Anda di halaman 1dari 12

ASAS FIKTIF POSITIF DAN FIKTIF NEGATIF DALAM KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

Posted 06/08/2019

Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara namun semenjak berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Administrasi
Pemerintahan (UUAP) juga memiliki kewenangan untuk memutus permohonan yang diajukan untuk
memperoleh putusan penerimaan. Hal ini merupakan kewenangan baru yang dibawa oleh Pasal 53 ayat (4)
UUAP. Pada pokoknya permohonan ini merupakan konsekuensi dari sikap diamnya Badan atau Pejabat
Pemerintahan, atas permohonan yang diajukan oleh Orang atau Badan Hukum Perdata. Sehingga, apabila
dalam jangka waktu tertentu Badan/Pejabat Pemerintahan tersebut berdasarkan kewajiban yang melekat
padanya, ternyata tidak menetapkan dan/atau melaksanakan suatu Keputusan/Tindakan Administrasi sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara hukum permohonan tersebut dinyatakan
dikabulkan dan dapat diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum (fiktif positif) sebagai akibat
permohonan tersebut tidak ditetapkan dan/atau tidak dilakukan dalam batas waktu kewajiban sebagaimana
diatur peraturan perundang-undangan atau dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah (vide pasal 53 UUAP).
Pemohon adalah pihak yang permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum akibat tidak ditetapkannya
keputusan dan/atau tidak dilakukannya tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dan karenanya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan putusan atas penerimaan
permohonan. Sedangkan termohon adalah Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mempunyai kewajiban
untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam permohonan
Pemohon.

Keputusan Fiktif negatif adalah apabila ada permohonan mengajukan (perizinan) kepada pejabat
pemerintahan untuk mengeluarkan sebuah keputusan atau tindakan, tetapi pejabat pemerintah yang
bersangkutan hanya diam saja, maka dianggap permohonan itu ditolak. Asas fiktif negatif yang dianut UU
PTUN (vide pasal 3 UU PTUN). Apabila ada pemohon mengajukan permohonan (perizinan) untuk melakukan
tindakan atau keputusan kepada pejabat pemerintah. Selanjutnya pejabat pemerintah yang bersangkutan
hanya diam tidak melakukan tindakan apapun. Maka, permohonan itu dianggap diterima atau dikabulkan.
Namun pemohon harus mendapatkan penetapan dari PTUN terlebih dahulu. Pemohon harus membuktikan
apa yang dimohonkannya itu di PTUN. Sikap diam Pemerintah, tentunya setelah lewat jangka waktu yang
ditetapkan, dalam konteks UU Peradilan Tata Usaha Negara diartikan sebagai penolakan atau disebut sebagai
KTUN Fiktif Negatif. Sedangkan, dalam konteks UU Administrasi Negara, sikap diam pemerintah dianggap
sebagai mengabulkan permohonan tersebut, sehingga kerap disebut sebagai KTUN Fiktif Positif.

Perihal pengajuan permohonan KTUN Fiktif Positif, Mahkamah Agung melalui Perma No.5/ 2015 yang
selanjutnya dicabut oleh Perma No.8/2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas
Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan/Pejabat Pemerintah, telah
mengatur mengenai prosedur permohonan dimaksud. Dalam Perma 8/2017, permohonan dapat tidak diterima
dalam hal: permohonan tidak memenuhi syarat formal; pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing); atau pengadilan tidak berwenang. Serta permohonan ditolak apabila alasan permohonan tidak
berdasarkan hukum. Adapun kriteria permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan
badan/pejabat pemerintahan, yaitu: Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat
pemerintahan; Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan; Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau
dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan Permohonan untuk kepentingan pemohon secara
langsung. Sedangkan permohonan dianggap gugur apabila Pemohon tidak hadir dalam persidangan dua kali
berturut-turut pada sidang pertama dan kedua tanpa alasan yang sah atau Pemohon tidak serius. Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa KTUN Fiktif Positif tidak berlaku secara otomatis, namun perlu
dilakukan upaya berupa pengajuan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan
Termohon. Permohonan pun dapat ditolak atau tidak diterima dengan berdasarkan alasan-alasan sebagaimana
telah diuraikan.
Selasa, 09 January 2018

Urgensi Perma Pelaksanaan ‘Fiktif Positif’ dalam PTUN

MA berharap Perma permohonan keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintah ini dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan cita-cita pembuat UU (Administrasi Pemerintahan).

Aida Mardatillahdung MA. Foto: SGP

Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA (Perma) No. 8 Tahun 2017 tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan
dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah. Beleid ini diteken Ketua MA M. Hatta Ali tanggal 7
Desember 2017 sebagai pelaksanaan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengatakan terbitnya Perma ini sebagai pelaksanaan Pasal 53
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan ini menerapkan asas ‘Fiktif Positif’
terkait keputusan atau tindakan pejabat pemerintah dlm rangka pelayanan publik utk memenuhi kebutuhan
masyakat dlm penyelenggaraan pemerintahan.
 
Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan permohonan (masyarakat) yang
tidak ditindaklanjuti oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan keputusan dan/atau tindakan,
dianggap dikabulkan secara hukum (fiktif positif). Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah pengadilan
yang berwenang memutuskan permohonan semacam ini.
 
Intinya, Perma ini mengatur proses permohonan atas dasar pelaksanaan Pasal 53 UU Administrasi
Pemerintahan yang diajukan ke PTUN. Mulai dari registrasi perkara, penjadwalan sidang, materi permohonan,
tata cara pengajuan permohonan, tenggang waktu pengajuan permohon ke pengadilan (PTUN), pemeriksaan
persidangan, pembuktian, dan putusan pengadilan.
 
Abdullah menerangkan terbitnya Perma ini untuk mengatasi perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara
hakim PTUN ketika mengadili permohonan yang tidak mendapatkan keputusan atau tindakan pejabat
pemerintahan yang putusannya bersifat final and binding. Sebab, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN
menyebut jika pejabat pemerintah (tata usaha negara) tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan,
sedangkan jangka waktu yang ditentukan UU sektor terkait telah lewat. Maka, pejabat pemerintah yang
bersangkutan dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan.  
 
“Jadi, terbitnya Perma ini intinya untuk menyeragamkan penerapan hukum formil (hukum acara) ketika
mengadili perkara permohonan tindakan/keputusan pejabat pemerintah di PTUN. Prinsip fiktif negatif (yang
diatur dalam UU PTUN) tidak memberi kepuasan publik. Karena itu, lahirlah ‘fiktif positif’ yang juga diatur
Perma ini,” kata dia.
 
Abdullah berharap Perma permohonan keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintah ini dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan cita-cita pembuat UU (Administrasi Pemerintahan).
“Yang menjadi catatan pula, Perma ini akan berakhir manakala RUU PTUN yang telah disinkronkan dengan UU
No. 30 Tahun 2014 telah diundangkan oleh pembuat UU,” katanya. (Baca juga: Tiga Tahun UU Administrasi
Pemerintahan)

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menjelaskan fiktif
negatif ialah apabila ada permohonan (perizinan) kepada pejabat pemerintahan untuk mengeluarkan sebuah
keputusan atau tindakan, tetapi pejabat pemerintah yang bersangkutan hanya diam saja, maka dianggap
permohonan itu ditolak. “Ini asas (fiktif negatif) yang dianut UU PTUN,” kata yang dihubungi Hukumonline.  

Sementara asas/prinsip “fiktif positif” yang termuat dalam UU Administrasi Pemerintahan, Arsil menjelaskan
asas itu kebalikan dari prinsip fiktif negatif. Misalnya, apabila ada pemohon mengajukan permohonan
(perizinan) untuk melakukan tindakan atau keputusan kepada pejabat pemerintah. Lalu, pejabat pemerintah
yang bersangkutan hanya diam tidak melakukan tindakan apapun. Maka, permohonan itu dianggap diterima
atau dikabulkan.
“Tetapi, dia harus mendapatkan penetapan dari PTUN terlebih dahulu. Dan dia harus membuktikan apa yang
dimohonkannya itu di PTUN. Untuk itu, mengapa proses ini perlu diatur dalam Perma,” katanya.  (Baca
juga: Apakah Sikap Diam Pejabat TUN Berarti Setuju?) 

Salah satu contoh perkara menggunakan prinsip “fiktif positif” terjadi dalam kasus permohonan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Padang. PTUN Padang telah mengabulkan gugatan LBH Padang terhadap Gubernur
Sumatera Barat. Dalam putusan yang dibacakan 20 Oktober 2017 lalu, majelis hakim mengabulkan
argumentasi fiktif positif yang digunakan pemohon berkenaan dengan pencabutan izin-izin pertambangan di
Sumatera Barat.

Awalnya, LBH Padang mengirimkan surat tertulis berisi permintaan agar gubernur menerbitkan keputusan
mencabut 26 izin usaha pertambangan (IUP) yang masih aktif atau yang belum habis masa berlakunya. Sebab,
pemberian IUP itu tidak sesuai peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan. Dalam gugatannya, LBH
meminta Gubernur Sumatera Barat mencabut 26 izin usaha pertambangan (IUP) tersebut. Baca Juga: Awas
‘Jebakan’ Penyalahgunaan Wewenang dalam Penerbitan Izin Pertambangan  

Putusan majelis hakim PTUN yang terdiri dari Harisman, Zabdi Palangan, M Afif ini, mengakomodasi prinsip
fiktif positif dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan prinsip ini, pejabat
tata usaha negara yang tak merespons permohonan warga atau badan hukum perdata berarti pejabat
bersangkutan menyetujui/mengabulkan permohonan itu. Namun, permohonan ini mesti dimohonkan kembali
ke PTUN untuk mendapatkan putusan/penetapan. (Baca juga: Gunakan Dalil Fiktif Positif, LBH Padang Gugat
Gubernur).

Putusan PA/KPA, Putusan TUN yang Dapat Digugat PTUN, Oktober 11, 2017 Samsul Ramli

Dari artikel “Putusan Pokja Bukan Obyek Sengketa Tata Usaha Negara” dan “SPPBJ, Putusan TUN yang
Tidak Dapat Digugat PTUN”  mengerucut pada bahasan putusan yang bagaimana, dalam proses pengadaan
barang/jasa, yang paling tepat digugat secara PTUN.

Organisasi Pengadaan Barang/Jasa

Sebelum membahas tentang putusan maka penting kiranya mengurai alur kewenangan dalam struktur
organisasi pengadaan barang/jasa. Perpres 54/2010 pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang Organisasi
Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia Barang/Jasa maupun Swakelola menempatkan
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) sebagai puncak dari struktur organisasi.

Pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia barang/jasa PA/KPA berwenang sebagai
pengambil keputusan akhir. Hal ini terungkap dari pasal 8 ayat 1 huruf i. menyelesaikan perselisihan antara
PPK dengan ULP/ Pejabat Pengadaan, dalam hal terjadi perbedaan pendapat. Kemudian pada Pasal 17 ayat (2)
huruf g angka 2 menyatakan, “Dalam hal penetapan pemenang Pelelangan/Seleksi tidak disetujui oleh PPK
karena suatu alasan penting, Kelompok Kerja ULP bersama-sama dengan PPK mengajukan masalah perbedaan
pendapat tersebut kepada Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk mendapat
pertimbangan dan keputusan akhir.” Dengan demikian tegas dalam organisasi pengadaan barang/jasa
pemerintah keputusan akhir ada PA/KPA.

Pejabat Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Pasal 1 angka 2 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan
atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang
berlaku.

Kemudian pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan (UU 30/2014) Pasal 1 angka 3 dan 5 menyebutkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun
penyelenggara negara lainnya yang diberi hak untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan menjadi ukuran untuk disebut sebagai Badan/Pejabat
TUN (R. Wiyono, 2009: 24).

Pada pasal 87 ditemukan pasal penghubung antara UU PTUN dan UU 30/2014 yang menyatakan dengan
berlakunya UU 30/2014, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU PTUN harus
dimaknai sebagai :

1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;


2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya;
3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. bersifat final dalam arti lebih luas;
5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Bisa disimpulkan bahwa pejabat tata usaha negara dalam konsepsi aturan PTUN dan Administrasi
Pemerintahan adalah Pejabat pelaksana urusan pemerintahan dilingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan
penyelenggara negara lainnya yang diberi hak untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Keputusan Tata Usaha Negara

Selanjutnya berbicara tentang keputusan yang memenuhi syarat sebagai keputusan TUN sebelumnya sudah
banyak dibahas. Bahwa menurut UU PTUN Pasal 1 angka 3 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Perlu juga diingat bahwa keputusan untuk tidak mengeluarkan putusan pun jika sudah merupakan
kewenangan pejabat TUN adalah juga sebuah keputusan TUN. Hal ini ditegaskan pada UU PTUN Pasal 3.
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Batas waktu mengikat
pada ketentuan batas waktu mengeluarkan putusan yang telah disepakati, jika tidak ditetapkan terlebih
dahulu maka maksimal empat bulan sejak diterimanya permohonan, maka dianggap telah keluar putusan
penolakan oleh Badan/Pejabat TUN.

UU 30/2014 pasal 1 angka 7 juga mencoba menegaskan bahwa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang
juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya
disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perluasan definisi final menjadi “bersifat final dalam arti lebih
luas” pada pasal 87 huruf d dijelaskan termasuk keputusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang
berwenang.

Dengan demikian definisi keputusan TUN tidak berubah dari definisi UU PTUN pasal 1 angka 3, namun
diperluas mencakup Perbuatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan
Administrasi Pemerintahan/K.TUN hingga tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
dalam melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret/faktual (Prof. Dr. HM. LAICA MARZUKI, S.H. :
2017).

Keputusan TUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara bersifat kongkret, individual dan final dan menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata termasuk putusan untuk melakukan dan/atau tidak melakukan
perbuatan konkret/faktual.

Tidak semua keputusan PTUN dapat digugat PTUN. UU PTUN pasal 2 menjelaskan bahwa tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;


2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Alur Penanganan Administratif Putusan TUN

Jika putusan kelompok kerja (Pokja)/Pejabat Pengadaan tidak dapat digugat PTUN. Kemudian putusan Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) juga tidak dapat digugat PTUN. Bagi penyedia yang telah menjadi rekanan tentu
ranahnya adalah keperdataan. Lalu kemana penyedia barang/jasa pemerintah, selain rekanan,
yang notabene mempunyai risiko terbesar tidak puas atas putusan proses hasil pengadaan barang/jasa? Atau
kemana lewat jalur mana masyarakat yang tidak puas terhadap proses pengadaan menyampaikan
keberatannya?

Perbuatan tata usaha negara sebagaimana didefinisikan UU PTUN dan UU 30/2014 oleh Pasal 7 Ayat (2), huruf
f dan g UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan memberikan kesempatan kepada Warga
Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan serta wajib
memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian
paling lama 10 hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan.

Perpres 54/2010 telah menjamin hak-hak administratif penyedia barang/jasa atau para pihak diluar organisasi
pengadaan untuk menyampaikan keberatan atas hasil pengadaan melalui forum sanggah dan pengaduan.
Kedua saluran ini adalah filter berjenjang agar proses pengadaan tidak selalu berakhir di peradilan. Proses
peradilan baik itu peradilan umum atau peradilan PTUN diupayakan sebagai upaya akhir setelah upaya-upaya
yang disediakan dalam dokumen pengadaan telah dilakukan dan tidak juga memenuhi rasa keadilan.

Hal ini selaras dengan ketentuan UU 30/2014 BAB X tentang Upaya Administratif Pasal 75 Ayat (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa:

1. Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya
Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
2. Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas keberatan dan banding.

Jika seluruh upaya sanggah hingga pengaduan tidak juga memenuhi rasa keadilan maka masyarakat, dalam hal
ini salah satunya penyedia barang/jasa, dapat mengajukan keberatan dan banding kepada Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.

Disinilah diskusi mengemuka terkait siapa yang dimaksud dengan atasan pejabat dalam proses pengadaan
barang/jasa. Jika merunut UU 30/2014 pasal 75 ayat 1 maka fokusnya adalah keputusan atau tindakan.
Kemudian dalam pembahasan organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah pemegang keputusan akhir
adalah PA/KPA. Anggota Pokja meskipun secara struktural adalah organ dari Unit Layanan Pengadaan (ULP)
bukan bawahan dari PA/KPA, namun secara organisasi pengadaan barang/jasa dalam pengambilan keputusan
bertanggungjawab pada PA/KPA. Pokja/Pejabat Pengadaan diberi kewenangan untuk menangani keberatan
dari penyedia barang/jasa. Dalam melayani upaya administratif (keberatan), Pokja diberikan kewenangan
menerima dan menanggapi melalui forum sanggah.

PPK sebagai pejabat yang diberi hak untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam rangka terbitnya
sebuah perikatan, juga bertanggungjawab kepada PA/KPA. Berbeda dengan Pokja/Pejabat Pengadaan, PPK
tidak diberikan kewenangan melayani upaya administratif (keberatan) penyedia barang/jasa. Karena PPK
adalah pemegang kewenangan keperdataan dalam perikatan dengan rekanan pemerintah.

Dengan demikian segala tindakan pokja/pejabat pengadaan dan PPK, dalam rangka pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah, dari sisi administratif pemerintahan bertanggungjawab pada PA/KPA.

Warga Masyarakat, termasuk penyedia barang/jasa yang merasa dirugikan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan Pokja/Pejabat Pengadaan atau PPK, dapat mengajukan Upaya Administratif Banding kepada PA/KPA.
Meskipun pada Perpres 4/2015 forum sanggahan banding tidak lagi diperlukan dalam proses pengadaan,
namun hak untuk menyampaikan banding tetap dapat dilakukan berdasarkan UU 30/2014 pasal 75 ayat 2.
Perbedaannya upaya banding tidak dibebani biaya (pasal 75 ayat 5) dan tidak serta merta menghentikan
proses (Pasal 75 ayat 3) sebagaimana sanggah banding. Sampai titik ini jelas benteng terakhir upaya
administratif adalah upaya banding.

UU 30/2014 Pasal 76 ayat 3 Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh
Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Tentang mekanisme penanganan keberatan dan banding dapat dipelajari pada UU 30/2014. Poin utama artikel
ini adalah menjawab pertanyaan keputusan seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai keputusan TUN yang
dapat digugat melalui PTUN. UU 30/2014 Pasal 76 ayat 3 telah menjawab dengan tegas bahwa keputusan yang
telah melewati proses penyelesaian banding oleh atasan pejabat. Artinya keputusan penyelesaian banding
oleh atasan pejabat telah bersifat final. Dengan demikian pejabat tata usaha negara yang dapat digugat PTUN
adalah PA/KPA. Dimana terkait jabatan struktural PA bisa saja mengikat pada Kepala
SKPD/Kementerian/Lembaga.

Beberapa simpulan yang dapat diambil adalah:

1. Pejabat tata usaha negara adalah Pejabat pelaksana urusan pemerintahan dilingkungan eksekutif,
legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya yang diberi hak untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2. Keputusan TUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara bersifat kongkret, individual dan final dan menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata termasuk putusan untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret/faktual.
3. Tidak semua Keputusan TUN dapat digugat melalui Peradilan TUN.
4. Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan TUN dapat mengajukan upaya
administratif berupa keberatan kepada pejabat yang menetapkan atau banding kepada atasan pejabat
yang menetapkan.
5. Jika proses penyelesaian banding tidak dapat diterima maka masyarakat dapat mengajukan gugatan PTUN.
6. Pejabat tata usaha negara yang dapat digugat PTUN dalam proses pengadaan barang/jasa
adalah PA/KPA  atas keputusan TUN yang dijadikan obyek banding. Termasuk putusan untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret/faktual.

Demikian artikel terakhir dari trilogi Keputusana TUN dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah atas
pemahaman yang dibangun berdasarkan UU PTUN dan UU 30/2014. Semoga bermanfaat untuk telaah
selanjutnya dan tentu untuk mendapat penyempurnaan. Wallahualam bissawab.
Putusan Pokja Bukan Obyek Sengketa Tata Usaha Negara

Agustus 29, 2017 Samsul Ramli

Salah satu faktor yang menghambat proses pengadaan barang/jasa pemerintah, yang juga
berdampak pada pelambatan progres pembangunan, adalah langkah hukum prematur yang
ditujukan pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Langkah hukum prematur ini misalnya
masuknya proses pemeriksaan dugaan pidana sebelum adanya kontrak, adanya gugatan
perdata terhadap proses pemilihan penyedia, adanya gugatan PTUN terhadap proses
pemilihan dan lain sebagainya.

Pembahasan kali ini adalah terkait langkah hukum prematur terkait gugatan PTUN kepada
putusan yang dihasilkan oleh Kelompok Kerja (Pokja). Pokja sesuai ketentuan Perpres
54/2010 adalah salah satu organ pengadaan barang/jasa pemerintah yang bertugas untuk
melaksanakan proses pemilihan penyedia dengan output penetapan pemenang.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (UU 5/1986) sebagaimana
diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1
angka 9 yang berbunyi bahwa “.. Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata
usaha negara yang bersifat kongkret, individual dan final dan menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata..”

Definisi Keputusan TUN pada UU PTUN jika diurai setidaknya terdiri dari unsur-unsur
pokok yaitu:

1. Penetapan Tertulis
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
3. Tindakan Hukum yang Konkret, Individual dan Final
4. Berdampak Hukum Bagi Perorangan/Badan Hukum Perdata

1. Penetapan Tertulis

Produk pokja adalah surat penetapan pemenang. Dengan demikian jelas ini adalah sebuah
penetapan tertulis oleh Pokja.

1. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN

Apakah Pokja adalah Badan? Perpres 54/2010 pasal 15 ayat (3) Anggota Kelompok Kerja
ULP berjumlah gasal beranggotakan paling kurang 3 (tiga) orang dan dapat ditambah
sesuai dengan kompleksitas pekerjaan.

Perpres 54/2010 pasal 1 angka Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP


adalah unit organisasi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau
melekat pada unit yang sudah ada.
Dari kedua pasal ini tegas bahwa Pokja bukan badan tapi kepanitiaan. ULP lah yang pantas
disebut sebagai badan karena merupakan unit organisasi K/L/Pemda/Institusi. Penetapan
pemenang tidak diputuskan oleh Kepala ULP tetapi oleh Pokja sebagai tim atau kepanitiaan
dengan putusan minimal disepakati oleh ½ dari anggota pokja.

Apakah Pokja adalah Pejabat? Definisi pejabat yang diatur oleh Perpres bisa dilihat dari
Perpres 54/2010 pasal 16 ayat (3) menyebutkan bahwa Pengadaan Langsung dilaksanakan
oleh 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan. Artinya ketika disebut pejabat maka dilaksanakan
oleh 1 (satu) orang. Maka dari itu PPK pun disebut Pejabat Pembuat Komitmen karena
dilaksanakan oleh 1 orang.

Seperti yang diungkapkan Perpres 54/2010 pasal 15 ayat (3) bahwa Pokja terdiri dari minimal
3 orang dan berjumlah gasal. Ini menandakan bahwa Pokja bukanlah Pejabat melainkan
panitia. Sangat keliru jika kemudian disebut pejabat Pejabat Tata Usaha Negara, pejabat saja
bukan. Terkecuali ada Pokja Tata Usaha Negara, sayangnya tidak.

1. Tindakan Hukum yang Konkret, Individual dan Final

Tindakan hukum yang masuk dalam kategori tindakan hukum TUN harus memenuhi
keseluruhan dari 3 syarat, mengutip penjelasan UU 5/1986 dijelaskan bahwa:

1. Kongkret artinya obyek sengketa tidak bersifat abstrak, berwujud dan tertentu. Hasil
kerja Pokja berupa surat penetapan pemenang dan penyedia yang ditetapkan sebagai
pemenang, tidak bersifat abstrak, berwujud dan tertentu.
2. Individual artinya obyek sengketa tidak ditujukan untuk umum tetapi ditujukan
langsung kepada perorangan atau Badan Usaha Perdata. Surat Penetapan Pemenang yang
dipertanggungjawabkan pokja memenuhi syarat individual karena penetapan ini ditujukan
langsung kepada badan usaha perdata.
3. Final artinya putusan bersifat tetap dan mengikat. Disinilah bahasan paling debatebel.
Untuk itu perlu dibangun konstruksi pemahaman terhadap aturan yang tepat. Karena
pengadaan barang/jasa pemerintah diatur mutlak oleh Perpres 54/2010 maka pondasi
pemahaman harus berdasarkan Perpres 54/2010.

1. Ruang Lingkup Proses Pemilihan Penyedia:

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan


Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres
54/2010) Pasal 1 angka 39, disebutkan bahwa E-Tendering adalah tata cara pemilihan
Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua
Penyedia Barang/Jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan
cara menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan.

Dalam alur pikir Perpres 54/2010, ruang lingkup proses pemilihan penyedia diatur pada BAB
VI Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia Barang/Jasa, Bagian Kesepuluh tentang
Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa diatur dalam 11 Paragraf. Yaitu
sejak Pengumuman Pemilihan Penyedia Barang/Jasa (Pasal 73) sampai dengan Paragraf
Kesebelas Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 86). Ini berarti
menurut Perpres 54/2010 proses pemilihan penyedia barang/jasa adalah sejak pengumuman
pemilihan hingga penandatanganan kontrak.

Ruang lingkup tugas Pokja dalam pemilihan penyedia adalah sejak pengumuman pemilihan
penyedia hingga penetapan pemenang, setelah melewati masa sanggah atau setelah
sanggahan dijawab untuk kemudian diterbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa
(SPPBJ) oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Dengan demikian proses pemilihan baru dapat dinyatakan bersifat tetap setelah


diterbitkannya SPPBJ oleh PPK. Sebagai pertanda PPK telah setuju dengan penetapan
pemenang. Sebagaimana tertuang pada Perpres 54/2010 penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf g
angka 2 menyatakan, “Dalam hal penetapan pemenang Pelelangan/Seleksi tidak disetujui
oleh PPK karena suatu alasan penting, Kelompok Kerja ULP bersama-sama dengan PPK
mengajukan masalah perbedaan pendapat tersebut kepada Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) untuk mendapat pertimbangan dan keputusan akhir.”

Penetapan Pemenang bukan putusan final. SPPBJ adalah putusan final.

2. Sifat Penetapan Pemenang:

Penetapan Pemenang yang kemudian diumumkan Pokja masih bersifat sementara. Hal


ini bisa dilihat dari konten pengumuman penetapan pemenang. Sebagaimana dijabarkan
secara teknis pada Peraturan Kepala LKPP-RI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Perpres 70 Tahun 2012 bahwa Kelompok Kerja ULP mengumumkan pemenang
dan pemenang cadangan 1 dan 2 (apabila ada).

Dengan demikian tegas penetapan pemenang bukan satu putusan final/bersifat


tetap. Penetapan pemenang tidak dapat dijadikan dasar keyakinan bagi siapapun, baik
penyedia maupun masyarakat,
pasti akan ditunjuk menjadi penyedia. Penetapan Pemenang hanya berisi usulan calon
penyedia yang terdiri minimal 1 calon pemenang, maksimal 3 calon pemenang.

Putusan
pelelangan gagal yang ditindaklanjuti dengan evaluasi ulang, pemasukan penawaran ulang,
pemilihan ulang atau pemilihan batal pun juga demikian tidak bersifat final atau tetap.
Alasannya karena:

Pertama, karena masih merupakan bagian proses awal yang belum selesai.

Kedua, Perpres 54/2010 pasal 83 ayat (4) tegas melarang PA/KPA/PPK/ Kelompok Kerja
ULP memberikan ganti rugi kepada peserta Pelelangan/Seleksi/ Pemilihan Langsung bila
penawarannya ditolak atau Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung dinyatakan gagal.

1. Berdampak Hukum Bagi Perorangan/Badan Hukum Perdata

Setidaknya karena penetapan pemenang tidak memenuhi satu dari tiga syarat sebagai
tindakan hukum TUN, yaitu bukan merupakan putusan yang bersifat final/tetap, maka
mestinya penetapan pemenang belum berdampak hukum bagi penyedia.
Untuk itu meskipun penyedia merasa dirugikan akibat adanya penetapan pemenang,
tidak dapat melakukan gugatan ke PTUN. Karena PA/KPA/PPK/ Kelompok Kerja
ULP “Dilarang” memberikan ganti rugi kepada peserta Pelelangan/Seleksi/
Pemilihan Langsung bila penawarannya ditolak atau Pelelangan/Seleksi/Pemilihan
Langsung dinyatakan gagal (Perpres 54/2010 pasal 83 ayat (4)).

Tata cara penyedia menyalurkan hak ketika merasa dirugikan akibat penetapan pemenang,
telah diatur melalui tata cara administratif dalam dokumen pengadaan. Dan perlu juga diingat
baik-baik bahwa dokumen pengadaan telah disepakati, melalui sebuah pakta integritas, pada
saat penyedia mendaftar pada pemilihan. Hak ini adalah Hak menyampaikan Sanggah bagi
yang melakukan penawaran (Perpres 54/2010 Pasal 81) dan/atau Hak penyampaian
pengaduan kepada APIP dan LKPP (Perpres 54/2010 Pasal 117).

Justru ketika langkah sanggah dan pengaduan tidak dilakukan, kemudian penetapan


pemenang digugat melalui jalur PTUN, maka pada saat itu penyedia telah mengingkari Pakta
Integritas. Padahal pakta tersebut salah satunya berisi pernyataan hukum bersedia mematuhi
dokumen pengadaan dan mengikuti proses sampai akhir secara tertib.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa proses pemilihan penyedia, dengan output akhir
surat penetapan pemenang, bukanlan keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat final.
Untuk itu tidak selayaknya dijadikan obyek sengketa tata usaha negara.

Output proses pemilihan penyedia yang memenuhi syarat sebagai putusan tata usaha negara
adalah Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Karena SPPBJ adalah penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara (Pejabat Pembuat Komitmen) yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat kongkret, individual dan final dan
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Demikian bahan pemikiran saya dengan tujuan untuk memperkuat langkah-langkah hukum
para pihak. Tidak hanya untuk pelaksana pemilihan (Pokja dan PPK) terlebih lagi untuk
penyedia barang/jasa. Agar langkah hukum yang bertujuan untuk menghindari kerugian
justru lebih merugikan. Baik dari sisi biaya uang, waktu, pikiran dan tenaga. Langkah hukum
yang tepat terhadap obyek yang tepat akan menghasilkan value yang tepat bagi para pihak
dan negara.
Trima kasih atas pencerahannya. Sebelum penunjukan oleh PPK (SPPBJ), masih ada upaya
sanggah yang memungkinkan penetapan pemenang oleh pokja bisa batal/berubah =>
penetapan pokja BELUM FINAL.

Ada gugatan di PTUN karena penetapan pemenang dalam bentuk SK Pokja hanya
ditandatangani oleh ketua pokja, penggugat berpendapat seharusnya semua pokja tanda tangan
berdasarkan perpres 54/2010 “pokja menetapkan pemenang pelelangan”. Pokja berpendapat
bahwa penetapan dalam bentuk SK ditandatangani oleh ketua pokja berdasarkan BAHP yang
ditandatangani oleh semua pokja. Dan dalam spse v. 3 penetapan pemenang hanya bisa
dilakukan oleh ketua pokja.

Mohon pencerahannya. Tks.

Pak Heri: putusan apapun oleh Pokja bukanlah objek TUN baik yang di ttd oleh satu orang atau
lebih anggota Pokja. Soal penandatanganan juga bukan hal substansi untuk pelelangan
elektronik karena dengan telah diklik penetapan pemenang baik dalam versi 3.6 atau 4 maka
putusan penetapan telah berkekuatan hukum tetap. Artinya telah disetujui dan disepakati oleh
minimal dari 1/2 dari jumlah anggota pokja. Jika dalam materi gugatan mereka menyebutkan
“Ketua Pokja” maka secara tidak langsung mereka sebenarnya sepakat dan mengakui BAHP
yang Bapak ttd sebagai BAHP yang sah. Karena Ketua Pokja adalah wakil dari seluruh anggota
Pokja, untuk itulah ada Ketua Pokja. Silakan baca artikel tentang Ketua Pokja pada blog saya.
Terlepas dari itu ketika dalam BAHP tegas ttd Bapak sebagai Ketua Pokja berarti secara
FORMIL ttd tersebut mewakili anggota pokja yang lain dimana kebenaran MATERIIL-nya dapat
dengan mendatangkan saksi anggota pokja lain. Kecuali 2 anggota lain menyatakan tidak
sepakat maka akan jadi masalah tersendiri.

Karena dalam dokumen jelas ada kesalahan antara LDP dengan Tata cara mengevaluasi…
Kesalah lain adalah mensyaratkan tenaga ahli ber SKA padahal jelas pagu anggaran 1.4m untuk
kualifikasi perushaan kecil…
Mohon bimbinganya..mengongat sanggahan banding saya sudah diterima dan masih proses
menunggu jawaban…setidaknya biar saya ada gambaran langkah selanjutnya…tuntutan
sanggahan banding saya jelas…evaluasi ulang….atau tender dinyatakan gagal dan dilakukan
tender ulang…

Terimakasih pak samsul…

Bagaimana apabila setelah dilakukan sangahan secara online ditolak….dan sanggahan banding
juga ditolak…padahal jelas dokumen pemilihan salah…akan tetapi pokja dan Kpa menjawab
dokumen telah dianggap disepakati karena sudah dilakukan anwijzing…apakah kami bisa lanjut
gUgat ke PTUN dan meminta ganti rugi imateriil….terimakasih

Karena dalam dokumen jelas ada kesalahan antara LDP dengan Tata cara mengevaluasi…
Kesalah lain adalah mensyaratkan tenaga ahli ber SKA padahal jelas pagu anggaran 1.4m untuk
kualifikasi perushaan kecil…
Mohon bimbinganya..mengongat sanggahan banding saya sudah diterima dan masih proses
menunggu jawaban…setidaknya biar saya ada gambaran langkah selanjutnya…tuntutan
sanggahan banding saya jelas…evaluasi ulang….atau tender dinyatakan gagal dan dilakukan
tender ulang…

Terimakasih pak samsul…

silakan jika sanggahan banding jawabannya tidak memuaskan maka masuk ke wilayah
pengaduan ke APIP, Kepala Lembaga dan tembusan LKPP

Bisa dilakukan pengaduan ke APIP, Kepala Lembaga dan ditembuskan ke LKPP

Saya sedang menyusun gugatan. Rencana mau saya gugat keputusan Pokja ULP tentang
pemenang lelang. Menurut saya Pokja ULP nya bisa digugat karena semua PNS merupakan
pejabat pemerintah (http://www.duniakontraktor.com/2017/08/apakah-seluruh-pns-merupakan-
pejabat.html). Yg jadi masalah adalah penetapan pemenang oleh Pokja ULP belum final karena
bisa saja ditolak oleh PPK. Yg lebih tepat digugat yaitu SPPBJ yg diterbitkan oleh PPK.

Pengalaman saya, gugatan thd SPPBJ diterima oleh Majelis Hakim PTUN Banda Aceh. Saya
menang ditingkat pertama dan kalah saat banding. Saat itu saya tidak membuat memori
banding.

Utk sekarang ini, saya mau menggugat SK Pokja yg diterbitkan oleh Kepala Daerah. Alasan
hukum gugatan mengacu pada pada Pasal 17 Perpres Pengadaan Barang/Jasa.

Kalau begitu pendapat kita berbeda… utk SK pokja karena yg digugat Bupati sy pikir tepat
termasuk putusan TUN

Dalam hukum administrsi dikenal dengan upaya hukum represif dan preventif. Sifat sementara
dari penetapan pemenang lelang memberikan ruang bagi pihak-pihak penyedia jasa melakukan
upaya hukum preventif, yaitu melakukan sanggahan maupun sangahan banding. Mekanisme ini
harus dilalui dulu sebelum melakukan upaya hukum represif (gugatan KTUN). Jika tiba2
penyedia jasa melakukan upaya hukum represif, sudah pasti PTUN menolak gugatan KTUN
tersebut. Jika sanggahan banding tidak terima oleh pejabat maka langkah selanjutnya adalah
upaya hukum represif.
Saya sependapat dengan Pak Eusebius Purwadi,SH bahwa objek TUN adalah Keputusan TUN
yang melalui upaya administrasi (Pasal 48 UU PERATUN). Dengan demikian bahwa Putusan
Pokja adalah Obyek Sengketa Tata Usaha Negara yang harus melalui upaya administrasi (Pasal
48 UU PERATUN). Mohon Bapak agar membaca dan mempelajari UU
PERATUN. http://www.berandahukum.com

Silakan.. pemahaman saya tidak semua putusan administrasi adalah obyek sengketa TUN

Assalamu’alaikum, Pak Samsul


Pak Samsul, jika putusan Pokja bukan merupakan obyek TUN, apakah tindakan yang tepat
terhadap putusan pengadilan yang membatalkan putusan Pokja?

Terima kasih sebelumnya atas responnya, Pak Samsul.

Putusan pengadilan masih bisa dilakukan banding dan upaya hukum lebih tinggi lainnya

Anda mungkin juga menyukai