Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa :

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM :

Kode/Nama Mata Kuliah :

Kode/Nama UPBJJ :

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban No 1 :

Hakikat hukum ketenagakerjaan adalah perlindungan terhadap tenaga kerja, yakni dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar pekerja. Asas pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan berdasarkan atas
keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Tidak dapat dipungkiri
dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan terjadi pemutusan hubungan kerja, bahkan timbul
perselisihan antar kedua pihak. Adapun pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha. Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang melatarbelakangi permasalahan dalam penulisan ini
ialah bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan melalui
bipartit dan mediasi menurut UU No. 2 Tahun 2004 serta bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial di luar pengadilan melalui konsiliasi dan arbitrase menurut UU No. 2 Tahun 2004.
Lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit meliputi keempat jenis perselisihan,
yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan; Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui bipartit dilakukan melalui perundingan yang melibatkan kedua belah pihak yang berselisih yaitu
antara pihak pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh; Mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Selanjutnya Mekanisme Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan Melalui Konsiliasi dan Arbitrase Berdasarkan UU No. 2 /2004:
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 meliputi tiga jenis perselisihan, yakni perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK, dan perselisihan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan; Mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial
melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan
kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Dari hasil penelitian dapat ditarik
kesimpulan bahwa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan melalui
bipartit dilakukan oleh para pihak yang berselisih tanpa melibatkan pihak lain sebagai penengah, apabila
tercapai kesepakatan dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial,
apabila tidak tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak atau para pihak mencatatkan perselisihan pada
instansi ketenagakerjaan. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan
melalui konsiliasi ditengahi oleh konsiliator yang bukan berasal dari pegawai pemerintah, jika tercapai
kesepakatan, dibuat perjanjian bersama dan didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial. jika tidak
tercapai kesepakatan Konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis.

Jawaban No 2 :
Penerapan K3 dalam industri merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan dalam memenuhi jaminan
perlindungan tenaga kerjanya atas keselamatan saat bekerja. Tentunya, implementasi K3 ini juga perlu
dilakukan oleh seluruh pekerja maupun tamu yang datang ke lokasi kerja sehingga upaya keselamatan dan
kesehatan kerja dapat benar-benar terlaksana.
 Dalam penerapan nya perusahaan sebaiknya membentuk divisi HSE dalam struktur managemen,
dengan tujuan HSE distrukturkan secara sistematis sebagai sebuah sistem manajemen untuk
mencapai tujuan dalam aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan.
 Melakukan Perawatan Mesin.

Setiap mesin memerlukan perawatan untuk menjaga kondisinya tetap baik sehingga meminimalkan
risiko bahaya mekanik saat bekerja. Perawatan yang diperlukan untuk tiap mesin pun berbeda-beda
berdasarkan frekuensi penggunaan, intensitas penggunaan, umur tiap komponen, dan sebagainya.

 Jam Kerja yang Manusiawi.

Jam kerja yang manusiawi dapat meminimalkan risiko terjadinya kecelakaan kerja akibat
kelelahan dan membantu menjaga kesehatan psikis pekerja. Pasal 77 UU Nomor 13 tahun
2003 mengatur ketentuan jam kerja, yakni 40 jam kerja dalam 1 minggu, baik untuk
pengaturan 7 jam kerja apabila memberlakukan 6 hari kerja maupun 8 jam kerja apabila
memberlakukan 5 hari kerja. Apabila melebihi dari aturan, tersebut, maka waktu kerja dapat
dikategorikan sebagai lembur sehingga pekerja berhak atas upah lembur.

Kendati begitu, ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak dapat mengikuti ketentuan jam kerja
tersebut sebagaimana diatur dalam Kepemenakertrans No. 223 tentang Jenis dan Sifat
Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Namun tetap saja, ada upah lembur yang
harus dibayarkan pengusaha atas kelebihan jam kerja tersebut.

 Mengatur Regulasi Terkait K3 terhadap karyawan yg tidak melaksanakan nya.

Surat peringatan, Denda, Penurunan jabatan, Skorsing dan PHK

 Menjaga Kondisi Lingkungan Perusahaan.


 Evaluasi Berkala Terait Penerapan K3.

Jawaban No 3 :

UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pada UU ini yang dimaksud


Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja. sedangkan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar
negeri. Dalam Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta
adil, dan setara tanpa diskriminasi. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Para Pengusaha juga
dilarang mempekerjakan anak,Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00 dan juga dilarang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul
07.00. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.

Tindakan pekerja yang tergolong sebagai “kesalahan berat” awalnya telah diatur secara limitatif
dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”). Jika diamati, seluruh kesalahan berat di dalamnya merupakan tindak pidana.

Akibatnya, dengan memerhatikan asas presumption of innocence, pemutusan hubungan kerja (PHK ),
karena kesalahan berat menimbulkan perdebatan. Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sendiri
telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 (“Putusan MK
12/2003”). Ketentuan ini dinilai telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Seharusnya, bersalah
tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (hal. 105).

Namun demikian, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA 3/2015”).

SEMA 3/2015 memberikan kaidah bahwa dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena
alasan melakukan kesalahan berat eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan pasca Putusan MK 12/2003,
maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).
Meskipun Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan aturan internal Mahkamah Agung dan tidak
secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya,
hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan hubungan industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA
3/2015 dan cenderung mengabaikan Putusan MK 12/2003.

Dengan demikian, jika pekerja melakukan kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya
terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai