Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH HUKUM DAN TENAGA KERJA

“Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja”

Disusun Oleh :

Nama : Selvia Eka Putri


NPM : 212110007
Kelas : Ilmu Hukum – Reguler B

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TULANG BAWANG
LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan
baik dan tepat waktu hingga selesai.
Makalah ini membahas tentang “Perlindungan Hukum Terhadap
Tenaga Kerja” yang semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
pengalaman yang besar bagi kita.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, saya yakin masih
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 16 Mei 2023

Selvia Eka Putri

II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................
Daftar Isi....................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................
C. Tujuan.....................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Dan Tenaga Kerja...................................................................................
B.Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja........................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..........................................................................................................................

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan


pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat1 , Sedangkan pengertian
pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain2 . Tenaga kerja merupakan salah satu
dari faktor–faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Dalam kegiatan produksi tenaga kerja merupakan input yang terpenting
selain bahan baku dan juga modal. Di beberapa negara, tenaga kerja juga
dijadikan aset terpenting karena memberikan pemasukan kepada negara
yang bersangkutan. Sangat beruntung sekali bagi negara-negara yang
memiliki jumlah penduduk yang besar, karena negara tersebut pasti
memiliki jumlah tenaga kerja yang besar pula. Negara-negara yang
seperti inilah merupakan salah satu incaran dari perusahaan-perusahaan
asing untuk menanamkan investasinya. Upah tenaga kerja yang sangat
murah semakin mendukung lancarnya investasi masuk ke negara
tersebut. Para investor beranggapan bahwa apabila upah buruh dapat
ditekan maka dapat mengurangi biaya produksi perusahaan. Sehingga
pendapatan perusahaan jauh lebih besar di negara itu dibandingkan
apabila perusahaan tersebut menanamkan investasi di negaranya sendiri.
Kebutuhan akan tenaga kerja memang sangat berbanding lurus
dengan permintaan pasar akan produk yang dihasilkan. Semakin besar
permintaan akan sebuah produk tentu kebutuhan untuk tenaga kerja
semakin meningkat. Tenaga kerja menjadi bagian dari sistem proses
produksi yang berarti keuntungan/kerugian dari sebuah perusahaan juga
ditentukan oleh tenaga kerjanya. Negara India juga menerapkan sistem
outsourcing, khususnya yang terkait dengan Teknologi Informasi (IT)

IV
sehingga mampu mendulang devisa yang tidak kecil. Praktik outsourcing
di India cukup efektif mengatasi persoalan ketenagakerjaan, khususnya
perluasan kesempatan kerja dan pengurangan angka pengangguran.
Sistem ketenagakerjaan diIndonesia juga membolehkan outsourcing
tenaga kerja, tetapi lebih banyak dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebutuhan dalam hal kuantitas tenaga kerja sehingga menimbulkan
anggapan bahwa tenaga kerja outsourcing hanya mengandalkan otot
daripada otak atau dengan kata lain berpendidikan rendah, bergelut
dalam bidang pekerjaan yang tidak terlalu penting dan berpenghasilan
minimal. Hubungan kerja yang antara buruh dengan pengusaha yang
timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis
merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun
mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja, hubungan hukum yang terjadi
dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan suvordinatif atau
hubungan dimana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau
majikan. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah
karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan
pemberi kerja.1 Hubungan kerja pada masa sekarang ini secara umum
disebut hubungan kerja yang fleksibel, dalam arti hubungan kerja terjadi
dewasa ini tidak memberikan jaminan kepastian apakah seseorang dapat
bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
haknya. Fleksibelitas bias menyangkut waktu melakukan pekerjaan yang
tidak selalu terikat pada jam kerja yang ditentukan pemberi kerja, juga
ditentukan oleh pekerja sendiri. Dalam praktik pada mulanya ditemukan
ada 4 jenis hubungan kerjafleksibel, yaitu : 2 a. Hubungan kerja
berdasarkan perjanjian pengiriman atau peminjaman kerja; b. Hubungan
kerja yang dilaksanakan di rumah; c. Hubungan kerja bebas; d.
Hubungan kerja berdasarkan panggilan. Pengertian atau definisi
outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi
dalam Pasal 64 UndangUndang tersebut dinyatakan bahwa perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaanpekerjaan kepada perusahaan

V
lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa system outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel
yang praktik pada mulanya ditemukan ada 4 jenis hubungan
kerjafleksibel, yaitu : 2 a. Hubungan kerja berdasarkan perjanjian
pengiriman atau peminjaman kerja; b. Hubungan kerja yang dilaksanakan
di rumah; c. Hubungan kerja bebas; d. Hubungan kerja berdasarkan
panggilan. Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja
tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, akan tetapi dalam Pasal 64 UndangUndang tersebut
dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaanpekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa system
outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel yang dikeluarkan
Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan
kerja antara pengusaha dengan pekerja.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Hukum Dan Tenaga Kerja


2. Bagaimana Perlindungan Hukum Yang Diberikan Terhadap Tenaga
Kerja

C. Tujuan

1. Penulisan Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat pada
mata kuliah Hukum Dan Tenaga Kerja
2. Penulis ingin lebih mengetahui dan mengkaji lebih dalam tentang ilmu
Hukum Dan Tenaga Kerja

VI
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Dan Tenaga Kerja

Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi


baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai
peranan yang sangat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional,
yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia, tenaga kerja di indonesia sebagai salah satu penggerak tata
kehidupan ekonomi dan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup
melimpah. Indikasi ini bisa dilihat pada masih tingginya jumlah
pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya kesempatan
kerja yang disediakan.
Pengertian hukum ketenagakerjaan sangat tergantung pada hukum
positif masing-masing negara. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau
definisi mengenai hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang
dikemukakan oleh para ahli hukum juga berlainan, terutama yang
menyangkut keluasannya. Hal ini mengingat keluasan cakupan hukum
perburuhan (ketenagakerjaan) di masing-masing negara juga berlainan.
Disamping itu, perbedaan sudut pandang juga menyebabkan para ahli
hukum memberikan definisi hukum perburuhan (ketenagakerjaan) yang
berbeda pula. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi hukum
perburuhan (ketenagakerjaan) oleh beberapa ahli.
Dengan definisi tersebut paling tidak ada dua hal yang hendak
dicakup yaitu: Pertama, hukum perburuhan (ketenagakerjaan) hanya
mengenai kerja sebagai akibat adanya hubungan kerja. Berarti kerja di
bawah pimpinan orang lain. Dengan demikian hukum perburuhan
(ketenagakerjaan) tidak mencakup (1) kerja yang dilakukan seseorang
atas tanggung jawab dan resiko sendiri, (2) kerja yang dilakukan
seseorang untuk orang lain yang didasarkan atas kesukarelaan, (3) kerja

VII
seorang pengurus atau wakil suatu perkumpulan. Kedua, peraturan–
peraturan tentang keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut
dengan hubungan kerja, diantaranya adalah :
1. Peraturan-peraturan tentang keadaan sakit dan hari tua
buruh/pekerja
2. Peraturan-peraturan tentang keadaan hamil dan melahirkan anak
bagi buruh/pekerja Wanita
3. Peraturan-peraturan tentang pengangguran
4. Peraturan-peraturan tentang organisasi-organisasi buruh/pekerja
atau majikan/pengusaha dan tentang hubungannya satu sama lain
dan hubungannya dengan pihak pemerintah dan sebagainya.
Iman Soepomo memberikan definisi hukum perburuhan
(ketenagakerjaan) sebagai berikut : “Hukum perburuhan
(ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak
yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah”. Mengkaji pengertian di atas, pengertian
yang diberikan oleh Iman Soepomo tampak jelas bahwa hukum
perburuhan (ketenagakerjaan) setidak-tidaknya mengandung unsur : a.
Himpunan peraturan (baik tertulis dan tidak tertulis). b. Berkenaan
dengan suatu kejadian/peristiwa. c. Seseorang bekerja pada orang lain. d.
Upah.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 telah disesuaikan dengan
perkembangan reformasi, khususnya yang menyangkut hak
berserikat/berorganisasi, penyelesaian perselisihan indutrial. Dalam
undangundang ketenagakerjaan ini tidak lagi ditemukan istilah buruh dan
majikan, tapi telah diganti dengan istilah pekerja dan pengusaha. Dalam
Pasal 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah segala hal ikhwal hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah melakukan pekerjaan. Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan
tersebut dapat dirumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah
segala peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum

VIII
bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja.
Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum
perburuhan yang selama ini dikenal sebelumnya yang ruang lingkupnya
hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan
dalam hubungan kerja saja.
Secara umum, hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum
imperatif (dwingend recht atau hukum memaksa) dan hukum fakultatif
(regelend recht atau aanvulend recht atau hukum tambahan). Menurut
Budiono Abdul Rachmad, bahwa hukum imperatif adalah hukum yang
harus ditaati secara mutlak, sedangkan hukum fakultatif adalah hukum
yang dapat dikesampingkan (biasanya menurut perjanjian).
Dari segi ini, yakni sifatnya, sebagian besar hukum perburuhan
bersifat imperatif. Kenyataan ini sesuai dengan fungsi dan tujuan hukum
perburuhan, yaitu : 1) Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial
dalam bidang ketenagakerjaan; 2) Untuk melindungi tenaga kerja
terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan
membuat atau mnciptakan peraturanperaturan yang sifatnya memaksa
agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga
kerja sebagai pihak yang lemah.
Sedangkan mengenai hukum perjanjian sendiri diatur di dalam
Kitab Undangundang Hukum Perdata Buku ke III. Disamping bersifat
perdata, juga bersifat publik (pidana), oleh karena : 1) Dalam hal-hal
tertentu negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-
masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan hubungan
kerja, dalam masalah upah dan lain sebagainya. 2) Adanya sanksi-sanksi
atau aturan-aturan hukum di dalam setiap undang-undang atau peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Di samping keharusan atau kewajiban dengan ancaman kebatalan,
ada pula keharusan atau kewajiban dalam hukum perburuhan dengan
ancaman pidana, misalnya : 1) Ancaman pidana terdapat di dalam
Undang-undang No. 3 Tahun 1992. Dalam Pasal 4 ayat (1) ditegaskan
bahwa program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud Pasal

IX
3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini. 2) Kemudian di dalam Pasal 29 ayat (1) ditegaskan
bahwa barang siapa tidak memenuhi kewajiban dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah). Dalam pasal 5 dan pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mewajibkan kepada pengusaha untuk
memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi kepada setiap
tenaga kerja (tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan) untuk
memperoleh pekerjaan, dan memberikan perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi kepada pekerja. Pasal 108 undang-undang tersebut
mewajibkan bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperleh
perlindungan atas : keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan
kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama. Literatur-literatur yang ada, maupun
peraturan-perauran yang telah dibuat oleh banyak negara, keselamatan
dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk: 1) perlindungan bagi buruh
terhadap pemerasan (ekploitasi) tenaga buruh oleh majikan, misalnya
untuk mendapat tenaga yang murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi,
anak dan wanita untuk pekerjaan yang berat dan untuk waktu yang tidak
terbatas; 2) memperingankan pekerjaan yang dilakukan oleh para budak
dan para pekerja rodi (perundangan yang pertama-tama diadakan di
Indonesia); 3) membatasi waktu kerja bagi anak sampai 12 jam ( di
Inggris, tahun 1802, The Health and Morals of Apprentices Act).
Dalam praktik sehari-hari ada beberapa kelompok yang terkait
sehubungan dengan Ketenagakerjaan. Kelompok tersebut adalah Pekerja,
Pengusaha, Organisasi Pekerja, dan Pemerintah.
1. Pekerja / buruh / karyawan Dalam kehidupan sehari-hari masih
terdapat beberapa peristilahan mengenai pekerja. Misalnya ada
penyebutan : buruh, karyawan atau pegawai. Terhadap peristilahan
yang demikian, Darwan Prints menyatakan bahwa maksud dari

X
semua peristilahan tersebut mengandung makna yang sama; yaitu
orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai
imbalannya. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam
Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang
dicabut dan diganti dengan Undangundang No. 13 Tahun 2003
yang membedakan antara pekerja dengan tenaga kerja. Dalam
undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 disebutkan
bahwa : “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Pengertian ini
jelaslah bahwa pengertian tenaga kerja sangat luas yakni mencakup
semua penduduk dalam usia kerja baik yang sudah bekerja maupun
yang mencari pekerjaan (menganggur). Usia kerja dalam
Undangundang No. 13 Tahun 2003 minimal berumur 15 tahun
(Pasal 69).
2. Pengusaha/Majikan Sebagaimana halnya dengan istilah buruh,
istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan
sebelum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah
majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan
adalah “orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.
Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti Undang-undang
No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-undang No. 14
Tahun 1969 tentang PokokPokok Ketenagakerjaan, Undang-
undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut dan diganti dengan
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
menggunakan istilah Pengusaha.
3. Organisasi Pekerja/Buruh Kehadiran organisasi pekerja
dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja,
sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak
pengusaha. Keberhasilan maksud ini sangat tergantung dari
kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin

XI
baik organisasi itu, maka akan semakin kuat. Sebaliknya semakin
lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya.
Karena itulah kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun
dirinya dalam suatu wadah atau organisasi.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja

Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan, kata outsourcing tidak disebutkan secara langsung,
namun disebutkan sebagai “menyerahkan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain” Outsourcing sendiri merupakan istilah yang lazim
digunakan dalam dunia industri dengan makna yang kurang lebih sama
dengan maksud yang diuraikan oleh undang-undang ketenagakerjaan.
Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing tersebut
diatur pada pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat) serta pasal 66 (terdiri
dari 4 ayat). Pasal-pasal tentang outsourcing pada Undang-Undang
Ketenagakerjaan tersebut memberikan arahan outsourcing sebagai
berikut :
1. Jenis outsourcing.
2. Persyaratan formal outsourcing.
3. Persyaratan perusahaan penyedia jasa/buruh.
4. Jaminan kesejahteraan karyawan/buruh di perusahaan penyedia
jasa/ buruh.

Pengaturan-pengaturan mengenai outsourcing dalam Undang-


Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini mengalami
perkembangan dari pengaturan yang terdapat dalam KUHPerdata, dimana
berawal dari persewaan pelayan dan pekerja yang dimasukkan kedalam
buku III KUHPerdata dimana jasa pelayan atau pekerja disamakan dengan
harta. Dengan pengaturan pada undang-undang, tujuan pengaturan lebih ke
arah pada aspek manusia atau perlindungan terhadap pekerja. Pemahaman
terhadap Pasal-pasal mengenai outsourcing pada UndangUndang 13

XII
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, diuraikan sebagai berikut : a. Jenis-
jenis Outsourcing Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, menguraikan tentang jenis outsourcing sebagai
berikut : Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pada penjelasan pasal dinyatakan cukup jelas, sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa outsourcing atau dalam undang-undang
dinyatakan sebagai sebagian pelaksanaan pekerjaan perusahaan, terbagi
menjadi dua bidang, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa pekerja/buruh. Jenis Outsourcing tersebut diuraikan
sebagai berikut :
1. Pemborongan Pekerjaan Dalam pemborongan pekerjaan yang
dialihkan pada pihak lain adalah proses bisnis atau pekerjaannya.
Pada outsourcing pekerjaan ini harus dibuat suatu perjanjian yang
akan mengikat kedua perusahaan yaitu dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan. Unsur-unsur perjanjian pemborongan
diuraikan sebagai berikut : a) Adanya perjanjian; b)
Penyelenggaraan suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak
lain yaitu pihak yang memborongkan; c) Penerimaan pihak
pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai harga borongan dari
pihak yang memborongkan. Pemborongan pekerjaan berarti
perusahaan menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain
tanpa menyediakan perlengkapan dan peralatan kerjanya. Semua
kebutuhan perlengkapan dan peralatan dalam rangka pelaksanaan
pekerjaan berasal dari perusahaan yang menerima pemborongan
kerja.
2. Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Penyedia Jasa Pekerja yang dimaksud
dalam pasal 64 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan diartikan sebagai perusahaan menyerahkan
pelaksanaan pekerjaan kepada “pihak lain” berikut perlengkapan
dan peralatan kerjanya. Dengan kata lain, “perusahaan lain”

XIII
tersebut hanya menyediakan jasa tenaga kerja saja. Proses
penerimaan karyawan sampai dengan proses Pemutusan Hubungan
Kerja karyawan merupakan tugas dari perusahaan penyedia jasa
pekerja, tentunya dengan masukan serta pertimbangan dari pihak
pemberi pekerjaan. Penyediaan jasa tidak untuk kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan
karyawannya yang ditempatkan pada perusahaan pemberi
pekerjaan dapat berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu ataupun
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. b. Pembatasan Kegiatan
Outsourcing Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain atau dapat
juga disebut sebagai pembatasan kegiatan outsourcing, seperti yang
tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) sampai dengan ayat (9)
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Selanjutnya, mengenai pasal 66 ayat (1), Penjelasan UU
memberikan keterangan lebih lanjut sebagai berikut : ¥Pada
pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh
dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan


kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis.
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Dilakukan secara
terpisah dari kegiatan utama; 2) Dilakukan dengan perintah langsung atau

XIV
tidak langsung dari pemberi pekerjaan; 3) Merupakan kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan; 4) Tidak menghambat proses
produksi secara langsung.
Perjanjian harus dibuat dengan perusahaan Outsourcing yang
berbadan hukum5 , begitu juga dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Hal ini supaya mempermudah apabila sampai terjadi sengketa di bidang
hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagai pekerja atau
buruh pada perusahaan lain sekuruang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau seusuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku :6 1) Untuk menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai
domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; 2) Untuk mendapatkan
ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan
menyampaikan permohonan dengan melampirkan : a) Copy pengesahan
sebagai badan hukum berbentuk Perseorangan Terbatas atau Koperasi; b)
Copy anggaran Dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia
jasa pekerja/buruh; c) Copy SIUP; d) Copy Wajib lapor Ketenagakerjaan
yang masih berlaku. 3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah
menerbitkan ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan diterima.
Menurut ketentuan diatas sebenarnya pekerja yang bekerja pada
perusahaan outsourcing telah sangat diproteksi oleh aturan. Namun,
dalam tataran pelaksanaan dilapangan banyak aturan-aturan yang
dilanggar maupun terpaksa dilanggar sehingga pada 17 Januari 2012 lalu,
Mahkamah Konstitusi “MK” dengan putusan No. 27/PUUIX/2011
mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang No.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi
Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML), Didik Suprijadi. Dalam

XV
pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha
yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Akan
tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan
outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi
konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, dapat disimpulkan
bahwa Mahkamah Konstitusi menawarkan dua model outsourcing,
yakni : Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak
berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi berbentuk
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, dalam hal
hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan
PKWT, maka perjanjian kerja harus mensyaratkan adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada,
walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa
pekerja.

XVI
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing telah dimuat dalam


undang-undang ketenagakerjaan dan kemudian ditegaskan kembali dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi. Outsourcing adalah kebijakan usaha yang
wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Akan tetapi,
pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak
boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja
tidak dieksploitasi, dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi
menawarkan dua model outsourcing, yakni mensyaratkan agar perjanjian
kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi
berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan dalam hal
hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan
PKWT, maka perjanjian kerja harus mensyaratkan adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun
terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan
borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja.

XVII
XVIII

Anda mungkin juga menyukai