Anda di halaman 1dari 7

Kasus Pelanggaran Etika

1. Sering Bolos, Seorang Polisi Dihukum Harus Menahan Malu

Ilustrasi anggota kepolisian. ANTARA/Noveradika

TEMPO.CO, Dompu - Berbagai cara bisa dilakukan oleh polisi guna memastikan
seorang bawahannya agar selalu disiplin. Dan, apabila ada penegak hukum yang dianggap
melanggar aturan, atasannya bisa ‘mendidik’ agar disiplin waktu. Hukumannya bisa hukuman
fisik maupun sanksi sosial.

Seperti hukuman yang dijatuhkan kepada Brigadir Yamin oleh Wakil Kepala Kepolisian
Resor Dompu Komisaris Etek Riawan. Brigadir Yamin harus berteriak melalui pengeras
suara yang telah disediakan. Suara polisi satuan tahanan dan barang bukti tersebut terdengar
hingga penjuru kantor Kepolisian Resor Dompu, Nusa Tenggara Barat. “Saya makan gaji
buta! Saya tidak pantas jadi polisi! Saya sampah masyarakat!"

Tak hanya sampai di situ, Brigadir Yamin harus lari keliling lapangan di halaman kantor.
Larinya pun harus memikul lonceng seberat 50 kilogram. Di tengah terik matahari pada
Sabtu, 18 Maret 2017, sekitar pukul 11.00, yang mulai menyengat kulit, ia berdiri di dekat
tiang bendera di tengah halaman.

Brigadir Yamin pagi itu memang kurang beruntung. Ia kena hukuman yang berat dari
Komisaris Etek Riawan. Gara-garanya, Yamin ketahuan tak masuk kerja lebih dari dua
pekan. Apalagi dia dianggap mengabaikan tiga kali panggilan atasannya. “Terpaksa kami
perintahkan Provost menjemput paksa di rumahnya,” kata Etek.
Brigadir Yamin dianggap melanggar disiplin Polri, seperti aturan Tri Brata, Catur
Prasetya, Visi dan Misi Polri, serta Visi dan Misi Kapolri. Inti aturan itu antara lain setiap
penegak hukum harus menjalani sepuluh budaya malu atas perilaku buruk.

Menurut Komisaris Etek, penegakan disiplin juga berlaku bagi polisi berpangkat brigadir
maupun perwira. “Sanksi terhadap polisi yang tidak disiplin bisa bermacam-macam, yang
penting bisa efektif dan menimbulkan efek jera” kata Etek yang mengaku tak mau
mentoleransi polisi, selaku penegak hukum, melanggar peraturan.

Pada Sabtu ini, Yamin harus menikmati panasnya matahari. Tertunduk malu dari
pandangan sesama polisi dan masyarakat. Dan, dia pun hanya diam ketika wartawan
memintai tanggapan atas hukuman yang harus dia jalani itu.

2. Dua Senator Tagih Tindak lanjut laporan Pelanggaran Sekjen DPD

Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentangkan poster sebagai bentuk
protes saat berlangsungnya Rapat Paripurna DPD RI di Gedung Nusantara V, Jakarta, 11 April
2017. Rapat Paripurna DPD ini beragendakan mendengar pidato pembuka masa sidang.
TEMPO/Dhemas Reviyanto

TEMPO.CO, Jakarta - Dua senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Nurmawati Dewi
Bantilan dan Muhammad Asri Anas, mendatangi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
untuk menagih tindak lanjut atas laporan mereka terkait dengan dugaan pelanggaran kode
etik serta perilaku Sekretaris Jenderal DPD Sudarsono Hardjosoekarto. Dalam keterangan
tertulis, dua senator tersebut mengatakan, dua minggu sejak laporan disampaikan, belum ada
tanggapan dari KASN.
“Laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Sekjen DPD ini seharusnya masuk
prioritas kasus yang ditangani KASN. Sebab, kasus ini menyangkut sebuah lembaga negara
yang sedang mengalami konflik akibat kepemimpinan yang tidak sah,” ujar Nurmawati.

Sebelumnya, senator asal Sulawesi Tengah itu bersama Anas telah menyambangi KASN
pada 5 Mei 2017 untuk melaporkan Sudarsono. Kedua senator diterima langsung oleh Ketua
KASN Sofian Effendi.

Dalam laporan itu, Nurmawati dan Anas mengungkapkan sejumlah tindakan Sudarsono
yang dinilai melanggar aturan serta kode etik aparatur sipil negara berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. UU itu menyebutkan pejabat sipil harus bersikap
netral, profesional, dan taat pada perintah hukum.

Anas—senator asal Sulawesi Barat—menuding Sudarsono sebagai pejabat sipil telah ikut
berpolitik dan berpihak kepada pimpinan DPD yang tidak sah. "Sekjen semestinya taat
kepada putusan Mahkamah Agung yang telah mengukuhkan kepemimpinan DPD selama
lima tahun dengan GKR Hemas dan Farouk Muhammad sebagai pemimpin. Tapi Sekjen
justru ikut arus kekuasaan politik dengan mendukung dan memberikan pelayanan kepada
Oesman Sapta Odang yang merupakan pemimpin tidak sah,” ujarnya.

Anas juga mengungkapkan ulah Sudarsono yang melobi Wakil Ketua Mahkamah Agung
Suwardi agar Mahkamah memandu pelantikan Oesman sebagai Ketua DPD. Tindakan
pelantikan Oesman serta dua wakilnya, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis, sedang
digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. GKR Hemas beserta sebelas anggota DPD
menjadi pemohon dalam kasus tersebut, sedangkan Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali
menjadi pihak termohon.

3. MKD Proses Laporan Tuduhan Pelanggaran Kode Etik Zulkifli

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Anggota DPR lainnya dalam sesi
pemotretan di depan Gedung Nusantara seusai melaksanakan Rapat Paripurna DPR RI,
Kompleks Parlemen Senayan, 28 Agustus 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD)
memverifikasi berkas laporan dugaan pelanggaran kode etik yang diajukan sekelompok orang
yang menamakan diri Kaukus Indonesia Hebat (KIH) terhadap Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan. Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad
mengatakan tim ahli MKD meneliti apakah perkara tersebut patut diproses lebih lanjut atau
tidak.

"Pada tanggal 5 Oktober 2015, pimpinan akan bahas semua laporan yang masuk, bukan
cuma soal laporan kepada Ketua MPR," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa,
29 September 2015.

Sebelumnya, KIH mengadukan dugaan pelanggaran kode etik Ketua MPR Zulkifli Hasan
saat berkunjung ke Cina beberapa waktu lalu. Mereka menuding Zulkifli melanggar kode etik
karena bertemu dengan pengusaha.

"Saya, Arif Rachman, dari Kaukus Indonesia Hebat meminta MKD menindaklanjuti
laporan. Ketua MPR bertemu dengan pengusaha untuk berbicara investasi. Padahal bukan
Kepala BKPM," ucapnya.

Wakil Ketua MKD Junimart Girsang menilai laporan Kaukus tak berarti ajang balas
dendam oleh kelompok yang tak menyukai Zulkifli setelah Partai Amanat Nasional merapat
ke pemerintah. Ia menuturkan MKD akan berlaku adil dalam memproses laporan yang
masuk. "Laporan kami tindak lanjuti. Tapi, kalau tidak memenuhi unsur pelanggaran etik, ya
tidak dilanjutkan," kata Junimart.

Zulkifli Hasan enggan menanggapi laporan tersebut. Menurut dia, hal itu tak menyangkut
kepentingan negara. "Orang lain sudah sampai ke ruang angkasa. Kita bicara yang lebih
pentinglah, jangan pop-dangdut," ucapnya saat ditemui di kantornya kemarin.

4. Kasus Fredrich Yunadi, Peradi : Ada Indikasi Pelanggaran Kode Etik

Tersangka dugaan menghalangi proses penyidikan Setya Novanto, Fredrich Yunadi, resmi
ditahan di rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, 13 Januari 2018.
TEMPO/Lani Diana
TEMPO.CO, Jakarta -Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
Hermansyah Dulaimi mengungkapkan ada indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan
pengacara Fredrich Yunadi. Menurut pengamatannya, dugaan pelanggaran itu dilakukan saat
Fredrich masih membela Setya Novanto dalam kasus e-KTP.

"Ada indikasi pelanggaran kode etik dan ada indikasi pelanggaran tata krama dalam
menjalankan tugas profesional," kata Hermansyah di Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Jakarta Pusat, Jumat, 26 Januari
2018.

Dugaan pelanggaran itu, kata dia, salah satunya saat mengirimkan surat permohonan
perlindungan hukum dari Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi untuk Setya pada 2017.
Fredrich pernah mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memiliki izin
Jokowi sebelum memeriksa kliennya.

Hermansyah berpendapat, tak ada ketentuan hukum yang mengharuskan KPK meminta
izin terlebih dulu untuk memeriksa tersangka, termasuk Setya. Sebab, tidak ada seorang pun
yang kebal hukum, apalagi bila diduga terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi.

Peradi saat ini tengah mengumpulkan data terkait ada tidaknya dugaan pelanggaran kode
etik advokat yang dilakukan Fredrich. Hermansyah sendiri tak sepakat dengan cara Fredrich
menjalankan tugasnya.

"Terlalu banyak omong dan over proteksi. Kita boleh bela klien tapi jangan keterlaluan
sampai mengorbankan segala macam," kata Hermansyah.

Pemeriksaan internal dari Komisi Pengawas (Komwas) Peradi masih berlangasung. Bila
terbukti ada pelanggaran kode etik advokat, Komwas akan menyerahkannya ke dewan
kehormatan Peradi untuk digelar sidang etik. Peradi tak menargetkan kapan pemeriksaan
internal itu diselesaikan.

"Kesulitan kami adalah kalau kami panggil (Fredrich) keluar kan tidak boleh," ujarnya.

Fredrich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice (OJ) atau menghalangi
proses penyidikan Setya oleh KPK pada Rabu, 10 Januari 2018. Ia diduga melanggar Pasal
21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK menduga Fredrich bersama dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh
Sutarjo, bersama-sama menghalangi proses penyidikan Setya. Mereka memanipulasi data
medis setelah Setya mengalami kecelakaan pada 16 November 2017.

Fredrich Yunadi resmi ditahan dan dibawa ke rumah tahanan KPK pada Sabtu, 13 Januari
2018. Dia ditahan di tempat yang sama dengan Setya Novanto.
5. Saut Vs HMI, KPK Dalami Dugaan pelanggaran Etika

Seorang aktivis dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melempar batu ke gedung KPK saat
melakukan aksi unjukrasa didepan gedung KPK, Jakarta, 9 Mei 2016. Mereka mendesak Saut
Situmorang meminta maaf atas pernyataannya yang menyinggung Himpunan Mahasiswa lslam
(HMI) saat acara "talkshow" di televisi. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

TEMPO.CO, Magetan – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo


mengaku telah menugasi Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat untuk
meneliti ada-tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan Saut Situmorang.

"Untuk melihat apakah yang bersangkutan ini memenuhi syarat untuk disidangkan di
majelis kode etik atau tidak,” kata Agus setelah menjadi narasumber dalam kelas inspirasi
reuni akbar alumnus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Magetan, Jumat, 13 Mei 2016.

Menurut dia, majelis kode etik terdiri atas tujuh orang. Dua di antaranya pemimpin KPK
dan lima lainnya dari luar lembaga tersebut. Merekalah nantinya yang bakal memberi sanksi
kepada Saut jika terbukti melakukan pelanggaran etik.

Disinggung tentang aksi anarkistis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat unjuk rasa di
depan gedung KPK pada Senin, 9 Mei 2016, Agus memilih jalur damai. Apabila diteruskan
ke jalur hukum, kata dia, permasalahan justru semakin panjang. "Kalau hal-hal semacam itu
dipermasalahkan, nanti enggak selesai-selesai,” ucapnya.

Unjuk rasa HMI ini mengakibatkan dua anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya yang
melakukan pengamanan luka-luka. Selain itu, kondisi muka gedung KPK berantakan lantaran
hujan batu yang terjadi waktu itu. Para aktivis menuntut Saut dipecat dari jabatannya sebagai
Wakil Ketua KPK.
Aksi ini dipicu pernyataan Saut dalam acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi
swasta bertajuk “Harga Sebuah Perkara” pada 5 Mei lalu. Saut menyinggung sejumlah kader
HMI yang terbukti melakukan korupsi ketika menjadi pejabat negara.

Berikut ini kutipan pernyataan Saut: "Lihat saja tokoh-tokoh politik. Itu orang-orang pintar
semuanya, cerdas. Saya selalu bilang, kalau dia HMI, minimal dia ikut LK 1, saat mahasiswa
itu pintar. Tapi begitu menjabat, dia jadi curang, jahat, greedy." LK 1 yang dimaksudkan Saut
merujuk pada Latihan Kader 1 atau jenjang pelatihan dasar di HMI.

Senin lalu, Saut menyampaikan permohonan maaf atas pernyataannya tersebut. "Saya
selaku pribadi tidak bermaksud menyinggung HMI atau lembaga lain sehingga menimbulkan
kesalahpahaman atau persepsi. Untuk itu, saya mohon maaf atas pernyataan tersebut. Sekali
lagi saya mohon maaf," kata Saut dalam konferensi pers di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai