Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah- Nya, pemateri bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul "Aspek
Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hubungan Kerja ( Daring Emplyoment )". Tidak
lupa pemateri mengucapkan terima kasih kepada Ika Atikah, S.H.I, M.H selaku
dosen pembimbing Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan, yang telah membantu
dalam memberikan arahan kepada kami selaku pemateri dalam mengerjakan karya
ilmiah ini. Pemateri juga mengucapkanterima kasih kepada teman-teman yang telah 
berkontribusi dalam pembuatan karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini memberikan panduan dalam pembelajaran Hukum


Ketenagakerjaan. Semoga hasil karya ilmiah ini dapat menjadi salah satu sumber
pembelajaran untuk teman-teman sekalian agar lebih bisa memahami, mendalami
dan menambah keilmuan serta wawasan mengenai materi mata kuliah
yang akan pemateri sampaikan.Pemateri menyadari banyaknya kekurangan pada kar
ya ilmiahini. Oleh sebab itu, saran dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan
karya ilmiah yang akan mendatang.

Serang, 23 April2022

 
penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Aspek Hukum Ketenagakerjaan dan Hubungan industrial merupakan hubungan antara


pelaku proses produksi barang maupun jasa yaitu pengusaha, pekerja dan pemerintah.
Hubungan industrial bertujuan untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis
dan dinamis antara pelaku proses produksi tersebut. Oleh karena itu masing-masing
pelaku produksi tersebut harus melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing
secara baik. Fungsi pekerja/SP/SB adalah melaksanakan pekerjaan sesuai
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi
secara demokratis serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan pekerja dan beserta keluarganya. Fungsi pengusaha dan organisasi
pengusaha adalah menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas
lapangan kerja. Sedangkan fungsi pemerintah adalah menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, pengawasan dan penindakan terhadap pelanggarnya. Dengan
terciptanya hubungan industrial yang serasi, aman, dan harmonis diharapkan dapat
meningkatkan produksi dan produktivitas kerja, sehingga dengan demikian
perusahaan akan dapat tumbuh dan berkembang sehingga kesejahteraan pekerja dapat
ditingkatkan. Dalam hubungan indutrial yang terlibat langsung dalam proses produksi
adalah pengusaha dan pekerja, sedangkan pemeritah tidak terlibat secara langsung.
Oleh karena itu pengusaha dan pekerja terlibat dalam suatu hubungan kerja yang
menimbulkan hak dan kewajiban.

Undang-undang No.13 Tahun 2003 telah mengatur sistem Ketenagakerjaan yang


disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Diperkuat lagi dengan terbitnya UU No.2 Tahun 2004
mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang memiliki dampak
sangat besar dalam penanganan masalah-masalah perselisihan perburuhan di
Indonesia. Pemerintah telah menerapkan UU yang sekaligus menghapus fungsi P4D
maupun P4P yang selama ini berfungsi sebagai lembaga penyelesaian perselisihan
perburuhan tingkat daerah dan pusat.

Didalam UU tersebut telah diatur beberapa hal mengenai apa saja yang harus tertuang
dalam perjanjian kerja, persyaratan dan konsekwensinya, dimana terbagi ke dalam
dua perbedaan yaitu: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja
Waktu Tak Tertentu (PKWTT), dan Borongan Pekerjaan (Outsourcing), Penyelesaian
Hubungan Industrial dan PHK. Namun, dalam perjalanan waktu ada beberapa
peraturan yang akan berubah terkait dalam perlindungan mengenai hak-hak pekerja
terutama dalam mekanisme teknis pembayaran pesangon pekerja yang di PHK.
Dalam pelatihan ini akan membahas masalah perancangan konsep perjanjian,
penyelesaian dalam permasalahan hubungan industrial, dan manajemen PHK.

B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Lahirnya Hubungan Kerja?
B. Bagaimana Perlindungan Norma Kerja?
C. Bagaimana Pengawasan Perburuhan?
D. Bagaimana Perselisihan Perburuhan/Hubungan Industrial?
E. Bagaimana Keselamatan Dan Kesehatan Kerja?
F. Bagaimana Perlindungan Upah?
G. Apa itu Jamsostek?
C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana perjanjian kerja sebagai dasar lahirnya


hubungan kerja, perlindungan norma kerja, pengawasan perburuhan,
perselisihan perburuhan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan upah
dan penjelasan tentang jamaostek.
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan yang


membacanya untuk mengetahui dan menambah ilmu pengetahuan tentang
Aspek Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hubungan Kerja ( Daring Emplyoment
).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Lahirnya Hubungan Kerja

Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja/buruh (P/B, Karyawan)
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja,hak dan kewajiban
para pihak (Pasal 1 angka 14 UUK). Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis dan dapat
dibuat secara lisan (Pasal 51 ayat (1) UUK).
Syarat sahnya perjanjian kerja, mengacu pada syarat sahnya perjanjian (perdata) pada
umumnya, yakni :
a. adanya kesepakatan antara para pihak tidak ada dwang-paksaan- dwaling –
penyesatan/kekhilafan – atau bedrog – penipuan);
b. pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk (bertindak)
melakukakn perbuatan hukum (cakap usia dan tidak dibawah perwalian/pengampuan);
c. ada (objek) pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. (cause) pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52 ayat (1) UUK);
Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh pihak-pihak tidak memenuhi 2 syarat awal sahnya
(perjanjian kerja) sebagaimana tesebut yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak
cakap untuk bertindak, maka perjanjian kerja dapat dibatalkan. Sebaliknya apabila perjanian
kerja dibuat tidak memenuhi 2 syarat terakhir sahnya (perjanjian kerja) yakni objek
(pekerjaannya) tidak jelas dan causanya tidak memenuhi ketentuan, maka perjajiannya batal
demi hukum (null and void).

Sebagaimana perbandingan, dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata,


Burgerlijke wetbook). Pengertian perjanjian kerja (arbeidsoverrnkomst) terdapat dalam Pasal
1601a yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu buruh mengikatkan diri untuk bekerja
pada pihak yang lain (majikan), selama waktu tertentu dengan menerima upah. Pengertian
tersebut terkesan hanya sepihak saja, yakni hanya buruh yang mengikatkan diri untuk bekerja
pada majikan (pengusaha). Oleh karenanya , Prof. Soepomo berpendapat bahwa perjanjian
kerja seharusnya adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu (buruh) mengikatkan diri
untuk bekerja pada pihak lain (majikan) selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah
dan pihak yang lain (majikan) mengikatkan diri untuk mempekerjakan pihak yang satu
(buruh) dengan membayar upah.1

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian kerja setidak-tidaknya


mengandung 4 unsur, yakni ada unsur pekerjaan, ada upah, dan ada (dibawah) perintah serta
ada waktu tertentu
1
https://jdih.kemnaker.go.id/berita-hubungan-kerja-dan-pemutusan-hubungan-kerja.html
B. Perlindungan Norma Kerja
Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja yang berkaitan
dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, mengaso, istirahat (cuti). Perlindungan ini
sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak tenaga kerja sebagai manusia yang harus
diperlakukan secara manusiawi dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan
fisiknya, sehingga harus diberikan waktu yang cukup untuk beristirahat.2

Dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni Undang-undang


No. 12 Tahun 1948 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang tenaga kerja yang saat ini
sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 13 Tahun 2003 maka
pembahasan mengenai perlindungan norma kerja meliputi:

1. Pekerja Anak
Berdasarkan pasal 1 angka (26) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas)
tahun. Batasan ini berbeda dengan Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan (saat ini sudah tidak berlaku lagi) yang memberikan pengertian anak adalah
orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.

Batas umur bekerja ini sesuai dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi ILO Nomor. 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja,
menyebutkan usia minimun tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun.
Dengan demikian mengenai batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak
dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18
tahun.3

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68 Undang-undang No. 13 Tahun 2003).


Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat
memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi penerus bangsa.

2. Pekerja Perempuan

Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 (pasal 76 ayat 1). Selanjutnya
disebutkan pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
2
https://www.trigonalmedia.com/2015/06/perlindungan-norma-kerja.html?m=1
3
Melania Kiswandari, Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Dalam, Aloysius Uwiyono dkk. Asas-asas Hukum
Perburuhan. (Jakarta; Rajawali Pers. 2014), h. 75
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00 wajib:
Dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa:

Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana
dimaksud adalah:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu, atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan pengusaha wajib memberi waktu
istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh yang meliputi:

Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat)
jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.
Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua )
hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Perlindungan-perlindungan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan yakni
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk
memberikan kepastian pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja,
waktu istirahat (cuti). Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja
sebagai yang harus diperlakukan secara manusiawi.

C. Pengawasan Perburuhan
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menegakan melalui Pengawas Perburuhan sebagai
bentuk nyata affirmative action guna memberikan perlindungan terhadap buruh. Hal ini
didasari pada Negara Indonesia sebagai Negara Kesehjahteraan. Sementara saat ini fungsi
penegakan hukum pada Pengawas Perburuhan belum dapat melakukan fungsinya secara
menyeluruh terutama dalam hal penegakan hukum, sehingga menyebabkan terpengaruhinya
perwujudan kesejahteraan buruh di Indonesia.

Pengawasan perburuhan telah diatur dalan UU Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan
Perburuhan yang berbunyi :4

4
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN.
(1) Pengawasan Perburuhan diadakan guna :
a. mengawasi berlakunya Undang-undang dan peraturanperaturan perburuhan pada
khususnya;
b. mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan
keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat Undang-undang
dan peraturan-peraturan perburuhan;
c.menjalankan pekerjaan lain-lainnya yang diserahkan kepadanya dengan
Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.
(2) Menteri yang diserahi urusan perburuhan mengadakan laporan tahunan tentang
pekerjaan pengawasan perburuhan.

D. Perselisihan Perburuhan/Hubungan Industrial

Sebelumnya istilah Perselisihan Hubungan Industrial disebut dengan Perselisihan Perburuhan


sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tabun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Menurut UU No. 22 Tahun 1957 tersebut, yang dimaksud dengan Perselisihan
Perburuhan adalah:
"Pertentangan antara majikan atau perikumpulan majikan dengan serikat buruh atau
gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”. (Pasal 1 ayat 1 huruf c)

Yang di maksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena salah satu
pihak tidak memenuhi isi perjanjin kerja, perjanjian perburuhan,menyalahi ketentuan hukum.
Sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul berhubung dengan tidak
adanya penyesuaian paham mengenai syarat syarat kerja atau keadaan perburuhan5

Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh/ serikat buruh
karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan hubungan
pemutusan kerja serta perselisihan antara serikat buruh yang satu perusahaan.

E. Keselamatan dan Kesehatan Kerja


1. Pengertian Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja adalah suatu jenis perlindungan terhadap pekerja /agar selamat dari
5
Zainal asikin, dkk., Dasar Hukum Perburuhan, PT Rajgrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 166
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahkan yang dikerjakan. Menurut
Suma’mur, keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja
yang aman dan tentram bagi para karyawan yang mereka lakukan untuk bekerja di
perusahaan yang bersangkutan.6

Keselamatan Kerja telah diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang

keselamatan kerja dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 ayat (3), yang berbunyi:

“Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan

2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.

3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledak.

4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau

kejadian-kejadian lain yang berbahaya.

5. Memberi pertolongan pada kecelakaan.

6. Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja.

7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physic

maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan.

8. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.

9. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan cara dan

proses kerjanya.

10. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya

kecelakaannya bertambah tinggi.7

2. Pengertian Kesehatan Kerja

Sedangkan Kesehatan Kerja Menurut Wirawan (2015:543) mengemukakan bahwa

6
H. Zaeni Asyhadie dan Rahmawati Kusuma , Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia,
(Jakarta Timur: Prenade Media Group, 2019) hlm 120.
7
Cindi Dwi Yuliandi dan Eeng Ahman, “Penerapan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di
Lingkungan Kerja Balai Inseminasi Buatan (Bib)
Lembang” jurnal Manajerial. Vol, 18 No 2 (2019), 101.
kesehatan kerja adalah penerapan ilmu kesehatan atau kedokteran di bidang ketenagakerjaan
yang bertujuan untuk mencegah penyakit yang timbul akibat kerja dan mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan para pekerja/buruh untuk meningkatkan kinerja mereka. Hartatik
(2014:315) mengemukakan bahwa “kesehatan kerja merupakan suatu kondisi kesehatan yang
bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik jasmani,
rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit
umum”.8

Kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberi perlindungan bagi pekerja terhadap


pemerasan (eksploitasi) tenaga kerja oleh majikan misalnya untuk mendapatkan tenaga yang
murah. Kesehatan kerja merupakan penjagaan agar buruh melakukan pekerjaan yang layak
bagi kemanusiaan dan tidak hanya ditunjuk terhadap pihak majikan yang hendak melakukan
pemerasan tenaga pekerja, tetapi juga ditujukan terhadap pekerja itu sendiri, dimana dan
bilamana pekerja misalnya hendak memboroskan tenaganya dengan tidak mengindahkan
kekuatan jasmani dan rohaninya. Kesehatan kerja merupakan suatu hal yang penting dan
perlu diperhatikan oleh pihak pengusaha. Karena dengan adanya program kesehatan yang
baik akan menguntungkan para karyawan secara material, karena karyawan akan lebih jarang
absen, bekerja dengan lingkungan yang lebih menyenangkan, sehingga secara keseluruhan
karyawan akan mampu bekerja lebih lama (Mangkunegara, 2000).9

F. Perlindungan Upah
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 30 Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan, upah adalah hak


pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.10
8
Heri Nugraha dan Linda Yulia, “ Analisis Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan kerja dalam Upaya
Meminimalkan kecelakaan Kerja pada pegawai PT. KAI persero”, Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. 2 No. 2
(November,2019), 96.
9
Manda Dwipayani Bhastary dan Kusri Suwardi, “Analisis Pengaruh Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Dan
Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Di PT.Samudera Perdana”, Jurnal manajemen dan Keuangan, Vol.
7 No. 1 (Mei, 2018), 50
10
Evi Savitri Gani, “Sistem Perlindungan Upah Di Indonesia”, Jurnal Tahkim, Vol. XI No. 1 (Juni, 2015), 128-129
JENIS-JENIS UPAH, SISTEM UPAH DAN TEORI UPAH

Upah dapat dibedakan antara lain:

1. Lewat sudut nilainya, upah dibedakan antara upah nominal dan upah riil. Upah
nominal adalah jumlah yang berupa uang, sedangkan upah riil adalah banyaknya
barang yang dapat dibeli dengan jumlah uang itu. Bagi buruh yang penting ialah upah
riil ini, karena dengan upahnya itu harus mendapatkan cukup barang yang diperlukan
untuk kehidupannya bersama dengan keluarganya. Kenaikan upah nominal tidak
mempunyai arti baginya, jika kenaikan upah itu disertai dengan atau disusul oleh
kenaikan harga keperluan hidup dalam arti kata seluas-luasnya. Turunnya harga
barang keperluan hidup karena misalnya bertambah produksi barang itu, akan
merupakan kenaikan upah bagi buruh walaupun sejumlah uang yang terima dari
majikan adalah sama seperti sediakala. Sebaliknya naiknya harga barang keperluan
hidup, selalu berarti turunnya upah bagi buruh. Sebaliknya naiknya harga barang
keperluan hidup, selalu berarti turunnya upah bagi buruh.
2. Lewat sudut bentuknya, upah dibedakan antara upah berupa uang dan upah berupa
barang. Mengenai upah berupa uang itu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menetapkan bahwa pembayarannya harus dilakukan dengan mata uang yang berlaku
diIndonesia, yaitu rupiah. Upah berupa uang ini boleh ditetapkan dalam mata uang
asing, tetapi pembayarannya harus dilakukan dengan mata uang Indonesia. Dalam hal
demikian perhitungannya dilakukan menurut nilai (kurs) pada waktu dan di tempat
pembayaran dilakukan. Sedangkan upah berupa barang dapat berupa makanan,
pengobatan, perawatan, pengangkutan, perumahan, jasa dan sebagainya.11
Menurut cara menetapkan upah, terdapat berbagai sistem upah, antara lain sebagai
berikut:
a) Sistem upah jangka waktu.
Menurut sistem pengupahan ini upah ditetapkan menurut jangka waktu buruh
melakukan pekerjaan. Untuk tiap jam diberi upah jam-jaman, untuk bekerja harian
diberi upah harian, untuk seminggu bekerja diberi upah mingguan, untuk sebulan
bekerja dibari upah bulanan dan sebagainya.

11
Op.Cit
b) Sistem upah potongan
Sistem upah potongan ini seringkali digunakan untuk mengganti sistem upah jangka
waktu, dimana atau bilamana hasil pekerjaan tidak memuaskan. Karena upah ini
hanya dapat ditetapkan jika hasil pekerjaan dapat diukur menurut ukuran tertentu,
misalnya jumlah banyaknya, jumlah beratnya, jumlah luasnya dari apa yang
dikerjakan, maka sistem pengupahan ini tidak dapat digunakan di semua perusahaan.
c) Sistem upah permupakatan
Sistem pengupahan ini pada dasarnya adalah upah potongan, yaitu upah untuk hasil
pekerjaan tertentu, misalnya pada pembuatan jalan, pekerjaan memuat, membongkar
dan mengangkut barang dan sebagainya, tetapi upah itu bukanlah diberikan kepada
buruh masing-masing, melainkan kepada sekumpulan buruh yang bersama-sama
melakukan pekerjaan.
d) Sistem skala-upah berubah
Pada sistem skala upah berubah ini terdapat pertalian antara upah dengan harga
penjualan hasil perusahaan. Cara pengupahan ini dapat dijalankan oleh perusahaan
yang harga barang hasilnya untuk sebagian terbesar atau seluruhnya tergantung dari
harga pasaran di luar negeri. Upah akan naik atau turun menurut naik turunnya harga
penjualan barang hasil perusahaan.
e) Upah yang naik turun menurut naik turunnya angka indeks biaya penghidupan,
disebut upah indeks. Naik turunnya upah ini tidak mempengaruhi nilai riil dari upah.12

G. JAMSOSTEK
1) Pengertian Jamsostek
Jaminan sosial adalah suatu kebijakan publik dengan demikian harus jelas tujuan yang ingin
dicapai. Apakah tujuannya mendorong agar pekerja formal menabung bagi hari tuanya?
Apakah tujuannya agar pekerja formal mengasuransikan dirinya terhadap penyakit berat dan
kecelakaan? Apakah sistem Jamsosnas yang akan kita laksanakan direncanakan untuk
memiliki unsur pemerataan? Apakah tujuannya untuk juga melindungi pekerja informal?
Untuk memenuhi tujuan yang berbeda tersebut diperlukan berbagai kebijakan dan program
yang berbeda pula. Misalnya, program Jamsosnas yang mengharuskan peserta untuk mengiur
sangat tidaklah tepat bagi pekerja informal. Pekerja informal di Indonesia jumlahnya sangat
besar (sekitar 70% dari angkatan kerja) dan sangat tersebar diseluruh pelosok perdesaan

12
Op.Cit
sampai perkotaan. Biaya untuk memungut iuran ini akan sangat mahal dan tidak sebanding
dengan jumlah iuran yang dapat dikumpulkan. Dengan kata lain kuranglah tepat kalau
program Jamsosnas akan dibangun hanya menggunakan satu pilar untuk mencakup semua
jenis manfaat dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Program Jamsosnas harus dibangun
melalui beberapa pilar. Bagi masyarakat miskin program Jamsosnas akan lebih baik
diselenggarakan melalui program tersendiri yang dibiayai oleh dana pemerintah.13

Isu good governance dalam pelaksanaan Jamsosnas perlu mendapat perhatian


terutama di negara yang birokrasinya terkenal sarat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN). Program yang sudah ada seperti Jamsostek mempunyai angka tunggakan iuran yang
tinggi, nilai pengembalian investasi yang rendah, serta manfaat yang rendah pula. Dari
potensi peserta Jamsostek yaitu 22 juta pekerja formal, hanya sekitar 9 juta yang benar-benar
secara teratur membayar iuran tiap bulannya. Dilihat dari pendapatannya maka pekerja kita
baik di desa dan di kota yang berstatus kepala rumah tangga masih didominasi oleh mereka
yang berpendapatan antara 600-800 ribu rupiah perbulannya. Mereka yang berstatus kepala
rumah tangga yang berpendapatan di atas 1 juta rupiah perbulan hanyalah sekitar 4,5 juta
orang. 14

Masih banyak pekerja yang memperoleh upah di bawah upah minimum. Keadaan pasar
tenaga kerja juga masih belum menggembirakan. Sebagian besar dari pekerja kita di sektor
formal adalah pekerja yang kurang terampil (sekitar 50 % adalah lulusan SD). Dengan
demikian bila sampai mereka di PHK dari pekerjaan formal maka dapat terbayangkan akan
sangat lama bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan formal lagi. Apabila iuran yang
nantinya akan dipungut untuk membiayai program Jamsosnas dirasakan sangat berat baik
oleh pekerja maupuan pemberi kerja maka kemungkinan menciutnya lapangan pekerja formal
tidak dapat dihindari. Secara garis besar, jaminan sosial dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu yang bersifat jangka panjang seperti jaminan hari tua, pensiun, sementara putus kerja,
dan kematian serta jaminan yang bersifat jangka pendek seperti jaminan kesehatan dan
kecelakaan diri. Pendanaan jaminan sosial berbentuk asuransi sosial dapat dipaksakan kepada
setiap penduduk atau pemberi kerja. Pemaksaan pembayaran iuran, seperti halnya
pembayaran.15
13
Siti Ummu Adillah dan Sri Anik, “Kebijakan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Sektor Informal Berbasis
Keadilan Sosial Untuk Meningkatkan Kesejahteraan”, Jurnal Kebijakan Jaminan Sosial Tenaga, Vol. 4 No. 3
(September-Desember, 2015), 559.
14
Op.Cit

15
Op.Cit
2) Usaha Jamsostek
Jaminan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat
dan/atau pemerintah. Usaha tersebut dapat dikelompokkan

kedalam empat kegiatan usaha utama, yaitu sebagai berikut :

1. Usaha-usaha yang berupa pencegahan dan pengembangan, yaitu usaha-usaha di


bidang kesehatan, keagamaan, keluarga berencana, pendidikan, bantuan hukum, dan
lain-lain yang dapat dikelompokkan dalam pelayanan sosial (social service).
2. Usaha-usaha yang berupa pemulihan dan penyembuhan, seperti bantuan untuk
bencana alam, lanjut usia, yatim piatu, penderita cacat dan berbagai ketunaan yang
dapat disebut sebagai bantuan sosial (social assistance).
3. Usaha-usaha yang berupa pembinaan, dalam bentuk perbaikan gizi, perumahan,
transmigasi, koperasi, dan lain-lain yang dapat dikategorikan sebagai sarana sosial
(social infra structure).
4. Usaha-usaha di bidang perlindungan ketenagakerjaan yang khusus ditujukkan untuk
masyarakat tenaga kerja yang merupakan inti tenaga pembangunan dan selalu
menghadapai risiko-risiko sosial ekonomis, digolongkan dalam asuransi sosial (social
insurance).
Keempat kegiatan usaha utama tersebut, kemudian diaplikasikan
dalam berbagai sistem jaminan sosial untuk mengatasi risiko ekonomis

berupa:

1. Pencegahan dan penanggulangan;

2. Pelayanan dan tunjangan;

3. Bantuan sosial dan asuransi sosial;

4. Asuransi komersial dan asuransi sosial;

5. Penganggaran dan pendanaan;

Tujuan jaminan sosial pada prinsipnya adalah:

1. Sebagai sarana untuk memberikan perlindungan dasar bagi

pekerja/buruh guna mengatasi risiko-risiko ekonomis/sosial atau


peristiwa-peristiwa tertentu, seperti:

a. Kebutuhan akan pelayanan medis

b. Tertundanya, hilangnya atau turunnya sebagian penghasilan yang

disebabkan karena:

i. Sakit;

ii. Hamil;

iii. Kecelakan kerja dan penyakit jabatan;

iv. Hari tua;

v. Cacat;

vi. Kematian pencari nafkah.

c. Tanggung jawab untuk keluarga dan anak-anak.

2. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial dengan memberikan

ketenangan kerja bagi pekerja/buruh yang memiliki peranan besar bagi

pelaksana pembangunan.16

16
Nidya Waras Sayekti dan Yuni Sudarwati, “Analisis Terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs):
Transformasi Pada Bumi Penyelenggara Jaminan Sosial”

Anda mungkin juga menyukai