Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat. Hare
menyamakannya dengan salah satu kelainan, yaitu Anti Social Personality Disorder (Hare,
Hart & Harpur, 1991). Pada umumnya mayoritas orang menyebut psikopat sebagai sakit jiwa,
karena istilah psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti
penyakit,namun psikopat tidak dimaksudkan untuk kategori sakit kejiwaan secara
menyeluruh. Penderita psikopat biasanya juga seorang sosiopat, karena perilakunya yang
antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
Psikopat adalah perilaku psikologis dimana pelaku terus menerus mencari gratifikasi
(pembenaran diri) atas tindakan2 keliru yang dilakukannya. Seorang psikopat tidak memiliki
kemampuan untuk mengenali dan belajar dari kesalahan. Namun dia memiliki daya analisa
yang tinggi dan seringkali tergolong orang yang sangat cerdas.
Banyak psikolog berpendapat, salah satu ciri awal seorang berpotensi menjadi
psikopat adalah ketika dia memiliki rasa cinta pada diri sendiri (narcissistic). Dalam tingkatan
spektum patologi, Narcissistic berada di peringkat terendah dari gejala kelainan jiwa . Jika
kecintaan pada diri sendiri berubah menjadi paranoid (takut ada orang lain yang lebih cantik /
tampan dari dirinya), maka orang itu berada pada spektrum tengah yang disebut Malignant
Narcissism. Dan dalam spektrum tersebut, psikopat berada di peringkat paling atas dan
disebut High-End Narcissism.
Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan
menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu
tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima
oleh masyarakat lainnya.
1.2. Rumusan Masalah

Seperti apa proses diferensiasi dan sosialisasi terhadap individu sosiopatik ?


Seperti apa mobilitas terhadap individu-individu sosiopatik ?
Seperi apa penyesuaian diri individu marginal ?
4. Apa reaksi sosial terhadap individu sosiopatik ?
1.
2.
3.

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui diferensiasi dan sosialisasi terhadap individu sosiopatik.
2. Untuk mengetahui mobilitas terhadap individu-individu sosiopatik.
3. Untuk memahami penyesuaian diri individu marginal.
4. Untuk mengetahui bagaimana reaksi sosial terhadap individu sosiopatik.

BAB II
Landasan Teori
2.1.Proses Diferensiasi dan Sosialisasi
Pribadi yang menyimpang, dengan tingkah laku menyimpang dari norma-norma
umum adalh sebuah diferensiasi ataupun deviasi hal ini yang membuat sosialisasi yang agak
berbeda pada individu yang berperilaku menyimpang.
Proses diferensiasi: sebagian kecil manusia yang secara individual memang berbeda
dengan orang kebanyakan sejak lahirnya. Misalnya dengan lahir dengan keadaan ekonomi
yang
kurang
baik
ataupun
lingkungan
yang
berbeda. Keadaan
dan
lingkunagan umumnya cenderung menimbulkan perasaan-perasaan yang sangat dalam pada
pribadi yang bersangkutan, sehingga respons sosialnya berkembang menjadi tidak wajar.
Selanjutnya, kondisi tersebut akan menjadi lebih parah apabila lingkungan sekitar menghina,
menolak atau mengucilkan dirinya (penindasan kaum mayoritas), sehingga dia bisa menjadi
sosiopatik.
Sekelompok individu yang lahir,tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam
lingkungan keluarga atau kelas sosial yang sangat memilukan. Dimana kejahatan, kemiskinan
kronis, pola asusila, dan kebiasaan mengemis menjadi cara hidup yang melembaga dalam
kelompok tersebut. Dalam situasi dan kondisi demikian, pertumbuhan psikologis dari pribadi
dan kelompok cenderung menjadi abnormal atau menyimpang. Sebab kebudayaan dan
kerangka organisasi sosial tersebut memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga tingkah
laku individu menjadi konform/cocok dengan perilaku lokal namun dianggap patologis oleh
masyarakat luas. Kontak yang terus-menerus dengan orang dewasa yang menyimpang atau
abnormal, mempersiapkan dan membentuk kebiasaan-kebiasaan serta watak yang sosiopatik
pada diri anak-anak dan orang muda. Dengan sendirinya, konsepsi mengenai nilai-nilai moral
di beri isi dan bentuk oleh kode-kode moral yang berlaku dalam kelompok-kelompok
bermain semasa anak-anak dan oleh masyarakat lokal. Sehingga apabila individu-individu
yang sosiopatik itu berkonflik dengan masyarakat luas,maka konflik itu pada hakikatnya
merupakan konflik antara dua kebudayaan yang normal melawan kebudayaan yang patologis.
Terjadinya proses sosialisasi pada diri anak dalam pengoperan pola tingkah laku yang
ditolak secara sosial itu (yang menyimpang/sosiopatik). Proses tersebut berlangsung secara
progresif, tidak sadar, berangsur-angsur, setahap demi setahap, dan berkesinambungan. Maka
semua bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial itu lalu dirasionalisasi secara
progresif, dibenarkan, ada proses justifikasi dan akhirnya dijadikan pola tingkah laku seharihari. Perubahan-perubahan sosiopatik demikian bisa berlangsung pada tingkah laku lahiriah
dengan penyimpangan-penyimpangan yang tampak jelas, maupun tingkah laku yang
tersembunyi dan tersamar.
Tingkah laku kriminal dan menyimpang dari orang dewasa itu diterima oleh anakanak dan orang-orang muda, lalu diproyeksikan secara simbolis ke dalam jiwa sendiri.
Kemudian berlangsunglah proses internalisasi dan proses pengkondisian tingkah laku
menyimpang secara bertahap. Banyak penulis menyatakan, bahwa perubahan tingkah laku
dari normal menjadi abnormal yang berlangsung dengan tiba-tiba dan drastis itu jarang
terjadi. Sebab, ada serangkaian transformasi persiapan yang mengawali berlangsungnya

perubahan tingkah laku menyimpang tadi. Jadi, ada pertumbuhan dari potensi-potensi
cadangan, dan ada kecenderungan-kecenderungan deviasi yang asli sifatnya, yang
berlangsung dari hari ke hari. Ternyata banyak orang normal yang memiliki potensi-potensi
untuk mengembangkan tingkah laku abnormal dengan cara demikian. Begitu kondisi
sosialnya memungkinkan, maka dengan mudahnya orang-orang tersebut berubah menjadi
abnormaldan bertingkah laku menyimpang dari norma-norma umum.
Alasan-alasan yang dikemukakan di atas memang ada benarnya, karena banyak
individu kriminal dan menyimpang lainnya memiliki sejarah perkembangan kepribadian
demikian. Namun jangan dilupakan, bahwa pengalaman-penhalaman traumatis (timbul
disebabkan satu luka) sering kali menumbuhkan dan mempercepat perubahan-perubahan
secara radikal pada pribadi. Maka terjadilah proses otonomi fungsional. Jelasnya demikian:
pada otonomi itu berlangsung satu trauma atau luka jiwa, disebabkan oleh pengalaman yang
sangat memedihkan hati dan melukai jiwa. Oleh pengalaman tersebut, kehidupan pribadi
yang bersangkutan sejak saat itu berubah secara radikal, yaitu mengalami proses penaikan
menjadi lebih baik atau justru mengalami proses penurunan, jatuh dalam pelimbahan dan
kehinaan yang parah.
Pengalaman trumatis tersebut memiliki arti dinamis sangat besar. Dinamika dari
situasi tadi menjadi satu kekuatan yang otonom dan secara fungsional terlepas dari
pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya. Truma atau pengalaman hidup yang dahsyat itu
mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, karena merupakan pengalaman
yang sangat mengejutkan, menyakitkan hati, dan memberikan goncangan jiwa/shock hebat.
Selain trauma tersebut memberikan arah hidup yang lain, serta memberikan satu prospek
baru, sekaligus juga mengubah secara drastis sikap mental pribadi yang bersangkutan.
Peristiwa traumatis itu mempetakan pola yang dominan terhadap kepribadian
seseorang, sehingga menyebabkan berlangsungnya reorganisasi tiba-tiba terhadap mental dan
sikap, lalu mengeluarkan diri dari kader hidup yang lama. Kemudian terjadilah satu loncatan
hidup baru, yang memberikan perspektif hidup baru. Jelasnya, peristiwa traumatis itu
memberikan pengaruh fungsional yang sangat menentukan. Yaitu menumbuhkan dinamik
emosional yang sangat intens kuat dan melepaskan pribadi yang bersangkutan dari kader
pengalaman hidupnya yang lama. Terjadi kepatahan atau loncatan dalam perkembangan
hidupnya, disusul perubahan mental dan perubahan tingkah laku. Dalam hal ini, ada
perubahan tingkah laku yang normal menjadi pola yang menyimpang, kriminal, jahat atau
abnormal secara sosial. Dinamika dari otonomi itu demikian dominannya, sehingga sering
kali menguasai segenap kejiwaan dan pola hidup yang terdahulu.
Uraian di atas memberikan penjelasan pada kita, bahwa struktur perubahan itu bisa
diterobos oleh perangsang-perangsang sosial (pengagruh-pengaruh sosial) yang sangat kuat,
sehingga berlangsung prose perubahan diri yang dipercepat. Tidak jarang perubahan secara
drastis radikal itu disertai dengan krisis-krisis jiwa yang gawat. Maka krisis-krisis jiwa dan
pengalaman-pengalaman hebat atau trauma psikis itu mempercepat proses transformasi
tingkah laku normal menjadi perilaku deviasi/penyimpangan.
Pengoperan pola-pola abnormal secara tidak sadar itu menyebabkan proses persepsi
diri dan pendefinisian diri. Persepsi diri berarti menerima keadaan atau nasib sendiri sebagai
benar-benar kriminal atau menyimpang. Pendefinisian diri berarti: memastikan diri untuk
melakukan peranan tertentu, yang erat kaitannya dengan persepsi diri (penerimaan diri) dan
segera diikuti dengan praktik-praktik langsung. Yaitu dengan ikhlas menjalankan perbuatan

kriminal atau asusila. Inilah yang disebut proses individualisasi. Selanjutnya, pendefinisian
diri tersebut merupakan titik kritis dari kualitas keperibadian. Inilah yang disebut sebagai
limitasi subjektif. Sedang pengaruh-pengaruh eksternal dari lingkungan sosial disebut sebagai
faktor limitasi/eksternal.

2.2.Deviasi Primer dan Deviasi Sekunder


Saat deviasi-deviasi tadi terorganisasi secara subjektif dalam diri pribadi, lalu
ditransformasikan/diubah dalam bentuk peranan-peranan aktif tertentu. Selanjutnya dijadikan
kebiasaan atau kriteria sosial yang menetap guna mendapatkan status sosial. Pada akhirnya
individu yang menyimpang itu menyadari betul peranan patologis yang dilakukannya.Dia
memandang peranan tersebut sebagai hal yang wajardan cocok dengan pola sosio-psikologis
masyarakatnya. Maka penyimpangan/deviasinya disebut primer. Disebut demikian,
selamapenyimpangan itu masih dirasionalisasi atau ditetapkan sebagai fungsi untuk
melakukan peranan sosial tertentu. Apabila seorang mulai menggunakan tingkah laku deviasi
itu sebagai alat pembelaan diri, atau alat penyesuaian diri terhadap segala kesuliata, maka
penyimpangannya disebut sebagai sekunder, dan berlangsunglah deviasi sekunder.
Adapun urutan peristiwa yang menyebabkan terjadinya deviasi sekunder itu secara ringkas
dapat dinyatakan sbb:
1 Dimulai dengan deviasi primer
2 Muncul reaksi sosial, hukuman, dan sanksi
3 Pengembangan dari deviasi sosial
4 Reaksi sosial dan penolakan yang lebih hebat dari masyarakat
5 Pengembangan deviasi lebih lanjut disertai pengorganisasian yang lebih rapi timbul sikap
bermusuh serta dendam penuh kebencian terhadap masyarakat yang menghukum mereka
6 Kesabaran masyarakat sudah sampai pada batas akhir. Dibarengi penghukuman, tindakan
keras dan mengancam tindakan penyimpangan itu sebagai noda masyarakat
7 Timbul reaksi kedongkolan dan kebencian dipihak si penyimpang, disertai penghambatan
tingkah laku yang sosiopatik, sehingga berkembang menjadi deviasi sekunder. Hilanglah
kontrol rasional, dan dirinya menjadi budak dari nafsu serta kebiasaan yang sosiopatik
atau abnormal. Terjadilah individualisasi dari pribadi yang sosiopatik
8 Masyarakat menerima tingkah laku sosiopatik itu sebagai realitas konkret atau sebagai
status sosial
Jelaslah sekarang bahwa proses individulisasi dari penyimpang itu merupakan proses
perkembangan dengan saat-saat kritis yang menimbulkan perubahan kualitatif pada pribadi
yang menyimpang

2.3.Sanksi Sosial dan Pembatasan Sosio-Kultural


Sanksi yang dikenakan pada orang-orang yang dianggap mempunyi stigma sosiopatik
yang dikenakan oleh masyarakat pada umumnya ialah: membatasi partisipasi sosialnya. Yaitu
dihalang-halangi keikutsertaannyan dalam kegiatan hidup sehari-hari. Misalnya ditolak
menjadi buruh/pegawai, ditolak permohonannya meminta kredit, dilarang bertempat tinggal
disatu daerah, ditolak masuk tentara. Mereka dikenal hukuman, diusir atau dikucilkan dari
masyarakat umum. Ciri-ciri sosio patik dilihat dari segi seks, umur, kondisi
jasmani,kelahiran, suku bangsa, afiliasi religius, posisi ekonomi dan asal kelas
sosialnya. Bentuk pembatasan sosiokultural yang menghambat partisipasi ekonomi orang-

orang yang cacat jasmani ialah penolakan bekerja di perusahaan-perusahaan, karena alasan
ketidakmampuan biologis.

2.4.Mobilitas pada individu sosiopatik


Pribadi dengan mobilitas vertikal dan mobilitas spasial/ruang yang rendah sangat
dibatasi ruang geraknya oleh para anggota kelompok/lingkungan lainnya. Individu yang
dianggap sebagai persona non grata-pribadi yang tidak diterima, tidak mendapatkan
pengampunan-oleh tingkah lakunya yang menyimpang, praktis akan dikucilkan atau
dikeluarkan sama sekali dari semua partisipasi sosial oleh masyarakat, dan secara geografis
tidak banyak berkomunikasi dengan daerah luar. Khususnya individu yang dianggap
berbahaya oleh kepala suku (clan, kampung, kelompok), akan ditolak sama sekali bahkan
diusir dari daerah tersebut. Maka tekanan-tekanan sosial yang sentripetal-keluar dari tokoh
pemimpin yang dianggap sebagai kekuatan suku-mempunyai daya memaksa yang kuat
sekali.

2.5. Penyesuaian Diri, Ketidakmampuan Menyesuaikan Diri, Individu


Marginal
Menurut Kartono (2000), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai
harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan,
depresi, dan emosi negatif lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien
bisa dikikis. Hariyadi, dkk (2003) menyatakan penyesuaian diri adalah kemampuan
mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau dapat pula mengubah lingkungan
sesuai dengan keadaan atau keinginan diri sendiri. Ali dan Asrori (2005) juga menyatakan
bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup responrespon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi
kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan
kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau
lingkungan tempat individu berada.
Pendapat umum menyatakan, bahwa individu-individu, yang agak berbeda dan
ditolak oleh masyarakat itu pada galibnya tidak bahagia hidupnya. Mereka mengalami proses
demoralisasi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Susahnya
menerima sesuatu yang sedikit berbeda itulah masalah terbesar bagi seoarang
sosiopatik,Khususnya menyangkut kehidupan para penjahat dan pelacur yang dianggap
menganut pola hidup yang sangat memalukan atau asusila. Sedang orang-orang alkoholik dan
penjudi-penjudi kronis biasanya menempuh kehidupan tanpa harapan atau bahkan bisa
menjadi gila oleh tingkah lakunya sendiri. Bahkan, ada dugaan bahwa para pencoleng
ekonomi atau mafia-mafia ekonomi itu didera oleh perasaan berdosa dan penyesalan.
Pendapat dan perkiraan tersebut di atas tidak selalu mengandung kebenaran. Sebab segala
peraturan dan norma masyarakat itu tidak selamanya mampu memberikan daya tindisan yang
memaksa kepada jiwa/mental pribadi-pribadi sosiopatik tadi.
Perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan oleh
individu yang sosiopatik itu secara secara kualitatif berlangsung pada sikap pribadinya
terhadap Aku sendiri. Yaitu bergantung pada proses persamaan-diri (zelfbenaming) dan
penentuan diri atau pendefinisian-diri. Peristiwa ini dicerminkan oleh perimbangan antara
pendefinisian sosial /penentuan-sosial dengan pendefinisian-diri sendiri. Jadi, ada tingkah

laku simbolis yang tersembunyi atau tidak tampak, yang mengolah secara batiniah
penghukuman-sosial dan pendefinisian-sosial tersebut, dibandingkan dengan pendefinisiandiri. Bergantung pula pada besarnya penerimaan definisi-sosial tadi, yang kemudian dioper
dalam pusat keperibadiannya. Jadi, bergantung pada besarnya introyeksi ke dalam diri
sendiri, yang dijadikan peristiwa definisi-diri. Jadi, semua itu bergantung pada dinamisme
atau mekanisme jiwa dalam bentuk internalisasi, rasionalisasi, proyeksi, introyeksi,
substitusi/penggantian peranan, pembenaran diri atau selfjustification. Selanjutnya,
berlangsunglah peneracaan-imbangan antara reaksi-sosial/pendefinisian-sosial dengan
pendefinisian-diri sendiri antara stempel sosial yang ditimkan dari luar, dengan mekanisme
psikis berwujud (pembenaran tingkah laku sendiri)
Individu yang puas dalam usaha pembenaran-diri dan pendefinisian-diri sendiri, akan
merasa bahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan limgkungannya. Sebaliknya, dia akan
menjadi sangat tidak bahagia atau sengsara, apabila tidak ada kongruensi atau keseimbangan
antara pendefinisian-diri dengan hukuman sosial antara peranan yang dituduhkan kepada
dirinya dan peranan sosial menurut interpretasi sendiriyang ingin dilakukannya. Jadi,
prosesnya berlangsung sebagai bentuk interaksi antara faktor-faktor subjektif dengan faktorfaktor objektif. Proses demikian tidak jarang berlangsung melalui banyak konflik batin dan
krisis-krisis jiwa.
Pada kasus-kasus yang ekstrem, berlangsunglah ketidakmampuan menyesuaikan diri
secara
total;
adapersonal
maladjustment dan
kepatahan
jiwa
secara
total
atau complete breakdown. Konflik-konflik hebat disebabkan oleh pembanding antara
hukuman sosial dengan definisi-diri itu bisa membelah kesatuan kepribadian, lalu
mengakibatkan disintegrasi total. Kemudian timbullah Aku-Aku sosial yang saling
bertentangan. Atau pribadi menjadi terintegrasi berdasarkan atas delusi-delusi (ilusi-ilusi
yang keliru) sehingga membuahkan tingkah laku aneh, criminal, dan sangat membahayakan
keamanan umum.
Ada juga pribadi-pribadi yang tidak mampu mengadakan penyesuaian diri/adaptasi
terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan sebagai berikut: ditolak oleh masyarakat
untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat didambakan. Sebaliknya, menolak perananperanan yang disodorkan oleh masyarakat kepada dirinya atas alasan-alasan subjektif. Orangorang demikian disebut individu-individu marginal (pribadi tepian atau setengah-setengah).
Pribadi marginal ini adalah seorang yang dihadapkan pada pilihan peranan. Juga disebabkan
oleh keterbatasan internal atau eksternal tertentu, dia tidak mampu mengintegrasikan
hidupnya atas dasar salah satu peranan tersebut. Sebgai contoh, peristiwa sebagai berikut:
seorang pelacur yang sudah tu, di atas usia 35 tahun, selalu saja merasa bingung dan bimbang
menjalankan peranannya sebagai WTS (wanita tuna susila). Bila pekerjaan tadi dilanjutkan,
maka kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan. Dia sudah layu, kecantikannya sudah
hilang dan selalu sakit-sakitan. Kaum pria hidung belang menolak dirinya. Namun, apabila
pekerjaan memperdagangkan diri itu tidak dilanjutkan dia pasti akan mati kelaparan dan
hidup berkekurangan.
Contoh lain dari pribadi marginal ini ialah: (1) warga negara keturunan asing
(minoritas rasial atau hibrid-rasial), (2) keturunan para imigran, dan (3) kaum intelektual
dengan mental emansipasi tinggi. Perasaan-perasaan warga negara keturunan asing
khususnya keturunan Cina, sering diobang-ambing oleh pikiran dan perasaanperasaan ambivalent. Di satu pihak mereka ingin meninggalkan pola-pola kebudayaan Cina
yang dianggaportodoks-konservatif dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun merasa

belum mendapatkan tempat berpijak yang mapan di tengah masyarakat warga pribumi. Di
pihak lain, mereka ingin mengambil pola hidup orang pribumi, serta melakukan adaptasi diri
yang serasi. Namu jauh dilubuk hati, mereka merasa segan dan takut dicap sebagai warga
negara kelas kambing.
Pada kasus para imigran, khususnya dari generasi kedua, sering berlangsung peristiwa
sebagai berikut: mereka ingin membuang kebiasaan dan adat istiadat daerah, agar bisa
menyesuaikan diri dalam masyarakat baru yang memberikan ruang hidup. Namun mereka
takut mendapatkan kutukan dan sumpah-serapah dari orang tua serta para leluhur.
Sebaliknya, apabila tetap berkukuh pada pola hidup dan kebiasaan lama, mereka merasa tidak
bahagia dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Sedang
kaum intelektual (cerdik pandai) dengan emansipasi tinggi, di satu pihak mengutuk
kelambanan bangsanya dalam mengoper nilai-nilai modernitas. Namun di pihak lain, tetap
saja mereka merasa bingung dan kacau menanggapi gejala-gejala modernitas itu sendiri
merasa tidak bahagia di tengah-tengah yang peristiwa serba modern.
Pribadi sosiopatik yang setel (adjusted) adalah seorang yang dengan sadar dan ikhlas
menerima statusnya, juga menerima peranan dan pendefinisian-diri sendiri. Jelasnya dia
ikhlas menerima pendefinisian eksternal (penamaan oleh orang luar), yang kemudian
ditransformasikan sebagai pendefinisian-diri. Dia menyadari, bahwa masyarakat memberikan
stempel pada dirinya sebagai orang yang sosiopatik/menyimpang. Peranan dan stempel
demikian menimbulkan perasaan malu dan bersalah atau berdosa. Namun, dia merasa tidak
berdaya untuk meninggalkan kebiasaan dan tingkah lakunya yang abnormal itu. Misalnya
kebiasaan minum-minuman keras, kesukaan mencuru dan merapok, kesenangan menipu, dan
lain-lain. Semua kontrol rasional dan pertimbangan hati nurani ternyata sia-sia belaka, dan
pribadi yang bersangkutan menjadi budak dari kecenderungan-kecenderungannya yang
sosiopatik. Selanjutnya, dengan ikhlas diterimanya nasib dan status dirinya itu.
Apabila dalam masyarakat yang bersangkutan tidak terdapat organisasi deviasi
dengan pola atau kebudayaan khusus, seperti yang dianut oleh seorang pribadi yang
sosiopatik, maka proses adaptasinya dalam masyarakat menjadi sulit. Karena dialah satusatunya individu yang menyimpang atau abnormal misalnya satu-satunya pencoleng atau
penjudi. Sedang organisasi maling atau perjudian tidak ada dalam masyarakat itu.
Penyimpang demikian ini di sebut sebagai isolan atau pribadi yang terisolasi. Lagi pula dia
tidak bisa menambah keterampilan atau teknik-teknik sosiopatik dari para anggota
masyarakat lainnya.
Sebaliknya, apabila dia bisa memasuki satu organisasi sosiopatik yang berstuktur rapi,
maka dia mendapatkan kesempatan untuk menjadikan dirinya bagian dari satu sistem
kelompok, lalu melakukan identifikasi terhadap nilai-nilai dan norma-norma organisasi
deviasi tadi. Dia bisa menikmati satu solidaritas sosial bersama-sama dengan kawan-kawan
senasib. Dan bisa mempertahankan integritas kepribadiannya melalui proses rasionalisasi
dan ideologi-ideologi patologis terhadap agresi-agresi sosial dan kejaran-kejaran dari luar,
hukuman dan sanksi.
Oraganisasi-oraganisasi deviasi demikian bisa dibedakan satu sama lain. Yaitu
tergantung pada macam-macam faktor, antara lain: derajat solidaritas dalam kelompok, besar
kelompok dan jumlah anggotanya, sumber-sumber keuangan, kekuatan sosial/personal dan
kekuatan materiilnya, luas daerah operasi, dan kecepatan operasinya. Ringkasnya, tergantung
pada kerapian organisasinya. Dengan sendirinya, diharapkan agar semua anggota baru yang

mengawali kariernya dalam organisasi tersebut mampu menyesuaikan diri dengan norma
kelompoknya. Dengan begitu, dia bisa mengharapkan tumpuan bantuan dari anggota dan
pimpinan kelompok tersebut terhadap serangan-serangan dari luar, untuk mempertahankan
kedirian dan statusnya.

2.6. Reaksi Sosial


Penyimpangan sosial yang terjadi didalam masyarakat menimbulkan beberapa reaksi
entah itu pujian ataupun anggapan yang kurang menyenangkan tapi memang pada umumunya
yang terjadi adalah sesuatu yg kurang menyenangkan,seperti yang terjadi pada umumunya
yang minoritas selalu dimarginalkan, Kompleks dari reaksi-reaksi sosial itu dapat dinyatakan
sebagai kusien-toleransi. Yakni merupakan: (1) ekspresi subjektif dan kuantatif terhadap
penyimpangan (tingkah laku patologis) dan (2) kesediaan masyarakat untuk menerima atau
menolak penyimpangan tadi. Dengan kata lain, kusien-toleransi itu merupakan perbandingan
di antara tingkah laku objektif yang nyata kelihatan sosiopatik dengan kesediaan lingkungan
sosial/masyarakat untuk mentolerisasinya.
Reaksi-reaksi sosial itu berkembang dari sikap menyukai, ragu-ragu, apatis, acuh tak acuh,
sampai sikap menolak dengan hebat kemudian, reaksi tersebut bisa dibagi dalam tiga fase,
yaitu:
1) Fase mengetahui dan menyadari adanya penyimpangan;
2) Fase menebtukan sikap dan kebijaksanaan;
3) Fase mengambil tindakan, dalam bentuk: reaksi reformatif, reorganisasi, hukuman
(memberikan hukuman), dan sanksi-sanksi.
Khususnya mengenai penyimpangan dalam bentuk ide-ide, pikiran dan perilaku yang
dianggap baru, berlangsunglah proses sebagai berikut: mula-mula ditolak hebat oleh
masyarakat luas, kemudian ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Lambat laun diterima
oleh masyarakat dengan sepenuh hati. Maka produk dari peristiwa tersebut berwujud
perubahan sosial dan perubahan kultural. Sebagai contoh, peristiwa merokok dan minumminuman keras oleh kaum wanita, semula dianggap sebagai tabu dan hanya dilakukan oleh
nyai (isteri/piaraan orang-orang Belanda) dan wanita-wanita tuna susila saja. Namun pada
masa sekarang ini menjadi modus yang modern untuk menunjukkan status sosial dan prestise
wanita.

BAB 4
PEMBAHASAN
Dari gaya anak punk yang seperti ini mereka jaga sebagai kesan anti kemapanan dan
anti sosial, yang mana masyarakat menilai anak punk hanya sebagai perusuh, pemabuk dan
begundal. Namun hal ini tidak berpihak pada semua anak punk, masih ada anak punk yang
bisa berkarya dan melakukan hal baik dalam hidupnya baik melalui musik, merka berkarya
menciptakan berbagai lagu yang mencitrakan sebuah protes tentang ketidakpuasan terhadap
keadaan politik, sosial, ekonomi, budaya maupun agama. Lagu yang meraka ciptakan tidak
kalah saing untuk kalangan masyarakat yang mendengarkannya. Anak punk bukan sekedar
ingin menjadi jelek tetapi mereka hanyalah kumpulan anak yang bergaya sebagai sarana
kebebasan dan kebebasan anak punk terlukiskan dalam motto mereka we can do it
ourselve.
Dengan demikian, Punk itu seperti gerakan perlawanan anak muda atas kekecewaan
ataun protes yang melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang
bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan
masalah agama. Keadaan anak punk yang memang sering mengganggu pemandangan
keindahan kota, apalagi umumnya mereka masih dalam usia anak-anak sekolah.
Kami menggolongkan komunitas anak punk ini dengan Juvenile delinguency, yaitu
perilaku dursila, atau kejahatan atau kenakalan anak anak muda; merupakan gejala
patologis secara sosial pada anak anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang. Juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis yang artinya anak anak muda, dan
delinguint yang berasal dari kata latin delinguere yang berarti terabaikan. Hal ini sesuai
dengan anak anak punk yang secara psikis dan sosial terabaikan atau diabaikan oleh
keluarga maupun masyarakat sosial [4]
Pengaruh pengaruh keluarga yang pasti bisa merugikan dan merusak anak dan
mengakibatkan munculnya gejala gejala neurotis dan psikotis yaitu sebagai berikut :
Sikap sikap bermusuhan dan agresivitas yang desdruktif, baik yang langsung yang
ditujukan kepada anak, maupun yang tidak sengaja dialami oleh anak.
Relasi relasi emosional yang membingungkan, karena sangat bertentangan atau
kontroversial, baik yang diungkap scara terbuka maupun yang dipendam dalam hati namun
bisa dirasakan oleh anak.
Orangtua baik satu pihak ataupun kedua-duanya sering berpikir, merasa, dan berbuat tidak
logis, tidak rasional dan tidak riil.
Anak Punk dan Komunitasnya
Anak punk memang setiap harinya menggerombol sendiri dengan komunitasnya. Ada
beberapa penyebab mereka melakukan hal itu. Kami menganggap hal ini bentuk tindakan
phatologi karena mereka melanggar hukum formal, dan solidaritas kekeluargaan, hal ini juga
termasuk kenakalan remaja, sebagian besar anak punk adalah berasal dari keluarga dan
mereka lebih memilih hidup dijalanan dan tidak mematuhi keluarga dan aturan aturan
dalam keluarga mereka, bahkan ada dari keluarga kalangan elit di Surakarta. Banyak dari

anak punk didominasi oleh anak anak muda baik itu laki laki ataupun perempuan. Para
remaja ini lebih memilih hidup di jalanan karena kontrol orang orang dewasa atau para
orangtuanya berkurang atau melemah. Orangtua mereka tidak mengontrol anaknya dan hanya
memiliki atau memberi sanksi sanksi yang lemah dalam keluarga, sehingga situasi sosial
yang ada dikeluarga mereka masing masing menjadi longgar. Oleh karena itu para anak
anak muda ini lebih mudah menjauhkan diri dari keluarganya untuk menegakkan
eksistensinya sendiri yang dirasakan sebagai terancam, tersisih dan tidak merasa bebas dalam
keluarganya. Dengan demikian mereka keluar secara paksa dalam keluarga mereka, dan
mencari keluarga baru yang dapat memenuhi kebutuhan mereka secara psikis, yaitu berada
didalam komunitas punk ini.
Anak anak remaja ini bergabung dengan komunitas punk dengan subkultur yang baru, yang
berbeda dari subkultur yang sudah ada sebelumnya. Subkultur itu mereka buat sesuai dengan
keinginan mereka, sesuai dengan kebutuhan mereka yang lebih utama adalah keinginan dan
kebutuhan psikis mereka. Mereka butuh eksistensi dan butuh aktualisasi diri kepada golongan
masyarakat luas. Mereka butuh diakui dan dianggap ada, oleh karena itulah mereka
bergabung dalam komunitas anak punk. Komunitas anak punk memberikan kebutuhan
kebutuhan psikis mereka yang selama ini tidak mereka rasakan pada keluarga mereka pribadi.
Juga menjadi fakta umum bahwa anak anak punk dalam komunitasnya memiliki solidaritas
yang tinggi didalamnya, yang kami kategorikan itu sebagai solidaritas mekanik. Setiap
anggota dalam komunitas itu saling mengenal dengan dalam antara satu dengan yang lain.
Melalui komunitas ini, mereka mendapatkan prinsip seperti prinsip delaration of
Independece yang meliputi hak pribadi untuk life, liberty, and pursuit of happines yaitu
kehidupan, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan [6]
Perilaku kehidupan komunitas punk di Indonesia ini bagi masyarakat sekitar dianggap
sebagai perilaku yang menyimpang identik dengan sebuah kekerasan, pengacau, berandal,
dan sebagainya. Bagi mereka kekerasan hanyalah suatu tindakan bodoh namun entah kenapa
hampir setiap acara musik yang diadakan oleh mereka selalu terjadi keributan. Kekerasan
yang mereka lakukan kadang muncul karena dari pengaruh minuman keras. Minuman keras
sudah tidak terlepas dari kehidupan mereka yang sebagian besar memang peminum minuman
keras. Kekerasan dalam komunitas mereka sendiri tidak jarang terjadi. Perkelahian antar anak
Punk atau sekedar saling melakukan tindakan kekerasan ketika mereka berjoget didepan
panggung sebuah acara musik punk. Kekerasan saat mereka menikmati musik ini seperti
sudah menjadi sebuah ritual dalam komunitas punk. Saling memukul dan saling menendang
bahkan bergulat bergulingan menjadi hal yang biasa saat mereka berjoget mengikuti irama
lagu. Hal ini mereka anggap sebagai ungkapan kebebasan. Dalam komunitas ini kekerasan
tidaklah menjadi sesuatu yang anti sosial. Menurut mereka, mereka melakukan kekerasan
biasanya karena mereka diganggu lebih dahulu. Namun mereka bukanlah sumber dari
kekacauan.
Dalam komunitas punk di Surakarta ini, mereka memiliki atribut dan gaya berpakaian aneh
dan lain daripada masyarakat lainnya. Pakaian mereka kotor dan mereka kebanyakan
memakai sepatu boot dengan bentuk style rambut yang unik. Bik dari gaya berbusana dan
gaya tingkah laku mereka sangat mencolok dan memiliki kebiasaan yang khas dibanding
golongan masyarakat lainnya. Banyak diantara mereka berkumpul bersama dan saling
mabuk-mabukkan bersama dengan teman se komunitas mereka. Kemanapun mereka pergi,
mereka selalu membawa alat musik gitar kecil yang disebut kencrung. Kebanyakan dari
mereka mencari uang dengan mengamen dilampu merah dan dari angkutan umum yang satu
sampai angkutan umum yang lain. Tapi tidak semua anak punk kerjanya hanya mabuk

mabukkan dan mengganggu masyarakat umum, ada juga yang kehidupannya sudah mapan,
bekerja sebagai penyablon, musisi, dan lain lain. Tapi yang kami soroti dari komunitas ini
adalah perilaku mereka yang bersifat patologis, walaupun ada dari antara mereka yang sudah
mapan.
Keluarga merupakan ligkungan yang paling dekat dengan anak, karena dari kecil hingga
besar hidup dalam lingkup keluarga. Seorang anak yang lahir dari keluarga yang harmonis
tidak mungkin mencari pelarian, akan tetapi anak yang dilahirkan dari keluarga yang tidak
harmonis akan mencari pelarian dan pelampiasan dari masalah yang dihadapi dalam
keluarganya. Latar belakang anak punk dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :
a.
Perekonomian keluarga
Anak-anak punk sendiri tidak selalu berasal dari kalangan menengah kebawah, banyak
diantara mereka yang berasal dari kalangan menengah keatas namun bersimpati kepada kaum
bawah. Walaupun mereka berasal dari ekonomi yang berbeda namun saat bersama dalam
komunitas punk semua dianggap sama deajatnya tidak memandang siapa yang kaya atau
siapa yang miskin.
b.
Pendidikan agama dalam keluarga
Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan agama sebagai dasar kuat belum tentu
melahirkan anak sholeh seperti yang diajarkan dalam keluarga. Padahal pendidikan agama
sudah menjadi hal penting untuk dijadikan pedoman bertingkah laku. Anak punk di Solo ada
yang beragama Islam, dan Katolik jadi dapat dikatakan dalam komunitas punk mempunyai
beragam agama, sebagian berasal dari keluarga yang menanamkan agamanya secara ketat
sebagian juga tidak terlalu ketat dalam menanamkan ajaran agama dalam keluarganya dan
tidaklah menjadi kesenjangan antar anak punk dengan perbedaan agama yang dianut.
c.

Komunikasi punker

Komunikasi menjadi kontak dalam keluarga, ada beberapa punker yang dari luar kota
sehingga jauh dari keluarga, sebagian anak punk yang pulang kerumah dan ada juga yang
tidak pulang kerumah. Komunikasi punker yang hidup dijalanan dengan keluarga buruk
karena seagian besar waktu mereka dihabiskan dijalan bersama komunitas di scene, namun
punker yang masih hidup besama keluarga belum tentu komunikasi dengan keluarganya
lancar dan ada sebagian anak punk tidak memiliki masalah komunikasi dengan keluarganya
karena dari keluarganya sendiri memberi kepercayaan yang lebih pada anaknya dalam
komunitas punk. Kualitas komunikasi dalam keluarga sangat mempengaruhi bentuk perilaku,
tingkah laku anak apakah mendapatkan perhatian yang cukup dan orangtua pun tahu
bagaimana harus memperhatikan, mendidik dan mengarahkan anaknya.
Rekomendasi yang kami pikirkan untuk menyelesaikan masalah adanya anak punk yang
bergelandangan dijalan dan meninggalkan keluarga adalahmenjauhkan anak dari lingkungan
teman-teman sepermainan yang berperilaku menyimpang. Disini peran keluarga sangat
dibutuhkan untuk bisa menyadarkan anak agar tidak kembali lagi menjadi anak punk dengan
perilaku negatif. Selain itu memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada para
anak punk juga dapat menjadi salah satu alternative pemecahan masalah. Karena dengan
pemberian bimbingan dan penyuluhan, oleh para psikolog khususnya, dapat merubah pola
pikir (belief) anakpunk tersebut untuk menghentikan perilaku negative yang dilakukannya
sebelumnya.Didirikannya panti sosial atau panti rehabilitasi juga menjadi alternatif
pemecahan lainnya karena dalam panti rehabilitasi, anak punk yang bermasalah akan

diberikan suatu shock therapy agar anak tersebut menjadi jera dan menyesal telah melakukan
hal-hal negatif dan menyimpang sehingga nantinya dia tidak akan lagi menjadi
anakpunk dengan gaya hidup yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain itu juga untuk mencegah terjadinya dis organisasi dalam keluarga yang mengakibatkan
anak anak muda lari dalam komunitas anak punk ini adalah mulai sejak dini memberi
penyuluhan kepada para anggota keluarga khususnya para orangtua tentang pentingnya
komunikasi dengan seorang anak yang berkualitas. Mengadakan seminar seminar khusus
untuk membahas tentang cara mendidik anak dengan tepat untuk menghindari ancaman teralienasinya anak anak dalam keluarga mereka untuk menekan angka terjadinya anak anak
untuk masuk didalam komunitas anak punk. Untuk para anak muda yang sudah terlanjur
menjadi anak punk, dan juga harus mempertemukan mereka dengan keluarga mereka.
Masyarakat tidak harus menganggap fenomena anak punk ini sebagai kategori kriminal orang
dewasa.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut kaum sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan
menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu
tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima
oleh masyarakat lainnya.
Sosiopatik atau dapat pula disebut psikopatik adalah tingkah laku yang menyimpang
dari norma masyarakat dimana pelakunya bukanlah pengidap penyakit mental dan tidak
mempedulikan keadaan sekitar (anti sosial).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Soedjono, Pathologi sosial, (Bandung : Alumni,1982), 3


[2] Soetomo, Masalah Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2008), 82
[3] (Anak Punk berada pada Lampu Kuning _ SoloRaya Online.diakses 3 April 2013)
[4] Kartini Kartono, Sosiologi Patologi 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998),6
[5] Kartini Kartono, Patologi Sosial 3(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), 35-38
[6] Kartini Kartono, Pathologi Sosial 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), 75

Anda mungkin juga menyukai