Buah gagasan Roscoe Pound ini rupanya banyak menarik perhatian Mochtar
semasa belajar di Amerika Serikat pada tahun 1950an. Pada masa itu, walau
sudah mendekati masa akhir kariernya, Pound masih dikenal sebagai pemikir
falsafati hukum yang berpengaruh besar sepanjang belahan pertama abad 20 di
Amerika Serikat, terutama berkenaan dengan kritik-kritik yang ditujukan
kepada para ahli hukum formalis. Membaca risalah dan makalah yang ditulis
sepulangnya dari masa belajarnya di Amerika Serikat, bolehlah dikesan betapa
Mochtar telah berbicara searah dengan apa yang selama ini dikemukakan
Pound sebagai the sociological jurisprudence. Tak pelak lagi, sejak awal
kariernya sebagai gurubesar ilmu hukum, tidaklah pemikiran Mochtar mungkin
dipisahkan dari perkenalannya dengan gagasan Pound. Namun demikian,
tidaklah boleh dikatakan begitu saja bahwa apa yang ditulis dan diajarkan
Mochtar di Indonesia ini adalah copypastegagasan Roscoe Pound.
Mungkin saja Mochtar beroleh inspirasi dari Roscoe Pound, nota bene seorang
guru besar yang lebih bisa dikualifikasi sebagai filosoof dan ilmuwan daripada
sebagai seorang juris apalagi lawyerprofesional. Pound adalah juga seorang
pembelajar hukum di suatu negeri yang menganut common law system yang
secara konstitusional amat menjamin independensi hakim, ialah untuk mencipta
hukum in concreto guna menghukumi suatu perkara, di mana dalam perkara ini
asas ius contra legem bukan sesuatu yang diharamkan. Sementara itu, Mochtar,
kecuali mengajar dalam kapasitasnya sebagai guru besar, nyata kalau banyak
juga dikenali sebagai seorang juris yang punya kantor pengacara, konsultan
hukum, diplomat perunding dan tak kurang-kurangnya juga beroleh kedudukan
sebagai pejabat negara. Menemukan dirinya dalam dunia kehidupan yang lebih
praktikal, kalaupun ada pengaruh pemikiran yang datang dari Pound, Mochtar
haruslah dicatat sebagai orang yang telah mencoba lebih “membumikan” apa
yang semula digagas Pound.
Berbeda dengan apa yang diajarkan dan dikembangkan para pemikir hukum di
negeri-negeri maju, oleh Roscoe Pound sekalipun, bagi Mochtar,
pendayagunaan hukum oleh Pemerintah, ialah eksekutif, sebagai sarana
merekayasa masyarakat adalah suatu kebutuhan yang amat dirasakan oleh
setiap negeri berkembang, seakalipun kebutuhan seperti itu tak terlalu terasa di
negeri-negeri industri yang telah maju, di mana hukum telah berfungsi sebagai
mekanisme yang bisa bekerja baik untuk mengakomodasi
perubahan-perubahan yang terjadi da;am masyarakat. Berbeda pula dengan
Pound yang memaksudkan law sebagai yang judge-made, dan yang oleh sebab
itu berada di ranah kendali kaum professional yang berkhidmat di ruang-ruang
sidang pengadilan, Mochtar dengan jelas dan tegas telah memberikan secara
konseptual kewenangan social control through law sebagai kewenangan politik
ke tangan eksekutif (yang pada zaman rezim Orde Baru amat mendominasi
badan legislatif, dan sekaligus juga acap tanpa banyak ayal suka mengobral
pembuatan berbgai Kep-Pres dan In-Pres yang berlegitimasi hukum nasional.
Dengan demikian, tanpa ragu, dengan pernyataan seperti itu Mochtar tak hanya
telah merekonseptualisasi hukum dari perannya sebagai pengatur tertib
kehidupan sosial (yang telah mapan) ke fungsinya sebagai perekayasa sosial
(demi terwujudnya pembangunan nasional), tetapi alih-alih begitu juga
telah men”transmigrasi”kan proses penciptaan hukum demi kepentingan
pembangunan nasional dari wilayah kewenangan yudisial (dengan ‘judge–
made law’nya)ke wilayah kewenangan legislatif, yang pada era Orde Baru
didominasi oleh kewenangan eksekutif). Secara tersirat, pengalihan kancah
pusat penciptaan hukum nasional di negeri inipun serta merta beralih karakter
pula, dari yang semula dikontrol oleh etika profesi