dari pemegang kekuasaan
resmi.
41
V. SOSIOLOGI HUKUM DI INDONESIA
Sosiologi hukum dan hukum adat
42
Sarjana-sarjana hukum adat Belanda seperti van Vollenhoven dan ter Haar
secara langsung meupun tidak langsung, mengakui hal itu. Teori ter Haar yang dikenal
dengan nama “beslissingen leer” bertitik tolak pada anggapan, bahwa timbulnya dan
terpeliharanya hukum adat terjadi karena :
1. Keputusan para pejabat hukum, dan
2. Keputusan warga-warga masyarakat
44
B. Penelitian SOSIOLOGI Hukum
46
Alat pengumpulan data yang biasanya dipergunakan adalah studi
dokumenter, pengamatan dan wawancara. Metode pengolahan data dapat
dilakukan secara kwalitatif dan/atau kwantitatif. Data diperoleh melalui metode
survey, studi kasus ataupun eksperimen.
Penelitian sosiologi hukum yang dilakukan oleh fakultas-fakultas hukum
negeri di Indonesia, cenderung bertujuan untuk: