Anda di halaman 1dari 10

“MENGENAL PERSOALAN OUTSOURCING DALAM ELEMEN PERBURUHAN,

BENARKAH OUTSOURCING MENJADI BAGIAN DARI PRAKTIK KAPITALISME?”

Untuk memenuhi Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan

DOSEN PENGAMPU
Dr. Fithriatus Shalihah, S.H., M.H
DISUSUN OLEH
Safiera Auliya Yahya
2100024146

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia, sebagai subjek pengatur dalam menjalankan demokrasi, menjadi


penanggung jawab penuh atas terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh yang
fundamental adalah adanya proses dalam bidang ketenagakerjaan. Negara indonesia,
sepenuhnya melindungi tiap-tiap masyarakatnya dalam memperoleh pekerjaan sesuai dengan
aturan dan kebijakan didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, bahwa “tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” hal ini kemudian
yang seharusnya menjadi tonggak dalam pelaksanaan berbagai persoalan dunia
ketenagakerjaan.

Kedudukan pemerintah sebagai elemen penting yag memegang otoritas, sepenuhnya


berhak melindungi, menjamin, memenuhi dan menjaga hak-hak pekerja dalam bidang
ketenagakerjaan khususnya, berbagai persoalan yang terus menerus terjadi, alih-alih terkesan
seperti tradisi, keadilan dalam dunia pekerjaan belum berhasil dikembalikan sesuai dengan
kewajiban negara sebagai subjek penyelenggara kemanusiaan dan keadilan, fakta-fakta yang
ada, negara justru menjadi fasilitator bagi sebagian lembaga elite yang dinilai berhasil diberi
keluasaan terhadap perusahaan dalam mengatur seluruh permasalahan ketenagakerjaan.
Seperti diterapkannya praktek outsourcing. Dalam Undang-undang ketenagakerjaan Nomor 13
tahun 2003, dijelaskan bahwa outsourcing adalah penyerahan sebagian pekerjaan pada
perusahaan yang lain atau subkon. Penyerahan tenaga tersebut, dilakukan melalui adanya
perjanjian penyedia jasa pekerja, serta pemborongan pekerjaan. Dalam pengertiannya saja,
sudah memuat hal-hal yang sensitif, terkesan bahwa seluruh elemen buruh, merupakan halal
tenaganya untuk diperlakukan dan disediakan bagi perusahaan yang dengan leluasa mampu
mengatur persoalan ketenagakerjaan.

Pada dasarnya, penyedia tenaga kerja atau perusahaan yang menyediakan tenaga kerja,
haruslah berbadan hukum sebagai lembaga yang memiliki legalitas dalam menjamin hak-hak

1
tenaga kerja, aturan ini tertuang dalam Undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003,
sebagai persoalan syarat adanya perusahaan yang menyediakan tenaga kerja. Mengutip dari
Doni Judian, terdapat lima jenis persoalan yang kerap mengganjal para pekerja outsourcing,
yaitu :

1. Masalah pemberian upah yang rendah


2. Masalah kesenjangan sosial antara pekerja outsourcing dan pekerja tetap
3. Tidak ada jaminan masa depan
4. Ijazah dipegang oleh perusahaan penyedia jasa outsourcing
5. Terindikasinya hal-hal yang dinilai diskriminatif ditempat kerja.1

Keberadaan lembaga atau perusahaan yang menyediakan jasa ini, seharusnya


mampu mengurangi banyaknya angka pengangguran dan kemiskinan, bukan malah
menimbulkan berbagai fakta-fakta baru yang dinilai kapitalis dan diskrimantif terhadap
hak-hak pekerja atau buruh. Mengapa demikian? Jika dinilai begitu kapitalis, sebab sistem
ekonomi seperti perdagangan, industri dan alat-alat produksi, menjadi kendali dari pemilik
perusahaan, tiada lain dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar,
pemilik modal menjadi penguasa dalam menyelenggarakan kegiatannya untuk
memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Disitulah, pekerja outsourcing ini seringkali
tidak memiliki jaminan sosial dan hanya memperoleh hak yang tidak sepenuhnya, tetapi
justru seenaknya saja. Kemudian mengapa dinilai diksriminatif? Yang pertama, pekerja
outsourcing dilarang digunakan dalam proses produksi langsung dan kegiatan pokok. Yang
kedua, pekerja outsourcing diperbolehkan untuk kegiatan jasa penunjang, seperti catering,
security, supir, cleaning service, dan jasa penunjang perminyakan.2

1
Doni Judian, Tahukah Anda Tentang Pekerja Tetap, Kontrak, Freelance Outsourcing (Jakarta Timur, Dunia Cerdas),
hal. 163-165
2
Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati, Suhadmadi, Diskriminatif dan Eksploitatif, Akatiga-FSMPSI-FES, Desember
2010

2
B. Rumusan masalah

Dalam perkembangan penggunaan outsourcing di dunia pekerjaan, terlihat terus


menerus mengalami peningkatan. Namun, persoalan terkait didalamnya, juga menjadi
perkembangan yang dipermasalahkan, penerapan sistem outsourcing ini, cenderung
menjadi hal-hal yang dipersoalkan secara khusus, banyak sekali berbagai elemen
masyarakat yang menolak dan memilih untuk tidak diberlakukannya sistem ini, lantas, apa
benar bahwa outsourcing menjadi sistem yang kontradiktif dalam dunia pekerjaan? Atau
memang, hal-hal yang dialami tenaga kerja pada sistem ini, benar tidak memiliki jaminan
keadilan sosial? Maka, berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, yang menjadi
rincian persoalan dalam tulisan ini sebagai berikut :

1. Apa pengertian outsourcing?


2. Bagaimana mekanisme outsourcing ?
3. Apa yang manfaat dari adanya outsourcing?
4. Polemik dalam pelaksanaan outsourcing

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian outsourcing

Outsourcing adalah sistem yang menyediakan jasa pekerja, atau dikenal dengan sistem
kerja kontrak, dimana sistem ini seringkali dipandang sebagai tindakan yang memperluas
pengambilan hak keputusan terhadap pihak lain, dalam ketenagakerjaan, outsourcing diartikan
sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh
suatu perusahaan. (lalu husni, 2003: 177-178). Dalam Undang-undang ketenagakerjaan,
memang tidak disebutkan secara tegas mengenai pengertian dari outsourcing, namun
pengaturannya, dapat dilihat didalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, dimana
adanya suatu perjanjian kerja, dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana
perusahaan itu diperbolehkan menyerahkan beberapa pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan tenaga kerja yang dibuat secara tulisan.

Pengertian yang rinci mengenai outsourcing ini adalah, merupakan sistem atau bentuk
dari oerjanjian kerja yang dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja engan perusahaan penyedia
tenaga kerja atau outsourcing, yang mana perusahaan pemberi kerja meminta kepada
perusahaan penyedia tenaga kerja u tuk bekerja diperusahaan pemberi kerja, dengan membayar
upah dan menentuian waktu tertentu sesuai kesepakatan para pihak. Sementara, pekerja
outsourcing diambil dari tiap-tiap orang yang bekerja di perusahaan penyedia jasa kerja,
dengan menerima imbalan, kemudian tenaga kerja outsourcing ini, dialihkan kepada
perusahaan pemberi kerja melalui perjanjian tertulis. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.220/MEN/2007 tentang syarat
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

Revisi dalam Undang-undang Cipta Kerja, memiliki batasan-batasan dalam


pelaksanaan pekerjaan, dimana merujuk dan disesuaikan terhadap regulasi pemerintah didalam
pasal 66 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yang didalamnya mengatur alih daya. Dalam
Undang-Undang tersebut, sistem outsourcing dibatasi bagi pekerjanya untuk melakukan
pekerjaan diluar kegiatan pokok yang tidak berhubungan dengan proses produksi, kecuali

4
dalam hal kegiatan penunjang. Revisi didalam Undang-Undang Cipta Kerja, hal keterbatasan
pelaksanaan pekerjaan ini tidak dicantumkan terkait persoalan yang dilarang dilakukan alih
daya, namun alih daya hanya didasarkan pada waktu tertentu dan tidak tertentu. Dalam pasal
66 Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja, berbunyi “hubungan kerja antara perusahaan
alih daya dengan pekerja atau buruh yang dipekerjakannya, didasarkan pada perjanjian kerja
waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.

2. Mekanisme outsourcing

Perkembangan dari adanya perusahaan, menimbulkan persaingan yang kuat dalam dunia
industrial, hal itu bersal dari perkembangan ekonomi yang semakin global dan memiliki
kemajuan teknologi begitu luas dan cepat. Kemudian dampak dari pengaruh daya saing
tersebut, muncullah sistem kerja outsourcing yang memborong beberapa kegiatan dari
perusahaan ke perusahaan lainnya, yang dikenal dengan istilah perusahaan penyedia tenaga
kerja, kepada perusahaan pemberi pekerjaan.

Berdasarkan fakta-fakta yang terus bermuncullan, pelaksanaan outsourcing ini cenderung


menimbulkan kerugian bagi pekerja yang menggunakan sistem tersebut. Disebabkan adanya
hubungan kontrak yang membatasi persoalan formal maupun informal dalam dunia pekerjaan.
Karyawan outsourcing mengalami kontrak yang mengikat dirinya dalam persoalan waktu kerja
yang menentu dan ditentukan, kemudian upah lebih rendah daripada karyawan tetap, tidak
adanya jaminan sosial dan masa depan, dan lain-lain.

Apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja ingin menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaannya kepada perusahaan pemberi kerja, maka haruslah memenuhi syarat-syarat yang
berlaku, berdasarkan Pasal 65 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 jo Pasal 6 ayat (1)
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 220/Men/X/2004 tentang syarat-
syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.3

3
Hidayat Muharram, 2006

5
praktik dalam melaksanakan pekerjaan itu, haruslah memenuhi syarat-syarat diantaranya
sebagai berikut :

a. Perjanjian pemborong jasa tenaga kerja yang hendak melakukan pekerjaan


diperusahaan pemberi kerja, haruslah dibuat secara tertulis.
b. Pekerjaan yang merupakan kegiatan penunjang dari perusahaan pemberi pekerjaan,
harus memenuhi syarat, yakni apabila pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara
terpisah dari kegiatan pokok dan produksi, serta bagian itu merupakan bagian dari
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Sehingga jika dikerjakan oleh
tenaga kerja atau perusahaan lain, tidak menghambat adanya kegiatan pokok.
c. Pekejaan itu dilakukan melalui perintah langsung ataupun tidak langsung dari
perusahaan pemberi pekerjaan.

Syarat tersebut menjadi satu kesatuan bagi terlaksanakannya sistem itu, sehingga, jika salah
satu syarat tidak dipernuhi, maka hal itu tidak dapat di outsourcing kan.

3. Manfaat outsourcing

Saat kondisi pengangguran dan kemiskinan meningkat, peran perusahaan penyedia


tenaga kerja, menjadi hal yang diutamakan dan dibutuhkan, hal itu dikarenakan mampu
membantu mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, sehingga, sumber daya
manusia yang tidak memiliki kegiatan yang bisa mengurangi penderitaan mampu
mengontrol perbaikan dalam hidup. Meskipun kembali lagi terhadap syarat dan aturan
pelaksanaan sistem kerja outsourcing itu. Realitanya, banyak sekali penganggurang yang
tidak memiliki pekerjaan, dengan adanya perusahaan enyedia tenaga kerja, mampu
merekrut sumber daya manusia yang tidak memiliki pekerjaan itu, dan membantu
memfokuskan sumber daya manusia terhadap kegiatan inti bisnis.

Penerapan sistem kerja outsourcing, sebenarnya tidak melulu beerbicata tentang


persoala negatifnya, terkadang manfaat dari adanya sistem ini juga harus dimengerti,
terutama bagi perusahaan pemberi pekerjaan, mereka dapat menghemat biaya dengan cara
mempercayakan beberapa kegiatan pekerjaan kepada perusahaan penyedia tenaga kerja,
kemudian perusahaan pemberi pekerjaan juga dapat meningkatkan efisiensi dengan
memberikan kepercayaan tersebut. Dipastikan, kegiatan pekerjaan tersebut dapat dipantau

6
hingga terlaksanakan dengan baik, namun dalam melaksanakan sistem ini, juga perlu
diperhatikan terkait hak-hak dari tenaga kerja. Sehingga tidak timbul diskriminasi atau hal
yang mampu membatasi hak dari pekerja.

4. Polemik dalam pelaksanaan outsourcing

Pengaturan terkait outsourcing didalam pasal 64 pasal 65 dan pasal 66 Undang-undang


Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, sebenarnya sudah cukup jelas dan
sistematis, tetapi, tetap ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Dimana aturan yang baik,
mestinya diakui dan mampu diterima kalangan masyarakat sebagai pelaksananya, dengan
begitu, artinya segala yang diatur didalamnya, menuai kepercayaan dari masyarakat.
Sistem ini sebenarnya sudah dilaksanakan pada zaman kolonial Belanda melalui penerapan
tenaga kerja kontrak diberbagai perkebunan di pulau Sumatera dan Jawa.4.

Pelaksanaan sistem kerja outsourcing menuai dampak yang perlu diperhatikan, seperti
contoh adanya perbedaan upah antara pekerja kontrak dengan pekerja tetap, kemudian
tidak adanya jaminan masa depan dan jaminan sosial, keterbatasan dalam mengikuti
organisasi, serta adanya diskriminasi usia dan status perkawinan.

Mencoba membahas poin pertama, yakni adanya unsur perbedaan upah bagi pekerja
tetap dan pekerja kontrak, dalam hal ini, pekerja kontrak dalam melaksanakan
pekerjaannya dimana dilakukan ditemoat yang sama dan dengan waktu kerja yang sama,
tetap emndapatka upah yang berbeda, pekerja kontrak cenderung mendapatkan upah 14%
lebih rendah dengan rata-rata 17% lebih rendah dari gaji pokok pekerja tetap. Jika berbicara
terkait waktu yang ditentukan atau istilahnya kontrak, terdapat pelanggaran peraturan
mengenai hal itu, bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti perpanjangan yang dilakukan
lebih dari dua kalidan dalam beberapa kasus kontrak diperpanjang hingga belasan kali.
Sedangkan didalam aturan yakni Undang-Undang PKWT yang didasarkan ada jangka
waktu tertentu, dapat dilakukan hanya paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang
satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

4
Tim Kajian Akademis Independen, 2006

7
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Pengertian outsourcing
Jika mengacu pada peraturan yang berlaku, outsourcing dikenal dengan istilah pelaksanaan
kegiatan pekerjaan dari penyedia tenaga kerja, kepada perusahaan pemberi pekerjaan,
istilah ini disebut secara singkat dengan pekerja kontrak, dimana dalam kesepakatan antar
pihak, terdapat syarat secara tertulis berisikan waktu dan upah yang ditentukan.

2. Mekanisme outsourcing
Mekanisme dalam menerapkan sistem kerja ini, dilakukan dengan suarat perjanjian yang
dobuat secara tertulis oleh para pihak, yakni perusahaan penyedia tenaga kerja, perusahaan
pemberi pekerjaan, dan karyawan outsourcing. Didalam pelaksanaanya, menuai beberapa
keterbatasan yang dilarang dilakukan bagi karyawan kontrak itu, seperti tidak boleh ikut
serta dalam kegiatan pokok, kecuali kegiatan penunjang.

3. Berdasarkan fakta-fakta keadaan sosial, dimana jumlah pengangguran dan kemiskinan


terus meningkat, maka dibutuhkan adanya perusahaan penyedia tenaga kerja. Sehingga,
mampu mengurangi tingkat pengangguran,dan upah tersebit lambat laun akan mengurangi
tingkat kemiskinan, hanya terkadang, pemberian upah juga masih tetap menjadi hal yang
dipersoalkan karena berbeda dengan pekerja tetap pada umumnya.

4. Polemik dalam pelaksanaan outsourcing

Seperti yang sudah diuraikan, bahwa polemik dalam melaksanakan sistem ini menuai
persoalan yang dinilai malah kapitalis dan terdapat unsur diskriminatif. Perusahaan
pemberi pekerjaan justru diberikan keleluasaan dalam mengatur pemberian upah dan
waktu bagi pekerja kontrak, perusahaan pemberi pekerjaan tersebut bisa jadi memiliki
tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan memberikan upah

8
yang sekecil-kecilnya, bahkan untuk persoalan upah, faktanya adalah pekerja kontrak
memiliki upah sampai 24% lebih rendah dari pekerja tetap.

Anda mungkin juga menyukai