Anda di halaman 1dari 9

M A K A L A H

DUE PROCESS MODEL

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Sistem Peradilan Pidana

Di susun oleh :

SEKOLAH TINGGI HUKUM GARUT


2020
A. PENDAHULUAN

Peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya

beberapa lembaga penegak hukum. Mekanisme peradilan pidana tersebut

meliputi aktivitas yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang

dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Proses yang bekerja secara

berurutan tersebut pada dasarnya menuju pada suatu tujuan bersama yang

dikehendaki. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem,

sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling

berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain.

Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen

fungsi atau subsistem yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja

sama.

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan ) sebagai

institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif

memandang aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen

yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal

maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang

berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem

administrasi. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak

hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial

1
sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas

keberhasilan atau kegagalan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut

dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem

sosial.

B. PEMBAHASAN

1. Due Process Model

Model ini merupakan reaksi terhadap CCM pada hakekatnya menitik

beratkan pada hak-hak individu dengan berusaha melakukan pembatasan-

pembatasan terhadap wewenang penguasa dengan kata lain dapat dikatakan

bahwa proses pidana harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak

asasi manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efisiensi belaka

seperti dalam CCM melainkan pada prosedur penyelesaian perkara.

Pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah ini mencerminkan ideologi atau

cita-cita DPM yang mengandung apa yang disebut mithoritarian values atau

arti cita-cita kesewenang-wenangan.

Berbeda dengan CCM yang didasarkan pada Presumption Of Guilt maka

pada DPM didasarkan pada Persumption Of Innocence sebagai dasar nilai

sistem peradilan oleh DPM dituntut adanya suatu proses penyelidikan

terhadap suatu kasus secara formal dengan menemukan fakta secara objektif

dimana kasus seorang tersangka atau terdakwa didengar secara terbuka

dimuka persidangan dan penilaan atas tuduhan penuntut umum baru akan

dilaksanakan setelah terdakwa memperoleh kesempatan sepenuhnya untuk

2
mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi

yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dengan tuntutan

bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting

dalam DPM. Sebagaimana sudah dikatakan dimuka bahwa model-model

yang di bicarakan ini bukan suatu hal yang absolute yang nampak dalam

kehidupan melainkan hanya merupakan values system yang muncul dalam

sistem peradilan pidana yang secara bergantian dapat dipilih dalam sistem

peradilan itu misalnya saya dapat dilihat pada sistem peradilan pidana di

Amerika yang tadinya didasarkan pada CCM namun seharusnya yang

muncul dalam praktek adalah DPM dan ini kemudian berpengaruh kepada

hukum acara pidana dinegara-negara lain termasuk Indonesia,dimana halhal

yang baik dari sistem DPM dimasukan kedalam hukum acara pidana,

misalnya pengacara sudah dapat mendampingi klien sejak ia ditangkap dan

lain-lain sebagainya. Sebagai bentuk reaksi formal terhadap kejahatan, SPP

memiliki karakteristik yang khas diantaranya, yakni Crime Control Model

dan Due Process Model sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L. Parcker.

Kedua model tersebut memiliki karakteristik masing-masing yakni Crime

Control Model yang ditandai oleh tindakan reprepresif terhadap seorang

penjahat merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan. Perhatian

pertama harus di tujukan kepada efisiensi dari suatu penegakkan hukum

untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin hak

tersangka dalam proses peradilan. Penegakkan hukum dilakukan sesuai

dengan prinsip peradilan cepat dan tuntas. Asas praduga tidak bersalah atau

presumption of guilt guna menjadikan sistem ini efisien. Proses penegakkan

3
hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuantemuan fakta

administratif sehingga temuan tersebut berguna bagi a) pembebasan seorang

tersangka dari penuntutan atau b)kesediaan tersangka menyatakan dirinya

bersalah (plead of guilty).1

Sementara itu Due Process Model memiliki nilai-nilai kemungkinan

adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi. Menekankan pada

pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin mekanisme administrasi

peradilan.model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh

dan utama didalam proses peradilan dan konsep pembatasan wenang-

wenang formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan

kemerdekaan yang diangap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang


2
hanya dapat dilakukan oleh Negara.

Gagasan persamaan dimuka hukum lebih diutamakan karena itu

pemerintah harus menyediakan fasilitas yang sama untuk setiap orang yang

berurusan dengan hukum,dan lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan

sanksi pidana. Crime Control Model dikategorikan sebagai model

afffirmative dan due process model sebagai model negative. Affirmative

model selalu menekankan kepada eksistensi dan penggunaan kekuasaan

formal pada setiap sudut dari proses peradilan pidana dan dalam model ini

kekuasaan legislatif sangat dominan; sementara negatif model menekankan

kepada pembatasan kekuasaan formal dan modifikasi penggunaan kekuasaan

tersebut. Kekuasaan yang dominan adalah kekuasaan yudikatif dan selalu

1
Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press Jogyakarta 2011, hal.41
2
Ibid

4
mengacu pada konstitusi. Perbedaan antara Crime Control Model dan Due

Process Model dapat digambarkan sebagai berikut. Baik model yang

affirmatif dalam hal ini Crime Control Model maupun model negatif (due

process model) tidak dapat diterapkan di Indonesia.3

Menurut Muladi,model itu merupakan bentuk asli dari Adversary model

dengan ciri-ciri penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus

dibasmi atau diasingkan, efisiensi dan ketertiban umum berada diatas

segalanya, tujuan pemidanaan adalah pengasingan.4 Begitu juga dengan

model kekeluargaan (family model) karena setelah kita melakukan

pengkajian yang mendalam. Menurut Muladi, kita juga tidak dapat

menerimah sepenuhnya. Model kekeluargaan ini digunakan di negeri

Belanda. Model itu kurang memadai, karena terlalu berorientasi kepada

pelanggar padahal disisi lain terdapat korban (the victim of crime) yang

memerlukan perhatian serius5 Penegakan hukum bukan merupakan kegiatan

yang bersifat logis akan tetapi melibatkan manusia dengan segenap

karakteristiknya,sehingga menimbulkan pula karakteristik dalam

penegakkan hukum.

due process model juga memiliki 5 (lima) karakteristik berupa:

efektivitas, legal guilt, presumption of innocent, formal adjudicative dan

preventive. due process model diibaratkan seperti orang yang sedang

3
Sidik Sumaryo, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah, Malang, 2004. Hal.
27
4
Muladi, Kapita Selekta Sistem Hukum Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995. Hal. 5
5
Ibid

5
melakukan lari gawang. Intinya kedua model tersebut ada nilai-nilai yang

bersaing tetapi tidak berlawanan.

due process model juga tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat

anti-authoritarian values. Model yang cocok digunakan khususnya di

Indonesia adalah yang mengacu kepada daad-dader strafrecht atau model

keseimbangan kepentingan. Model ini lebih realistik karena memperhatikan

berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu

kepentingan negara, kepentingan individu, kepentingan umum, kepentingan

pelaku dan kepentingan korban kejahatan.

C. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Beradasarkan uraian tentang sistem peradilan pidana tersebut, bila

dihubungkan dengan hukum acara pidana di Indonesia, maka dapat

dikemukakan beberapa hal. Pertama, hukum acara pidana Indonesia pada

dasannya tidak megenal integrated criminal justice system yang

diungkapkan baik oleh Packer maupun King. Dalam KUHAP secara

intrinsik telah ditetapkan kewenangan masing-masing aparat penegak

hukum, misalnya polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut dan hakim

sebagai pemutus perkara pidana. Dengan kata lain kita menggunakan asas

diferensiasi fungsional Artinya, masing-masing aparat penegak hukum

mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Kedua, model

yang dikemukakan oleh Muladi, pada dasarnya relevan dan realistis bila

dikorelasikan dengan perkembangan hukum pidana dan hukum acara pidana

6
akhir-akhir ini. Harus diakui bahwa KUHAP kita masih terlelu offender

oriented padahal penderitaan korban jauh lebih dahsyat dan membutuhkan

perhatian serius dari negara. Artinya belum seimbang perlakuan negara

kepada pelaku dan korban kejahatan. Ketiga, ihwal crime control model dan

due process model, keduanya tidak dianut secara ketat dalam praktik

peradilan pidana kita. Pada satu sisi cenderung pada crime control model,

namun di sisi lain kelihatannya berkombinasi dengan due process model.

Sebagai contoh, asas presumption of innocent tetap menjadi landasan

normatif aparat penegak hukum ketika memeriksa tersangka. Artinya,

tersangka tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang

inkracht.

Tetapi secara formal KUHAP menegaskan dalam Pasal 17 bahwa

penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang yang “diduga

keras” melakukan suatu tindak pidana. Itu artinya aparat penegak hukum

pada akhirnya menggunakan prinsip presumption of guilt. Prinsip ini adalah

salah satu ciri dari crime control model.

DAFTAR PUSTAKA

Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press Jogyakarta 2011,

hal.41

Sidik Sumaryo, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah,

Malang, 2004. Hal. 27

Muladi, Kapita Selekta Sistem Hukum Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. Hal. 5

7
8

Anda mungkin juga menyukai