Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

*HUKUM KETENAGAKERJAAN*

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA


OUTSOURCING

DOSEN PENGAMPU : HAIRUL MAKSUM, SH., MH

Disusun oleh :

Nama : ABDUL GAFAR


NIM : 742012022017

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas Rahmat dan Hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Outsourcing " dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
outsourcing Ditinjau Dari Hukum atau perundang-undangan ketenagakerjaan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah hukum ketenagakerjaan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Sakra, 17 November 2023

Penulis

ABDUL GAFAR

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ............................................................................................................................ I

DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 3

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 4

A. Pengertian Perlindungan Hukum ............................................................................................ 4

B. Pengertian Pekerja Kontrak .................................................................................................... 5

C. Pengertian Outsourcing .......................................................................................................... 7

BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 8

A. Pengertian Perlindungan Hukum ............................................................................................ 8

B. Pengertian Outsourcing .......................................................................................................... 9

C. Dampak Pelaksanaan Sistem Outsourcing .............................................................................. 9

D. Instrumen Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Outsourcing ........................................... 12

E. Kelemahan Undang-Undang No 13 Tahun 2023 Kaitannya Dengan Outsourcing ................... 16

BAB IV PENUTUP ............................................................................................................................. 17

A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 17

B. Saran ...................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan ekonomi semakin maju dengan adanya globalisasi di
berbagai bidang. Banyak perusahaan dan industri yang berdiri di Indonesia, baik perusahaan
asing maupun nasional. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri untuk Indonesia, dengan
semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang berdiri, otomatis permintaan akan tenaga
kerja juga semakin bertambah banyak.
Dengan kondisi tersebut berarti dapat membantu pemerintah terlebih dalam hal
pemberantasan atau peminimalisasian angka pengangguran di Indonesia. Perkembangan
industri yang semakin ketat sekarang ini membuat perusahaan-perusahaan mau tidak mau
untuk berusaha memperkerjakan tenaga kerja semaksimal mungkin dengan jumlah tenaga
kerja seminimal mungkin sehingga para pekerja dapat memberikan kontribusi dan
keuntungan yang besar bagi perusahaan sesuai dengan sasaran perusahaan itu.
Agar tujuan-tujuan mereka dapat tercapai maka perusahaan hanya akan memfokuskan
diri pada apa yang menjadi kegiatan utama atau bisnis inti mereka sedangkan proses
perekrutan, penyeleksian, dan pengadaan tenaga kerja diserahkan kepada pihak ketiga. Hal
semacam itulah yang dinamakan dengan outsourcing.
Outsourcing sendiri merupakan penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan
kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi resiko dan mengurangi
beban perusahaan tersebut. Dasar dari outsourcing ini ada pada Pasal 64 Undang-Undang
Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.
Dengan melakukan outsourcing ini perusahaan akan menjadi lebih fleksibel, lebih
dinamis, dan lebih baik. Perusahaan akan dapat melakukan perubahan dengan cepat untuk
memenuhi perubahan kesempatan sesuai kondisi yang ada. Selain itu dengan melakukan
outsourcing ini perusahaan juga tidak akan menanggung segala resiko pekerjaan,
ketenagakerjaan, kriminalitas dan resiko-resiko yang lain karena segala resiko tersebut sudah
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia tenaga kerja tersebut.
Dan juga efektifitas dan efisiensi dari perusahaan tersebut akan dapat terlaksana
karena perusahaan hanya memfokuskan pada apa yang menjadi bisnis inti mereka tanpa

1
mempedulikan hal-hal diluar bisnis intinya. Namun pelaksanaan sistem outsourcing ini
dianggap oleh tenaga kerja sebagai sistem yang kurang adil dimana tidak adanya kepastian
kelangsungan kerja bagi tenaga kerja kontrak. Selain itu dalam sistem ini rawan sekali
terjadinya penyimpangan dengan melanggar hak asasi manusia tenaga kerja. Semisal, setiap
saat pekerja dapat diberhentikan dan kompensasi PHK tidak diberikan, tenaga kerja kontrak
tidak diikutkan dalam program jamsostek, para tenaga kontrak tidak mendapat THR,
pemotongan upah tenaga kontrak secara sepihak, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya.
Untuk mencegah adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam sistem outsourcing ini
pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap para tenaga kerja kontrak.
Perlindungan hukum disini dimaksudkan untuk untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan
menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan
dunia usaha dan kepentingan pengusaha.
Dimana perlindungan hukum ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat
dibutuhkan dan dilindungi oleh negara. Hal ini sesuai dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
yang berbunyi Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, dan Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama atas kekeluargaan.
Muhammad Fajrin disini berpendapat bahwa pentingnya perlindungan bagi
pekerja/buruh biasanya berhadapan dengan kepentingan pengusaha untuk tetap dapat
bertahan dalam menjalankan usahanya. Sehingga seringkali pihak yang terkait secara
langsung adalah pengusaha dan pekerja/buruh. Secara umum persoalan perburuhan lebih
banyak diidentikkan dengan persoalan antara pekerja dan pengusaha.
Untuk menghadapi realita tersebut, peran pemerintah diperlukan untuk melakukan
campur tangan dengan tujuan mewujudkan perburuhan yang adil melalui peraturan
perundang-undangan. Maka dari itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengenai perlindungan bagi
pekerja/buruh secara umum dalam Undang-undang tersebut diatur mengenai perlindungan
terhadap penyandang cacat, perlindungan terhadap perempuan, perlindungan terhadap waktu
kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, juga perlindungan dalam hal pengupahan dan dalam
hal kesejahteraan.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Perlindungan Hukum?
2. Apa yang dimaksud dengan Outsourcing?
3. Apa sajakah dampak dari diadakannya Outsourcing?
4. Apakah instrumen perlindungan hukum terhadap tenaga outsourcing?
5. Apakah kelemahan-kelemahan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 kaitannya dengan
Outsourcing?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan Perlindungan Hukum.
2. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Outsourcing.
3. Menjelaskan apa saja dampak dari Outsourcing.
4. Menjelaskan instrumen perlindungan hukum terhadap tenaga outsourcing
5. Mengetahui kelemahan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 kaitannya dengan
Outsourcing

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca baik
secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
wawasan pengetahuan dalam hal perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
outsourcing dan mengetahui kelemahan Undang-Undang No 13 Tahun 2003
kaitannya dengan outsourcing.
2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan hukum untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan memberi manfaat bagi para pekerja outsourcing.

E. Ruang Lingkup Penulisan

Pada pembahasan ini berfokus pada :

1. Apa yang dimaksud perlindungan hukum.


2. Apa yang dimaksud dengan outsourcing dan apa saja dampak dari outsourcing.
3. Intrumen perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing.
4. Mengetahui kelemahan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 kaitannya dengan
outsourcing.

3
4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Harjono, pengkaji hukum belum secara komprehensif mengembangkan konsep


“perlindungan hukum” dari perspektif keilmuan hukum. Banyak tulisan-tulisan yang
dimaksudkan sebagai karya ilmiah ilmu hukum baik dalam tingkatan skripsi, tesis, maupun
disertasi yang mempunyai tema pokok bahasan tentang “perlindungan hukum”.
Namun tidak secara spesifik mendasarkan pada konsep-konsep dasar keilmuan hukum
secara cukup dalam mengembangkan konsep perlindungan hukum. Bahkan dalam banyak
bahan pustaka, makna dan batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan,
hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang
dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang
apa yang dimaksud “Perlindungan Hukum”. Konsekuensi dari tidak adanya konsep tersebut
akhirnya menimbulkan keragaman dalam pemberian maknanya, padahal perlindungan hukum
selalu menjadi tema pokok dalam setiap kajian hukum.
Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah “legal protection”, dalam
bahasa Belanda “rechtsbecherming”. Kedua istilah tersebut juga mengandung konsep atau
pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna sesungguhnya dari “perlindungan
hukum”. Di tengah langkanya makna perlindungan hukum itu, kemudian Harjono berusaha
membangun sebuah konsep perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum,
menurutnya:
“perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan
sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara
menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum”
Konsep tentang perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang dipergunakan adalah
perlindungan terhadap hak pekerja/buruh dengan menggunakan sarana hukum. Atau
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap pekerja/buruh atas tindakan-tindakan
pengusaha pada saat sebelum bekerja (pre-employment), selama bekerja (during
employment) dan masa setelah bekerja (Post employment).

5
B. Pengertian Pekerja Kontrak

Menurut ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di


dalamnya diberikan batasan tentang pengertian ketenagakerjaaan sebagai berikut:
1) Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, dan setelah selesainya masa hubungan kerja.
2) Tenaga kerja adalah objek, yaitu setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk kebutuhan sendiri dan
orang lain.
3) Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang lain dengan
menerima upah berupa uang atau imbalan dalam bentuk lain.
4) Pemberi kerja adalah orang-orang perseorangan atau badan hukum yang
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Karyawan kontrak dalam perarturan ketenagakerjaan di Indonesia memang
diperbolehkan dan sudah diatur. Kontrak kerja untuk karyawan sejatinya dimaksudkan untuk
diberlakukan kepada pekerjaan-pekerjaan yang memiliki karekteristik tertentu, yaitu :
1) Pekerjaan yang selesai atau sementara sifatnya.
2) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
3) Pekerjaan yang bersifat musiman.
4) Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Karyawan kontrak adalah karyawan yang diperbantukan untuk menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan rutin perusahaan, dan tidak ada jaminan kelangsungan masa kerjanya. Dalam hal
ini kelangsungan masa kerja karyawan kontrak ditentukan oleh prestasi kerjanya. Apabila
prestasi kerjanya baik, akan diperpanjang kontrak kerjanya. Dampak psikis dari ketentuan
yang menyatakan masa kerja karyawan kontrak tergantung pada prestasi kerjanya adalah
karyawan kontrak menjadi mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi.
Hal ini dikarenakan karyawan menginginkan untuk dapat terus bekerja dan
mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya. Penghasilan tersebut dipergunakan karyawan
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Seseorang yang dikontrak biasanya
beban kerjanya hampir sama atau bahkan lebih berat dari pada pegawai tetap, namun dari
segi gaji atau fasilitas lainnya tentu saja sangat berbeda. Bayangkan saja berapa keuntungan

6
perusahaan dari segi produktifitas misalnya, termasuk tidak adanya ketentuan pesangon yang
jelas apabila perusahaan tidak lagi menggunakan jasa si tenaga kerja kontrak.
Banyak perusahaan outsourcing (penyedia tenaga kontrak) yang melihat peluang ini.
Sehingga perusahaan yang membutuhkan pegawai kontrak tinggal memesan sesuai
kualifikasi yang diinginkan. Namun persoalan yang ditimbulkan akibat sistem kontrak ini
seakan tak berkesudahan. Mulai dari PHK sepihak, tidak adanya pesangon yang memadai,
dan terlebih lagi tidak adanya perlindungan hukum bagi karyawan kontrak yang akan
menuntut haknya di pengadilan.
Bila merujuk kepada aturan yang berlaku, jenis hubungan kerja PKWT hanya dapat
diterapkan untuk 4 jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan yang sekali selesai, pekerjaan yang
bersifat musiman, pekerjaan dari suatu usaha baru, produk baru atau kegiatan baru, serta
pekerjaan yang sifatnya tidak teratur (pekerja lepas).
Ketentuan yang berlaku untuk karyawan kontrak adalah sebagai berikut:
1) Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu tertentu
saja, waktunya terbatas maksimal hanya 3 tahun.
2) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan dalam
“Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu”.
3) Perusahaan tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan.
4) Status karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun ;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
e. Untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diberlakukan status
karyawan kontrak.
5) Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang
telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja

7
diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan
sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
6) Jika setelah kontrak kemudian perusahaan menetapkan ybs menjadi karyawan
tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja.
Perbedaan pokok antara karyawan tetap dan kontrak terletak pada batas masa
berlakunya hubungan kerja dan hak pesangon apabila hubungan kerja terputus.
Artinya karyawan yang selesai kontrak tidak berhak atas pesangon, sedangkan
karyawan tetap yang di-PHK yang memenuhi syarat dan ketentuan tertentu berhak
atas pesangon.

C. Pengertian Outsourcing

Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia sendiri diartikan sebagai


pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja pengaturan hukum. Outsourcing
(Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun
2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004) (http://jurnalhukum.blogspot.com).
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga
memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing
(Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi
dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa
outsourcing). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau
beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain
yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.
Ellram and Maltz (1995) define outsourcing simply as “moving functions or activities
out of an organization”. Artinya bahwa outsourcing merupakan fungsi atau aktivitas
penggerak diluar suatu organisasi.
Major (1993) suggests that is a new term for an old concept: to make an agreement of
external work. Yang berarti bahwa outsourcing ini adalah istilah baru untuk konsep lama
yaitu untuk mengadakan suatu kesepakatan dalam kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-
pekerjaan eksternal.

8
9
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perlindungan Hukum


Perlindungan Hukum merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh masing-masing
individu. Perlindungan sendiri dapat diartikan sebagai upaya atau usaha yang dilakukan untuk
membuat seseorang merasa nyaman, tentram, aman. Sedangkan hukum sendiri dapat
diartikan sebagai sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
subyek hukum sehingga hubungan yang adil, aman, sentosa dapat terlaksana.
Hukum disini haruslah dapat memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya.
F.H van Der Burg dan kawan-kawan (dalam Ridwan, halaman 211:2003) mengatakan bahwa
kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum adalah penting ketika pemerintah
bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu terhadap sesuatu, yang
oleh karena tindakan atau kelalaiannya itu melanggar (hak) orang-orang atau kelompok
tertentu.
Perlindungan hukum bagi rakyat ini merupakan konsep universal dalam artian konsep ini
dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara hukum,
namun seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung (dalam Ridwan, halaman 211:2003),
masing-masing negara tersebut mempunyai cara & mekanismenya sendiri tentang bagaimana
mewujudkan perlindungan hukum tersebut dan juga sampai sejauh mana perlindungan
hukum itu diberikan oleh pemerintah.
Perlindungan hukum selalau terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur
dan pelindung masyarakat. Menurut Bronislaw Malinowski (dalam Alexander, hal 16),
bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan
pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari. Hukum
menentukan kepentingan-kepentingan masyarakat yang dapat ditingkatkan menjadi hak-hak
hukum yang dapat dipaksakan pemenuhannya.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum itu adalah perlindungan
yang diberikan oleh pemerintah terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak
cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh
hukum terhadap sesuatu atau juga bisa dikatakan bahwa perlindungan hukum merupakan
suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik
itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif

10
(pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum.
Dimana perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Perlindungan hukum ini bisa juga dilaksanakan dalam hal melindungi masyarakat terhadap
sikap tindak atau perbuatan hukum pemerintah yang memungkinkan lahirnya kerugian bagi
masyarakat atau badan hukum.
Sehubungan dengan perbuatan hukum pemerintah tersebut yang dapat terjadi baik dalam
bidang publik maupun perdata, maka perlindungan hukum akibat dari perbuatan pemerintah
juga ada yang terdapat dalam bidang perdata maupun publik.
1. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata
Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan bertindak dan
mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan dengan rakyat biasa. Oleh
karenanya persoalan menggugat pemerintah di muka hakim ini tidaklah sama
dengan menggugat rakyat biasa. Hukum perdata memberikan perlindungan yang
sama baik kepada pemerintah maupun seseorang atau badan hukum perdata.
2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik
Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasar sifatnya
menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum
yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan atau ketetapan-
ketetapan pemerintah yang bersifat sepihak. Menurut Sjachran Basah (dalam
Ridwan, halaman 217:2003) dijelaskan bahwa perlindungan terhadap warga negara
diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian
terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri
dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum baik
tertulis atau asas umum tidak tertulis.
B. Pengertian Outsourcing
Outsourcing merupakan pendekatan manajemen yang memberikan kewenangan pada
pihak ketiga untuk bertanggung jawab terhadap proses atau jasa yang sebelumnya dilakukan
oleh perusahaan sendiri. Menurut Ellram and Maltz (Jonas, 2007) define outsourcing simply
as “moving functions or activities out of an organization”. Artinya bahwa outsourcing
merupakan fungsi atau aktivitas penggerak diluar suatu organisasi.
Pendapat lainnya yaitu Major (Jonas, 2007) suggests that is a new term for an old
concept: to make an agreement of external work. Yang berarti bahwa outsourcing ini adalah

11
istilah baru untuk konsep lama yaitu untuk mengadakan suatu kesepakatan dalam kegiatan-
kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan eksternal. Saunders and Gebelt (dalam Salamah Wahyuni,
2008) mengatakan bahwa dalam proses outsourcing ini ada dua aktor yang berperan, yaitu
yang pertama outsourced dan outsourcer. Outsourced ini menunjuk pada perusahaan yang
menyerahkan pekerjaan sedangkan outsourcer ini mengarah pada perusahaan yang menerima
pekerjaan.
Hal yang sama diutarakan oleh Harland namun dalam sebutan yang berbeda, menurut
Harland 2 aktor tersebut adalah outsourcer dan outsourcee. Outsourcer menunjuk pada
perusahaan yang mempunyai wewenang dalam bisnis tersebut sedangkan outsourcee
merupakan perusahaan yang diberi wewenang mengelolanya.
Koszewska (2004) berpendapat “A firm using outsourcing inevitably loses some control
over its future, which is to some degree given over into the hands of another firm, whose
primary motivation (one should bear in mind) is the maximisation of its own”. Ini berarti
bahwa perusahaan-perusahaan yang menggunakan outsourcing besar kemungkinannya bahwa
mereka akan kehilangan kendali di masa yang akan datang, dimana dalam beberapa hal
kendali tersebut diserahkan kepada perusahaan lain, yang motif utamanya adalah
maksimalisasi sendiri.
Menurut Komang dan Agus (dalam Salamah Wahyuni, 2008) membedakan tipe
outsourcing menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Business Process Outsourcing (BPO)
Outsourcing jenis ini mengacu pada hasil akhir yang dikehendaki. Jika sebuah
perusahaan manufaktur ingin mengalihkan penjualan produknya pada perusahaan
lain, maka pembayaran kompensasinya berupa jumlah unit yang terjual.
2. Outsourcing Sumber Daya Manusia
Outsourcing ini mengacu pada kebutuhan penyediaan dan pengelolaan sumber
daya manusia. Untuk contoh diatas perusahaan manufaktur akan bekerja sama
dengan perusahaan outsourcing (vendor) yang memberikan jasa penyediaan dan
pengelolaan tenaga penjual. Kompensasi kepada vendor berupa management fee
sesuai kesepakatan.

12
C. Dampak pelaksanaan sistem Outsourcing
Penerapan sistem outsourcing memberikan dampak yang cukup besar, baik bagi
perusahaan maupun bagi buruh sendiri. Berikut dampak pelaksanaan sistem outsourcing bagi
buruh dan perusahaan.
1. Dampak bagi buruh atas penerapan sistem outsourcing antara lain yaitu :
i. Dampak Negatif
a. Hidup buruh menjadi tidak tenang
Para buruh akan memikirkan pekerjaan apa yang nantinya akan
dijalankannya ketika masa kontrak akan berakhir jika pihak perusahaan
outsourcing tidak memperpanjang masa kontraknya.
b. Kesejahteraan buruh semakin berkurang
Hal ini dikarenakan dalam sistem outsourcing banyak terjadi penyelewengan
yang berakibat pada dilanggarnya hak-hak kaum buruh semisal pekerja dapat
diberhentikan kapan saja dam kompensasi PHK tidak diberikan, tidak
diikutkan dalam program jamsostek, kontrak tidak mendapat THR,
pemotongan upah secara sepihak, dan lainnya.
ii. Dampak Positif (dalam Suwondo, halaman 64:2003)
a. Kesempatan pengembangan karier pada perusahaan outsourcing sesuai
spesialisasinya
b. Kesempatan mendapatkan pengetahuan atau keahlian yang profesional
2. Dampak penerapan sistem outsourcing bagi perusahaan antara lain, yaitu :
i.Dampak Negatif
a. Perusahaan akan kehilangan kontrol terhadap aktifitas-aktifitas pekerja
karena semuanya sudah diserahkan kepada perusahaan outsourcing
b. Perusahaan akan sangat tergantung kepada vendor atau perusahaan
outsourcing dan jika ketergantungan itu terjadi maka pengeluaran akan
semakin membesar.
c. Menyerahkan aktifitas-aktifitas strategi kepada pihak ketiga akan
merugikan perusahaan sendiri karena perusahaan akan kehilangan
kesempatan pengembangan aktifitas tersebut.
d. Perusahaan juga akan mendapat citra yang buruk bila tenaga kerja-
tenaga kerja dari outsourcing tersebut tidak memuaskan atau tidak
berkualitas.

13
ii. Dampak Positif
a. Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menggaji tenaga kerja
semakin berkurang
b. Perusahaan akan menjadi lebih fleksibel, lebih dinamis, dan lebih
baik.Perusahaan akan dapat melakukan perubahan dengan cepat untuk
memenuhi perubahan kesempatan sesuai kondisi yang ada.
c. Perusahaan tidak akan menanggung segala resiko pekerjaan,
ketenagakerjaan, kriminalitas dan resiko-resiko yang lain karena segala
resiko tersebut sudah menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
tenaga kerja tersebut.
d. Efektifitas dan efisiensi dari perusahaan tersebut akan dapat terlaksana
karena perusahaan hanya memfokuskan pada apa yang menjadi bisnis
inti mereka tanpa mempedulikan hal-hal diluar bisnis intinya.
D. Instrumen Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Outsourcing
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ini merupakan instrumen
perlindungan hukum dari pemerintah untuk melindungi hak-hak tenaga kerja. Dalam
Undang-Undang ini tidak pernah ditemukan kata outsourcing secara langsung, namun hanya
disebutkan sebagai menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Outsourcing ini
diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 khususnya pada pasal 64, pasal 65, serta
pasal 66. Menurut Cahyo (http://angkringanindustrialrelation.blogspot.com) pasal-pasal
tentang outsourcing pada Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut memberikan arahan
outsourcing sbb:
1. Jenis-Jenis Outsourcing
Hal ini diuraikan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, dimana jenis-jenis outsourcing adalah :
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pada penjelasan pasal dinyatakan cukup jelas, sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa outsourcing atau dalam undang-undang dinyatakan sebagai
sebagian pelaksanaan pekerjaan perusahaan, terbagi menjadi dua bidang, yaitu
a. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Dalam pemborongan pekerjaan yang dialihkan pada pihak lain adalah proses
bisnis atau pekerjaannya. Pada outsourcing pekerjaan ini harus dibuat suatu

14
perjanjian yang akan mengikat kedua perusahaan yaitu dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan. Unsur-unsur perjanjian pemborongan diuraikan
sebagai berikut :
(1) Adanya perjanjian;
(2) Penyelenggaraan suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak
lain yaitu pihak yang memborongkan;
(3) Penerimaan pihak pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai
harga borongan dari pihak yang memborongkan.
Pemborongan pekerjaan berarti perusahaan menyerahkan pelaksanaan
pekerjaan kepada pihak lain tanpa menyediakan perlengkapan dan
peralatan kerjanya. Dalam hal ini pihak pemborong mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, yaitu
pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah
disepakati bersama. Masalah tenaga kerja merupakan masalah pemborong
sepenuhnya.
b. Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Diartikan sebagai perusahaan menyerahkan pelaksanaan pekerjaan
kepada pihak lain berikut perlengkapan dan peralatan kerjanya. Dengan
kata lain, perusahaan lain tersebut hanya menyediakan jasa tenaga kerja
saja. Proses penerimaan karyawan sampai dengan proses Pemutusan
Hubungan Kerja karyawan merupakan tugas dari perusahaan penyedia
jasa pekerja, tentunya dengan masukan serta pertimbangan dari pihak
pemberi pekerjaan.
2. Pembatasan Kegiatan Outsourcing
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
mengatur tentang pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat diserahkan kepada
perusahaan lain atau dapat juga disebut sebagai pembatasan kegiatan outsourcing,
sebagai berikut :
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

15
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat -syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya;
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3),
tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (7).
3. Persyaratan Formal Outsourcing
Dalam UU, diberikan beberapa persyaratan formal untuk melakukan outsourcing
yang harus diperhatikan oleh pemberi pekerjaan. Persyaratan-persyaratan tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

16
a. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis (pasal 65 ayat 1)
b. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya (pasal 65 ayat
6).
c. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 (pasal 65 ayat 7).
4. Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Di samping persyaratan formal mengenai outsourcing, diatur pula mengenai
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa/buruh
seperti berikut ini
a. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk
badanhukum (pasal 65 ayat 3);
b. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan (pasal 66 ayat 3);
c. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
(2) Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu
tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
(3) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan

17
(4) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindah sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang iniIstilah yang
dipakai dalam undang-undang ini adalah perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyedia jasa pekerja atau buruh

E. Kelemahan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 kaitannya dengan Outsourcing


Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap hak-hak tenaga outsourcing, pemerintah
menetapkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, khususnya pasal
64-66. Namun bukanlah melindungi hak-hak tenaga outsourcing, ketentuan pada pasal
tersebut cenderung menimbulkan anggapan bahwa perundang-undangan tersebut digunakan
untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam hal ini pengusaha dan pengelola atau
penyedia tenaga kerja sedangkan pekerja itu sendiri menjadi terabaikan kepentingannya.
Menurut Andi (http://ilmupsiko.blogspot.com), dalam pasal 64 UU Nomor 13 Tahun
2003, dapat dilihat adanya penyimpangan yaitu bertentangan dengan legal concept tentang
hubungan kerja. Sebab perintah diberikan oleh pemberi pekejaan kepada pekerja, yang
menikmati hasil pekerjaan adalah pemberi pekerjaan, tetapi UU merumuskan hubungan
hukum yang timbul hanya antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja.
Seharusnya dirumuskan hubungan kerja dalam outsourcing adalah antara pemberi pekerjaan
dengan pekerja, bukan antara perusahaan penyediaan jasa pekerja dengan pekerja.
Selain itu penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing)
sebagaimana diatur dalam Pasal 64, buruh/pekerja dilihat semata-mata sebagai komoditas
atau barang dagangan di sebuah pasar tenaga kerja. Buruh/pekerja dibiarkan menghadapi
kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang
semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Dalam kaitannya dengan pemborongan kerja di Pasal 64, buruh/pekerja ditempatkan
sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan
diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah
sebagai salah satu dari biaya-biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Dengan
kondisi seperti itu, pemerintah diharapkan merevisi kembali perundang-undangan tersebut
khususnya dalam hal kelemahannya sehingga nantinya keinginan negara untuk melindungi
warga negaranya dalam hal ini tenaga outsourcing bisa terwujud.

18
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh hukum
terhadap sesuatu atau juga bisa dikatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu
yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif
(pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum.
Dalam rangka pemberian perlindungan hukum kepada tenaga outsourcing, pemerintah
menetapkan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan khususnya dalam pasal 64-66. Namun peraturan-peraturan tersebut
ternyata memiliki kelemahan-kelemahan sehingga ada kecenderungan bahwa peraturan
tersebut dibuat hanya untuk menguntungkan pengusaha. Selain itu, pelaksanaan outsourcing
ini juga menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap tenaga kerja. Untuk itulah perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan di kedepannya.
B. Saran
1. Pemerintah perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam peraturan perundang-undangan tersebut
sehingga para pengusaha atau penyedia jasa outsourcing tidak memiliki celah lagi
untuk melakukan penyimpangan.
2. Pemerintah melakukan pengawasan lebih lagi dalam pelaksanaan outsourcing ini
dimana dalam sistem ini rentan sekali terjadinya penyimpangan.
3. Dari pihak tenaga kerja, sebaiknya mempelajari atau paling tidak mengerti mengenai
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sehingga bisa memperjuangkan
hak-haknya seumpama hak-haknya dilanggar.

19
Daftar Pustaka

Andi. 2013. Praktik Outsourcing di Indonesia Penyimpangan yang Berlindung Dibalik


UU Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003. Diperoleh pada 21 Mei 2014, pada
http://ilmupsiko.blogspot.com/

Cahyo. 2012. Perlindungan Hukum Outsourcing Tenaga Kerja. Diperoleh pada 19 Mei
2014, dari http://angkringanindustrialrelation.blogspot.com/

E.B Lumingas, Nicky. 2013. “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Outsourcing”. Lex et
Societatis. Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. 148-162

Fajrin Pane, Muhammad. 2008. “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja/Buruh dalam


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”. Tesis Pascasarjana pada Ilmu Hukum USU,
Sumatera Utara

HR, Ridwan. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press

Harjono. 2008. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Penerbit Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Ingai, Alexander. 2013. “Tinjauan Hukum terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja Antara
Tenaga Kerja Outsourcing di Bank CIMB Niaga Samarinda dengan PT Prime
Resourch”. Skripsi Sarjana pada Ilmu Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda

Jehani, Libertus. 2008. Hak-Hak Karyawan Kontrak. Jakarta: Forum Sahabat

Koszewska, Małgorzata. 2004. “Outsourcing as a Modern Management Strategy.


Prospects for Its Development in The Protective Slothing Market”. AUTEX Research
Journal. Vol. 4. No. 4. 228-231

Latupono, Barzah. 2011. “Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Pekerja
Kontrak (Outsourcing) di Kota Ambon”. Jurnal Sasi. Vol. 17 No. 3. 59-69

Marina, Liza. “Perlindungan Hukum bagi tenaga Kerja dalam Perjanjian Kerja
Outsourcing.”Jurnal Supremasi Hukum.Volume III NO.2

Meyer, Thomas and Florian Schüler. 2012. “Outsourcing-Division of labour gives


competitive edge”. The Outsourcing Journal. Q2/3-2012. 4-9

20
Royen, Uti Ilmu. 2009. “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi
Kasus di Kabupaten Ketapang)”. Tesis Program Magister pada Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang

Rundquist, Jonas. 2007. “Outsourcing of New Product Development - A decision


Framework”. Licentiate Thesis. Department of Business Administration and Social
Sciences.

Status Hukum. 2012. Perlindungan Hukum. Diperoleh pada 19 Mei 2014, dari
http://statushukum.com

Suwondo, Chandra. 2003. Outsourcing Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Elex


Media Komputindo

Wahyuni, Slamah dkk. 2008. “Outsourcing Sumber Daya Manusia: Tinjauan dari
Perspektif Vendor dan Karyawan”. Jurnal Aplikasi Manajemen.Volume 9. Nomor 1.
124-133

21

Anda mungkin juga menyukai