Anda di halaman 1dari 21

Artikel Hukum Ketenagakerjaan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING

DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA

Dosen Pengampu: Bpk. Martoyo, S.HI., M.H.

Disusun oleh:

Siti Zainab
NIM: S20162011
(No. urut absen: 30)

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN HUKUM EKONOMI ISLAM

PRODI MUAMALAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

Desember, 2018
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING

DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA

disusun oleh:

Siti Zainab
NIM: S20162011

ABSTRAK

Outsourcing merupakan sistem kerja dimana suatu perusahaan melimpahkan


sebagian pekerjaannya yang bukan termasuk pekerjaan inti dalam perusahaan tersebut
kepada perusahaan penyedia tenaga kerja ahli (perusahaan outsourcing). Dengan
adanya sistem kerja outsourcing maka perusahaan tidak lagi dihadapkan dengan
perekrutan karyawan yang lumayan rumit dan cukup menyita waktu serta biaya.
Banyak perusahaan yang lebih memilih sistem kerja outsourcing karena dianggap
lebih efisien, bahkan perusahaan milik Negara yaitu Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) juga banyak yang menggunakan sistem kerja tersebut. Mengenai hal yang
bersangkutan dengan outsourcing termaktub dalam Undang-Undang No.13 Tahun
2013 Tentang Ketenagakerjaan. Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis
kepustakaan. Tema yang diangkat dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing dalam Badan Usaha Milik
Negara. Dalam tema ini mengandung dua unsur pertanyaan, pertama: bagaimana
pelaksanaan sistem kerja outsourcing? Kedua: bagaimana perlindungan kerja bagi
tenaga kerja outsourcing di perusahaan BUMN?. Semua pembahasan tersebut
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Hasil dari penelitian
ini adalah pertama untuk mengetahui konsep pelaksanaan system kerja outsourcing,
kedua untuk mengetahui perlindungan hukum pada tenaga kerja outsourcing dalam
perusahaan BUMN.

Kata kunci: outsourcing, tenaga kerja, BUMN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era ekonomi global seperti saat ini teknologi semakin
berkembang pesat, sehingga dalam persaingan usaha pun semakin ketat.
Dalam hal ini, dunia usaha dituntut untuk menyesuaikan dengan tuntutan
pasar yang mengharuskan respon cepat dan fleksibel dalam pelayanan
pelanggan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan melakukan efisiensi dan
meningkatkan produktivitas.1 Dalam hal ini, maka muncul penerapan sistem
kerja outsorcing (alih daya), dimana ada sebuah perusahaan yang
menyediakan jasa tenaga kerja sesuai bidangnya masing-masing yang
kemudian perusahaan penyedia atau pemberi pekerjaan akan menyerahkan
atau mengalihkan pekerjaan penunjang perusahaan kepada perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja, dengan berdasarkan suatu perjanjian (kontrak)
yang disepakati dan dibuat secara tertulis. Dengan menggunakan sistem ini
perusahaan tidak perlu lagi mengurusi persoalan perekrutan karyawan yang
begitu rumit dan memakan waktu yang sangat lama.
Saat ini sudah banyak perusahaan-perusahaan yang menggunakan atau
memanfaatkan tenaga kerja outsourcing, bahkan perusahaan-perusahaan milik
pemerintah (BUMN) juga banyak yang memanfaatkan sistem kerja
outsourcing. Karena dengan memanfaatkan hal itu akan lebih memudahkan

1 Krisman Hara Sitompul, dan Y.C. Thambun Anyan Agus, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
Dalam Pelaksanaan Pemborongan Pekerjaan Pada PT Sari Bumi Kusuma Unit Industri Kumpai
perusahaan dalam meningkatkan dan memajukan perusahaan tersebut.
Apabila dilihat dari kenyataan yang terjadi, sampai saat ini banyak
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Bahkan dalam perusahaan berplat
merah pun (BUMN) yang seharusnya menjadi acuan dari perusahaan-
perusahaan swasta, juga masih banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan
tersebut yang membuat tenaga kerja outsourcing semakin terhimpit dalam
sebuah permasalahan ekonomi. Jika perusahaan ber plat merah yang
seharusnya menjadi acuan saja masih melanggar peraturan yang ada, lalu
bagaimana dengan perusahaan-perusahaan swasta yang akan mengacu pada
perusahaan-perusahaan milik Negara. Berbagai permasalahan yang terjadi
dalam perlindungan hukum bagi para tenaga kerja pada pelaksanaannya masih
kurang atau bahkan masih jauh dari harapan. Diluar peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan masih terdapat pengusaha yang membuat aturan
sendiri untuk kepentingan perusahaannya yang menyalahi aturan undang-
undang. Sehingga tidak memperhatikan hak-hak para tenaga kerja.2.
Dalam Undang-Undang ketenagakerjaan, outsourcing disebut juga
dengan pemborongan kerja. Ketentuan mengenai tenaga kerja outsourcing
diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
lebih tepatnya dalam pasal 64,65, dan 66. Undang-Undang ini merupakan
salah satu aturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan dengan tujuan agar
para pekerja atau buruh dapat terpenuhi hak-haknya dan mendapatkan
perlindungan hukum.3 Peraturan perundang-undangan ini mengatur segala
yang bersangkutan dengan sistem outsourcing meskipun belum secara
terperinci, namun sudah ada indikasi yang menghubungkan secara langsung
mengenai sistem outsourcing.

2 Endri Hastuti, 2017, Perlindungan Hukum TerhadapTenaga Kerja Outsourcing (studi kasus PT Lor
International Hotel Solo), Skripsi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 4

3 Nafila, Perlindungan Hak-Hak Buruh dalam Sistem Outsourcing: Sebuah “Kesenjangan


Penerimaan”, Universitas Pancasila Jakarta Selatan, Vol.8 No.2, Agustus 2017, hlm. 253
Permasalahan mengenai tenaga kerja outsourcing sudah lama terjadi,
namun sampai saat ini, penanganan dalam hal tersebut belum maksimal dan
masih banyak terjadi. Sehingga seringkali terjadi demo dari para tenaga kerja
untuk menuntut hak-haknya yang belum seluruhnya terpenuhi. Oleh karena
itu diperlukan adanya penelitian ilmiah yang lebih mendalam mengenai
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing agar tidak terjadi
penyimpangan ataupun penyelewengan terhadap hak-hak yang seharusnya
diperoleh pekerja outsourcing.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan diatas, maka dalam
karya tulis ilmiah ini akan dieumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan sistem kerja outsourcing?
2. Bagaimana perlindungan kerja bagi tenaga kerja outsourcing di
perusahaan BUMN?

C. Tujuan Penelitian
Pengajuan rumusan masalah tersebut diatas adalah dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui konsep pelaksanaan sistem kerja
outsourcing.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi tenaga kerja
outsourcing di perusahaan BUMN.

PEMBAHASAN
A. Tinjauan umum tentang ketenagakerjaan
Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 4 Kemudian
dalam Pasal 1 angka (3) juga diterangkan pengertian dari pekerja/buruh, yaitu
4 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.5 Maka dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa tenaga kerja
ataupun pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada orang lain
dengan mendapat upah atau bekerja untuk diri sendiri dengan tidak
mendapatkan uah atau imbalan. Tenaga kerja meliputi pegawai negeri, pekerja
formal, pekerja informal, dan orang yang belum bekerja atau pengangguran.
Dengan kata lain, pengertian tenaga kerja adalah lebih luas dari pada
pekerja/buruh.6
Sedangkan hukum ketenagakerjaan adalah suatu hukum yang
mengatur mengenai tenaga kerja. Peraturan mengenai tenaga kerja di
Indonesia telah dilakukan beberapa kali perubahan, yang pertama diatur
dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketentuan
Tenaga Kerja, kemudian di ubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan, kemudia diubah lagi dengan Undang-Undang No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mana UU No.13 tahun 2003
tersebut berlaku hingga saat ini. hukum ketenagakerjaan mencakup bidang
hukum kepegawaian (hukum yang mengatur tentanghubungan antara negara
dengan pegawai/pegawai negeri) dan bidang perburuhan (mengatur hubungan
anatara buruh dengan majikan).
Tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting
dalam pembangunan nasional, oleh karena itu perlu pembangunan
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja serta perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan norma yang ada. Perlindungan
terhadap tenaga kerja tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan kerja guna meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya namuntetap memperhatikan

5 Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

6 Asri Wijayanti, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2017), 1
kemajuan usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai tujuan khusus
yang tertuang dalam ketentuan pasal 4 UU No.13 Tahun 2003, yaitu:7
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan
daerah;
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan;
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut, maka perlu diadakan
perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan sebagaimana halnya
yang telah dicantumkan dalam Pasal 7-8 UU No.13 tahun 2003

B. Outsourcing dan pengaturannya


Outsourcing dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “alih
daya”. Dalam praktiknya, outsourcing adalah pengalihan sebagian atau
seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung
strategi pemakai jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi ataupun
sebuah unit dalam perusahaan.8 Jadi untuk pengertian outsourcing akan
berbeda tergantung dari strategi pemakai jasa outourcing. Pengertian
outsourcing secara sederhana yaitu pengalihan sebagian pekerjaan atau
seluruhnya yang merupakan kegiatan penunjang dalam suatu perusahaan
(pemberi pekerjaan) kepada perusahaan penyedia tenaga kerja ahli
(perusahaan outsourcing) dengan menggunakan perjanjian/ kontrak kerja
antara kedua perusahaan bersangkutan. Keuntungan bagi perusahaan yang
memberi/ menyediakan pekerjaan adalah mereka tidak lagi mengurus
rumitnya perekrutan pekerja penunjang yang memakan waktu dan biaya. Jadi

7 Ibid, 7

8 Komang Priambada & Agus Eka Maharta, Outsourcing Versus Serikat Pekerja, (Jakarta: Alihdaya
Publishing, 2008), 12
dengan adanya sistem kerja outsourcing memberikan kemudahan bagi suatu
perusahaan dalam mencari tenaga kerja ahli dalam bidang tertentu, juga
memperluas lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak berpendidikan tinggi,
karena memang tenaga yang dibutuhkan dalam sistem kerja outsourcing tidak
mengharuskan pendidikan yang tinggi, sehingga dengan ini akan mengurangi
banyaknya pengangguran yang ada. Namun adanya sistem ini juga tidak
menutup kemungkinan akan menciptakan kerugian terutama bagi pihak
tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Ketentuan mengenai outsourcing tidak
dicantumkan secara gamblang dalam UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, namun ketentuan outsourcing ini dalam UU
Ketenagakerjaan dikatakan sebagai penyerahan sebagian pekerjaan melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis, lebih tepatnya
outsourcing diatur dalam pasal 64, 65, dan 66.
Dari paparan diatas, maka dapat dikatakan bahwa outsourcing dari
segi hukum ketenagakerjaan mempunyai tiga unsur, yaitu:9
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan oleh perusahaan;
2. Kepada perusahaan lainnya; dan
3. Melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyedia
jasa pekerja/ buruh.
Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui
pemborongan pekerjaan (outsourcing), maka harus memenuhi ketentuan yang
ada pada pasal 65 UU No.13 Tahun 2003, dimana salah satu ketentuan
tersebut yaitu mengenai penyerahan pekerjaan penunjang dari suatu
perusahaan yang menyediakan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja dilakukan dengan menggunakan sebuat kontrak atau perjanjian
yang disepakati oleh kedua perusahaan tersebut. Perjanjian kerja yang
digunakan adalah salah satu dari dua jenis perjanjian kerja sebagaimana
berikut ini:
1. Pejanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
2. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)

9 I Nyoman Putu Budiartha, Hukum Outsourcing, (Malang: Setara Press, 2016), 75


Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai berikut:10

 harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa


Indonesia dan huruf latin
 tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja
 hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu
 tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap
 PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui
 Dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya boleh
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun
 Perpanjangan waktu PKWT diberitahukan secara tertulis
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan paling lama 7 hari sebelum
PKWT berakhir
 Pembaruan PKWT dapat dilakukan ketika sudah melebihi
masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya PKWT yang lama, dan
hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama 2 tahun
 PKWT yang tidak memenuhi ketentuan diatas maka demi
hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.

Sedangkan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah


sebagai berikut:11
 Dapat mensyaratkan masa percobaan paling lama 3 bulan
 Dalam masa percobaan tersebut pengusaha dilarang membayar
upah dibawah upah minimum yang berlaku
 Perjanjian kerja berakhir apabila: pekerja meninggal dunia,
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, adanya putusan
pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

10 Pasal 57,58,59 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

11 Pasal 60,61 Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


 Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
 Tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
berakhirnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan, atau hibah
 Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak
pekerja/ buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi
hak-hak pekerja/ buruh
 Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia,
ahli waris dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan
dengan pekerja/buruh
 Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.

Dari ketentuan-ketentuan yang yang terurai diatas bisa dilihat bahwa


kepentingan pekerja/ buruh lebih diutamakan, artinya pemerintah menjaga
kesejahteraan pekerja/ buruh dengan menjamin terpenuhinya hak-hak yang
memang seharusnya diperoleh. Dalam kenyataan saat ini masih banyak
perusahaan yang melakukan penyelewengan-penyelewengan dari peraturan
peundang-undangan yang berlaku.
Outsourcing tidak terjadi pada perusahaan swasta saja, tetapi juga
dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sudah banyak Badan
Usaha Milik Negara yang menerapakan sistem kerja outsourcing. Salah satu
contoh perusahaan perseroan (milik negara) yang melakukan outsourcing
adalah PT Garuda Indonesia (persero) Branch Office Denpasar dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja PT Shandi Putra Makmur yang dituangkan
dalam Perjanjian Jasa Penyediaan Tenaga Kerja antara PT Garuda Indonesia
(persero) dengan PT Shandi Putra Makmur No. DS/PER/DPSDM-2052/2008.
Sebagai ilustrasi terdapat banyak sekali kasus yang sudah menjadi
putusan pengadilan mengenai praktik bisnis outsourcing yang dilakukan
dengan cara melanggar peraturan-peraturan yang telah ada. Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.170/G/2007/PHI/PNJKT.PST.12 dalam
putusan tersebut majelis hakim mempertimbangkan bahwa Tergugat I
(Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh) telah melakukan praktik bisnis
sebagai penyedia jasa pekerja/ buruh dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.13 tahun 2003 jo
Pasal 2 Kep.101/Men/X/2004. Konsekuensinya sesuai ketentuan Pasal 66 ayat
(4) UU No.13 tahun 2003, demi hukum status hubungan kerja para penggugat
kembali menjadi hubungan kerja antara para penggugat (pekerja) dengan
Tergugat II (Perusahaan pemberi pekerjaan/ borongan) sehingga para
penggugat beralih menjadi pekerja Tergugat II dengan status PKWT.
Sedangkan putusan No.171/PHI/G/2007/PHI.PNJKT.PST.13 majelis hakim
memutuskan bahwa demi hukum hubungan kerja antara para penggugat
(pekerja) dengan Tergugat II (perusahaan pemberi borongan) dari PKWT
menjadi PKWTT. Karena praktik bisnis pemborongan pekerjaan yang
dilakukan bertentangan dengan Pasal 59 dan Pasal 65 UU No.13 tahun 2003.
Dari fenomena yang telah dipaparkan diatas, memang tampaknya
pengaturan mengenai outsourcing masih memerlukan perubahan-perubahan
untuk meningkatkan pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia. Karena
masih banya pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan tanpa
memperhatikan peraturan-peraturan yang telah ada. Sehingga diperlukan
peraturan yang lebih rinci dan lebih jelas mengenai outsourcing.

12 Surya Tjandra dan Marina Pangaribuan, Kompilasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Terseleksi 2006-2007, (Jakarta: TURC, 2008), 135-136

13 Ibid, 136-137
Adanya sistem kerja outsourcing ini mempunyai tujuan-tujuan
tertentu. Tujuan strategis dari suatu outsourcing yaitu bahwa outsourcing
digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kemapuan dan keunggulan
kompetitif perusahaan agar dapat mempertahankan dan meningkatkan pangsa
pasar. Oleh karena itu pekerjaan harus diarahkan pada pihak yang professional
artinya pada pekerja yang ahli dalam bidang yang bersangkutan dan lebih
berpengalaman dalam bidang tersebut dari pada perusahaan sendiri dalam
melaksanakan jenis pekerjaan penunjang atau bukan merupakan pekerjaan inti
dari perusahaan tersebut.14 Maksud dari tujuan strategis ini adalah dengan
melakukan outsourcing perusahaan ingin meningkatkan kemampuannya
dalam berkompetisi dan bersaing dengan perusahaan lain yang merupakan
pesaingnya atau hanya sekedar meningkatkan kemampuan kompetitifnya.
Kompetisi dalam perusahaan umumnya terjadi dalam tiga hal, yaitu
dalam harga produk, mutu produk, dan pelayanan dari pihak perusahaan itu
sendiri. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya sisten kerja outsourcing,
maka pekerja yang diborong tersebut bisa memberikan kontribusi dalam hal
meningkatkan kemampuan kompetitif perusahaan, khusunya dalam hal
pelayanan, karena system kerja outsourcing bukan merupakan pekerjaan inti,
maka kontribusi pekerja outsourcing hanya sebatas dalam pelayanan, untuk
peningkatan harga dan mutu produk merupakan pekerjaan inti, jadi pekerja
outsourcing hanya mendukung dalam hal tersebut.
Selain tujuan yang telah disebutkan diatas, system kerja outsourcing
juga bertujuan untuk mengefisienkan biaya produksi dan risiko pekerjaan.
Efisian biaya produksi disini maksudnya adalah perusahaan dapat mengurangi
biaya produksi dalam upah pekerja karena perusahaan hanya membayar pada
perusahaan outsourcing yang biasanya memang cenderung lebih murah dari
pada merekrut pekerja sendiri, juga mengurangi biaya pesangon bagi pekerja
outsourcing. Sedangkan risiko pekerjaan maksudnya adalah bahwa

14 I Nyoman Putu Budiartha, Op.Cit., 79


perusahaan sudah mengalihkan sebagian risiko pekerjaan pada perusahaan
outsourcing mengenai misalnya keselamatan kerja dan kesehatan kerja.
Terkait ha-hal itu sudah bukan menjadi tanggung jawab dari perusahaan
penyedia pekerjaan, melainkan menjadi tanggung jawab perusahaan yang
menyediakan tenaga kerja/ buruh tersebut (perusahaan outsourcing).
Berbicara mengenai outsourcing selain memiliki banyak manfaat dan
keuntungan-keuntungan sebagaimana uraian diatas, terdapat juga beberapa
risiko yang dapat dialami oleh perusahaan yang menganut system kerja
outsourcing. Seperti yang kita ketahui, seberapapun baiknya atau seberapapun
manfaat atau keuntungan yang ditimbulkan dari adanya system kerja
outsourcing, pasti juga ada kerugian-kerugian yang ditimbulkan, karena tidak
semua perusahaan yang melakukan outsourcing berhasil dalam meningkatkan
atau memajukan perusahaannya, tetapi juga banyak yang mengalami risiko-
risiko tertentu yang akan menghambat keberhasilannya. Risiko yang dapat
ditimbulkan oleh adanya outsourcing bisa dikategorikan sebagai berikut:15
1. Tidak tercapainya secara maksimal tujuan yang diinginkan
2. Tidak tercapainya sebagian dari tujuan yang diinginkan
3. Lambatnya pencapaian tujuan yang diinginkan

C. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing

Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan


melalui obyek hukum atau perlindungan yang diberikan kepada sesorang oleh
suatu hukum, ditunjukan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu
dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam
sebuah hak hukum. Dalam hukum “hak” disebut juga hukum
subyektif.Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum
yang diberikan oleh hukum obyektif, dalam hal hukum subyektif adalah
norma-norma, kaidah.16 Perlindungan hukum selalu terkait dengan eran dan
fungsi hukum sebagai pengatur dan perlindungan terhadap kepentingan
15 Richadus Eko Indrajit dan Richadus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana, 2003), 37-38

16 Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja
Outsourcing Berdasarkan Asas Keadilan, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
masyarakat. Bronislaw Malinowski dalam bukunya “Crime and Costum In
Savege”, mengatakan bahwa hukum tidak hanya beperan di dalam keadaan-
keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum
juga berperan pada aktivitas sehari-hari.17
Perlindungan hukum bagi pekerja sangat diperlukan mengingat
kedudukan pekerja berada pada pihak yang lemah.Perlindungan terhadap
pekerja dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja
dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja. Secara teori, dalam
hubungan Perburuhan Industrial Pancasila, ada asas hukum yang mengatakan
bahwa, buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang sejajar.Menurut
istilah perburuhan disebut partner kerja.Namun dalam praktiknya, kedudukan
keduanya ternyata tidak sejajar. Pengusaha sebagai pemilik modal mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan pekerja.Ini jelas tampak dalam
penciptaan berbagai kebijakan dan peraturan perusahaan”.18Mengingat
kedudukan pekerja yang lebih rendah dari majikan inilah maka perlu campur
tangan pemerintah untuk memberikan perlindunganhukum, agar keadilan
dalam ketenagakerjaan lebih cepat tercapai.
Kranenburg merupakan penganut teori Negara kesejahteraan.Menurut
dia, tujuan Negara bukan sekedar memelihara ketertiban hukum, melainkan
juga aktif dalam mengupayakan kesejahteraan warganya.Kesejahteraan dalam
hal ini mencakupi berbagai bidang, sehingga selayaknya tujuan Negara itu
disebut plural yakni upaya pencapaian tujuan-tujuan Negara itu dilandasi oleh
keadilan secara merata dan seimbang.19
Pemikiran teori negara kesejateraan ini diakomodir dalam pembukaan
UUD Negara RI Tahun 1945.Dengan demikian maka dalam konteks
hubungan kerja tersebut tidak lepas dari peran dan tujuan Negara sehinggga
dapat dicegah terjadinya eksploitasi oleh pihak pengusaha terhadap buruh
dalam hubungan kerja.Buruh sebagai pihak yang lemah, sarat keterbatasan
selayaknya mendapatkan perlindungan hukum, disamping wajib sebagai hak
konstitusional. Hak-hak yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional
buruh antara lain : dalam pasal 27 ayat (2) UUD 45 yang menyatakan, “Tiap-
tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.
Nasional “Veteran”)

17 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 16

18 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, (Jakarta: DSS Publishing, 2006), 102

19 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), 27
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu,
yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke
dalam sebuah hak hukum. Dalam ilmu hukum “Hak” disebut juga hukum
subyektif, Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum
yang diberikan oleh hukum obyektif (norma-norma, kaidah, recht).
Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraan, yaitu
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 huruf c UU Ketenagakerjaan.
Lingkup perlindungan terhadap pekerja/ buruh yang diberikan dan diatur
dalam UU Ketenagakerjaan adalah:20
1. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja.
2. Perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu hak dari
pekerja atau buruh seperti yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 86 ayat
(1) huruf UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu pengusaha wajib
memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja bagi para
pekerjanya. Perlindungan ini wajib diadakan dengan tujuan mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal dengan cara mencegah terjadinya suatu
kecelakaan atau sakit akibat kerja.
3. Perlindungan atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Perlindungan ini
maksudnya adalah perlindungan terhadap pekerja/ buruh yang berupa
santunan atau dalam bentuk pelayanan akibat dari peristiwa atau keadaan
yang dialami oleh pekerja/buruh berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil,
bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
4. Perlindungan atas upah. Upah merupakan aspek paling penting disini,
karena bagi setiap pekerja/ buruh yang bekerja yang diharapkan adalah
upah yang merupakan penghasilan bagi merea untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya dan memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah
penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya
sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan
keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Upah
yang dibayarkan kepada pekerja harus sesuai dengan Upah Minimum
Regional (UMR).
Kedudukan pekerja sebenarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi
yuridis dan dari segi sosial ekonomis. Dari segi sosial ekonomis, pekerja
memerlukan suatu perlindungan hukum dari pemerintah ataupun negara atas
kemungkinan adanya tindakan pengusaha yang semaunya sendiri. Bentuk

20 Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho, Op.Cit.,


perlindungan yang diberikan pemerintah yaitu dengan membuat dan
memberlakukan peraturan-peraturan yang mengikat pekerja/ buruh dan
majikan, mengadakan suatu pembinaan, serta melaksanakan proses hubungan
industrial. Hubungan industrial adalah proses terbinanya komunikasi,
konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan dan
komitmen yang tinggi dari seluruh yang ada di dalam perusahaan.21
Penyebab terbesar dari lemahnya keseimbangan hak dan kewajiban
para pekerja outsourcing adalah karena:22
1. Kurangnya lapangan pekerjaan yang menyebabkan banyaknya
pengangguran sehingga pekerja bersedia bekerja tanpa mengetahui dengan
jelas apa hak dan kewajibannya.
2. Pekerjaan yang diharapkan umumnya tersedia di lembaga-lembaga
atau perusahaan-perusahaan yang dalam penerimaan pekerja dilakukan
penjatahan dan seleksi ketat dan sesuai dengan keterampilan yang
dibutuhkan.
3. Sulitnya mendapatkan pekerjaan diduga berkaitan dengan
keterampilan dan pengalaman mereka yang baru menyelesaikan
pendidikan sangat terbatas, sedangkan lembaga perusahaan menuntut
keterampilan tertentu.
4. Pekerja kurang mengetahui Undang-Undang Ketenagakerjaan
sehingga mereka tidak mengerti bagaimana hak-haknya, apa-apa saja yang
termuat dalam perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa
waktu perjanjian yang dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian
kerja waktu tertentu.
5. Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya skill yang dimiliki
pekerja.Dalam produksi manufaktur selalu menggunakan alat teknologi,
pekerja tidakbekerja dengan mengandalkan pendidikan dan skill yang
dimiliki atau dapatdikatakan kualitas dari pekerja sangat rendah sehingga
bersedia digaji dengan lebihmurah tanpa memperhatikan hak-haknya sebagai
pekerja.
Perusahaan pemborong pekerjaan maupun perusahaan penyedia jasa
pekerja/ buruh harus menjamin perlindungan hukum atau member jaminan
terhadap hak-hak pekerja outsourcing. Wujud perlindungan hukum pekerja
outsourcing secara preventif adalah sebagai berikut:
1. Adanya persyaratan bahwa perusahaan outsourcing baik perusahaan
pemborong pekerjaan maupun perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
harus berbadan hukum kecuali terhadap perusahaan pemborong pekerjaan
dalam bidang tertentu masih diperbolehkan tidak berbadan hukum.

21 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 23

22 Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho, Op.Cit.,


2. Perjanjian outsourcing (kerja sama) antara perusahaan pemberi
pekerjaan dan perusahaan penerima pekerjaan harus dibuat secara tertulis
dan didaftarkan pada instansi yang berwenang yaitu Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
3. Hubungan kerja dalam outsourcing antara perusahaan penerima
pekerja (perusahaan outsourcing) dan pekerja harus dibuat dengan
perjanjian kerja secara tertulis dapat berbentuk PKWTT atau PKWT jika
memenuhi persyaratan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan
4. Persyaratan wajib memiliki izin operasional bagi perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang bersangkutan.
5. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
6. Perjanjian outsourcing yang dibuat secara tertulis antara perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemberi kerja sekurang-
kurangnya memuat tentang:
- Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa;
- Pengertian bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan
kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja atau buruh yang dipekerjakan
perusahaan penyedia jasa, sehingga perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh.
- Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus
menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh.
7. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong
pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
8. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan penerima pekerjaan sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan.
9. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh.
10. Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan maupun perusahaan
penyedia jasa tidak memenuhi persyaratan atau ketentuan tersebut diatas,
maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penerima pekerjaan beralih menjadi hubungan antara
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Dalam uraian yang panjang diatas, sudah barang tentu sebagai
pekerja/buruh sudah ada perlindungan hukum yang di atur dalam peraturan
perundang-undangan. Namun dalam kenyatannya masih banyak perusahaan
yang menyelewengkan peraturan tersebut demi meraup keuntungan yang
lebih besar lagi tanpa memikirkan kesejahteraan hidup dari para pekerjanya.
Terutama pada pekerja outsourcing lebih di sepelekan karena hanya bersifat
sementara. Bahkan dalam BUMN yang seharusnya menjadi panutan atau
acuan dari perusahaan-perusahaan swasta justru juga menyelewengkan dan
melanggar peraturan-peraturan yang ada.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suatu perusahaan boleh menyerahkan sebagian/seluruh pekerjaan
penunjangnya (pekerjaan yang bukan merupakan pekerjaan inti dari
perusahaan) kepada perusahaan yang menyediakan tenaga kerja ahli dalam
bidang tertentu yang dibutuhkan oleh perusahaan penyedia/ pemborong
pekerjaan. Pemborongan pekerjaan bisa dilakukan dengan salah satu dari
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Jadi dengan adanya sistem kerja outsourcing sudah tentu menciptakan
kemudahan atau keuntungan bagi perusahaan karena tidak lagi berurusan
dengan rumitnya perekrutan pekerja yang cukup memakan waktu dan biaya,
maka dengan system kerja ini cukup mengadakan perjanjian pemborongan
kerja dengan perusahaan penyedia pekerja/ buruh.
Outsourcing selain menimbulkan keuntungan juga menimbulkan
beberapa kerugian, terutama bagi para pekerja outsourcing itu sendiri, karena
dengan begitu mereka akan terus dilanda kekhawatiran dimana sewaktu-waktu
ia bisa di Putus Hubungan Kerja (PHK). Bukan hanya perusahaan swasta yang
menggunakan system kerja outsourcing namun juga perusahaan-perusahaan
milik Negara juga menerapkannya. Dalam perusahaan milik Negara (BUMN)
itu pun masih banyak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam
perjanjian kerja yang dibuat. Tindakan seerti itu seharusnya sudah diberantas
secara tuntas, tetapi upaya yang dilakukan oleh pemerintah masih saja belum
membuahkan hasil yang dapat membuat hidup pekerja/ buruh outsourcing
menjadi tenang. Karena hal itulah banyak tuntutan dari pekerja outsourcing
yang dituangkan dalam tindakan demonstrasi yang sering terjadi di Indonesia
setiap tahunnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.

Asri Wijayanti. 2017. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar


Grafika.

Endri Hastuti, 2017, Perlindungan Hukum TerhadapTenaga Kerja Outsourcing (studi


kasus PT Lor International Hotel Solo), Skripsi Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Franz Magnis Suseno. 1990. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT. Gramedia.

Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-
Hak Pekerja Outsourcing Berdasarkan Asas Keadilan. Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.

I Nyoman Putu Budiartha, 2016. Hukum Outsourcing. Malang: Setara Press,

Komang Priambada & Agus Eka Maharta, 2008. Outsourcing Versus Serikat Pekerja.
Jakarta: Alihdaya Publishing.

Krisman Hara Sitompul dan Y.C. Thambun Anyan Agus, Perlindungan Hukum
Terhadap Pekerja Dalam Pelaksanaan Pemborongan Pekerjaan Pada PT
Sari Bumi Kusuma Unit Industri Kumpai

Nafila. 2017. Perlindungan Hak-Hak Buruh dalam Sistem Outsourcing: Sebuah


“Kesenjangan Penerimaan”. Universitas Pancasila Jakarta Selatan. Vol.8
No.2.
Richadus Eko Indrajit dan Richadus Djokopranoto. 2003. Proses Bisnis Outsourcing.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Sehat Damanik. 2006. Outsourcing dan Perjanjian Menurut Undang-Undang Nomor


13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: DSS Publishing.

Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Surya Tjandra dan Marina Pangaribuan. 2008. Kompilasi Putusan Pengadilan


Hubungan Industrial Terseleksi 2006-2007. Jakarta: TURC.

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai