Anda di halaman 1dari 9

Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja

Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja merupakan Teori


Hukum Pembangunan yang sangat eksis di Indoensia, dan yang menjadi
salah satu penyebab eksisnya di Indonesia adalah karena Teori Hukum
Pembangunan tersebut diciptakan oleh orang Indonesia, dengan melihat
dimensi dan kultur masyarakat Indonesia yang Pluralistik. Teori Hukum
Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja juga memakai kerangka acuan
pada pandangan hidup masyarakat serta bangsa Indonesia yang meliputi
struktur, kultur, dan substansi, yang sebagaimana dikatakan oleh Lawrence
F. Friedman. Pada dasarnya memberikan dasar fungsi, hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat, dan hukum sebagai suatu sistem yang
sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai Negara yang sedang
berkembang.

Dimensi dan ruang lingkup Teori Hukum Pembangunan Mochtar


Kusumaatmadja adalah merupakan modifikasi dan adaptasi dari
Teori Roscoe Poundyaitu “Law as a Tool of Social Engineering”. Selain itu,
Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja juga dipengaruhi
cara berfikir Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal (Policy Approach).
Kemudian teori dan cara berfikir tersebut disesuaikan dengan kondisi yang
ada di Indonesia.

Laswell dan Mc. Dougal, dalam pemikiran mereka menyatakan bahwa


betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan
penstudi pada umumnya serta pengemban hukum praktis dalam proses
melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis,
namun di sisi lainnya juga bersifat mencerahkan. Selain itu dalam Teori
Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja ditambahkan adanya
tujuan Pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan
dari Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich. Dari hal-hal tersebut, terdapat
korelasi antara pernyataan Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama
antara penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu
melahirkan teori hukum, teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau
kegunaan praktis. Mochtar Kusumaatmadja juga secara cemerlang
mengubah pengertian hukum sebagai alat menjadi hukum sebagai
sarana, untuk membangun masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang
melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan
dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan,
bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan
dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan
sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh, Mochtar
berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari
hukum sebagai alat karena apabila konsep hukum sebagai “alat” maka
akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan
penerapan “legisme” sehingga penggunaannya terbatas karena hanya
merupakan alat.

Lebih detail maka Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa “Hukum


merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif
artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah
tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk
masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil
yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat
yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang
sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi
demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan
masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang
menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan
menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum
tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan”.
Dalam perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini
akhirnya diberi nama oleh para murid-muridnya dengan “Teori Hukum
Pembangunan” atau lebih dikenal dengan Madzhab UNPAD. Ada 2 (dua)
aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu :

1. Ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan


menghambat perubahan masyarakat.
2. Kenyataan di dalam masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan
alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.

Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok


hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan
syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum
adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,
menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai
ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia
di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan
bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal
tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban. Fungsi hukum dalam
masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk
menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana
pembaharuan masyarakat” dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
“Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat”
didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban
dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang
diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung
dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum
dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai
alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan
pembaharuan”.
Berdasarkan tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi
sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, yaitu :

1. Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau


pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan
dipandang mutlak adanya;
2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat
berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah
pembaharuan.

Pada bagian lain, Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan bahwa


“hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga dan proses yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan”. Pengertian
hukum di atas menunjukkan bahwa untuk memahami hukum tidak hanya
terdiri dari asas dan kaidah, tetapi juga meliputi lembaga dan
proses. Keempat komponen hukum itu (asas, kaidah, lembaga, proses)
bekerja sama secara integral untuk mewujudkan kaidah dalam
kenyataannya dalam arti pembinaan hukum yang pertama dilakukan
melalui hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan. Sedangkan
keempat komponen hukum yang diperlukan untuk mewujudkan hukum
dalam kenyataan, berarti pembinaan hukum setelah melalui pembaharuan
hukum tertulis dilanjutkan pada hukum yang tidak tertulis, utamanya
melalui mekanisme yurisprudensi.
Roscoe Pound, Mochtar dan Konsep ‘Law as A Tool of Social Engineering

Bersiteguh pada asas-asas teori hukum yang fungsional, sejak


awal-awal kariernya sebagai Gurubesar Ilmu Hukum, Mochtar menyatakan
dirinya sebagai eksponen sociological jurisprudence di dan untuk
Indonesia. Tak pelak lagi, paham Mochtar ini boleh diduga bersebab dari
bacaan-bacaannya yang intensif pada karya-karya Roscoe Pound, khususnya
buku yang berjudul Social Control Through Law, yang ia temukan semasa
belajar di Amerika Serikat pada tahun- 1955-1956. Pada masa-masa itu
teori-teori struktural-fungsionalisme tengah dominan dalam kajian-kajian
ilmu-ilmu sosial dan tak kurang-kurangnya juga masuk ke lingkar kajian ilmu
hukum yang sudah mulai beroptik ilmu sosial. Mencermati kenyataan ini, bila
orang hendak memperbincangkan alam pikiran Mochtar yang berakar tunjang
pada teori sociological jurisprudence,berikut paradigma fungsionalisme dan
adagium law is a tool of social engineering-nya, tak urung orang harus pulang
balik ke gagasan-gagasan keilmuan Roscoe Pound ini.

Roscoe Pound, dengan nama lengkap Nathan Roscoe Pound (1870–1964)


adalah seorang ilmuwan hukum Amerika yang antara tahun 1916- 1936 —
walaupun tak pernah menyandang gelar sarjana hukum, dan akan gantinya
meraih gelar Doktor Botani pada tahun 1898 — menjabat Dekan Harvard Law
School. Sebelum itu, pada tahun 1903, iapun menjabat Dekan di College of
Law Universitas Nebraska. Ikut bergerak dalam paham aliran realisme dalam
kajian hukum, ia mulai menuliskan gagasan-gasannya antara lain dalam
Spurious Interpretation (1907), Outlines of Lectures on Jurisprudence(1914),
The Spirit of the Common Law (1921), Law and Morals (1924), Criminal Justice
in America (1930), Social Control Through Law (1942) dan The Task of Law
(1944).

Dalam bukunya yang terbilang paling terkenal, Social Control Through


Law, Pound mengkritik para gurubesar ilmu hukum yang “formulates
conceptions and theories from which he deduces further conceptions and upon
them he builds a body of teaching which is obstinate, resisting to facts of life and
seeks to make life and nature conform to his theoretical model. Menurut Pound,
seperti yang dikatakan oleh A. Javier Trevino yang memberikan kata pengantar
pada buku Social Control Through Law penerbitan tahun 2002, ada 3 macam
etika sosial yang bisa diperbedakan menurut tujuannya, ialah demi kepentingan
individu, demi kepentingan publik, atau demi kepentingan sosial. Masih
menurut Pound, tujuan yang ketiga inilah yang dimaksudkan “to guide the
courts in applying the law” dan seterusnya “the theory of social interest” – dan
bukan those of individual or public interest — inilah yang menjadi “the
conceptual core of sociological jurisprudence”.

Buah gagasan Roscoe Pound ini rupanya banyak menarik perhatian Mochtar
semasa belajar di Amerika Serikat pada tahun 1950an. Pada masa itu, walau
sudah mendekati masa akhir kariernya, Pound masih dikenal sebagai pemikir
falsafati hukum yang berpengaruh besar sepanjang belahan pertama abad 20 di
Amerika Serikat, terutama berkenaan dengan kritik-kritik yang ditujukan
kepada para ahli hukum formalis. Membaca risalah dan makalah yang ditulis
sepulangnya dari masa belajarnya di Amerika Serikat, bolehlah dikesan betapa
Mochtar telah berbicara searah dengan apa yang selama ini dikemukakan
Pound sebagai the sociological jurisprudence. Tak pelak lagi, sejak awal
kariernya sebagai gurubesar ilmu hukum, tidaklah pemikiran Mochtar mungkin
dipisahkan dari perkenalannya dengan gagasan Pound. Namun demikian,
tidaklah boleh dikatakan begitu saja bahwa apa yang ditulis dan diajarkan
Mochtar di Indonesia ini adalah copypastegagasan Roscoe Pound.

Mungkin saja Mochtar beroleh inspirasi dari Roscoe Pound, nota bene seorang
guru besar yang lebih bisa dikualifikasi sebagai filosoof dan ilmuwan daripada
sebagai seorang juris apalagi lawyerprofesional. Pound adalah juga seorang
pembelajar hukum di suatu negeri yang menganut common law system yang
secara konstitusional amat menjamin independensi hakim, ialah untuk mencipta
hukum in concreto guna menghukumi suatu perkara, di mana dalam perkara ini
asas ius contra legem bukan sesuatu yang diharamkan. Sementara itu, Mochtar,
kecuali mengajar dalam kapasitasnya sebagai guru besar, nyata kalau banyak
juga dikenali sebagai seorang juris yang punya kantor pengacara, konsultan
hukum, diplomat perunding dan tak kurang-kurangnya juga beroleh kedudukan
sebagai pejabat negara. Menemukan dirinya dalam dunia kehidupan yang lebih
praktikal, kalaupun ada pengaruh pemikiran yang datang dari Pound, Mochtar
haruslah dicatat sebagai orang yang telah mencoba lebih “membumikan” apa
yang semula digagas Pound.

Berbeda dengan apa yang diajarkan dan dikembangkan para pemikir hukum di
negeri-negeri maju, oleh Roscoe Pound sekalipun, bagi Mochtar,
pendayagunaan hukum oleh Pemerintah, ialah eksekutif, sebagai sarana
merekayasa masyarakat adalah suatu kebutuhan yang amat dirasakan oleh
setiap negeri berkembang, seakalipun kebutuhan seperti itu tak terlalu terasa di
negeri-negeri industri yang telah maju, di mana hukum telah berfungsi sebagai
mekanisme yang bisa bekerja baik untuk mengakomodasi
perubahan-perubahan yang terjadi da;am masyarakat. Berbeda pula dengan
Pound yang memaksudkan law sebagai yang judge-made, dan yang oleh sebab
itu berada di ranah kendali kaum professional yang berkhidmat di ruang-ruang
sidang pengadilan, Mochtar dengan jelas dan tegas telah memberikan secara
konseptual kewenangan social control through law sebagai kewenangan politik
ke tangan eksekutif (yang pada zaman rezim Orde Baru amat mendominasi
badan legislatif, dan sekaligus juga acap tanpa banyak ayal suka mengobral
pembuatan berbgai Kep-Pres dan In-Pres yang berlegitimasi hukum nasional.

Lebih lanjut, kalaupun paham yang dinamai sociological jurisprudence itupun


berasal dari Roscoe Pound — yang dalam perkembangannya juga dikenali
sebagai aliran fungsional — namun demikian konsep Mochtar
tentang sociological jurisprudence ini nyata kalau lebih mengedepankan the
public interest yang direpresentasi pemerintah daripada the social interest yang
lebih merujuk ke kepentingan warga masyarakat yang tengah berperkara, dan
yang sehubungan dengan itu tengah mencari pemecahannya berdasarkan
petunjuk hukumyang diberikan hakim. Seperti yang tersirat dalam tulisan
Pound, bahwa “ law … as a bit wit of social engineering … should be applied in
the context of a judicial and administrative process … … (which) emphasizes the
ideal element of the law, which is absent in legal positivism.

Dengan demikian, tanpa ragu, dengan pernyataan seperti itu Mochtar tak hanya
telah merekonseptualisasi hukum dari perannya sebagai pengatur tertib
kehidupan sosial (yang telah mapan) ke fungsinya sebagai perekayasa sosial
(demi terwujudnya pembangunan nasional), tetapi alih-alih begitu juga
telah men”transmigrasi”kan proses penciptaan hukum demi kepentingan
pembangunan nasional dari wilayah kewenangan yudisial (dengan ‘judge–
made law’nya)ke wilayah kewenangan legislatif, yang pada era Orde Baru
didominasi oleh kewenangan eksekutif). Secara tersirat, pengalihan kancah
pusat penciptaan hukum nasional di negeri inipun serta merta beralih karakter
pula, dari yang semula dikontrol oleh etika profesi

Anda mungkin juga menyukai