Anda di halaman 1dari 18

Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.

php

Pentingnya Hukum Acara Perdata.dalam Penyelesaian


Perselisihan Hak.Upah Pekerja Honorer Indonesia

Arief Ramadhan dan Shalsya Berkiea Belana

Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta


Jl. Bagindo Aziz Chan Jl. By.Pass, Aie Pacah, Kec. Koto Tangah, Kota Padang,
Sumatera Barat 25586
Email: arieframadha556@gmail.com dan berkiasalsa14@gmail.com

Abstract
Disputes over rights in employment relationships frequently occur, particularly
concerning wages. Honorary workers, whose legal protection is unclear, still face
issues of below-standard wages. This article discusses labor disputes in industrial
relations through litigation using civil procedural law. The article is written with
a normative juridical research method based on normative-prescriptive legal
materials to recommend legal solutions, including emphasizing clauses in civil
procedural law to compel relevant parties to disclose documents in litigation
concerning the wage rights of honorary workers. The Industrial Relations Dispute
Settlement Act stipulates that ordinary civil procedural law applies, unless
otherwise specified.

Keywords: procedural law, honorarium disputes, rights, wages,

Intisari
Perselisihan hak dalam hubungan kerja sering terjadi, terutama terkait upah.
Pekerja honorer, yang perlindungannya tidak jelas secara hukum, masih
menghadapi masalah upah di bawah standar. Artikel ini mangulas perselisihan
ikatan perburuhan industrial lewat litigasi dengan memakai hukum kegiatan
perdata. Postingan ini ditulis dengan tata cara riset yuridis normatif yang
didasarkan pada bahan-bahan hukum normatif-preskriptif yang terbuat guna buat
merekomendasikan pemecahan hukum, tercantum penekanan pada klausul pasal
dalam hukum kegiatan perdata supaya pihak terpaut wajib mengatakan dokumen
dalam litigasi hak upah pekerja honorer. Undang-undang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial menetapkan bahwa yang berlaku adalah hukum
acara perdata biasa, kecuali diatur lain.

Kata Kunci: hukum acara, perselisihan upah, hak, honorer

1
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan Indonesia untuk memperbaiki kesejahteraan umum
dan mencapai keadilan sosial bagi semua warga negara. Dalam rangka mencapai
tujuan ini, Pemerintah melakukan upaya perbaikan infrastruktur dan akses sumber
daya ekonomi, termasuk langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan para
pekerja. Salah satu aspek yang sering ditekankan oleh para pekerja adalah
perlindungan terhadap upah. Hal ini karena upah dianggap sebagai suatu
kebutuhan yang harus dipenuhi dan masih terdapat banyak permasalahan terkait
dengan upah dalam dunia ketenagakerjaan, sehingga timbul berbagai isu hukum
dalam hubungan industrial.
Seringkali terjadi konflik dalam ikatan industrial yang mengaitkan
pengusaha ataupun kelompok pengusaha dengan pekerja ataupun serikat pekerja.
Konflik ini kerap berhubungan dengan pertentangan menimpa hak-hak,
perbandingan kepentingan, perselisihan dalam pemutusan ikatan kerja, serta
perselisihan antara serikat pekerja di dalam satu industri Dalam realitasnya ikatan
antara pengusaha serta pekerja tidak senantiasa harmonis. Secara natural
pengusaha cenderung mau kurangi bayaran pengeluaran buat menggapai
keuntungan sebesar-besarnya. 1 Di sisi lain, para pekerja pasti mengharapkan
kenaikan pemasukan secara berkala buat menanggulangi meningkatnya bayaran
hidup. Perbandingan sudut pandang antara pengusaha serta pekerja/buruh tidak
cuma terpaut dengan aspek pemasukan namun pula aspek yang lain Hak-hak serta
kewajiban pekerja serta pengusaha pada dasarnya sudah diatur dalam UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun dalam sengketa hak, terutama dalam perselisihan upah yang sering
menjadi konflik utama dan diperjuangkan oleh pekerja, belum jelas secara pasti
dalam kategori gugatan mana dalam hukum acara perdata. Hal ini disebabkan oleh
prinsip dalam hukum acara perdata yang menyatakan bahwa "siapa yang
mengajukan tuntutan harus membuktikannya". Di sisi lain, terdapat fakta hukum

1
Pasal 1 butir 1 UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

2
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

2
mengenai pekerja honorer di Indonesia yang memiliki nasib yang tidak pasti.
Pekerja honorer memiliki tujuan untuk membantu kinerja pegawai negeri sipil
(PNS) dan memainkan peran penting dalam menyelenggarakan pelayanan publik
yang maksimal bagi masyarakat. Karena pelayanan publik berhubungan langsung
dengan masyarakat, proses pelayanan tersebut harus memuaskan. Namun,
perkembangan regulasi telah menyebabkan ketidakpastian dalam posisi pekerja
honorer. Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, keberadaan pekerja honorer telah dihapuskan dalam UU No. 5 Tahun
2014 dan digantikan dengan istilah "pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja"
(PPPK). Namun, pekerja honorer tidak dapat secara langsung menjadi pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja karena untuk mendapatkan status tersebut,
mereka harus melalui proses seleksi dan tes yang ditentukan. Oleh karena itu,
pemerintah daerah tidak dapat sembarangan merekrut pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja, melainkan harus sesuai dengan kebutuhan yang ada. Penting
untuk diperhatikan bahwa pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja memiliki
hak-hak yang sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), termasuk jaminan
kesehatan dan hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan yang
berlaku.
Sangat penting untuk menjamin perlindungan hukum yang jelas bagi
pekerja honorer di Indonesia, terutama dalam konteks hukum acara perdata,
paling utama kala terjalin perselisihan hak, paling utama perselisihan ataupun
konflik terpaut upah untuk pekerja honorer.3 Diharapkan kalau eksistensi hukum
acara perdata, yang ialah landasan untuk penyelesaian perselisihan ikatan
industrial, spesialnya perselisihan terpaut upah, bisa mengklarifikasi penyelesaian
hukum atas konflik yang mencuat kala perselisihan hak terpaut upah untuk
pekerja honorer dibawa ke ranah litigasi. Dengan demikian, kejelasan dan
ketegasan dalam perlindungan hukum bagi pekerja honorer dalam hukum acara
perdata sangat penting untuk memastikan bahwa perselisihan atau konflik yang
2
Ferricha, D, “Eksistensi Hukum Acara Perdata dalam Penyelesaian Perselisihan Hak
tentang Upah pada Pekerja Honorer di Indonesia”. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata,
Vol. 4, No. 2, Desember 2018
3
Syarifudin, Ateng, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia. Edisi IV, Universitas Parahyangan, Vol. 1, No. 1, Juni
2014

3
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

terjadi terkait upah dapat diselesaikan dengan adil dan tepat melalui jalur hukum
yang sesuai. Hal ini akan memberikan keyakinan kepada pekerja honorer bahwa
hak-hak mereka akan diperjuangkan dan dipenuhi dengan adil dalam sistem
hukum yang berlaku.
Penelitian ini memakai tata cara studi yuridis normatif dengan pendekatan
peraturan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan ini dicoba dengan
mempelajari seluruh undang-undang serta regulasi yang terpaut dengan isu hukum
yang sudah disebutkan lebih dahulu semacam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Aparatur Sipil Negeri dan
peraturan pelaksana yang lain Tidak hanya itu, dalam membongkar ataupun
menanggapi isu hukum tersebut, sumber riset yang digunakan merupakan bahan-
bahan hukum yang bersifat normatif- preskriptif. Bahan-bahan hukum tersebut
digunakan buat menganalisis kasus hukum yang terpaut dengan substansi hukum
positif secara tekstual. 4

PEMBAHASAN
I. Perselisihan Upah Dalam Konteks Gugatan Hukum Acara Perdata Dan
Hubungan Industrial
Pelaksanaan pembangunan nasional dapat diwujudkan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam kehidupan ini, manusia
memiliki beragam kebutuhan yang perlu dipenuhi. Untuk memenuhi semua
kebutuhan tersebut, manusia bekerja. Bekerja dalam konteks ini dapat mencakup
pekerjaan yang dilakukan secara mandiri maupun bekerja untuk orang lain.
Bekerja untuk orang lain berarti bekerja dengan ketergantungan pada orang lain
yang memberikan instruksi dan mempekerjakan individu tersebut. Oleh karena
itu, individu tersebut harus tunduk dan patuh terhadap orang yang memberikan
pekerjaan tersebut. Hal ini menghasilkan hubungan industrial di mana sering
terjadi konflik atau sengketa dalam hubungan tersebut.

4
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.

4
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

Di Indonesia, untuk menyelesaikan konflik di bidang hubungan industrial,


terdapat pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Hubungan Industrial.
Keberadaan PHI, yang dikenal sebagai Undang-Undang Perlindungan dan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI), telah disetujui dalam
rapat paripurna DPR RI. Kemudian, diundangkan oleh Presiden dan menjadi UU
No. 2 Tahun 2004, yang berlaku efektif setahun kemudian. 5 Dengan berlakunya
UU No.2 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada
Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi, dinilai tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat,
tepat, adil, dan biaya terjangkau. UU No. 2 Tahun 2004 memberikan peluang
kepada para pencari keadilan, khususnya pekerja, untuk menyelesaikan
perselisihan atau gugatan mereka melalui pengadilan. 6
Dalam rangka mencapai ketertiban dan mencegah terjadinya pertentangan
dan sengketa, diperlukan adanya ketentuan atau kaidah hukum yang harus diikuti
oleh seluruh anggota masyarakat. Penyelesaian sengketa, pada dasarnya,
merupakan cara, prosedur, atau mekanisme yang digunakan oleh pihak-pihak
terkait untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik yang timbul antara mereka.
Penegakkan hukum dalam sengketa perdata, ada dua jalur penyelesaian yang
dapat diambil. Pertama, penyelesaian secara damai di luar pengadilan (non-
litigasi), yang melibatkan negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Jalur ini melibatkan
proses dialog dan penyelesaian yang berdasarkan kesepakatan antara pihak-pihak
yang terlibat dalam sengketa. Kedua, penyelesaian melalui pengadilan (litigasi),
yang melibatkan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Dalam
litigasi, sengketa diselesaikan melalui proses persidangan di pengadilan dan
keputusan akhir diberikan oleh pengadilan. 7 Kedua jalur tersebut memberikan

5
Della Feby et al, 2007, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial: Panduan Bagi Serikat
Buruh, TURC, Jakarta.
6
Aam Suryamah, “Aspek Hukum Acara Perdata Dalam Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial”, Jurnal Adhaper, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2016.
7
Sufi arina, “Kewajiban Upaya Non Adjudikasi Sebagai Syarat Mendaftarkan Gugatan
Guna Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Tinjauan atas Perma No. 1
Tahun 2008)”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Unpad, Vol. 1, No. 121, Desember 2014.

5
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

pilihan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa perdata untuk mencapai
penyelesaian yang dianggap paling sesuai dan efektif dalam kasus tertentu.
a. Perselisihan Upah Pada Gugatan Hukum Acara Perdata
Dalam pengadilan perselisihan hubungan industrial, permasalahan yang
kerap terjadi yakni sengketa perselisihan kepentingan serta sengketa
perselisihan hak. Sengketa-sengketa ini sering kali muncul karena adanya
kesalahan dalam menginterpretasikan definisi dan makna "perselisihan hak"
serta "perselisihan kepentingan". Sengketa upah masuk dalam kategori
perselisihan hak, yang berarti bahwa sengketa ini timbul karena hak-hak yang
tidak dipenuhi sebagai akibat dari perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dalam banyak kasus,
sengketa upah terjadi karena adanya perbedaan dalam penerapan ataupun
penafsiran terhadap perjanjian kerja. Selaku contoh, suatu industri ataupun
pengusaha mem bagikan pendapatan ataupun upah kepada para pekerjanya,
namun para pekerja menolaknya karena terdapat perbedaan definisi dalam
perjanjian kerja yang telah disepakati. Sengketa semacam ini masuk dalam
kategori perselisihan hak.8
Dalam konteks hubungan kerja, upah diberikan sebagai hasil dari
adanya perintah untuk melakukan pekerjaan. Ketiga unsur ini umumnya
disepakati oleh kedua belah pihak dalam bentuk perjanjian kerja bersama
yang dituangkan secara tertulis. Perselisihan upah kemudian terjadi ketika
kesepakatan kerja yang sudah terbuat antara pekerja serta pengusaha tidak
dipenuhi. Dalam perihal ini, ada faktor ingkar janji ataupun wanprestasi, di
mana salah satu pihak tidak penuhi kewajibannya cocok dengan kesepakatan
yang sudah terbuat .
Dalam banyak kasus, perselisihan upah seringkali terjadi karena ketidak
idealitas kondisi di lapangan, baik dari pihak pengusaha maupun pihak
pekerja. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal ini, termasuk:

8
A.Pieter, Paulus, “Upaya Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Undang-undang No.2 Tahun 2004”, Lex Et Societatis, Vol. 6, No. 5, Juli 2018

6
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

1) Pihak pengusaha lebih mengutamakan keuangan industri buat penuhi


kebutuhan bahan baku industri.
2) Ketidakmampuan pengusaha membayar upah sesuai dengan standar Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK), sementara pekerja berada dalam posisi
daya tawar rendah karena membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga.
3) Penerapan konsep berpikir ekonomi oleh pihak pengusaha, yang
terinspirasi oleh prinsip ekonomi "dengan pengorbanan sekecil-kecilnya
untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya". Hal ini dapat menyebabkan
pengusaha berupaya meminimalkan biaya upah dan menghasilkan
keuntungan sebesar mungkin.
4) Ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja di
lapangan pekerjaan atau industri, di mana banyaknya penawaran tenaga
kerja tidak sebanding dengan permintaan yang ada.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan ingkar janji atau wanprestasi
dalam perselisihan upah antara pengusaha dan pekerja karena adanya
ketidakcocokan antara harapan dan kondisi nyata di lapangan.
b. Perselisihan Upah Pada Hubungan Industrial
Pada prakteknya, ikatan antara pengusaha serta pekerja tidak senantiasa
harmonis. Secara naluriah, pengusaha biasanya berupaya buat menekan
bayaran pengeluaran guna meraih keuntungan yang optimal. Dalam
komponen biaya total, terkadang komponen yang terpaut dengan pekerja jadi
korban sebab bersifat internal, dibanding dengan komponen eksternal
semacam bayaran bahan baku ataupun energi. Pengusaha bisa mengambil
langkah-langkah semacam tidak menaikkan pemasukan pekerja buat jangka
waktu tertentu ataupun apalagi mengurangi hak-hak tertentu yang dipunyai
pekerja. Di sisi lain, pekerja pasti mengharapkan peningkatan pemasukan
secara berkala buat menanggulangi meningkatnya beban bayaran hidup.
Mereka perlu mengantisipasi kenaikan biaya hidup yang selalu terjadi.
Peningkatan penghasilan secara berkala menjadi harapan bagi pekerja dalam
mencapai stabilitas keuangan pribadi mereka. Dalam situasi ini, terdapat
perbedaan sudut pandang antara pengusaha dan pekerja terkait dengan upah.

7
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

Pengusaha cenderung fokus pada penghematan biaya, sementara pekerja


menginginkan peningkatan penghasilan untuk menjaga keseimbangan
ekonomi pribadi mereka. Perbedaan ini dapat menyebabkan ketegangan
dalam hubungan antara pengusaha dan pekerja.
Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebelum
mengajukan gugatan ke pengadilan dalam proses non-litigasi, terlebih dahulu
diupayakan atau disyaratkan melalui mekanisme atau proses bipartit.
Mekanisme ini melibatkan perundingan antara pihak pekerja atau serikat
pekerja dengan pihak pengusaha. Tujuan dari perundingan bipartit adalah
mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat. Dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui proses bipartit, pihak-
pihak yang terlibat diwajibkan untuk berusaha mencapai penyelesaian melalui
perundingan. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka kedua belah pihak akan
membuat Risalah Perundingan yang memuat setidaknya ketentuan yang
diatur dalam Pasal 6 UUPPHI. Proses bipartit ini merupakan tahap awal yang
harus dilewati sebelum memasuki tahap mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.
Melalui proses bipartit, diharapkan bahwa pihak-pihak dapat mencapai
kesepakatan secara damai dan menghindari pertempuran hukum di
pengadilan.
Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat proses non-
litigasi, salah satu ataupun kedua belah pihak yang ikut serta mencatatkan
perselisihan tersebut kepada institusi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, semacam Dinas Tenaga Kerja setempat. Pada dikala
pengajuan, pihak yang mencatatkan perselisihan wajib melampirkan fakta
kalau sudah dicoba upaya-upaya penyelesaian lewat negosiasi bipartit. 9
Setelah itu pegawai pencatat di Dinas Tenaga Kerja setempat harus
menawarkan kepada para pihak buat menyepakati penyelesaian lewat
konsiliasi ataupun arbitrase. Bila para pihak tidak membuat opsi penyelesaian
tersebut dalam waktu 7 hari, hingga pegawai pencatat hendak melimpahkan

9
Dalimunthe, N, “Upaya Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Pemberian Upah Buruh
yang Tidak Sesuai dengan Penetapan Upah Minimum”, Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK),
Vol. 4, No. 6, Juni 2022

8
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

penyelesaian perselisihan kepada seseorang mediator cocok dengan syarat


Pasal 4 ayat (1) serta (2) UUPPHI. Proses penyelesaian perselisihan lewat
negosiasi bipartit wajib dituntaskan dalam jangka waktu optimal 30 hari
semenjak dimulainya negosiasi Bila dalam waktu 30 hari salah satu pihak
menolak buat berunding ataupun negosiasi tidak menggapai konvensi hingga
negosiasi bipartit dikira kandas Tetapi bila konvensi tercapai antara pihak-
pihak yang bersengketa, hingga hendak terbuat Perjanjian Bersama yang
setelah itu didaftarkan ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.
Apabila perselisihan upah tersebut setuju buat dituntaskan lewat proses
litigasi, faktor dalam Pasal 108 UU PPHI bisa dijadikan dasar buat
menuntaskan perselisihan yang memiliki makna yang sama dengan vonis
serta-merta. Tetapi dalam peradilan perdata, hakim tidak diperbolehkan
dengan gampang menghasilkan putusan serta-merta. Dalam HIR serta Rbg,
dan Surat Edaran Mahkamah Agung, ada sebagian ketentuan ataupun
keadaan yang membolehkan hakim buat menghasilkan vonis serta-merta.
Sebagian ketentuan tersebut antara lain, gugatan wajib didasarkan pada alas
hak yang berupa akta otentik ataupun oleh akta bawah tangan yang diakui,
ataupun didasarkan pada vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Dalam praktiknya, jarang terjadi putusan sela di persidangan pertama
yang menghukum pengusaha untuk membayar upah selama proses
persidangan. Bahkan, jarang pula terjadi penetapan oleh majelis hakim untuk
melakukan sita jaminan terhadap perusahaan. Selain itu, hakim juga jarang
memerintahkan para pihak untuk menyingkap dokumen saat proses
pembuktian berlangsung. Hal ini terkait dengan ketentuan dalam UU PPHI, di
mana dalam salah satu pasal disebutkan bahwa yang berlaku dalam
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata
biasa kecuali diatur lain.
Dalam penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan
UUPPHI, langkah pertama yang harus dilakukan adalah upaya non-litigasi, di
mana para pihak yang terlibat perselisihan mencoba menyelesaikannya
melalui perundingan bipartit. Jika upaya tersebut tidak berhasil, kemudian
dilakukan upaya tripartit melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Jika

9
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

semua upaya tersebut tidak berhasil, langkah selanjutnya adalah melanjutkan


ke upaya litigasi dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. 10 Berlakunya UUPPHI, dalam Pasal 57 menetapkan kalau hukum
acara yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial ialah Hukum Acara
Perdata yang berlaku di peradilan dalam kawasan Peradilan Umum. Dengan
demikian, baik pihak pengusaha ataupun pihak pekerja wajib mempunyai
uraian tentang proses hukum kegiatan perdata supaya bisa mengalami
persidangan di pengadilan dengan baik.
II. Keberadaan Hukum Acara Perdata Dalam Perselisihan Hak Upah
Pekerja Honorer
a. Keberadaan Hukum Acara Perdata Pada Perselisihan Upah
Upah merupakan hak yang dimiliki oleh pekerja. Dalam konteks hak
pekerja terkait upah, hak merupakan klaim yang dibuat oleh individu atau
kelompok terhadap individu atau masyarakat lainnya. 11 Ada beberapa ciri
yang melekat pada hak menurut hukum, yaitu:
1) Hak tersebut terkait dengan individu yang disebut pemilik atau subjek hak.
Individu tersebut juga dianggap sebagai pemilik atau memiliki
kepemilikan atas barang yang menjadi objek hak.
2) Hak tersebut ditujukan kepada individu lain sebagai pemegang kewajiban.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang saling terkait.
3) Hak yang dimiliki oleh seseorang mengharuskan pihak lain untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Isi dari hak tersebut dapat
dianggap sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak lain.
4) Seseorang yang memiliki kewajiban untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan disebut sebagai objek dari hak tersebut.
5) Setiap hak menurut hukum memiliki titel, yaitu suatu peristiwa hukum
tertentu yang menjadi dasar atau alasan mengapa hak tersebut melekat
pada pemiliknya.

10
Sudiarawan, “Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis
Pemberdayaan Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Dalam Mencari
Keadilan”, ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 3, No. 1, Januari 2018
11
Muhamad Erwin, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.

10
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

Upah ialah hak pekerja, diatur dalam Pasal 1 ayat (30) UU No.13 Tahun
2003. Pasal ini menarangkan kalau upah merupakan hak yang diterima oleh
pekerja/buruh dalam wujud uang selaku imbalan dari pengusaha ataupun
pemberi kerja, yang diresmikan serta dibayarkan bersumber pada perjanjian
kerja, kesepakatan, ataupun peraturan perundang-undangan. Upah pula
mencakup tunjangan untuk pekerja/buruh serta keluarganya atas pekerjaan
dan/atau jasa yang sudah ataupun hendak dilakukan.
Pemerintah mempunyai kepentingan buat menetapkan kebijakan
pengupahan yang bisa menjamin standar penghidupan yang layak untuk
pekerja/buruh serta keluarganya, tingkatkan produktivitas, tingkatkan daya
beli warga dan mendorong investasi buat perkembangan ekonomi serta
ekspansi peluang kerja, sekalian sanggup mengatur laju inflasi.
Pada hukum acara perdata, terdapat prinsip "uitvoerbaar bij voorraad"
yang dapat diterjemahkan sebagai putusan serta-merta atau putusan yang
dapat segera dieksekusi meskipun belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam konteks perselisihan upah, wanprestasi terjadi ketika ada pelanggaran
terhadap tindakan yang sudah disepakati dan dapat dituntut. Wanprestasi
terjadi ketika upah tidak dipenuhi sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, baik karena kesalahan dari pihak pengusaha
(dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian) atau karena keadaan
memaksa yang di luar kemampuan pihak pengusaha. Dalam kasus
perselisihan hak akibat wanprestasi, gugatan dapat diajukan untuk menuntut
ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata. Gugatan ini pada
dasarnya memerlukan pernyataan lalai dalam bentuk perjanjian kerja.
b. Pentingnya Hukum Acara Perdata..Pada Perselisihan Upah Pekerja Honorer
atau Kontrak
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah
ditetapkan upah minimum bagi pekerja berdasarkan kebutuhan hidup layak,
dengan mempertimbangkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Penetapan upah minimum dilakukan berdasarkan wilayah provinsi atau

11
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

kabupaten/kota, serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau


kabupaten/kota.12
Dalam pengaturan upah minimum, pemerintah mengacu pada UU
Ketenagakerjaan. Pasal 90 ayat (1) yang menyatakan “bahwa pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 89. Jika terdapat pengusaha yang melanggar ketentuan ini, Pasal
185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha tersebut
dapat dikenai sanksi pidana, yaitu penjara dengan rentang waktu minimal 1
(satu) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun, karena memberikan upah kepada
pekerja di bawah upah minimum yang ditetapkan dalam peraturan hukum.
Pasal-pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Ikatan Industrial membagikan terobosan dalam hukum acara
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Walaupun hukum kegiatan yang
berlaku di PHI merupakan hukum kegiatan perdata, ada sebagian syarat yang
mengganti aplikasi hukum kegiatan perdata di majelis hukum negara Salah
satu syarat tersebut merupakan Pasal 96 ayat (1) UU PPHI. Pasal ini
melaporkan kalau majelis hakim PHI harus lekas menjatuhkan putusan sela
yang berbentuk perintah kepada pengusaha buat membayar upah beserta hak-
hak lain yang biasa diterima oleh pekerja. Putusan sela ini diberikan pada
sidang awal bila teruji kalau pengusaha tidak membayar upah serta hak-hak
yang lain sepanjang proses penyelesaian perselisihan ikatan industrial. Bila
pengusaha masih menolak mematuhi putusan sela, hakim bisa memerintahkan
sita jaminan atas peninggalan industri bersumber pada Pasal 96 ayat (3) UU
PPHI.
Namun pada prakteknya saat ini pekerja honorer atau kontrak di
Indonesia, baik di sektor publik maupun sektor swasta, tidak mendapatkan
perlindungan hukum yang massif dan regulasi yang tegas. Hal ini
menimbulkan ketidakpastian dan kerentanan bagi para pekerja honorer.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, terdapat
kekosongan hukum atau vakum norma dalam perlindungan pekerja honorer

12
Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 32, No. 1, Februari 2015

12
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

atau kontrak di Indonesia. Hal ini menunjukkan perlunya adanya penyesuaian


atau penyempurnaan hukum yang mengatur perlindungan mereka secara jelas
dan tegas. Kedua, diperlukan terobosan hukum dalam penyelesaian
perselisihan upah bagi pekerja honorer atau kontrak. Mekanisme penyelesaian
perselisihan tersebut perlu dirancang secara khusus agar dapat memberikan
kepastian dan keadilan bagi para pekerja honorer atau kontrak. Ketiga, hukum
acara perdata sebagai pondasi hukum formal harus mampu menangani
permasalahan perselisihan upah pekerja honorer atau kontrak di Indonesia.
Penggunaan hukum acara perdata yang tepat dan efektif dapat menjadi
landasan bagi penyelesaian perselisihan tersebut.
Oleh karena itu, dalam penyelesaian perselisihan upah bagi pekerja
honorer atau kontrak, penting bagi hakim untuk berani mengeluarkan putusan
serta-merta. Putusan tersebut harus didasarkan pada prinsip keadilan untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja honorer atau kontrak. Hal ini menjadi
kuat karena putusan dapat merujuk pada dasar filosofis yang memperhatikan
keadilan sosial dan perlindungan hak-hak pekerja. Dalam hal ini, putusan
hakim dapat didasarkan pada alasan yang sah, seperti akta otentik atau akta
bawah tangan yang diakui, seperti kesepakatan kerja. Dengan demikian,
putusan serta-merta yang mengatur kewajiban pembayaran upah yang
diabaikan dapat memberikan jaminan keadilan bagi pekerja honorer atau
kontrak.
Karena hukum acara perdata mempunyai kedudukan yang berarti dalam
penyelesaian tuntutan upah pekerja ataupun kontrak. Hukum acara perdata
membagikan kerangka hukum yang terstruktur serta terorganisir dalam
penyelesaian perselisihan upah. Perihal ini membantu menangani proses
hukum yang adil serta dapat dimengerti oleh seluruh pihak yang ikut serta
dan hukum acara perdata memberikan perlindungan hukum yang kokoh
terhadap hak-hak pekerja honorer ataupun kontrak
Melalui proses hukum yang teratur, pekerja memiliki akses untuk
menuntut ganti rugi dan penyelesaian atas sengketa upah yang timbul dan
memberikan prosedur dan mekanisme yang formal untuk penyelesaian
sengketa upah. Hal ini memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk

13
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

mengajukan gugatan, mengumpulkan bukti, dan mempresentasikan argumen


mereka di hadapan pengadilan. Hukum acara perdata memberikan wewenang
kepada pengadilan untuk menegakkan kepatuhan terhadap hukum. Jika
pengusaha melanggar kewajibannya dalam membayar upah pekerja honorer
atau kontrak, hakim dapat mengeluarkan putusan serta-merta yang
mengharuskan pengusaha membayar upah yang seharusnya diterima oleh
pekerja.

PENUTUP
Dari analisis di atas, bisa disimpulkan kalau dalam perselisihan upah pekerja
honorer, hakim mempunyai kewenangan buat menghasilkan putusan sela di
sidang kesatu yang menghukum pengusaha membayar upah sepanjang proses.
Tetapi dibutuhkan keberanian serta kepercayaan yang kokoh dalam mengambil
keputusan tersebut. Tidak hanya itu, Hukum Acara Perdata pula bisa menegaskan
berartinya para pihak dalam mengatakan dokumen dikala proses pembuktian
berlangsung. Perihal ini nampak jelas dalam salah satu pasal dalam Undang-
Undang Penyelesaian Perselisihan Ikatan Industrial yang mengatakan kalau
hukum acara perdata biasa berlaku dalam Perselisihan Hubungan Industrial
kecuali diatur lain.
Hukum Acara Perdata memainkan peran yang penting dalam penyelesaian
perselisihan upah pekerja honorer atau kontrak. Melalui kerangka hukum yang
jelas, perlindungan hak-hak pekerja, mekanisme penyelesaian sengketa yang
formal, prinsip-prinsip keadilan, dan penegakan kepatuhan terhadap hukum,
Hukum Acara Perdata memberikan fondasi yang kuat dalam memastikan keadilan
dan perlindungan bagi pekerja honorer atau kontrak dalam hal upah yang mereka
terima.

14
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Feby Della dkk, 2007, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial: Panduan


Bagi Serikat Buruh, TURC, Jakarta,
Muhamad Erwin, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.

B. Jurnal

A.Pieter, Paulus, “Upaya Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial Berdasarkan Undang-undang No.2 Tahun 2004”, Lex Et
Societatis, Vol. 6, No. 5, Juli 2018
Aam Suryamah, “Aspek Hukum Acara Perdata Dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial”, Jurnal Adhaper, Vol. 2, No. 1,
Januari – Juni 2016
Charda, “Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan Dalam Perlindungan
Hukum Terhadap Tenaga Kerja”, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 32,
No. 1, Februari 2015
Dalimunthe, N, “Upaya Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Pemberian
Upah Buruh yang Tidak Sesuai dengan Penetapan Upah Minimum”,
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), Vol. 4, No. 6, Juni 2022
Ferricha, D, “Eksistensi Hukum Acara Perdata dalam Penyelesaian
Perselisihan Hak tentang Upah pada Pekerja Honorer di Indonesia”.
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 4, No. 2, Desember
2018
Sudiarawan, “Konsep Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis
Pemberdayaan Sebagai Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum
Terhadap Buruh Dalam Mencari Keadilan”, ADHAPER: Jurnal Hukum
Acara Perdata, Vol. 3, No. 1, Januari 2018
Sufi arina, “Kewajiban Upaya Non Adjudikasi Sebagai Syarat Mendaftarkan
Gugatan Guna Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan (Tinjauan atas Perma No. 1 Tahun 2008)”, Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 1, No. 121, Desember 2014
Syarifudin, Ateng, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
Bersih dan Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia. Edisi IV,
Universitas Parahyangan, Vol. 1, No. 1, Juni 2014
C. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

15
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

16
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

LAMPIRAN BIODATA PENULIS

Penulis Pertama

Nama (dengan gelar) : Arief Ramadhan


Tempat, tanggal lahir : Padang, 27- November- 2000
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat Lengkap : JLN. Bougenville No.8 Flamboyan Baru, Kota Padang
No. HP : 082122850278
Email : arieframadha556@gmail.com
Pekerjaan : Mahasiswa
Institusi : Universitas Bung Hatta
Pendidikan Formal
1. 2006 - 2012 : SDN 26 Rimbo Kaluang
2. 2012 - 2015 : SMP ADABIAH Padang
3. 2015 - 2018 : SMA ADABIAH Padang

17
Konferensi Nasional Hukum (KONASH)III | https://hukum.bunghatta.ac.id/index.php

Penulis Kedua, dst

Nama (dengan gelar) : Shalsya Berkiea Belana


Tempat, tanggal lahir : Padang Panjang, 14 Juli 2001
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat Lengkap : JLN Kurao Pagang , siteba, Kota Padang
No. HP : 081378389327
Email : berkiasalsa14@gmail.com
Pekerjaan : Mahasiswi
Institusi : Universitas Bung Hatta
Pendidikan Formal
1. 2007 - 2013 : SD Islam Jihad
2. 2013 - 2016 : SMPN 1 Padang Panjang
3. 2016 - 2019 : SMAN 2 Padang Panjang

18

Anda mungkin juga menyukai