Anda di halaman 1dari 16

TRANSFER OF UNDERTAKING PROTECTION EMPLOYMENT (TUPE),

DAN JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM PADA PEKERJA


OUTSOURCING
Agusmidah
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
midahagus@gmail.com, mids76@yahoo.co.id
Pengaturan terkait pengalihan pekerjaan pada pihak lain (populer dengan
istilah outsourcing) pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 menetapkan dua
pola/model perlindungan terhadap pekerja/buruh yang diikat dengan hubungan
kerja ini. Satu di antaranya diambil dari model yang telah diterapkan di negara
Eropah khususnya, yaitu Transfer Of Undertaking Protection Employment
(TUPE). TUPE dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum,
utamanya jaminan atas kelangsungan bekerja di suatu perusahaan. Menteri
tenaga kerja dan transmigrasi telah pula mengeluarkan Peraturan No. 19 Tahun
2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain yang menguatkan adanya kewajiban setiap perusahaan
untuk menerapkan TUPE. Tulisan ini akan mengkaji apakah TUPE mampu
memberikan jaminan perlindungan hukum pada pekerja outsource dan hal apa
saja yang harus ada untuk terselenggaranya TUPE sesuai maksud dan tujuan
pembentukannya. Kajian menggunakan studi kepustakaan dengan bahan hukum
primer, skunder dan tertier sebagai sumber data utamanya.
Kata Kunci : Transfer Of Undertaking Protection Employment (TUPE),
Jaminan kelangsungan kerja, outsourcing.
A. LATAR BELAKANG MASALAH

Outsourcing1 masih menjadi isu yang krusial dan membutuhkan


pemikiran-pemikiran akademis yang cerdas untuk menuntaskannya. Pola
hubungan kerja yang pada sisi permintaan (capital) dianggap sebagai sistem kerja
yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan usaha kekinian yang cenderung
mengikuti mekanisme pasar, pada sisi lain (labor) dianggap sebagai sistem
hubungan kerja yang tidak memberi jaminan kepastian kelangsungan kerja (job
security) sehingga outsourcing masih menjadi masalah yang membuat
pemerintah, pelaku usaha dan buruh/pekerja pusing.

Akar persoalan yang menjadi keberatan buruh/pekerja terhadap sistem


outsourcing menurut mantan Direktur Utama PT PLN, Dahlan Iskan, dalam
sebuah wawancara oleh sebuah stasiun televisi yaitu perasaan gelisah dari
buruh/pekerja (beliau mengistilahkan dengan karyawan, pen.) akan
ketidakpastian apakah tahun depan masih dipakai lagi atau tidak. Persoalan lain
juga menyangkut besar-kecilnya gaji, namun yang utama menurutnya adalah
ketidakpastian itu. Persoalan lainnya adalah status. Mereka menginginkan status
kekaryawanan yang jelas. Bukan sekadar menjadi tenaga cabutan.2

Bagi serikat pekerja/ serikat buruh (selanjutnya akan disingkat dengan


serikat) berharap masalah outsourcing di perusahaan-perusahaan BUMN
secepatnya diselesaikan, ini dikarenakan banyaknya pelanggaran hak-hak

1
Menggunakan istilah ini, yang dari sisi bisnis sebenarnya outsourcing adalah salah satu hasil
samping dari businesss process reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara
mendasar oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan.
BPR adalah pendekatan baru dalam manajemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan
dengan pendekatan lama yaitu continuous improvement process. Richardus Eko Indrajit dan Richardus
Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, REI ebook-outsourcingmanajement.pdf, hlm. 4.
2
Nurseffi Dwi Wahyuni, Liputan6.com, Wawancara Khusus Dahlan Iskan (3): Outsourcing yang
Bikin Pusing, 10 Juli 2013.
normative seperti pengupahan, dan pemberangusan kebebasan berserikat.3
Ancaman yang dikemukakan serikat adalah mogok massal apabila pemerintah
sampai Oktober tahun ini tidak menuntaskan permasalahan ini.4

Persoalan yuridis menyangkut outsourcing marak sejak diundangkannya


UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang mengatur secara eksplisit praktek
pengalihan pelaksanaan pekerjaan pada pihak lain (istilah yang kemudian kalah
poluper disbanding outsourcing), tercatat beberapa kali diajukan permohonan
yudisial review, pertama sekali, tak lama setelah UU Ketenagakerjaan
diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan permohonan
yudicial review terhadap legalisasi sistem outsourcing dan PKWT khususnya
Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan sebagaimana teregistrasi
dengan permohonan No 12/PUU-I/2003, dengan alasan tak memberikan jaminan
kepastian bekerja. Permohonan ini ditolak dengan alasan Pasal yang dimaksud
tidak mengarah pada perbudakan modern (modern slavery).

Kali kedua Mahkamah Konstitusi kembali disibukkan dengan


pemerikasaan terkait outsourcing, dikarenakan Aliansi Petugas Pembaca Meter
Listrik Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal
64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dalam register permohonan No.
27/PUU-IX/2011. Bedanya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya
mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menolak permohonan
atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, secara eksplisit MK menyatakan
kedua Pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.

3
Hukum Online, Pemerintah Diultimatum Selesaikan Masalah Outsourcing di BUMN,
Hukumonline.com, 22 Agustus 2013, Akses Tanggal 2 September 2013.
4
Ibid.
Putusan MK, khususnya pada bagian Pertimbangan Hukum, mengajukan
dua cara dalam pelaksanaan outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian
kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, dengan menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) bagi mereka yang bekerja pada perusahaan yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing. Model pertama, bukan hal baru sebab Pasal
65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya.

Tulisan ini berusaha untuk tidak mengulang pembahasan yang telah


dilakukan oleh banyak penulis lain terkait outsourcing dan upaya perlindungan
hukumnya terhadap para pekerja/buruh. Penulis tertarik untuk mengupas seperti
apa sesungguhnya TUPE atau kita bahasakan menjadi pengalihan perlindungan
terhadap pekerja/buruh yang terikat dalam hubungan kerja outsourcing. Pada poin
ini yang dipermasalahkan adalah TUPE yang notabene merupakan prinsip yang
dikenal di Negara barat (Eropah) apakah sesuai dengan prinsip Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia yang memiliki landasan filosofis yang berbeda
khususnya dalam menjalankan sistem ekonomi, bisnis, dan industrialisasi?.
Apabila nantinya ditemukan hal-hal positif dalam prinsip TUPE bagaimana cara
memberlakukannya, bukankah hubungan kerja tidak hanya berkaitan dengan
hukum public (perlindungan Negara atas hak dan kewajiban warganegara) namun
juga berkaitan dengan hukum keperdataan yang menyangkut perjanjian dan
perikatan kerja yang berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak?.

Data yang digunakan merupakan data sekunder, sehingga tulisan ini


merupakan penelitian yang bentuknya yuridis normative. Tulisan ini disusun dan
diuraikan secara deskriptif analitis, dengan menggunakan bahan hukum primer
dan sekunder, penelusuran kepustakaan yang dilakukan baik berupa buku,
makalah, jurnal, putusan Mahkamah Konstitusi, dan media massa cetak maupun
online.

B. PEMBAHASAN

a. Prinsip Perlindungan Dalam Hubungan Kerja di Indonesia


Perlindungan merupakan keadaan dimana siapa saja akan merasa
nyaman dengan hak dan kewajiban yang imbal balik, termasuk dalam
suatu hubungan kerja. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa dalam
hubungan kerja yang cirinya sub ordinasi, dengan posisi tawar yang tidak
seimbang, mudah sekali menimbulkan masalah social yang dapat memicu
pada permasalahan yang lebih dalam. Jika hal ini terjadi jelas bukan
perlindungan yang didapat melainkan keresahan dan ketidaknyamanan.
Hubungan kerja yang berciri subordinasi membutuhkan campur
tangan Negara agar tercapai titik keseimbangan antar pihak yang
berkepentingan, bahkan di negara liberal sekalipun bentuk campur tangan
Negara dengan membuat aturan umum (regulasi) yang dimaksudkan untuk
mencapai keseimbangan social (social equilibrium), termasuk pula
mengatasnamakan Hak Asasi Manusia. Konon di negara Indonesia yang
menerapkan ideologi Pancasila yang berketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi rakyat dan keadilan social. Sudah tentu peran aktif
negara sangat dimungkinkan agar tujuan hidup bersama dapat tercapai.
Bukan hanya Ideologi Indonesia yang memberi dasar Negara campur
tangan dalam segala urusan warga, sistem hukum yang berkiblat pada civil
law sistem menjadikan model hukum ketenagakerjaan Indonesia adalah
model korporatis, yang ditandai kuatnya Negara mengatur permasalahan
ketenagakerjaan. Paradox dengan perkembangan global dewasa ini adalah
menguatnya paham ekonomi pasar yang merupakan ruang di mana
ketenagakerjaan itu berada. Tenaga kerja erat dengan produksi,
produktivitas, sumber daya manusia yang kesemuanya dikaji dalam ilmu
ekonomi.
Kembali pada persoalan perlindungan tenaga kerja, apakah memang
hal ini tidak layak lagi dibincangkan mengingat sistem ekonomi yang saat
ini berkembang adalah mekanisme pasar dengan mengedepankan
fleksibilitas ketenagakerjaan. Benarkah perlindungan yang diwajibkan
terhadap komunitas tertentu akan merusak jalannya fleksibilitas. Tentu
saja tidak, oleh karena antara sisi fleksibilas dan perlindungan memang
harus beriringan agar mekanisme pasar membawa pada keadilan dan
kemanfaatan umat – kita sebut sebagai moral keadilan pasar.

b. TUPE Solusi untuk Membangun Moral Keadilan Pasar


TUPE telah dipraktekkan di banyak negara maju. Uni Eropah
salah satunya telah mengeluarkan pengaturan berupa Directive yang
dikenal sebagai Transfer of Undertakings for Protection of Employment,
Regulations 2006 (TUPE).
From a business perspective for employers, the goal of EU Directive
for transfer of undertakings is to prevent unfair dismissals or unfair
terminations as a result of a legal transfer or merger of companies
and entities.5
Ketentuan di atas menunjukkan adanya upaya …to prevent unfair
dismissals or unfair terminations – perbuatan yang merusak moral
keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan. Boleh dikata bahwa ini adalah

5
Alice Wang, The European Union: Compliance With Transfer of Undertaking dalam situs Cross
Border Employer, posting 19 September 2012, akses 14 September 2013.
dasar filosofi dan landasan fundamen bahwa tidak hanya karena alasan
beralihnya bisnis ke perusahaan lain maka pekerja/buruh harus kehilangan
pekerjaanya. Moral keadilan pasar harus dibangun di atas realitas bahwa
manusia perlu jaminan hak atas kelangsungan pekerjaan.
Peran ekonomi setiap manusia memang berbeda sesuai dengan
kedudukan yang diembannya, perusahaan berperan untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan barang dan jasa, mengubah SDA atau bahan
mentah menjadi barang jadi, dalam konteks makro, perusahaan
menentukan tingkat pertumbuhan pembangunan suatu Negara.
Selama ini tanggungjawab social perusahaan hanya sebatas pada
tanggungjawab untuk melakukan produksi dengan tepat seperti
menghindarkan polusi, barang produksi aman bagi konsumen, menjaga
kearifan masyarakat local, melestarikan SDA, andil dalam kegiatan social
kemasyarakatan, termasuk beasiswa pendidikan, dan lain-lain.
Tanggung jawab social perusahaan yang dilupakan dan tidak kalah
pentingnya adalah memberi jaminan pemenuhan hak-hak dasar pekerja
yang meliputi hak ekonomis, hak social-politis, dan hak dasar lainnya.
Hal ini merupakan pengejawanthan dari realitas, bahwa perusahaan adalah
bagian dari masyarakat, maka secara etis perusahaan harus
mempertimbangkan harapan-harapan masyarakat, baik yang bersifat non-
normatif6 maupun normative adanya.
Belajar dari Negara lain, sesungguhnya kebijakan pengalihan
perlindungan pekerja dalam EU Directive ini dari perspektif bisnis kaum
pengusaha justru bertujuan untuk mencegah pemecatan/penghentian yang
tidak adil sebagai akibat dari perubahan hukum atau merger suatu
perusahaa. Peraturan ini menjangkau semua pengusaha yang beroperasi di

6
A. Suryawasita Sj, Asas Keadilan Sosial, Kanisius, 1989, Jogyakarta, hlm. 36.
negara yang merupakan anggota Uni Eropa (UE) yang saat ini ada total
dua puluh tujuh (27) negara anggota. Directive yang dikeluarkan Uni
Eropah mendorong Negara-negara anggota untuk memuat dalam hukum
nasionalnya mengenai pengaturan pengalihan perlindungan pekerja,
sebaliknya jika Negara anggota tidak aktif dan dianggap mengabaikan
ketentuan ini Directive Uni Eropah memiliki kekuatan hukum agar
Negara anggota melaksanakan ketentuan/standart yang dimuat dalam
peraturan tersebut, hal ini dimaksudkan agar tercapai praktek bisnis
terbaik (the best business practice).7
EU Directive mengenai TUPE dikenal sebagai Directive
(2001/23/EC). Directive (2001/23/EC) ini adalah kodifikasi dari Directive
sebelumnya ( 77/187/EEC ) yang pernah diubah melalui Directive
(98/50/EC). Tahun 1977 EU atau Uni Eropah (pada saat itu dikenal
sebagai Masyarakat Ekonomi Eropah/MEE) melalui Council/ Dewan
Masyarakat Eropah telah menerbitkan aturan dalam bentuk Directive
yang isinya memuat standart yang harus dipenuhi Negara anggota dalam
hal terjadi peristiwa hukum atau merger usaha yang menyebabkan
tenagakerja mengalami kerugian. Paraturan ini diterbitkan dengan
memperhatikan usulan dari Komisi, Parlemen Eropa dan Komite
Ekonomi dan Sosial, yang memperhatikan kecenderungan/trend ekonomi
masyarakat industi, baik di tingkat nasional maupun internasional,
terjadinya perubahan struktur usaha, pengalihan usaha, bisnis atau bagian
dari bisnis sebagai akibat dari perubahan hukum perusahaan atau merger
maka perlu memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam hal

7
Ibid.
perubahan majikan, khususnya, untuk memastikan bahwa hak-hak mereka
dilindungi.8
Bagian II dari Directive 77/187/EEC mengatur tentang
Perlindungan hak-hak pekerja/buruh khususnya dalam Pasal 3 menyebut
tentang Hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak kerja atau dari
hubungan kerja yang ada akibat beralihnya usaha pada pihak lain. Dalam
Pasal ini juga ditegaskan bahwa majikan awal akan terus bertanggung
jawab dalam hal kewajiban yang timbul dari kontrak kerja atau hubungan
kerja sampai kemudian dibuat kesepakatan yang baru dengan perusahaan
yang menerima pengalihan.
Hal penting lainnya dalam peraturan ini adalah sebagaimana dimuat
dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan pemindahan suatu usaha, bisnis
atau bagian dari bisnis tidak dengan sendirinya menjadi alasan untuk
pemecatan oleh perusahaan. Kecuali dapat dibuktikan bahwa ada alasan
ekonomi, teknis atau organisasi yang mengharuskan timbulnya PHK. Hal
tersebut juga masih dimuat dalam Directive 2001/23/EC yang
menyebutkan bahwa tidak boleh ada pemecatan pekerja/buruh, atau
pengurangan ketentuan/syarat dan kondisi pekerja/buruh hingga
pengusaha dapat membuktikan bahwa ada alasan ekonomis, teknis atau
organisasi yang relevan.

Directive 2001/23/EC memuat kembali Perlindungan hak-hak


pekerja (Safeguarding of employees' rights) yang dengan ketentuan ini
prinsip perlindungan hak pekerja/buruh dalam hal terjadi pengalihan usaha
maka pengusaha/majikan sebaiknya telah memuat sejak awal dalam
kontraknya, walaupun begitu pengusaha/majikan juga diikat oleh UU

8
Council Directive 77/187/EEC 14 Februari 1977, http://eur-
lex.europa.eu/smartapi/cgi/sga_doc?smartapi!celexapi!prod!CELEXnumdoc&lg=EN&numdoc=31977L0187
&model=guichett, Akses tanggal 14 September 2013.
Ketenagakerjaan. Artinya bahwa dalam hal ini/perlindungan bukan
bersifat kontraktual/privat semata melainkan juga bersifat umum/public
yaitu dalam bentuk regulasi Negara (UU).
Di Indonesia munculnya legalitas terhadap sistem outsourcing
pekerja/buruh di tahun 2003 tidak dibarengi dengan model
perlindungannya, sehingga yang muncul adalah pemanfaatan sistem
hubungan kerja yang berprespektif pada pandangan bisnis/ekonomis
semata yaitu efisiensi, produktifitas, dengan mengesampingkan keadilan
ekonomi pada pelaku bisnis yang lain yaitu pekerja/buruh. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan mekanisme perlindungan
terhadap pekerja outsource dalam hal terjadinya pengalihan usaha pada
perusahaan lain, dengan cara mewajibkan adanya kontrak tertulis antara
pekerja/buruh dengan perusahaan penempat baik berjangka waktu
(PKWT) maupun tidak berjangka waktu/permanen (PKWTT). Hal seperti
ini bukan merupakan „barang‟ baru oleh karena UU Ketenagakerjaan pada
Pasal 66 ayat (2) b yang lahir pada 2003 sudah menegaskannya.
Sedangkan model perlindungan lain dengan cara mengalihkan
perlindungan pekerja pada perusahaan lain (TUPE) merupakan „barang‟
baru.
12 Januari 2012 tercatat sebagai sejarah penting dalam
ketenagakerjaan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No.
27/PUU-IX/2011 majelis hakim MK dalam pertimbangannya menegaskan
bahwa untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi
pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa
memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh
untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk
meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja
outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak
bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan
untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh, salah satunya adalah
menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh
(Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang
bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.9
Sebagai suatu hal yang baru, maka tentu saja dibutuhkan
penyesuaian hukum atas Putusan lembaga yudikatif tersebut. Tugas ini ada
di pundak legislative dan atau eksekutif agar aplikasi dari prinsip
perlindungan tersebut menjadi konkrit, sayangnya hingga saat ini belum
mampu diwujudkan. Memang pasca Putusan MK pemerintah
(Kemenakertrans) mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012
sebagai reaksi atas putusan tersebut, namun jika ditelaah, isi
Permenakertrans tersebut belum memuat TUPE ini secara rinci.10

c. Pengaturan dan Pelaksanaan TUPE dalan Hukum Ketenagakerjaan,


Sebuah Sumbangan Pemikiran
Sebagaimana telah disinggung, TUPE masih menjadi „barang‟ baru
di Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Pencarian serius dan mendalam
haruslah dilakukan, bagaimana dan seperti apa Indonesia memahamkan
dan akan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan ini.
Belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih awal
melaksanakan, TUPE sesungguhnya diberlakukan saat terjadi perubahan
hukum suatu perusahaan seperti misalnya merger, dalam hal tersebut ada
perubahan siapa yang menjadi majikan. Ada satu hal yang penulis anggap
sebagai dasar pijakan dalam setiap kebijakan yang akan dibuat dalam

9
Putusan MK RI No. 27/PUU-IX/2011, hlm. 44.
10
Hukum Online, Permenaker Outsourcing ‘Diskriminatif, Kamis, 29 November 2012,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b75d31c1143/permenaker-ioutsourcing-i-diskriminatif,
akses tanggal 12 September 2013.
Hukum Ketenagakerjaan ini, termasuk salah satunya TUPE, yaitu prinsip
keseimbangan kepentingan antara para pelaku hubungan industrial,
utamanya pengusaha dan pekerja/buruh. Aturan yang memuat hal tersebut
adalah UE Directive tentang TUPE. Directive ini meletakkan
perlindungan atas pekerja/buruh baik secara kontraktual maupun melalui
regulasi Negara dengan catatan bahwa kesinambungan usaha menjadi poin
penting juga.
Telah dikatakan di atas bahwa TUPE yang berlaku di UE lebih
pada peristiwa terjadinya perubahan kepemilikian usaha/pengusaha baik
dikarenakan merger atau pun peristiwa hukum lainnya. Setelah ditentukan
bahwa akan terjadi transfer, maka si penerima pengalihan/transferee
menjadi majikan dari pekerja/buruh sebelumnya. Sesuai dengan tujuan
dan sasaran dari Directive, hak dan kewajiban dari karyawan terhadap
majikan baru harus tetap sama, misalnya menyangkut jumlah jam kerja,
tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan, dan jenis
kontrak kerja atau hubungan kerja (jangka waktu yang tetap atau
sementara).
Khusus di Indonesia TUPE akan diterapkan dalam hal terjadi
pengalihan usaha dalam hubungan kerja outsourcing, tentu konteks nya
menjadi berbeda, jika dalam peristiwa merger bisa saja pekerjaan tetap ada
yang berubah hanya pengusaha, sedangkan dalam hal outsourcing
sesungguhnya pekerjaan yang awalnya dikerjakan oleh perusahaan
tertentu kemudian dialihkan pada pengusaha lain, sehingga sesungguhnya
pekerjaan lah yang terhenti/beralih.
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
mengaktualisasikan prinsip TUPE dalam beberapa pasal:
a. Pasal 19 poin b menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang
terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b. Pasal 32 ayat (1) dan (2) dikutip penuh:
1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan
pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja
yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.
2. Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka masa kerja yang telah dilalui para
pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

c. Pasal 31 memberi ruang bagi pekerja/buruh untuk dalam hal


pekerja/buruh mengajukan gugatan pada PHI apabila tidak
memperoleh jaminan kelangsungan bekerja. Hal ini menurut penulis
masuk sebagai gugatan hak.
Urgensi pengaturan tentang TUPE demikian besar mengingat
praktek outsoucing akan terus ada manakala kondisi ekonomi dan pasar
kerja yang saat ini masih belum baik. Tidak hanya perusahaan swasta baik
nasional maupun asing mempraktekkan ini namun juga terjadi di BUMN
semisal di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).11 Sudah sepantasnya jika

11
Jenis pekerjaan penunjang tenaga listrik antara lain adalah jasa engineering, jasa pendidikan dan
pelatihan, jasa produksi, jasa manajemen konstruksi, jasa penelitian dan pengembangan ketenagalistrikan,
jasa konsultasi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan, menjadi sector yang dapat diserahkan pada pihak
lain untuk dikerjakan., Walujo, Supervisor Administrasi Umum PT PLN Area Mojokerto, Power Point :
Optimalisasi Tenaga Pengemudi Dalam Rangka Menunjang Kinerja PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur
pengaturan tentang hal ini berada pada level undang-undang, tidak cukup
peraturan menteri.
Berdasarkan spesifikasi kondisi dan keadaan dalam sistem
outsourcing di Indonesia maka TUPE sebagai model perlindungan bagi
pekerja/buruh hendaknya dilakukan dengan :
1. Kontrak kerja tertulis dengan perusahaan pengerah-nya; dengan ketentuan
terhadap pekerjaan penunjang yang sifatnya terus-menerus maka kontrak
sebaiknya dilakukan untuk 2 tahun dengan kesempatan memperpanjang
selama setahun dan pembaharuan sesudahnya untuk 2 tahun maksimal,
sehingga jika hubungan kerja akan dilanjutkan akan menjadi hubungan
kerja tetap/permanen.
2. Tender pekerjaan yang dioutsource-kan minimal 5 (lima) tahun dengan
alasan kepastian kelangsungan usaha bagi pengusaha juga merupakan hak
asasi yang harus diperhatikan.
3. Kontrak atau perjanjian kerjasama antara perusahaan pelaksana pekerjaan
dengan perusahaan pengguna hendaknya memuat klausul keharusan
perusahaan penerima tender untuk menerima pengalihan perlindungan atas
pekerja/buruh yang telah menjalankan pekerjaan penunjang, dengan
menetapkan mekanisme dan prosedur yang jelas manakala pekerja/buruh
akan tetap melakukan pekerjaan tentunya dengan perusahaan baru.
4. Guna efektifitas dan daya guna sebaiknya sanksi administrative
dirumuskan dan dilaksanakan secara konsisten agar tujuan prinsip
perlindungan dalam TUPE ini dapat tercapai.

Area Mojokerto.
C. PENUTUP

Indonesia dibangun di atas nilai spiritual, humanis, unity, demokrasi, dan


keadilan sosial, jika ditelaah asal istilah TUPE yang ditemukan dalam literature
hukum Uni Eropah keberadaan TUPE adalah untuk mencapai perlindungan
social, menghindarkan pemecatan pekerja/buruh secara sewenang-wenang
dengan alasan beralihnya perusahaan, maka sesungguhnya hal ini sesuai
dengan nilai fundamental Negara Republik Indonesia.

TUPE sebagai sarana memberi perlindungan, bentuknya lebih pada upaya


preventif – mencegah munculnya ketidakadilan terhadap pekerja/buruh,
sehingga lebih tepat merupakan prinsip yang sebaiknya dikonkritkan dengan
aturan-aturan praksis dan aplikatif.

TUPE merupakan model perlindungan yang dihantarkan oleh Putusan


Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 27/PUU-IX/2011, yang sebelumnya
tidak ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Selain
memerlukan pengaturan teknis lebih lanjut dan lebih tinggi jenjangnya
(sebaiknya dalam level undang-undang), Permenakertrans No. 19 Tahun 2012
Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain hanya mengatur dalam beberapa pasal yang isinya hanyalah
himbauan oleh karena tidak ada muatan sanksi.

Norma hukum berbeda dengan norma yang lain karena kekuatan


sanksinya, bentuk sanksinya, dan daya laku sanksinya, khusus pasal yang isinya
mengandung perintah, larangan, kewajiban seyogyanya disertakan sanksi.
TUPE yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja justrumtidak memuat
sanksi apapun sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 19, dan 32, padahal isinya
adalah perintah dan kewajiban.
DAFTAR PUSTAKA

Council Directive 77/187/EEC 14 Februari 1977, http://eur-


lex.europa.eu/smartapi/cgi/sga_doc?smartapi!celexapi!prod!CELEXnumd
oc&lg=EN&numdoc=31977L0187&model=guichett, Akses tanggal 14
September 2013.

Hukum Online, Pemerintah Diultimatum Selesaikan Masalah Outsourcing di


BUMN, hukumonline.com, 22 Agustus 2013,

Hukum Online, Permenaker Outsourcing ‘Diskriminatif, Kamis, 29


November 2012,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b75d31c1143/permenaker-
ioutsourcing-i-diskriminatif, akses tanggal 12 September 2013.

Indrajit, Richardus Eko dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing,


REI ebook-outsourcingmanajement.pdf.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 27/PUU-IX/2012 Berita


Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1138.

Putusan MK RI No. 27/PUU-IX/2011.pdf.

SJ, A. Suryawasita, Asas Keadilan Sosial, Kanisius, 1989, Jogyakarta,

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Wahyuni, Nurseffi Dwi, Liputan6.com, Wawancara Khusus Dahlan Iskan (3):
Outsourcing yang Bikin Pusing, 10 Juli 2013.

Wang, Alice, The European Union: Compliance With Transfer of Undertaking


dalam situs Cross Border Employer, posting 19 September 2012, akses 14
September 2013.

Revision of The Transfer of Undertakings (Protection of Employment Regulation)


2006, Impact Assessment

Anda mungkin juga menyukai