Hukum
Dosen pengampu:
Disusun Oleh:
Nama : Nurmeliyani
NIM : L1C018081
Prodi/Kelas : Sosiologi/C
UNIVERSITAS MATARAM
2021
1
DAFTAR ISI
2
PEMBAHASAN
1. Soerjono Soekanto
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis
dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum
dengan gejala-gejala lainnya.
2. Satjipto Raharjo
Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola
perilaku masyarakat dalam konteks sosial.
3. R. Otje Salman
Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
4. H.L.A. Hart
H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hokum. Namun,
definisi yang dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart
mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hokum memngandung unsur-unsur
kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum
yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem
hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan
3
tambahan (secondary rules). Aturan utama merupakan ketentuan informal
tentang kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pergaulan hidup sedangkan aturan tambahan terdiri atas :
a. Rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang
diperlukan berdasarkan hierarki urutannya,
b. Rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan utama yang
baru.
c. Rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang
perorangan untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa tertentu
apabila suatu aturan utama dilanggar oleh warga masyarakat.
B. Ruang Lingkup
Dalam beberapa hukum dan sosiologi sebagai sebuah disiplin intelektual dan bentuk
praktik professional memiliki kesamaan ruang lingkup. Namun, sama sekali berbeda
dalam tujuan dan metodenya. Hukum sebagai sebuah disiplin ilmu memfokuskan
pada studi ilmiah terhadap fenomena sosial. Perhatian utamanya adalah masalah
preskriptif dan teknis. Sedangkan sosiologi memfokuskan pada studi ilmiah
terhadap fenomena sosial. Meskipun demikian, kedua disiplin ini memfokuskan
pada seluruh cakupan bentuk-bentuk signifikan dari hubungan-hubungan sosial. Dan
dalam praktiknya kriteria yang menentukan hubungan mana yang signifikan
seringkali sama, yang berasal dari asumsi-asumsi budaya atau konsepsi-konsepsi
relevansi kebijakan yang sama.
Sosiologi hukum, mempunyai objek kajian fenomena hukum, dituliskan oleh
Curzon, bahwa Roscou Pound menunjukan studi sosiologi hukum sebagai studi
yang didasarkan pada konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial. Sementara
Llyod, memandang sosiologi hukum sebagai suatu ilmu deskriptif, yang
memanfaatkan teknis-teknis empiris. Hal ini berkaitan dengan perangkat hukum
dengan tugas-tugasnya. Ia memandang hukum sebagai suatu produk sistem sosial
dan alat untuk mengendalikan serat mengubah sistem itu.
Kita dapat membedakan sosiologi hukum dengan ilmu normatif, yaitu terletak pada
kegiatannya. Ilmu hukum normatif lebih mengarahkan kepada kajian law in books,
4
sementara sosiologi hukum lebih mengkaji kepada law in action. Sosiologi hukum
lebih menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif, sementara ilmu
hukum normatif lebih bersifat preskriptif. Dalam jurisprudentie model, kajian
hukum lebih memfokuskan kepada produk kebijakan atau produk aturan, sedangkan
dalam sociological model lebih mengarah kepada struktur sosial. Sosiologi hukum
merupakan cabang khusus sosiologi, yang menggunakan metode kajian yang lazim
dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosiologi. Sementara yang menjadi objek sosiologi
hukum adalah :
1. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social
Control. Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku
serta dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga
masyarakat sebagai mahluk sosial. Sosiologi hukum menyadari eksistensinya
sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakat.
5
2. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam
pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam tiap bentuk masyarakat,
termasuk pada masyarakat yang sedang mengalami proses pergolakan dan
pembangunan. Mencakup kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara
ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
Hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum
modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak
mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya
menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum
bisa berperan dalam mengubah bentuk pemikiran masyarakat dari pola pemikiran
yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.
3. Wibawa Hukum
b. Norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial
yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan
sebagai norma norma asing bagi rakyat.
6
c. Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya.
d. Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk
memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara itu.
e. Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku
untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang
seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum
yang berlaku.
7
Ciri manusia modern :
Rasional
Jujur
Tepat waktu
Efisien
Orientasi ke masa depan
Tidak status symbol (gengsi)
5. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya
rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum
Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan
Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit
yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat
mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata
tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka
yang berstrata rendah.
8
Kesadaran hukum masyarakat. Syarat kesadaran hukum masyarakat :
Tahu hukum (law awareness)
Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
Paham akan isinya (law acqium tance)
Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya
budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan
pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku.
Cara mengatasinya :
Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai
dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan
terhadap kerja lembaga lembaga negara.
9
Indicator kesadaran hukum :
pengetahuan hukum
pemahaman hukum
sikap hukum
pola perilaku hokum
10
Dengan demikian, masalah yang dapat diidentifikasi adalah: (1) Bagaimana
penegakan hukum terhadap pembajakan karya cipta melalui rezim UU hak cipta;
(2) Bagaimana indikator penegakan hukum hak cipta sebagai suatu sistem dalam
perspektif teori fungsionalisme struktural?
Dalam perspektif teori struktur sosial hanya melihat bahwa masyarakat adalah
strukturstruktur, sedangkan teori fungsional melihat kepada fungsi dan sistem,
saling ketergantungan, mempunyai fungsi masing-masing dan tidak dapat
digantikan dan berjalan dengan baik jika masing-masing fungsi seimbang, seperti
suatu organisme jika ada yang rusak maka semuanya akan rusak, fungsi-fungsi
ini tercipta karena terjadi dengan sendirinya dan sistem tersebut tidak diciptakan
oleh manusia tetapi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat (Yeahcaptain, 2018).
Oleh karena itu, pendekatan yang ideal adalah memadukan teori struktur sosial
dengan teori fungsional sebagaimana dikemukakan oleh Parson.
11
maka hukum tersebut hanya merupakan kaidah yang mati karena dalam
prakteknya tidak ditaati oleh warga masyarakat. Apabila hukum tersebut hanya
memiliki syarat sosiologis berdasarkan teori kekuasaan, maka kaidah tersebut
hanya aturan memaksa saja bukan norma hukum. Jika hukum tersebut hanya
memiliki secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan
hukum yang dicita-citakan.
Penegakan hukum terhadap pembajakan karya cipta melalui rezim hukum hak
cipta tidak efektif meskipun UU No 28 Tahun 2008 memberikan sanksi berat
karena penegakan hukum tidak hanya terletak pada aspek substansi hukum, tetapi
merupakan satu kesatuan sistem yang menyangkut juga aparat penegak hukum,
fasilitas pendukung, kesadaran hukum masyarakat dan budaya hukum.
Indikator Penegakan Hukum Hak Cipta sebagai suatu sistem dalam perspektif
Teori Fungsionalisme Struktural meliputi: Adaptation, harus menyesuaikan
dengan lingkungan hukum hak cipta itu berlaku. Goal attainment, memenuhi
tujuannya yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Integration,
merupakan satu kesatuan yang mencakup: hukumnya (undang-undang Hak
cipta), penegak hukum, fasilitas pendukung, masyarakat dan budaya (hukum).
Latency, memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, motivasi individu
maupun pola-pola kultural yang menopang motivasi untuk mentaati Undang-
undang Hak cipta. Dengan demikian, teori fungsionalisme struktural dapat
digunakan untuk mendeskripsikan bahwa penegakan hukum terhadap
pembajakan karya cipta dapat berjalan dengan baik apabila ke 5 (lima) indikator
penegakan hukum sebagai suatu sistem saling berhubungan dan saling
menunjang, sehingga hukum hak cipta menjadi efektif karena tujuan hukum
kepastian, keadilan dan kemanfaatan tercapai.
Salah satu teori dalam sosiologi, yang sangat banyak digunakan dalam analisis
sosiologi hukum adalah teori Interaksionisme Simbolik. Kita dapat menyebut
beberapa penulis yang menerbitkan buku tentang teori ini, seperti dari
12
penggagasnya yaitu George Herbert Mead (1932) dan kemudian dilengkapi oleh
Herbert Blumer (1969). Patut dicatat bahwa teori ini pada dasarnya
memfokuskan diri pada analisis perilaku individu dengan individu yang lain
dalam kelompok kecil. Teori ini tidak ditujukan untuk menganalisis masyarakat
dalam skala yang besar, seperti masyarakat adat atau masyarakat umum. Ia lebih
mencermati perilaku komunitas kecil yang memiliki keunikan tertentu dalam
interaksi sosial di antara mereka.
Tulisan ini tidak dirancang dalam rangka menjelaskan teori ini secara panjang
lebar. Biasanya, dalam perkuliahan sosiologi hukum, teori ini terbilang juga
jarang disinggung, antara lain karena alasan skala analisisnya yang mikro
tersebut, sementara fenomena hukum lebih berspektrum umum dan abstrak (in-
abstracto). Padahal, kajian teoretis demikian sangat berguna dalam mencerna
perkara-perkara unik yang telah diputuskan oleh pengadilan (in-concreto).
Tulisan ini sendiri dimaksudkan lebih sebagai pengenalan sekilas tentang teori ini
untuk melihat bagaimana aplikasinya pada satu fenomena sederhana.
Dalam pandangan teori Interaksionisme Simbolik, manusia adalah mahluk
pembuat atau produsen simbol; suatu pemikiran yang mengingatkan kita pada
pernyataan filosof Jeman dari kubu neo-kantian Ernst Cassirer bahwa manusia
adalah “animal symbolicum”. Segala sesuatu (objek) yang ada di dalam
kehidupan manusia mempunyai makna simbolik. Makna-makna ini tidak datang
dengan sendirinya, melainkan dihadirkan dan kemudian disepakati dan dijadikan
simbol. Simbol di sini dipahami sebagai tanda yang mengandung kesepakatan
makna. Oleh sebab itu, perilaku manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok bertitik tolak dari makna-makna simbolik dari objek itu tadi.
Sebagai contoh, kita menyaksikan ada tanda lalu lintas yang di bagian ujung
tiangnya terdapat lempengan berbentuk lingkaran dengan tanda huruf P yang
dicoret. Tanda itu adalah simbol, yang disepakati bermakna larangan untuk parkir di
seputar tempat itu. Kesepakatan ini diyakini sudah bersifat universal karena di
berbagai negara, tanda lalu lintas yang bermakna larangan parkir diberi simbol sama
seperti itu. Pembentuk hukum, khususnya peraturan perundang-undangan di bidang
lalu lintas dan angkutan jalan, mengadopsi makna simbolik ini dan menganggapnya
13
sebagai hasil kesepakatan juga. Simbol ini lalu disosialisasikan, diperkenalkan sejak
kecil kepada anak-anak yang pernah belajar tentang etiket berlalu lintas sampai pada
saat mereka dewasa nanti ketika akan mendapatkan surat izin mengemudi. Artinya,
makna simbolik dari tanda larangan parkir itu telah dihadirkan dalam interaksi
sosial.
Uniknya, dalam kenyataan kita menyaksikan tetap saja ada orang yang melanggar
tanda tersebut. Bahkan, kita menyaksikan mobil aparat penegak hukum (katakan
Kepolisian) ada yang kerap diparkirkan tepat di bawah atau di sebelah tanda
larangan tersebut. Mengapa hal ini dapat terjadi? Mengapa bisa terjadi ada satu
komunitas kecil, yakni aparat Kepolisian yang “berani” untuk tidak memberi contoh
yang baik dalam penegakan hukum?
Dalam rangka keperluan penegakan hukum dan penciptaan budaya hukum yang
sehat, teori ini memberi sumbangan pemikiran tentang kaitan antara aksi dan reaksi
dalam perilaku manusia. Polisi itu tahu benar makna tanda P yang dicoret itu. Tanda
ini ditujukan kepada umum (subjek normanya adalah setiap orang). Operator
normanya adalah larangan. Objek normanya adalah memarkirkan kendaraan.
Kondisi normanya adalah di sepanjang jalan tersebut. Karena tidak ada keterangan
waktu larangan pakir, seharusnya dipahami kondisi normanya tidak berbicara
tentang pembatasan waktu. Larangan parkirnya berlaku sepanjang waktu.
14
Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan
mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara
struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas
dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang
menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi
aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu
produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat
dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir
pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya
dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang
bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang
menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur
bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu
lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan
pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta
memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.
Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan
(constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling).
Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur system sosial untuk melebar masuk
kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-aktor individu, dan tidak ada
kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang
dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem-
sistem itu.
15
Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-
ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia
perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan
dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka
tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat
rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh
pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor
atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya
yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi
kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.
Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus
seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih
dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).
Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:
Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen
memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara
bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak,
yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.
Kasus yang mendukung konsepsi subjek sebagai agen aktif dan mengetahui banyak
hal secara konsisten telah dikemukakan Giddens, yang merupakan serang kritikus
Foucault yang paling lantang karena ia menghapus agen dari dari retetan sejarah.
Giddens mengambil pandangan Garfinkel (1967), berpendapat bahwa tatanan sosial
dibangun di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari dan memberikan
penjelasan (dalam bahasa) tentang aktor atau anggota masyarakat yang ahli dan
berpengalaman. Sumber daya yang diambil oleh sang aktor, dan dibangun olehnya
adalah karaker sosial, dan memang struktur sosial (atau pola aktivitas teratur)
menyebarkan sumber daya dan kompetensi secara sosial, yang berbeda dengan
menjadi subjek aksi dengan segala macam individu, beroperasi untuk
menstrukturkan apa itu aktor. Sebagai contoh, pola-pola harapan tentang apa yang
dimaksud dengan menjadi key person, dan praktik yang terkait dengan etnisitas,
mengkonstuksi seaorang key person sebgai subjek yang sepenuhnya berbeda.
16
Subjektivitas yang dititik beratkan pada etnisitas pada gilirannnya memberdayakan
kita untuk bertindak bedasarkan fakta sosial tertentu. Sejalan dengan itu, masalah-
masalah mengenai bagaimana seorang aktor bias memperngaruhi keadaan atau
bahkan kualitas lingkungan tak pelak turut menjadi kajian kotemporer yang juga
bisa dikaji secara mikro kemudian menjadi makro.
Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen
memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri.
Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor
individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui
cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui
aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-
aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah
harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan
menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-
aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut
kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan
walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang
mereka buat sendiri.
17
Dengan adanya beberapa teori dan Universal Declaration of Human Right 1948 yang
menjadi dasar perlindungan hukum terhadap hak cipta, maka dasar hukum pemberian
perlindungan atas kekayaan intelektual yang dimanifestasikan ke dalam satu bentuk
ciptaan menjadi semakin kuat karena perlindungan tersebut juga merupakan hak
asasi yang kedudukannya sama dengan hak untuk hidup dan hak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak.26 Namun kemudian yang menjadi persoalan, apakah
perlindungan terhadap suatu karya cipta dengan sarana penal (hukum pidana)
memiliki justifikasi yang kuat, sehingga dibenarkan adanya kriminalisasi terhadap
pelanggaran hak cipta.
18
Untuk menjawab persoalan di atas perlu dicermati Penjelasan Undang-Undang No.
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002) yang menyebutkan bahwa maksud
dari pembuatan undang-undang memberikan perlindungan terhadap hak cipta, yaitu:
1. Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya
yang kaya. Hal itu sejalan dengan etnik, suku bangsa, dan agama yang secara
keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan
budaya itu merupakan salah satu sumber dari kekayaan intelektual yang dapat dan
perlu dilindungi oleh undang-undang;
2. Indonesia telah ikut dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota
dalam Agreement Eshtablishing The World Trade Organization yang mencakup pula
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs) melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi
beberapa konvensi internasional lain yang terkait dengan hak cipta (property
right).27 Melihat pertimbangan kedua Penjelasan UUHC 2002 dapat disimpulkan
bahwa Indonesia dalam membuat rumusan UUHC mendasarkan pada ketentuan
TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right) yang
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.28 TRIPs
menentukan norma-norma dan standar substantif minimum mengenai bagaimana
perlindungan diberikan dan bagaimana perlindungan tersebut diaplikasikan.
Sepanjang tidak bertentangan dengan TRIPs, negara anggota dapat menerapkan
norma-norma atau standar substantif yang melebihi dari yang diharuskan oleh TRIPs
dalam hukum nasionalnya.
19
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
https://sosiopedia.com/definisi-sosiologi-hukum-dan-ruang-lingkupnya/
https://sosialsosiologi.blogspot.com/2012/12/konsep-konsep-sosiologi-hukum.html?
m=1
http://jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/view/12925/12173
https://business-law.binus.ac.id/2019/10/23/teori-interaksionisme-simbolik-analisis-
sosial-mikro/
https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-giddens/
https://fakhriab.wordpress.com/2018/06/15/pengertian-dan-ruang-lingkup-sosiologi-
hukum/
https://eprints.uad.ac.id/15921/1/6.%20BUKU%20SOSIOLOGI%20HUKUM.pdf
21