1
Menggunakan istilah ini, yang dari sisi bisnis sebenarnya outsourcing adalah salah satu hasil
samping dari businesss process reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara
mendasar oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan.
BPR adalah pendekatan baru dalam manajemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan
dengan pendekatan lama yaitu continuous improvement process. Richardus Eko Indrajit dan Richardus
Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, REI ebook-outsourcingmanajement.pdf, hlm. 4.
2
Nurseffi Dwi Wahyuni, Liputan6.com, Wawancara Khusus Dahlan Iskan (3): Outsourcing yang
Bikin Pusing, 10 Juli 2013.
normative seperti pengupahan, dan pemberangusan kebebasan berserikat.3
Ancaman yang dikemukakan serikat adalah mogok massal apabila pemerintah
sampai Oktober tahun ini tidak menuntaskan permasalahan ini.4
3
Hukum Online, Pemerintah Diultimatum Selesaikan Masalah Outsourcing di BUMN,
Hukumonline.com, 22 Agustus 2013, Akses Tanggal 2 September 2013.
4
Ibid.
Putusan MK, khususnya pada bagian Pertimbangan Hukum, mengajukan
dua cara dalam pelaksanaan outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian
kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, dengan menerapkan prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) bagi mereka yang bekerja pada perusahaan yang
melaksanakan pekerjaan outsourcing. Model pertama, bukan hal baru sebab Pasal
65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya.
B. PEMBAHASAN
5
Alice Wang, The European Union: Compliance With Transfer of Undertaking dalam situs Cross
Border Employer, posting 19 September 2012, akses 14 September 2013.
dasar filosofi dan landasan fundamen bahwa tidak hanya karena alasan
beralihnya bisnis ke perusahaan lain maka pekerja/buruh harus kehilangan
pekerjaanya. Moral keadilan pasar harus dibangun di atas realitas bahwa
manusia perlu jaminan hak atas kelangsungan pekerjaan.
Peran ekonomi setiap manusia memang berbeda sesuai dengan
kedudukan yang diembannya, perusahaan berperan untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan barang dan jasa, mengubah SDA atau bahan
mentah menjadi barang jadi, dalam konteks makro, perusahaan
menentukan tingkat pertumbuhan pembangunan suatu Negara.
Selama ini tanggungjawab social perusahaan hanya sebatas pada
tanggungjawab untuk melakukan produksi dengan tepat seperti
menghindarkan polusi, barang produksi aman bagi konsumen, menjaga
kearifan masyarakat local, melestarikan SDA, andil dalam kegiatan social
kemasyarakatan, termasuk beasiswa pendidikan, dan lain-lain.
Tanggung jawab social perusahaan yang dilupakan dan tidak kalah
pentingnya adalah memberi jaminan pemenuhan hak-hak dasar pekerja
yang meliputi hak ekonomis, hak social-politis, dan hak dasar lainnya.
Hal ini merupakan pengejawanthan dari realitas, bahwa perusahaan adalah
bagian dari masyarakat, maka secara etis perusahaan harus
mempertimbangkan harapan-harapan masyarakat, baik yang bersifat non-
normatif6 maupun normative adanya.
Belajar dari Negara lain, sesungguhnya kebijakan pengalihan
perlindungan pekerja dalam EU Directive ini dari perspektif bisnis kaum
pengusaha justru bertujuan untuk mencegah pemecatan/penghentian yang
tidak adil sebagai akibat dari perubahan hukum atau merger suatu
perusahaa. Peraturan ini menjangkau semua pengusaha yang beroperasi di
6
A. Suryawasita Sj, Asas Keadilan Sosial, Kanisius, 1989, Jogyakarta, hlm. 36.
negara yang merupakan anggota Uni Eropa (UE) yang saat ini ada total
dua puluh tujuh (27) negara anggota. Directive yang dikeluarkan Uni
Eropah mendorong Negara-negara anggota untuk memuat dalam hukum
nasionalnya mengenai pengaturan pengalihan perlindungan pekerja,
sebaliknya jika Negara anggota tidak aktif dan dianggap mengabaikan
ketentuan ini Directive Uni Eropah memiliki kekuatan hukum agar
Negara anggota melaksanakan ketentuan/standart yang dimuat dalam
peraturan tersebut, hal ini dimaksudkan agar tercapai praktek bisnis
terbaik (the best business practice).7
EU Directive mengenai TUPE dikenal sebagai Directive
(2001/23/EC). Directive (2001/23/EC) ini adalah kodifikasi dari Directive
sebelumnya ( 77/187/EEC ) yang pernah diubah melalui Directive
(98/50/EC). Tahun 1977 EU atau Uni Eropah (pada saat itu dikenal
sebagai Masyarakat Ekonomi Eropah/MEE) melalui Council/ Dewan
Masyarakat Eropah telah menerbitkan aturan dalam bentuk Directive
yang isinya memuat standart yang harus dipenuhi Negara anggota dalam
hal terjadi peristiwa hukum atau merger usaha yang menyebabkan
tenagakerja mengalami kerugian. Paraturan ini diterbitkan dengan
memperhatikan usulan dari Komisi, Parlemen Eropa dan Komite
Ekonomi dan Sosial, yang memperhatikan kecenderungan/trend ekonomi
masyarakat industi, baik di tingkat nasional maupun internasional,
terjadinya perubahan struktur usaha, pengalihan usaha, bisnis atau bagian
dari bisnis sebagai akibat dari perubahan hukum perusahaan atau merger
maka perlu memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam hal
7
Ibid.
perubahan majikan, khususnya, untuk memastikan bahwa hak-hak mereka
dilindungi.8
Bagian II dari Directive 77/187/EEC mengatur tentang
Perlindungan hak-hak pekerja/buruh khususnya dalam Pasal 3 menyebut
tentang Hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak kerja atau dari
hubungan kerja yang ada akibat beralihnya usaha pada pihak lain. Dalam
Pasal ini juga ditegaskan bahwa majikan awal akan terus bertanggung
jawab dalam hal kewajiban yang timbul dari kontrak kerja atau hubungan
kerja sampai kemudian dibuat kesepakatan yang baru dengan perusahaan
yang menerima pengalihan.
Hal penting lainnya dalam peraturan ini adalah sebagaimana dimuat
dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan pemindahan suatu usaha, bisnis
atau bagian dari bisnis tidak dengan sendirinya menjadi alasan untuk
pemecatan oleh perusahaan. Kecuali dapat dibuktikan bahwa ada alasan
ekonomi, teknis atau organisasi yang mengharuskan timbulnya PHK. Hal
tersebut juga masih dimuat dalam Directive 2001/23/EC yang
menyebutkan bahwa tidak boleh ada pemecatan pekerja/buruh, atau
pengurangan ketentuan/syarat dan kondisi pekerja/buruh hingga
pengusaha dapat membuktikan bahwa ada alasan ekonomis, teknis atau
organisasi yang relevan.
8
Council Directive 77/187/EEC 14 Februari 1977, http://eur-
lex.europa.eu/smartapi/cgi/sga_doc?smartapi!celexapi!prod!CELEXnumdoc&lg=EN&numdoc=31977L0187
&model=guichett, Akses tanggal 14 September 2013.
Ketenagakerjaan. Artinya bahwa dalam hal ini/perlindungan bukan
bersifat kontraktual/privat semata melainkan juga bersifat umum/public
yaitu dalam bentuk regulasi Negara (UU).
Di Indonesia munculnya legalitas terhadap sistem outsourcing
pekerja/buruh di tahun 2003 tidak dibarengi dengan model
perlindungannya, sehingga yang muncul adalah pemanfaatan sistem
hubungan kerja yang berprespektif pada pandangan bisnis/ekonomis
semata yaitu efisiensi, produktifitas, dengan mengesampingkan keadilan
ekonomi pada pelaku bisnis yang lain yaitu pekerja/buruh. Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan mekanisme perlindungan
terhadap pekerja outsource dalam hal terjadinya pengalihan usaha pada
perusahaan lain, dengan cara mewajibkan adanya kontrak tertulis antara
pekerja/buruh dengan perusahaan penempat baik berjangka waktu
(PKWT) maupun tidak berjangka waktu/permanen (PKWTT). Hal seperti
ini bukan merupakan „barang‟ baru oleh karena UU Ketenagakerjaan pada
Pasal 66 ayat (2) b yang lahir pada 2003 sudah menegaskannya.
Sedangkan model perlindungan lain dengan cara mengalihkan
perlindungan pekerja pada perusahaan lain (TUPE) merupakan „barang‟
baru.
12 Januari 2012 tercatat sebagai sejarah penting dalam
ketenagakerjaan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No.
27/PUU-IX/2011 majelis hakim MK dalam pertimbangannya menegaskan
bahwa untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi
pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa
memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh
untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk
meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja
outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak
bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan
untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh, salah satunya adalah
menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh
(Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang
bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.9
Sebagai suatu hal yang baru, maka tentu saja dibutuhkan
penyesuaian hukum atas Putusan lembaga yudikatif tersebut. Tugas ini ada
di pundak legislative dan atau eksekutif agar aplikasi dari prinsip
perlindungan tersebut menjadi konkrit, sayangnya hingga saat ini belum
mampu diwujudkan. Memang pasca Putusan MK pemerintah
(Kemenakertrans) mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012
sebagai reaksi atas putusan tersebut, namun jika ditelaah, isi
Permenakertrans tersebut belum memuat TUPE ini secara rinci.10
9
Putusan MK RI No. 27/PUU-IX/2011, hlm. 44.
10
Hukum Online, Permenaker Outsourcing ‘Diskriminatif, Kamis, 29 November 2012,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b75d31c1143/permenaker-ioutsourcing-i-diskriminatif,
akses tanggal 12 September 2013.
Hukum Ketenagakerjaan ini, termasuk salah satunya TUPE, yaitu prinsip
keseimbangan kepentingan antara para pelaku hubungan industrial,
utamanya pengusaha dan pekerja/buruh. Aturan yang memuat hal tersebut
adalah UE Directive tentang TUPE. Directive ini meletakkan
perlindungan atas pekerja/buruh baik secara kontraktual maupun melalui
regulasi Negara dengan catatan bahwa kesinambungan usaha menjadi poin
penting juga.
Telah dikatakan di atas bahwa TUPE yang berlaku di UE lebih
pada peristiwa terjadinya perubahan kepemilikian usaha/pengusaha baik
dikarenakan merger atau pun peristiwa hukum lainnya. Setelah ditentukan
bahwa akan terjadi transfer, maka si penerima pengalihan/transferee
menjadi majikan dari pekerja/buruh sebelumnya. Sesuai dengan tujuan
dan sasaran dari Directive, hak dan kewajiban dari karyawan terhadap
majikan baru harus tetap sama, misalnya menyangkut jumlah jam kerja,
tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan, dan jenis
kontrak kerja atau hubungan kerja (jangka waktu yang tetap atau
sementara).
Khusus di Indonesia TUPE akan diterapkan dalam hal terjadi
pengalihan usaha dalam hubungan kerja outsourcing, tentu konteks nya
menjadi berbeda, jika dalam peristiwa merger bisa saja pekerjaan tetap ada
yang berubah hanya pengusaha, sedangkan dalam hal outsourcing
sesungguhnya pekerjaan yang awalnya dikerjakan oleh perusahaan
tertentu kemudian dialihkan pada pengusaha lain, sehingga sesungguhnya
pekerjaan lah yang terhenti/beralih.
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
mengaktualisasikan prinsip TUPE dalam beberapa pasal:
a. Pasal 19 poin b menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang
terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b. Pasal 32 ayat (1) dan (2) dikutip penuh:
1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan
pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja
yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada
dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.
2. Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka masa kerja yang telah dilalui para
pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.
11
Jenis pekerjaan penunjang tenaga listrik antara lain adalah jasa engineering, jasa pendidikan dan
pelatihan, jasa produksi, jasa manajemen konstruksi, jasa penelitian dan pengembangan ketenagalistrikan,
jasa konsultasi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan, menjadi sector yang dapat diserahkan pada pihak
lain untuk dikerjakan., Walujo, Supervisor Administrasi Umum PT PLN Area Mojokerto, Power Point :
Optimalisasi Tenaga Pengemudi Dalam Rangka Menunjang Kinerja PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur
pengaturan tentang hal ini berada pada level undang-undang, tidak cukup
peraturan menteri.
Berdasarkan spesifikasi kondisi dan keadaan dalam sistem
outsourcing di Indonesia maka TUPE sebagai model perlindungan bagi
pekerja/buruh hendaknya dilakukan dengan :
1. Kontrak kerja tertulis dengan perusahaan pengerah-nya; dengan ketentuan
terhadap pekerjaan penunjang yang sifatnya terus-menerus maka kontrak
sebaiknya dilakukan untuk 2 tahun dengan kesempatan memperpanjang
selama setahun dan pembaharuan sesudahnya untuk 2 tahun maksimal,
sehingga jika hubungan kerja akan dilanjutkan akan menjadi hubungan
kerja tetap/permanen.
2. Tender pekerjaan yang dioutsource-kan minimal 5 (lima) tahun dengan
alasan kepastian kelangsungan usaha bagi pengusaha juga merupakan hak
asasi yang harus diperhatikan.
3. Kontrak atau perjanjian kerjasama antara perusahaan pelaksana pekerjaan
dengan perusahaan pengguna hendaknya memuat klausul keharusan
perusahaan penerima tender untuk menerima pengalihan perlindungan atas
pekerja/buruh yang telah menjalankan pekerjaan penunjang, dengan
menetapkan mekanisme dan prosedur yang jelas manakala pekerja/buruh
akan tetap melakukan pekerjaan tentunya dengan perusahaan baru.
4. Guna efektifitas dan daya guna sebaiknya sanksi administrative
dirumuskan dan dilaksanakan secara konsisten agar tujuan prinsip
perlindungan dalam TUPE ini dapat tercapai.
Area Mojokerto.
C. PENUTUP