PENOLOGI
Ikamadewis’s Doc
PENDAHULUAN
Ikamadewis’s Doc
W.E. Noach, menyebutkan “Penologi sebagai
ilmu pengetahuan tentang pidana sarana-
sarananya, atau ilmu pengetahuan tentang cara
perlakuan / pemidanaan terhadap pelaku
pidana dan sarana-sarana yang
dipergunakannya
Thomas Sunaryo menyimpulkan bahwa kajian
penologi meliputi bentuk-bentuk pemidanaan;
dasar-dasar pembenaran (justifikasi)
pemidanaan; sejarah perkembangan
pemidanaan; penjara dan permasalahannya;
serta gagasan dengan institusionalisasi dan
pidana alternatif sebagai pengganti pidana
penjara
Ikamadewis’s Doc
Obyek studi Penologi meliputi:
Jenis pidana; (peraturan/kebijakan)
Tujuan pemidanaan; (pelaku)
Efektifitas pemidanaan; (masyarakat)
Dampak pemidanaan;(pelaku)
Posisi Penologi dalam Hukum
Pidana.
Hukum Pidana
Rumpun
Penologi Kriminologi
Hukum Pidana
Victimologi
Hukum Pidana
Hukum Pidana
Materiil
Siapa ? Siapa Yang dapat
dikatakan sebagai Pelaku
Bagaimana Caranya
Melindungi Korban
IP Tentang
Perkembangan
Pemidanaan dan
kebijakan
pemidanaan
Sanksi , pada dasarnya
dibedakan menjadi 2 yaitu:
Sanksi Pidana
Sanksi Tindakan
Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan Focus sanksi tindakan terarah pada upaya
salah seorang lewat pengenaan penderitaan memberi pertolongan pada pelaku agar dia
(agar yang bersangkutan menjadi jera) berubah
Lebih dititik beratkan pada upaya pembalasan Menitikberatkan pada upaya memulihkan
kehidupan sosial
Tujuannya memberi penderitaan atau Tujuannya untuk memberi
pencelaan pendidikan/mendidik
Bentuknya adalah hukuman badan (penjara, Bentuknya adalah Rehabilitasi, Pengawasan,
mati dll) pencabutan hak tertentu dll.
Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana berorientasi pada pengenaan
penderitaan pada pelaku sedangkan sanksi tindakan berorientasi pada perlindungan
masyarakat.
Kedudukan Sanksi Pidana dan
Sanksi Tindakan dalam Sistem
Pemidanaan Menurut Undang-
Undang
Pada bagian ini secara khusus akan
mengkaji dua hal yaitu:
Bukti
FUNGSI PIDANA :
Alat Balas Dendam
Alat Perlindungan Masyarakat dari kejahatan
Alat Perlindungan Masyarakat dan pelaku
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/(Wvs)
telah menetapkan jenis-jenis pidana
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 10
KUHP yang mana didalam pasal tersebut
diatur dua jenis pidana yaitu: Pidana Pokok
dan Pidana tambahan.
PIDANA
(Straf/Punishment)
Pasal 10 KUHP
Pidana POKOK :
Pidana mati - kurungan
Penjara - Denda
PENAL
Pidana TAMBAHAN :
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan barang tertentu
- Pengumuman keputusan hakim
Ayat (1). Pidana Pokok adalah:
Ke-1. Pidana Pemasyarakatan;
Ke-2. Pidana Tutupan;
Ke-3. Pidana Pengawasan;
Ke-4. Pidana Denda.
Ayat (2) Urutan pidana pokok diatas menentukan berat
ringannya pidana.
Ayat (3) Pidana tambahan adalah:
Ke-1.Pencabutan hak-hak tertentu;
Ke-2. Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;
Ke-3. Pengumuman Putusan hakim;
Ke-4. Pembayaran Ganti kerugian;
K-5. Pemenuhan kewajiban Adat.
Ayat (4). Pidana Mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus.
Pidana pokok terdiri dari:
Pidana Penjara;
Pidana tertutup;
Pidana Pengawasan;
Pidana Denda;
Pidana kerja social.
Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan
berat ringannya pidana.
Pasal 69
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus.
Pasal 70
Pidana tambahan Pemenuhan kewajiban adaptterdiri atas:
Pencabutan hak tertentu;
Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
Pengumuman putusan hakim
Pembayaran ganti kerugian;
Dalam RUU KUHP 2014, Paragraf 1
Jenis Pidana
Pasal 66
(1) Pidana pokok terdiri atas:
pidana penjara;
pidana tutupan;
pidana pengawasan;
pidana denda; dan
pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menentukan berat ringannya pidana.
Pasal 67
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Dalam RUU KUHP 2014
Pasal 68
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-
sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan yang lain.
Paragraf 3
Pidana Tutupan
Pasal 78
(1) Orang yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara,
mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya
dapat dijatuhi pidana tutupan.
(2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa
yang melakukan tindak pidana karena terdorong
oleh maksud yang patut dihormati.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau
akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa
sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi
pidana penjara.
Yang menarik untuk dipahami adalah pidana mati
bahwa yang dalam RUU disebut sebagai pidana
pokok yang bersifat khusus. Penerapan pidana
mati dalam praktek sering menimbulkan
kontroversi diantara yang setuju dengan yang
tidak.
Pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan
menembak terpidana sampai mati; Pelaksanaan pidana
mati tidak dilakukan di muka umum;
1 3
Preventif, Reformatif.
Deterrence,
Tujuan pemidanaan adalah pencegahan
Pencegahan bukan sebagai tujuan akhir tapi hanya
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat
Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat
dipersalahkan kepada pelaku saja, misalnya
kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi sayarat
untuk adanya pidana
Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuan sebagai
alat pencegahan kejahatan
Pidana melihat kedepan, atau bersifat prospektif
Teori Relatif ini dasar
pemikirannya adalah terletak
pada tujuan pidana itu sendiri,
karena pidana mempunyai tujuan
tertentu. Tujuan pokok pidana
adalah mempertahankan
ketertiban masyarakat, untuk
mencapai tujuan tersebut dalam
teori ini ada beberapa aliran
antara lain :
1. Aliran Prevensi Umum (General Peventie)
Dalam aliran ini tujuan pokok pidana yang akan
dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada
kalayak ramai atau masyarakat agar supaya tidak
melakukan pelanggaran terhadap ketertiban
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
wujud pidana ini bersifat menjerakan atau
menakutkan dan pelaksanaannya di depan umum
yang mengharapkan ada sugesti terhadap anggota
masyarakat lainnya tidak berani melakukan
kejahatan.
2. Aliran Prevensi Khusus (Speciale Preventie)
Aliran ini mempunyai tujuan agar pidana itu
mencegah si penjahat tidak mengulangi kejahatan.
Jadi aliran ini tujuan pidana selain untuk
mempertahankan ketertiban juga sebagai alat untuk
menakuti masyarakat dan memperbaiki si pelaku
dan untuk kejahatan-kejahatan tertentu tetap harus
membinasakan.
3. Aliran Perbaikan Si Pelaku (Verbentaring Van
Dader)
Tujuan pemidanaan dalam aliran ini adalah untuk
memperbaiki si pelaku / si penjahat agar
menjadi manusia yang baik dengan reklasering.
Jadi penjatuhan pidana harus disertai pendidikan
selama menjalani pidana. Pendidikan yang
diberikan terutama adalah pendidikan
kedisiplinan dan pendidikan ketrampilan /
keahlian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
bekal kepada narapidana setelah selesai
menjalani pidana.
4. Aliran Pejahat Yang Sudah Tidak Bisa Diperbaiki
(Onschadelijk maken van de misdediger)
Aliran ini untuk penjahat-penjahat tertentu yang
sudah tidak dapat diperbaiki lagi karena tidak
mungkin menerima tujuan pidana yang pertama,
ke dua. dan ke tiga , ………
……maka pidana yang dijatuhkan dalam aliran
ini adalah menyingkirkan dari masyarakat yaitu
dengan menjatuhkan pidana seumur hidup atau
pidana mati. Pidana ini biasanya untuk para
residivis.
5. Aliran Memperbaiki Masyarakat Dari Kerugian
Masa Lampau (Herstel van geleden
maatchappelijk Nadeel)
Tujuan pokok pidana dalam aliran ini
berdasarkan kejahatan yang menimbulkan
kerugiaan ideel didalam masyarakat, oleh
karena itu pidana diadakan untuk memperbaiki
kerugian yang terjadi pada masa lalu.
3.Teori Integratif (Gabungan)
Pemidanaan
mengandung karakter relatif
karakter terletak pada
retributivis tujuan kritik
Teori ini moral tersebut
sejauh bercorak ganda: adalah suatu
pemidanaan
reformasi atau
dilihat sebagai perubahan
suatu kritik perilaku
moral siterpidana
terhadap dikemudian hari.
tindakan yang
salah,
Ilmu penologi juga mengenal beberapa teori
tujuan pemidanaan antara lain :
1. Teori pembalasan.
Dalam teori ini tujuan pokok pemidanaan adalah
untuk balas dendam terhadap orang yang telah
melakukan kejahatan, oleh karena itu
kejahatan harus dianggap sebagai musuh
masyarakat dan pidana yang paling efektif
adalah penyiksaan fisik supaya menderita
selama-lamanya, sehingga tidak dapat
melakukan kejahatan lagi. Pelaksanaan
pidananya adalah sangat kejam bahkan pihak
yang dirugikan atau pihak korban dapat
membalasnya apabila ia mampu.
2. Teori Penjeraan
Dalam teori ini tujuan pokok pidana adalah
penjeraan akan tetapi sifat kekerasan
penjeraan dalam penjatuhan pidana harus
dibatasi sesuai dengan kebutuhan dalam
pencegahan terhadap terjadinya atau
terulangnya kembali kejahatan, sehingga
dalam teori ini sangat sulit untuk
menentukan batas penderitaan karena
dalam pelaksanaannya tidak berbeda
dengan teori pembalasan.
3. Teori Pengasingan.
Dalam teori ini menyatakan bahwa tindakan-
tindakan berupa karantina sangat diperlukan
dalam pelaksanaan pidana guna mencegah
pengulangan kejahatan. Sistem perlakuan ini di
kenal dengan Dual Track System yaitu pertama-
tama narapidana menjalani pidananya yang
sebenarnya dalam suatu pengasingan kemudian
masa ini diikuti atau dilanjutkan dengan masa
preventive detention yaitu suatu masa yang
harus dijalani oleh narapidana apabila
narapidana yang bersangkutan ternyata belum
menjadi baik dengan masa pidana yang
sebenarnya.
4. Teori Rehabilitasi.
Dalam teori ini tujuan pidana tidak semata-
mata pembalasan atau penjeraan dan
pengasingan akan tetapi membina dan
mendidik atau memperbaiki narapidana agar
kelak menjadi orang yang baik dan berguna
bagi masyarakat namun sifatnya masih
individual centered atau individual oriented
artinya pembinaan itu tertuju kepada
individu narapidana yang bersangkutan.
5.Teori Pembinaan di Tengah-tengah
Masyarakat.
Dalam teori ini pembinaan terhadap
narapidana tidak hanya bersifat individual
centered atau individual oriented akan
tetapi pembinaan ini memasukkan unsur
masyarakat sebagai pusat tempat pembinaan
(community oriented treatment). Jadi
pembinaan ini menjadi tujuan pidana.
Teori ini merupakan pembinaan narapidana
secara wajar dengan nilai-nilai positif
masyarakat.
Teori ini sebenarnya merupakan landasan
teoritis pembinaan narapidana di Indonesia
sejak tahun 1964.
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie
(KUHP) Stbl 1915 No. 732 Jo 1917 No.497 Jo UU
No. 1 Th. 1946 Jo UU No. 73 Th. 1958 dan
berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945
(sekarang Pasal I Aturan Peralihan) serta Pasal I
Peraturan Presiden No.2 Th 1945 tanggal 10
Oktober 1945
Gestichten Reglemen (Reglemen Penjara )Stbl . 1917
No 708;
Dwangopvoeding Regeling (DOR) Stbl. 1917 No. 741;
Voorwaardelijke Invrerijheidstelling (V.I) Stbl. 1917
No. 749;
Regeling Voorwaardelijke Veroordeling Stbl. 1926
No. 487.
merupakan pelaksanaan dari pasal 29 KUHP.
SISTEM KEPENJARAAN
Tujuannya
Memperlakukan Nara
Pidana Sedemikian
rupa
Siterhukum Dengan cara yang
menjadi jera tidak
dan dapat manusiawi(berupa Pada tempat
bertobat penyiksaan dan
hukuman-hukuman
tertentu yang
menyadari badan lainnya) dinamakan
kesalahannya bangunan
Sistem yang
dipakai adalah penjara
sistem
Harapannya perlakuan
tujuannya adalah untuk “Melindungi
masyarakat dari segala bentuk
kejahatan”
apakah memang demikian kenyataannya ?
apakah masyarakat sudah terlindungi dari
kejahatan?
dan apakah mantan nara pidana yang sudah
kembali kemasyarakat tidak akan melakukan
kejahatan lagi?
Singkatnya apakah mereka dapat dijamin untuk
tidak menjadi residivist ?
Kegagalan Sistem Kepenjaraan
Penyebabnya ?
Balas dendam
Nara Pidana
Lingkaran setan
Kembali
Residivis Apa dampak buruknya ?
melakukan
Tindak pidana
Stigma baru
Diproses dalam
SPP menjadi Nara
pidana Kembali
sistem kepenjaraan diterapkan tanpa disertai dengan
proses-proses kepenjaraan (tidak adanya pentahapan
perlakuan terhadap nara pidana yang sudah benar-
benar menunjukkan rasa tobatnya) walaupun pada saat
itu sudah dikenal adanya lembaga Pelepasan Bersyarat
namun cara pemberiannya dilakukan dengan cara tidak
konsisten.
sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya kurang
mendidik para nara pidana, tapi hanya untuk mengisi
waktu belaka;
sikap apriori dan prejudice masyarakat
terhadap nara pidana lebih menambah
kegagalan dari sistem kepenjaraan dengan
memberikan cap bahwa penjara itu adalah
“sekolah tinggi kejahatan”;
dalam penerapan sistem kepenjaraan
tidak memperhitungkan atau tidak
mengikut sertakan partisipasi masyarakat
dalam sistem perlakuannya (terlalu
bersifat individual);
Re educatie dan resosialisasi sebagai jiwa
dari sistem kepenjaraan di dalam
penerapannya justru sama sekali tidak
mencerminkan jiwa dari sistem
kepenjaraan itu sendiri.
Secara sederhana sistem peradilan pidana atau
yang sering disebut dengan (Criminal
justice system) dapat dipahami suatu usaha
untuk memehami serta menjawab
pertanyaan apa tugas hukum pidana didalam
masyarakat dan bukan sekedar bagaimana
hukum pidana didalam undang-undang dan
bagaimana hakim menerapkannya.
Sub sistem kepolisian
Sub sistem kejaksaan
Sub sistem pengadilan
Dan sub sistem pemasyarakatan.
Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak
dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku
tindak pidana;
dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah,
apabila yang hendak dituju lebih luas yakni
pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam
konteks politik criminal (Criminal policy)
Tujuan jangka panjang , apabila yang hendak
dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (Social
Welfare)
Sistem ini mulai bekerja sejak adanya laporan/atau
aduan dari masyarakat tentang terjadinya
tindak pidana dari masyarakat. Setelah itu
polisi melakukan proses selanjutnya
(penagkapan dan penyelidikan dan penydsidikan)
selanjutnya pelaku diteruskan ke lembaga
kejaksaan, pemngadilan lalu dijatuhi putusan
dan terakhir pada pemasyarakatan.
SISTEM PERADILAN PIDANA
SUB SISTEM
SPP
MASYARAKAT
Dalam bukunya yang berjudul The limits of
the Criminal Sanction, Herbert L. Packer.
Menyebutkan ada dua model dalam proses
peradilan pidana (Two models of the
criminal process) yaitu : Crime Control
Model dan Due Process Model.
Karateristik dari CCM adalah efisiensi yang
mana proses criminal itu bekerja yaitu cepat
tangkap dan cepat adili (Asas Presumption of
Guilt) sedangkan DPM memiliki karateristik
adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk
menentukan kesalahan harus melalui suatu
persidangan (Asas Presumption of Innocence).
Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan,
posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan
akhir dari SPP, yaitu Rehabilitasi dan resosialisasi
pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan
kejahatan (Supresion of crime). Keberhasilan dan
kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh lembaga
pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-
kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif
maupun negative.
Penilaian itu positif manakala pembinaan nara pidana
mencapai hasil maksimal, yaitu bekas nara pidana
menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum.
Sedangkan penilaian itu negative manakala, bekas nara
pidana yang pernah dibina itu menjadi penjahat
kembali (Residivis)
Dengan dasar membela dan
mempertahankan “hak asasi manusia”
pada suatu Negara hukum (sipelanggar
hukum harus juga mendapat
perlindungan hukum), maka oleh
SAHARDJO S.H. (Menteri kehakiman
pada saat itu) pada tanggal 5 juli 1963
telah dikemukakan suatu gagasan
“SISTEM PEMASYARAKATAN”
sebagai tujuan dari pidana penjara
Dalam pidatonya beliau memberikan
rumusan dari tujuan pidana penjara
adalah sebagai berikut :
“Di samping menimbulkan rasa derita
pada terpidana karena hilangnya
kemerdekaan bergerak, juga
membimbing terpidana agar
bertaubat, mendidik supaya ia
menjadi seorang anggota masyarakat
sosialis Indonesia yang berguna atau
dengan perkataan lain bahwa tujuan
pidana adalah pemasyarakatan.”
Dasar gagasan pemasyarakatan sebagai berikut
:
1. Tujuan pidana penjara adalah untuk
melindungi masyarakat dari segala
kejahatan.
2. Bertobat itu timbul bukan karena paksaan
atau penyiksaan akan tetapi karena
bimbingan atau pembinaan.
3. Pidana bukan merupakan balas dendam dari
negara.
4. Negara berkewajiban untuk mengembalikan
terpidana ke dalam lingkungan masyarakat
menjadi anggota masyarakat yang berguna.
5. Tiap orang adalah manusia dan harus
diperlakukan sebagaimana manusia
meskipun ia telah tersesat tidak boleh
ditujukan pada narapidana bahwa ia adalah
penjahat sebaliknya ia harus dipandang dan
diperlakukan sebagai manusia.
6. Tiap orang adalah makluk kemasyarakatan,
tidak ada orang hidup diluar masyarakat,
narapidana harus kembali kemasyarakat
sebagai warga masyarakat yang berguna.
7. Narapidana hanya dijatuhi pidana
kehilangan kemerdekaan bergerak artinya
hak-hak asasi tetap harus diperhatikan.
8. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan
Pancasila.
Adapun alasan menggantikan sistem
kepenjaraan ke dalam sistem pemasyarakatan
adalah :
Narapidana
PetugasLAPAS
Masyarakat
Tujuan sistem pemasyarakatan adalah :
Kejahatan Korban
Pelaku
Doc Ikamadewi