Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN KERJA INDIVIDUAL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Perburuhan

Dosen Pembimbing :

Rachmat S.Hi, M.H

Penyusun :

KELOMPOK 8

Aqilah Talidatuz Zahrah (C92219084)

Citra Nur Rachma (C92219088)

Lailatul Maghfirah (C92219106)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

TAHUN AJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
materi mata kuliah Hukum Perburuhan yang berjudul “Hubungan Kerja Individul”

Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rachmat selaku dosen
pembimbing kami dalam pembelajaran mata kuliah ini, juga kepada semua teman-teman yang
telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Harapan dari kami semoga penyusunan makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua
untuk menambah referensi dalam pembelajaran serta menjadi tambahan informasi mengenai
pentingnya pengetahuan bagi mahasiswa.

Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah
ini, Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran pembaca guna kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah ini kami susun, apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan dan
banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar- besarnya. Semoga bermanfaat.

Tim Penyusun

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

Halaman

COVER

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ....................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum Sopir dan Perusahaan Transportasi .......................................... 3


B. Perlindungan Buruh Migran Indonesia .................................................................. 6
C. PHK Dikategorikan Sebagai Pengunduran Diri ..................................................... 9
D. PHK Massal ......................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara wajar yang
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi
dan jaminan hari tua, karena tujuan dari pekerja melakukan pekerjaan adalah untuk
dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
27 ayat (2) menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”.
Pekerjaan tersebut dapat setiap orang peroleh melalui usaha sendiri ataupun
mengikatkan dirinya dengan pihak lain, seperti instansi maupun perusahaan. Dalam hal
orang yang akan bekerja dengan mengikatkan diri pada pihak lain tentunya dibutuhkan
adanya campur tangan dari pihak pemerintah maupun pengusaha, karena tanpa adanya
campur tangan dari kedua pihak tersebut setiap orang tidaklah dapat mengikatkan
dirinya untuk bekerja agar memperoleh penghidupan yang layak. Seseorang dikatakan
sebagai pekerja atau buruh apabila bekerja dengan mengikatkan dirinya pada
perusahaan atau swasta, dan dikatakan pegawai apabila seseorang bekerja dengan
mengikatkan dirinya pada pemerintah.
Banyaknya masyarakat yang bekerja dengan mengikatkan diri dengan pihak
lain khususnya pada perusahaan/swasta, maka hukum ketenagakerjaan mengatur
hubungan tersebut yang didasarkan adanya suatu hubungan kerja. Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.”.
Dari pengertian hubungan kerja tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan
kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha. Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha
berlangsung selama pekerja masih mengikatkan dirinya untuk bekerja, dan hubungan
kerja dapat berakhir setelah pekerja tidak lagi mengikatkan dirinya untuk bekerja,
sehingga hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha tidak selamanya dapat
berlangsung.

1
Perjanjian kerja sebagai sara pendahulu sebelum berlangsungnya hubungan
kerja, harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya, dalam arti mencerminkan keadilan
baik bagi pengusaha maupun buruh, karena keduanya akan terlibat dalam suatu
hubungan kerja. Dalam hubungan kerja antara buruh dan pengusaha kemudian
melahirkan hubungan hukum. Setiap hubungan kerja memberikan hak dan kewajiban
kepada buruh maupun pengusaha. Seta terdapat hukum yang memberikan perlindungan
kepada pihak buruh apabila terjadi perselisihan antar keduanya. Dan apabila terjadi
perselisihan maka, undang – undang disini akan menjadi penengah serta pemberi
keadilan bagi pihak – pihak yang berselisih.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Hubungan Hukum Sopir dan Perusahaan Transportasi !
2. Jelaskan Perlindungan Buruh Migran Indonesia !
3. Jelaskan Mengenai PHK Dikategorikan Sebagai Pengunduran Diri !
4. Apa yang dimaksud dengan PHK Massal ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui Hubungan Hukum Sopir dan Perusahaan
Transportasi.
2. Agar mahasiswa memahami Perlindungan Buruh Migran Indonesia.
3. Agar mahasiswa mengetahui PHK Dikategorikan Sebagai Pengunduran Diri.
4. Agar mahasiswa memahami PHK Massal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum Antara Sopir Dan Pengusaha Transportasi


1. Pengertian Hubungan Kerja
Menurut Soepomo, hubungan kerja adalah “Suatu hubungan antara seorang buruh
dengan majikan yang dimana hubungan kerja tersebut terjadi setelah adanya
perjanjian kerja, salah satu pihak yaitu buruh (pekerja) bersedia bekerja dengan
menerima upah sedangkan pengusaha memperkerjakan buruh (pekerja) dengan
memberi upah”1. Sedangkan menurut Husni, hubungan kerja adalah “Hubungan
antara buruh dengan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian
dimana pihak buruh mengikatkan dirinya pada pihak majikan untuk bekerja dengan
mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk
memperkerjakan buruh dengan membayr upah” 2. Hubungan kerja menurut pasal 1
angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan adalah “Hubungan antara
pengusaha dengan pekerja (buruh) berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki
unsur pekerjaan, upah, dan peritah”.
2. Unsur Hubungan Kerja
Unsur hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek, perjanjian kerja,
adanya pekerjaan, upah, serta perintah. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa
landasan hubungan kerja yaitu karena adanya perjanjian kerja, baik tertulis maupun
tidak tertulis. Sedangkan beberapa ahli berpendapat bahwa didalam perjanjian kerja
yang menjadi dasar hubungan kerja adalah empat unsur 3 :
a. Adanya pekerjaan (Pasal 1601 a KUHPerdata dan Pasal 341 KUH Dagang)
b. Adanya upah (Pasal 1603 p KUHPerdata)
c. Adanya perintah oranglain (Pasal 1603 b KUHPerdata)
d. Pembatasan waktu tertentu karena tidak ada hubungan kerja berlangsung terus
– menerus.

1
Abdul Khakim, Dasar – Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2009, hlm
43.
2
Ibid, hlm 43.
3
Doel Susanto, Hak Pengemudi Bus Perusahaan, Jurnal Sapientia et Virtus Vol 3 No 1, (Surabaya: Universitas
Katolik Darma Cendika, 2018), hlm 10.

3
Selain itu hubungan kerja juga melahirkan kewajiban bagi pekerja (buruh) maupun
pengusaha yang termuat padal UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dalam
bekerja, Seorang pekerja pasti memiliki hubungan kerja dengan setiap perusahaan
yang mana dalam hubungan kerja tersebut perusahaan diwajibkan untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerjanya.

3. Hubungan Hukum Sopir dan Pengusaha

Hubungan hukum menurut pendapat soeroso adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih dari dua pihak subjek hukum. Pada hubungan hukum timbul hak dan
kewajiban dari subjek hukum. Hubungan hukum misalnya antara sopir bus antar
provinsi dan pengusaha transportasi bus memiliki kedudukan yang berbeda antar
keduanya. Tidak seperti hubungan antara penjual dan pembeli yang memiliki
kedudukan sama, dan memiliki kebebasan yang sama untuk menentukan ada atau
tidaknya perjanjian, akan tetapi kedudukan hubungan pengemudi bus dengan
pengusaha diposisikan sebagai hubungan kerja antar pemilik usaha dan buruh
(pekerja) saja sebagaimana dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sopir bus bekerja sesuai
dengan ketentuan perintah perusahaan dan kemudian diberi upah sebesar nominal
yang sudah diperjanjikan diawal perjanjian. Dalam praktiknya biasanya sopir
perusahaan bekerja mengikuti perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), namun ada
juga yang dipekerjakan sebagai pekerja tetap atau PKWTT. Apabila dilihat secara
yuridis kedudukan antara pengusaha dan pekerja (buruh) memang setara, tetapi
secara sosial ekonomi tidak. Hal ini dilatar belakangi oleh kedudukan pengusaha
dalam hirarki perusahaan lebih tinggi dan ditunjang dengan statusnya sebagai
pemilik modal sehingga pengusaha memiliki kewenangan lebih besar daripada
sopir (buruh). Buruh harus bekerja sesuai perintah perusahaan untuk mendapat
upah, dan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan isi dari perjanjian kerja.
Sopir selaku buruh harus taat pada perintah perusahaan, dan apabila sopir (buruh)
melanggar ketentuan perjanjian kerja maka akan bisa berakibat pada pemutusan
hubungan kerja (PHK). Ketimpangan kedudukan tersebut mengakibatkan
pengusaha bepotensi untuk melakukan Tindakan- Tindakan diluar yang
diisyaratkan oleh perjanjian kerja, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
asas- asas yang terkait sehingga pengemudi bus dapat dikonstruksikan sedimikian
rupa tanpa memperhatikan apa yang seharusnya dan selayaknya diberikan kepada
sopir selaku buruh, dan hal tersebut tentunya akan sangat merugikan pengemudi

4
bus dalam mendapatkan hak-hak dasar yang seharusnya diberikan oleh pengusaha
kepada sopir (buruh) dan menimbulkan perselisihan. namun meskipun demikian,
apabila terjadi perselisihan maka pihak pekerja (buruh) masih mendapat
perlindungan hukum dari negara karena hubungan kerja antara pengusaha
transportasi bus dan sopir bus sesuai dengan unsur – unsur perjanjian kerja
sebagaimana tercantum dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Namun berbeda halnya dengan pengemudi (driver) ojek online. Hubungan hukum
antara driver dengan perusahaan transportasi berbasis aplikasi online yang timbul
dari adanya perjanjian kemitraan, yaitu hubungan hukum kemitraan karena
dilakukan suatu perjanjian kemitraan (partnership agreement) yang hampir mirip
dengan perjanjian kerja pada umumnya. Perjanjian kemitraan (partnership
agreement) merupakan bentuk umum suatu hubungan hukum antara satu pihak
dengan pihak lainnya atas dasar hubungan kemitraan. Ketentuan mengenai
perjanjian kemitraan terdapat pada Pasal 1338 j.o Pasal 1320 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Hubungan kemitraan antara driver dengan perusahaan transportasi
berbasis aplikasi online memiliki beberapa unsur, seperti: penyediaan dan persiapan
lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha
dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan,
pembiayaan, pemberi bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi
dan produksi usaha. Perjanjian kemitraan, dapat berlangsung diantara seluruh
pelaku kegiatan perekonomian, hubungan kemitraan merupakan jalinan kerja sama
sebagai mitra atau kawan kerja dan atau pasangan kerja rekanan. Undang-Undang
Ketenagakerjaan mendefinisikan perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian antara
pekerja atau buruh dengan perusahaan atau pemberi kerja yang memuat syarat kerja
serta hak dan kewajiban para pihak.10 Unsur dari hubungan kerja yaitu terdapat
pekerjaan yang wajib dilakukan, terdapat perintah dan adanya upah yang diberikan.
Dari ketiga unsur tersebut harus dipenuhi, jika salah satu unsur yang tidak dipenuhi,
maka tidak terdapat hubungan kerja. Unsur pekerjaan dapat terpenuhi apabila
pekerja hanya melaksanakan atau melakukan pekerjaan yang telah diberikan
perusahaan atau pemberi kerja. Unsur upah dipenuhi apabila pekerja menerima
kompensasi berupa sejumlah uang dengan jumlah tertentu dan bersifat tetap pada
suatu periode, dan tidak didasarkan atas komisi atau persentase. Unsur perintah

5
dapat terpenuhi apabila pemberi kerja memerintahkan pekerja, dan bukan atas
inisiatif dari pekerja itu sendiri.

Hubungan kemitraan yang terjadi antara perusahaan jasa transportasi berbasis


aplikasi online dengan driver tidak terdapat hubungan kerja karena tidak memenuhi
unsur - unsur kerja. Perjanjian kemitraan antara perusahaan jasa transportasi
berbasis aplikasi online dengan driver menggunakan sistem bagi hasil. Sistem bagi
hasil yang diterapkan bukanlah upah yang diberikan oleh perusahaan jasa
transportasi berbasis aplikasi online kepada driver. Driver mendapatkan upah yang
berasal dari konsumen karena telah menggunakan jasanya, upah yang diterima oleh
driver justru dibagi dengan setoran kepada pihak perusahaan jasa transportasi
berbasis aplikasi online. Bonus diberikan oleh perusahaan jasa transportasi berbasis
aplikasi online apabila seorang driver dapat memenuhi target yang diberikan
kepadanya. Bonus dan upah merupakan suatu instrumen yang berbeda, bonus yang
diberikan oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi online bukanlah upah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Unsur upah yang
tidak dipenuhi dalam perjanjian kemitraan antara perusahaan jasa transportasi
berbasis aplikasi online dengan driver mengakibatkan tidak adanya hubungan kerja.
Dalam hal ini hanya terjadi hubungan kemitraan, sehingga perlindungan kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak dapat diberikan.
Apabila terjadi suatu perselisihan diantara kedua belah pihak, tidak dapat
diselesaikan melalui hubungan industrial, melainkan memasuki ranah peradilan
umum4.

B. Perlindungan Buruh Migran Indonesia


Pekerja Migran Indonesia merupakan setiap warga negara Indonesia yang akan,
sedang atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah diluar wilayah Republik
Indonesia. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yakni badan usaha
berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin tertulis dari pemerintah
pusat untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan pekerja migran indonesia.
Selain itu Program jaminan sosial bagi calon atau pekerja migran Indonesia berdasarkan
amanat Permenaker No 18 Tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran

4
Dedek Oka Astawa, Ida Bagus Putra Atmaja, Hubungan Hukum Antara Perusahaan Jasa Transportasi Berbasis
Aplikasi Online Dengan Driver, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 6, (Bali : Universitas Udayana, 2019), hlm 10.

6
Indonesia pada pasal 3 bahwa calon pekerja Migran Indonesia atau pekerja migran
indonesia yang bekerja ke luar negeri wajib terdaftar dalam kepesertaan program
jaminan kecelakaan (JKK) dan program jaminan kematian (JKM) yang mana program
tersebut difasilitasi oleh BPJS Ketenagakerjaan. 5
Pekerja yang bekerja di luar negeri rentan mengalami kekerasan serta
pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran yang sering dialami misalnya pelanggaran
kontrak kerja, kondisi kerja juga kondisi hidup yang buruk, terbatasnya kebebasan
untuk bergerak, pelecehan, kekerasan, resiko kesehatan dan keselamatan, kurangnya
perlindungan sosial. Sehingga terdapat perlindungan pekerja migran yang mana
terdapat dalam UU Republik Indonesia No 19 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekrja
Migran Indonesia dalam pasal 7 yang menyatakan :
Dalam Pasal 7 menjelaskan Perlindungan calon pekerja Migran Indonesia atau Pekerja
Migran Indonesia meliputi :
a. Perlindungan sebelum Bekerja
b. Perlindungan Selama Bekerja, dan 21
c. Perlindungan Setelah Bekerja 24
Pasal 8 menjelaskan perlindungan sebelum bekerja diantaranya :
1. Perlindungan sebelum bekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a
meliputi :
a. Perlindungan administrative, dan
b. Perlindungan teknis
2. Perindungan administrative sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a paling
sedikit meliputi :
a. Kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan, dan
b. Penempatan kondisi dan syarat kerja
3. Perlindungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b paling sedikit
meliputi :
a. Pemberian sosialisasi dan diseminasi informasi
b. Peningkatan kualitas calon pekerja migran indonesia melalui pendidikan dan
pelatihan kerja
c. Jaminan sosial
d. Fasilitas pemenuhan hak calon pekerja migran indonesia

5
Permenaker Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia

7
e. Penguatan peran pegawai fungsional pengantar kerja
f. Pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan
perlindungan pekerja migran indonesia, dan
g. Pembinaan dan pengawasan
Untuk Perlindungan Selama Bekerja diatur dalam pasal 21 yakni :
1. Perlindungan selama bekerja sebagaimana dimaksud pada pasal 7 huruf b meliputi
:
a. Pendataan dan pendaftran oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar
negeri yang ditunjuk
b. Pemantauan dan evaluasi terhadap pemberi kerja, pekerjaan, dan kondisi kerja
c. Fasilitasi pemenuhan hak pekerja migran indonesia
d. Fasilitasi peyelesaian kasus ketenagakerjaan
e. Pemberian layanan jasa kekonsuleran
f. Pendampingan, mediasi, advokasi, dan pemberian bantuan hukum berupa
fasilitas jasa advokat oleh pemerintah pusat dan atau Perwakilan Republik
Indonesia serta perwalian sesuai dengan hukum negara setempat
g. Pembinaan terhadap Pekerja Migran Indonesia, dan
h. Fasilitasi repartriasi
2. Perlindungan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia selama bekerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak mengambil alih tanggung jawab
pidana dan/atau perdata Pekerja Migran Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum negara tujuan penempatan, serta
hukum dan kebiasaan internasional.
Untuk Perlindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c
dijelaskan dalam pasal 24 yang menjelaskan :
1. Perlindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c
meliputi :
a. fasilitasi kepulangan sampai daerah asal;
b. penyelesaian hak Pekerja Migran Indonesia yang belum terpenuhi;
c. Fasilitasi pengurusan Pekerja Migran Indonesia yang sakit dan meninggal
dunia;
d. Rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial; dan
e. Pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya.

8
2. Pelindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah Daerah.
Selain itu terdapat juga Perlindungan hukum yang mana diatur dalam pasal 33 yang
menjelaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
pelindungan hukum terhadap Pekerja Migran Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, hukum negara tujuan penempatan, serta hukum
dan kebiasaan internasional.
Sedangkan untuk perlindungan sosial diatur dalam pasal 34 bahwa Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pelindungan sosial bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran
Indonesia melalui:
a. peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja melalui standardisasi
kompetensi pelatihan kerja;
b. peningkatan peran lembaga akreditasi dan sertifikasi;
c. penyediaan tenaga pendidik dan pelatih yang kompeten;
d. reintegrasi sosial melalui layanan peningkatan keterampilan, baik terhadap
Pekerja Migran Indonesia maupun keluarganya;
e. kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak;
f. penyediaan pusat Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan
penempatan.
Perlindungan Ekonomi juga diatur dalam pasal 35 bahwa Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pelindungan
ekonomi bagi Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia
melalui:
a. Pengelolaan remitansi dengan melibatkan lembaga perbankan atau lembaga
keuangan nonbank dalam negeri dan negara tujuan penempatan;
b. Edukasi keuangan agar Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dapat
mengelola hasil remitansinya; dan
c. Edukasi kewirausahaan.6
C. PHK Dikategorikan Sebagai Pengunduran Diri
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan
menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan

6
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

9
kerja sebab suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara buruh atau pekerja dan pengusaha. Terdapat beberapa jenis pemutusan hubungan
kerja yakni :

1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha


2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
3. Pemutusan hubungan kerja demi hukum
4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan.7
Pemutusan Hubugan Kerja karena mengundurkan diri merupakan jenis PHK yang
inisiatifnya berasal dari Pekerja/Buruh. Pengakhiran hubungan kerja terjadi karena
Pekerja atau Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan dilakukan tanpa
penetapan (izin). Syarat yang harus dipenuhi apabila Pekerja atau Buruh
mengundurkan diri agar mendapatkan hak-haknya dan mendapat surat keterangan
kerja (experience letter) adalah mengajukan surat permohonan secara tertulis dan harus
diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum hari H tanggal pengunduran
diri. 8 Hal-hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan pengunduran diri yang
dilakukan oleh Pekerja/Buruh adalah :
1. Pekerja/Buruh tidak terikat dalam ikatan dinas.
2. Selama menunggu hari H, Pekerja/Buruh harus tetap melaksanakan kewajiban
sampai tanggal pengunduran diri dari yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan
untuk mempersiapkan pengganti formasi untuk jabatan dimaksud atau dalam
rangka transfer of knowledge.
Jika Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, hak-hak yang
diterima adalah uang penggantian hak dan uang pisah. Besar dan jumlah uang
penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Ayat (4). Sedangkan mengenai
besarnya uang pisah dan pengaturan pelaksanaan pemberiannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Diantara faktor yang menyebabkan seseorang dalam hal ini pekerja memilih atau
memutuskan untuk mengundurkan diri (resign), diantaranya adalah sebagai berikut:9

7
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 188
8
Ahmad Zaini, Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Peraturan Perundang-undangan
Ketenagakerjaan, Jurnal.uinbanten, 2017 Hal 18
9
Mustika Prabaningrum, Perlindungan Hukum Pekerja Pasca PHK Melalui Pengunduran Diri, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2020, hal 57

10
a. Ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi;
b. Ingin fokus pada keluarga (biasanya alasan ini digunakan oleh pekerja wanita)
c. Merasa bahwa pekerjaannya saat ini tidak sesuai dengan bidang keilmuannya
d. Jenuh terhadap pekerjaan yang dimiliki saat ini
e. Ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih menantang (tantangan baru)
f. Penghasilan jauh dari yang diharapkan.

D. PHK Massal
Pengertian PHK Massal menurut Kep. Menteri Tenaga Kerja No. KEP-
150/MEN/2000 yaitu pemutusan hubungan kerja terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja
atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan
hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan
pemutusan hubungan kerja secara besar – besaran. Pada Pasal 64 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan, pengusaha dapat
melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan keadaan
memaksa atau force majeure.
Pasal 164 Ayat (3) UU 13/2003 menambahkan pengusaha juga dapat
melakukan PHK pekerja/ buruh karena perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 tahun
berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa atau force majeur tetapi disebabkan
efesiensi. Para pekerja/buruh pun saat di PHK mendapatkan uang pesangon satu kali. 10
Menurut R Subekti suatu keadaan dikatakan force majeure yaitu, keadaan itu sendiri di
luar kekuasaan perusahaan dan memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan yang
tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian ini dibuat, setidaknya resikonya tidak
dipikul oleh para pekerja yang di PHK.

Dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi menjelaskan
terkait force majeure. Menurut ketentuan pasal tersebut, maka force majeure dapat
diartikan sebagai kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemampuan para pihak
yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Keadaan memaksa tersebut
meliputi:

1. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) : Bahwa para pihak tidak
mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.

10
Khalda Fadilah Pemutusan Hubungan Kerjja Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia Ditinjau dari
perspektif Hukum Ketenagakerjaan Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol. 8 No. 1 Tahun 2021, 345

11
2. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (relatif) yakni bahwa para pihak masih
dimungkinkan melaksanakan hak dan kewajibannya.
Menteri ketenagakeraan tidak mendukung mengenai PHK Massal ini yang mana
berkonsenkuensii terhadap para pekerja dengan memutus hubungan kerja. Maka
beberapa perusahan dapat mengambil langkah-langkah agar tidak ada terjadinya PHK
Massal ini, seperti11 :
1. Mengurangi upah dan fasilitas atasan (manajer dan direktur).
2. Mengurangi shift kerja.
3. Membatasi kerja lembur.
4. Merumahkan sementara waktu.
5. Memberi pensiun pada pekerja yang telah memenuhi syarat.
6. Tidak memperoanjang kontrak pada pekerja yang telah habis masa kontraknya.

Dari langkah-langkah diatas maka pada Surat Menteri No. 295/M/IV/1985 terhadap
masalah PHK Massal harus mempersiapkan beberapa tahapan, anatar lain : 12

1. Tahap Penyelamatan.
2. Tahap Persiapan.
3. Tahap Proses PHK.
4. Tahap Penyaluran dan Penampungan.

11
Imas Novita Juaningsih Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia
Jurnal Buletin Hukum dan Keadilan Vol. 4 No. 1 Tahun 2020, 193
12
Imam Soepomo Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta : Djambatan, 1985), 143

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan hukum menurut pendapat soeroso adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih dari dua pihak subjek hukum. Pada hubungan hukum timbul hak dan
kewajiban dari subjek hukum. Hubungan hukum misalnya antara sopir bus antar
provinsi dan pengusaha transportasi bus memiliki kedudukan yang berbeda antar
keduanya. Apabila dilihat secara yuridis kedudukan antara pengusaha dan pekerja
(buruh) memang setara, tetapi secara sosial ekonomi tidak. Hal ini dilatar belakangi
oleh kedudukan pengusaha dalam hirarki perusahaan lebih tinggi dan ditunjang
dengan statusnya sebagai pemilik modal sehingga pengusaha memiliki kewenangan
lebih besar daripada sopir (buruh).
Hubungan hukum antara driver dengan perusahaan transportasi berbasis
aplikasi online yang timbul dari adanya perjanjian kemitraan, yaitu hubungan
hukum kemitraan karena dilakukan suatu perjanjian kemitraan (partnership
agreement) yang hampir mirip dengan perjanjian kerja pada umumnya.
Ketenagakerjaan mendefinisikan perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian antara
pekerja atau buruh dengan perusahaan atau pemberi kerja yang memuat syarat kerja
serta hak dan kewajiban para pihak.10 Unsur dari hubungan kerja yaitu terdapat
pekerjaan yang wajib dilakukan, terdapat perintah dan adanya upah yang diberikan.
Pekerja Migran Indonesia merupakan setiap warga negara Indonesia yang akan,
sedang atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah diluar wilayah
Republik Indonesia. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yakni
badan usaha berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin
tertulis dari pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan
pekerja migran indonesia. Selain itu Program jaminan sosial bagi calon atau pekerja
migran Indonesia berdasarkan amanat Permenaker No 18 Tahun 2018 Tentang
Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia pada pasal 3 bahwa calon pekerja Migran
Indonesia atau pekerja migran indonesia yang bekerja ke luar negeri wajib terdaftar
dalam kepesertaan program jaminan kecelakaan (JKK) dan program jaminan
kematian (JKM) yang mana program tersebut difasilitasi oleh BPJS
Ketenagakerjaan.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan
menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan

13
kerja sebab suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara buruh atau pekerja dan pengusaha. Pemutusan Hubugan Kerja karena
mengundurkan diri merupakan jenis PHK yang inisiatifnya berasal dari
Pekerja/Buruh. Pengakhiran hubungan kerja terjadi karena Pekerja atau Buruh
mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin).
Diantara faktor yang menyebabkan seseorang dalam hal ini pekerja memilih atau
memutuskan untuk mengundurkan diri (resign), diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
b. Ingin fokus pada keluarga (biasanya alasan ini digunakan oleh pekerja wanita).
c. Merasa bahwa pekerjaannya saat ini tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.
d. Jenuh terhadap pekerjaan yang dimiliki saat ini
e. Ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih menantang (tantangan baru)
f. Penghasilan jauh dari yang diharapkan.
Pengertian PHK Massal menurut Kep. Menteri Tenaga Kerja No.
KEP/150/MEN/2000 yaitu pemutusan hubungan kerja terhadap 10 (sepuluh) orang
pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan
pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha
untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar – besaran. Pada Pasal
64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menyatakan, pengusaha dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang disebabkan keadaan memaksa atau force majeure.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khakim, Dasar – Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya
Bakti: 2009)

Ahmad Zaini, Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Peraturan Perundang-


undangan Ketenagakerjaan, Jurnal.uinbanten, 2017

Doel Susanto, Hak Pengemudi Bus Perusahaan, Jurnal Sapientia et Virtus Vol 3 No 1,
(Surabaya: Universitas Katolik Darma Cendika, 2018)

Dedek Oka Astawa, Ida Bagus Putra Atmaja, Hubungan Hukum Antara Perusahaan Jasa
Transportasi Berbasis Aplikasi Online Dengan Driver, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 6,
(Bali : Universitas Udayana, 2019)

Imas Novita Juaningsih Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi
Covid-19 di Indonesia Jurnal Buletin Hukum dan Keadilan Vol. 4 No. 1 Tahun 2020

Imam Soepomo Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta : Djambatan, 1985)

Khalda Fadilah Pemutusan Hubungan Kerjja Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia
Ditinjau dari perspektif Hukum Ketenagakerjaan Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora
Vol. 8 No. 1 Tahun 2021

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006

Mustika Prabaningrum, Perlindungan Hukum Pekerja Pasca PHK Melalui Pengunduran Diri,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2020

Permenaker Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja


Migran Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai