DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
DEWIKA HALAWA
SEMESTER : VI (ENAM)
` KELAS :A
DOSEN PENGAMPU:
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah kami. Makalah ini untuk memenuhi tugas matakuliah
Politik Hukum dengan judul PERKEMBANGAN KONFIGURASI POLITIK.
Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah, terutama kepada dosen saya bapak Amstrong Harefa. S.H.,M.H,
selaku sebagai dosen pengampu matakuliah Politik Hukum yang telah membimbing dalam
pelaksanaan tugas ini. Terlepas dari itu semua, kami meyakini bahwa tugas ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu saya memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kesalahan baik dari
susunan kalimat, kajian teoritas dan tata bahasa.Maka itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan tugas ini kedepannya agar lebih baik lagi. Kami berharap semoga
makalah ini dapat memberi manfaat kepada seluruh pembaca.
Penyusun,
Kelompok IV
i
DAFTAR ISI
Cover..................................................................................................................
Kata Pengantar.................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................ii
a. Latar Belakang....................................................................................1
b. Rumusan Masalah...............................................................................1
Bab II Pembahasan..........................................................................................2
a. Kesimpulan.........................................................................................12
b. Saran...................................................................................................13
Daftar Pustaka..................................................................................................14
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang menarik di
kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini memiliki ranah
yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan
norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum adalah wilayah “hitam putih” yang
salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards).
Sedangkan politik adalah ranah “kepentingan” sebagai corestone nya, “politic is a goal
attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan segala cara
untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan
tujuannya maka cara itulah yang ditempuh. Yang menarik justru antara kedua topik yang
berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Fungsi dan peran hukum
sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah
Indonesia ternyata telah terjadi tolaktarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis
dan konfigurasi politik otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan otoriterisme muncul
secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu konfigurasi politik?
2. Bagaimana sejarah perkembangan konfigurasi politik?
3. Bagaimana keadaan konfigurasi politik dan produk hukum pada periode demokrasi
liberal?
4. Bagaimana keadaan konfigurasi politik dan produk hukum pada periode demokrasi
terpimpin?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KONFIGURASI POLITIK
Konfigurasi politik adalah konstelasi kekuatan politik yang dinamis dan kemudian
mengarahkan bentuk-bentuk legalitas formal peraturan yang kemudian disebut produk
hukum. Konfigurasi politik terbagi menjadi dua yaitu konfigurasi politik demokrasi dan
konfigurasi otoriter. Secara teoritis, konfigurasi politik yang demokratis akan membentuk
produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan membentuk
produk hukum yang konservatif atau ortodoks. Namun pada pelaksanaanya, konfigurasi
politik dan hukum tidak memastikan keadaan yang sebagaimana sesuai dengan teori, karena
konfigurasi politik berjalan sangat dinamis sesuai dengan perwujudan nilai-nilai yang
sebagaimana diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep konfigurasi
politik demokratis dan konsep otoriter ditentukan berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem
kepartaian dan peranan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dominasi peranan
eksekutif, dan kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi
berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan
menafsirkan hukum. Untuk selanjutnya pengertian secara konseptual dirumuskan sebagai
berikut :
a. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka ruang bagi partisipasi
masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara.
Konfigurasi politik demikian menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi
yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis.
Oleh karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional
dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara. Pers terlibat dalam
menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman atau tindakan kriminalisasi lainnya.
2
lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak pemerintah,
sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol
pemerintah dalam bayang-banyang pembreidelan.
c. Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang mencerminkan
pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu maupun berbagai kelompok sosial,
sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.
d. Produk hukum konservatif atau ortodoks adalah karakter produk hukum yang
mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat dominan, sehingga
dalam proses pembuatannya tidak akomodatif terhadap partisipasi dan aspiasi masyarakat
secara sungguh-sungguh. Prosedur pembuatan yang dilakukan biasanya hanya bersifat
formalitas.
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik
secara bergantian antaraa demokratis dan otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan
karakter produk hukum yang berkarakter responsif populistik dan produk hukum yang
berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru
terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik
pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an
ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974
yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998)
antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter
responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demokratis
dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004
maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik. Setiap produk hukum merupakan
pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat
ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim,
semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu
3
setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.
1. Demokrasi liberal
Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi
Parlementer, atau yang dikenal juga dengan sebutan Demokrasi Liberal adalah sistem
kabinet parlementer. Sistem pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950
(Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950). Sistem
pemerintahan ini menetapkan bahwa kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung
jawab kepada parlemen. Sistem kabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan
suara (voting) yang digunakan dalam pemilihan umum (Pemilu), mosi, dan demonstrasi
sebagai bentuk rakyat dalam mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik
(Matroji, 2002:67).
Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa demokrasi
Liberal adalah sistem kabinet presidensial. Sistem kabinet presidensial berlandaskan pada
UUD 1945 (Undang-Undang Dasar tahun 1945) dan kekuasaan tertinggi negara ditempati
oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Sistem demokrasi ini menganut paham
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip
NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan
kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer,
sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesama anggota partai politik.
Pemerintahan pada masa Demokrasi Parlementer dijalankan oleh tujuh kabinet
dengan masa jabatan berbeda. Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir dengan masa
jabatan antara 6 September 1950 – 18 April 1951, Kabinet Sukiman dengan masa jabatan
antara 26 April 1951 – 26 April 1952, Kabinet Wilopo dengan masa jabatan antara 19
Maret 1952 –2 Juni 1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan masa jabatan antara 31
Juli 1953 – 24 Juli 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap dengan masa jabatan antara 12
4
Agustus 1955 – 3 Maret 1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dengan masa jabatan antara
24 Maret 1956 – 14 Maret 1957, dan Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dengan masa
jabatan antara 9 April 1957 – 10 Juli 1959 (Matroji, 2002: 69-70).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem yang
dianut oleh bangsa Indonesia pada tahun 1949-1959 adalah sistem demokrasi Liberal
yaitu sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari
kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari
proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang
kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan
pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam
konstitusi.
Berakhirnya demokrasi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Kegagalan Kontituante menetapkan UUD membawa Indonesia ketepi jurang
kehancuran. Keadaan Negara yang telah merongrong sejumlah pemberontakan menjadi
bertambah gawat. Atas dasar pertimbangan menyelamatkan Negara dari bahaya, Presiden
Soekarno terpaksa melakukan tindakan inkontitusional. Tindakan presiden tersebut
berupa pengeluaran dekrit yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tindakan itu
didukung oleh militer karena mereka sudah direpotkan oleh sejumlah pemberontakan
akibat krisis politik
Lebih lanjut dekrit presiden 5 Juli dikeluarkan dengan berbagai pertimbangan
diantaranya:
1. Anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 tidak memperoleh keputusan
dari Kontituante
2. Kontituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugasnya karena sebagian
3. besar anggotanya telah menolak menghadiri sidang.
4. Kemelut dalam Kontituante membahayakan persatuan, mengancam keselamatan
negera, dan merinangi pembangunan nasional (Matroji, 2002: 72)
Sedangkan yang menjadi keputusan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah:
a. Konstituante dibubarkan
b. UUD 1945 berlaku kembali sebagai UUD Republik Indonesia
5
c. Membentuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat(Matroji, 2002: 72).
2. Demokrasi Terpimpin
Yang menjadi ciri khas dari periode ini ialah dominasi yang kuat dari Presiden,
terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya
peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dalam mengemban tugasnya sebagai kepala
pemerintahan, Presiden mempunyai kuasa penuh dalam membentuk/menyusun kabinet,
kemudian melantik menteri-menteri yang ia susun untuk membantunya dalam mengurus
urusan kenegaraan. Dan pada periode ini, Soekarno memberi nama kabinetnya dengan
istilah Kabinet Gotong Royong.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi langkah awal mulai diterapkannya demokrasi
terpimpin dengan sistem presidensill. Dalam pandangan Soekarno, ada beberapa
ketetapan yang beliau jadikan sebagai pegangan dalam menjalankan demokrasi terpimpin
yaitu:
a. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang mana Dekrit tersebut berisikan agar
diberlakukannya kembali UUD 1945 dan dicabutnya UUDS 1950. Dan tanggal
tersebut dianggap sebagai awaldiberlakukannya Demokrasi Terpimpin dengan Sistem
Presidensill. (Dalam Hal Ini Penulis Lampirkan Naskah Dekrit Presiden 5 Juli1959
dibawah ini).
b. TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Soekarnosebagai Presiden
Republik Indonesia dengan masa jabatan seumur hidup
c. TAP MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk
mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi Lembaga-Lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai suatu usaha
untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat.
6
Pada masa awal diterapkannya Demokrasi Terpimpin, Soekarno ,banyak menuai pro-
kontra dari kalangan aparatur Negara ketika itu. Mereka mengganggap Undang-Undang
Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya
selama 5 tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan lima tahun tersebut (Undang-
Undang Dasar memungkin seorang Presiden untuk dipilih kembali). Selain itu banyak lagi
tindakan yang menyimpang dari ketetapan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun
1960 Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil dari
pemilihan umum tahun 1955, padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit
dijelaskan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong sebagai pengganti DPR yang lalu, ditonjolkan
peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan.
Lagi pula pimpinan DPR dijadikan menteri dan dengan demikian, ditekankan fungsi
mereka sebagai pembantu Presiden disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal ini
mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politica. Dalam rangka ini harus pula
dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada Presiden sebagai badan
Eksekutif untuk campur tangan di bidang lain dari pada bidang Eksekutif. Misalnya Presiden
diberi wewenang untuk campur tangan di bidang Yudikatif berdasarkan Undang-Undang No.
19/1964 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No.
14/1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat.
Penerapan hukum ketika itu lebih diarahkan terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak,
artinya UUD 1945 menjadi tolak ukur dalam menjalankan hukum tersebut. Maka pemerintah
cendrung untuk lebih berperan dalam mengelola Tiang ekstraktif dan distributive. Sejalan
dengan aturan tersebut, timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang
menyangkut hajat hidup rakyat banyak.Keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan
sekaligus mengontrol keberlansungan hidup rakyat Indonesia dalam segala bidang,
merupakan salah satu cara Soekarno dalam upaya menciptakan demokrasi social dan
demokrasi ekonomi. Sebab, salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam menumpas
paham Neo kapitalis dan Imprialis hanyalah dengan keikut sertaan pemerintah dalam
mengendalikan dan mengontrol segala bidang tersebut.
7
Pembubaran partai Masyumi dan PSI menjadi sejarah pahit bagi perkembangan partai
politik di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kwantitas partai politik yang berperan
sebagai tempat penyaluran tuntutan maupun aspirasi rakyat sudah berkurang. Pembubaran
kedua partai tersebut berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 17 Agustus 1960 No. 200 dan
201 Tahun 1960 dengan alasan bahwa: organisasi/partai tersebut melakukan pemberontakan.
Dengan adanya FN ketika itu seolah-olah berlaku sistem satu partai yang tidak
kentara. Melalui sistem satu partai yang tidak kentara inilah suatu gaya yang berdasarkan
orientasi terhadap nilai secara mutlak. Interpretasi pemerintahanlah yang selalu benar, tidak
ada tawaran lain dan tidak dikenalnya alternative lain. Kekuasaan individu terhadap tokoh
politik yang timbul setelah kurang lebih tahun 1963 menyebabkan penyaluran tuntutan
menjadi terhambat, kecuali penyaluran tuntutan dari kelompok-kelompok yang dapat
memberikan dukungan kepada elit politik yang berada dipemerintahan. Walaupun
penyaluran aspirasi dibatasi, namu dalam pratek tuntutan tetap lebih besar dari pada
kemampuan sistem.
Dalam mekanisme sistem politik demokrasi terpimpin ini belum ditata suatu
antisipasi seandainya tokoh politik tersebut tidak efektif dalammenjalankan roda
pemerintahan akibat suatu hal. Tekanan saluran tuntutan yang tidak tertampung dalam
kelembagaan, akhirnya Soekarno mencari keseimbangan melalui dukungan massa. Yang
8
pada akhirnya menyebabkan berakhirnya stabilitas politik yang telah terwujud dan terbina
selama periode tersebut.
Pada tanggal 25 Juli 1966 MPRS menyelenggarakan sidang umum, yang mana
agenda terpenting yang dibicarakan adalah pengukuhan Surat Perintah 11 Maret 1966 oleh
MPRS, dengan demikian Presiden Soekarno dengan alasan apapun tidak dapat menarik
kembali surat perintah tersebut. Puncak dari pemeretelan kekuasaan Presiden Soekarno
terjadi ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menggelar Sidang
Istimewa pada tanggal 1-12 maret 1967. Hasil utama SI MPRS 1967 adalah TAP MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno. Pasal 3 TAP MPRS dengan tegas menetapkan “Menarik kembali Mandat MPRS
dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan Negara yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam pasal 4 TAP MPRS yang sama, “
mengangkat Letnan Jendral Soeharto pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1967
sebagai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya
Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum.Maka dengan
keluarnya ketetapan MPRS tahun 1967 tersebut, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan
awal bahwa kedudukan kepala pemerintahan (Presiden) pada saat itu sudah berpindah tangan
dari Soekarno ke tangan Soeharto. Dan ini menjadi perjalanan akhir dari demokrasi
terpimpin ala Soekarno.
3. Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional, sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Cholisin,2013:101). Nilai-
nilai yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila merupakan nilai-nilai adat dan
kebudayaan dari masyarakat Indonesia secara umum.
9
4. mewujudkan rasa keadilan sosial
5. pengambilan keputusan dengan musyawarah
6. mengutamakan persatuan sosial dan kekeluargaan
7. menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional
Selain prinsip dasar tersebut, ada juga beberapa keunikan yang dimiliki Demokrasi
Pancasila dibandingkan dengan demokrasi yang lainnya. Beberapa keunikan tersebut ialah :
1. Pada cakupannya tidak terbatas dalam arti demokrasi politik, tetapi juga mencakup
demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
2. Pada spirit yang dikandungnya yakni religius, humanis,kolektivisme/kekeluargaan
Dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila nilai-nilai religius dalam sila pertama,
humanis dalam sila dua, tiga dan lima dan kolektivisme/kekeluargaan dalam sila keempat
Pancasila, dapat menjadi dasar dalam masyarakat hidup sehari-hari. sila-sila dalam Pancasila
inilah yang tidak dapat ditemukan dalam negara yang menganut demokrasi di manapun.
10
11. Komitmen terhadap konstitusi
Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang didasarkan oleh asas
kebersamaan dalam perbedaan. Demokrasi ini muncul karena adanya dorongan dari
kemajemukan bangsa Indonesia.
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konfigurasi politik adalah konstelasi kekuatan politik yang dinamis dan kemudian
mengarahkan bentuk-bentuk legalitas formal peraturan yang kemudian disebut produk
hukum. Konfigurasi politik terbagi menjadi dua yaitu konfigurasi politik demokrasi dan
konfigurasi otoriter.Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut
dan pasang naik secara bergantian antaraa demokratis dan otoriter. Tarik menarik konfigurasi
politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsif populistik dan produk
hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif
12
masa ini undang-undang tentang Pemilu tidak pernah dibuat, karena Pemilu belum pernah
dilaksanakan.
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada seluruh pembaca dapat memahami
secara jelas tentang konfigurasi politik yang ada di Indonesia dan kita sebagai generasi
penerus hendaknya bisa mengimplementasikan produk hukum yang telah ada dengan
sebaik-baiknya. Dan didalam pembuatan makalah ini ada banyak kesalahan dan kekurangan
untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini dan juga presentasi kedepannya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Marpaung, Lintje Ana. Pengaruh Konfigurasi Politik Hukum Terhadap Karakter Produk
Hukum (Suatu Telaah Dalam Perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah Di
ndonesia).[Internet]. Tersedia di
(http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/PH/article/download/166/165&). Di Akses pada 17 May 2021 2
14