Anda di halaman 1dari 6

Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Benturan kepentingan adalah situasi dimana terdapat konflik kepentingan seseorang


yang memanfaatkan kedudukan dan wewenang yang dimilikinya (baik dengan sengaja
maupun tidak sengaja) untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau golongannya sehingga tugas
yang diamanatkan tidak dapat dilaksanakan dengan obyektif dan berpotensi menimbulkan
kerugian.

Tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 huruf I UU RI Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi :

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah):

i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

Benturan kepentingan tersebut, juga dikenal sebagai conflict of interest. Benturan


kepentingan ini terkait dengan jabatan atau kedudukan seseorang yang di satu sisi ia
dihadapkan pada peluang menguntungkan dirinya sendiri, keluarganya, ataupun kroni-
kroninya.

Negara mengindikasikan benturan kepentingan dapat terjadi dalam proyek pengadaan.


Misalnya, meskipun dilakukan tender dalam proyek, pegawai negeri ikut terlibat dalam
proses dengan mengikutsertakan perusahaan miliknya meskipun bukan atas namanya. Hal ini
jelas mengandung unsur korupsi dan dikategorikan korupsi. Pelakunya dianggap melanggar
Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.

A. Sumber Benturan Kepentingan


Berbagai hal bisa menjadi sumber benturan kepentingan antara lain:
1. Penyalahgunaan wewenang, yaitu dengan membuat keputusan atau tindakan yang
tidak sesuai dengan tujuan atau melampaui batas-batas pemberian wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan;
2. Perangkapan jabatan, yaitu pegawai menduduki dua atau lebih jabatan publik
sehingga tidak bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen dan akuntabel
selain yang telah diatur dalam Peraturan Perundang undangan;
3. Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh pegawai dengan pihak tertentu
baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan yang
dapat mempengaruhi keputusannya;
4. Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat,
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya;
5. Kelemahan sistem organisasi, yaitu keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian
tujuan pelaksanaan kewenangan pegawai yang disebabkan karena struktur dan budaya
organisasi yang ada;
6. Kepentingan pribadi, yaitu keinginan/kebutuhan pegawai mengenai suatu hal yang
bersifat pribadi.

B. Bentuk- bentuk Benturan Kepentingan


Beberapa bentuk benturan kepentingan antara lain dapat dikenali sebagai berikut :

1. Menerima gratifikasi atau pemberiaan/penerimaan hadiah atas suatu


keputusan/jabatannya;
2. Menggunakan Barang Milik Negara dan/atau jabatannya untuk kepentingan
pribadi/golongan;
3. Menggunakan informasi rahasia jabatan untuk kepentingan pribadi/golongan;
4. Memberikan akses khusus kepada pihak tertentu tanpa mengikuti prosedur yang
seharusnya;
5. Dalam proses pengawasan dan pembinaan tidak mengikuti prosedur karena adanya
pengaruh dan/atau harapan dari pihak yang diawasi;
6. Bekerja di luar pekerjaan pokoknya secara melawan hukum;
7. Memberikan informasi lebih dari yang ditentukan, keistimewaan maupun peluang
dengan cara melawan hukum bagi calon penyedia barang/jasa;
8. Kebijakan dari pegawai yang berpihak akibat pengaruh, hubungan dekat,
ketergantungan dan/atau pemberian gratifikasi;
9. Pemberian izin dan/atau persetujuan dari pegawai yang diskriminatif;
10. Pengangkatan pegawai berdasarkan hubungan dekat/balas jasa/
rekomendasi/pengaruh dari pegawai lainnya;
11. Pemilihan rekanan kerja oleh pegawai berdasarkan keputusan yang tidak profesional;
12. Melakukan komersialisasi pelayanan publik;
13. Melakukan pengawasan tidak sesuai norma, standar dan prosedur yang telah
ditetapkan karena adanya pengaruh dan/atau harapan dari pihak yang diawasi;
14. Menjadi bagian dari pihak yang memiliki kepentingan atas sesuatu yang dinilai;
15. Menjadi bawahan dari pihak yang dinilai;

C. Pencegahan
Mengenai penanganan benturan kepentingan, terdapat beberapa prinsip dasar:
1. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, setiap pegawai di lingkungan Kementerian
Perhubungan diwajibkan:
 Mendasarkan pada peraturan perundang-undangan, kebijakan dan standard
operating procedure (SOP) yang berlaku;
 Mendasarkan pada profesionalitas, integritas, objektivitas, independensi,
tranparansi dan tanggung jawab;
 Tidak memasukan unsur kepentingan pribadi atau golongan;
 Tidak dipengaruhi hubungan afiliasi;
 Menciptakan dan membina budaya organisasi yang tidak toleran terhadap
benturan kepentingan.
2. Setiap pegawai di lingkungan Kementerian Perhubungan harus menghindarkan diri
dari sikap, perilaku dan tindakan yang dapat mengakibatkan benturan kepentingan.
3. Setiap terjadi benturan kepentingan, maka pegawai di lingkungan Kementerian
Perhubungan diwajibkan:
 Mengungkapkan kejadian atau keadaan benturan kepentingan yang dialami
dan/atau diketahui kepada pemberi tugas dan/atau atasan langsung dan/atau Kepala
Unit Kerja;
 Tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait;
 Mengundurkan diri dari penugasan terkait.
4. Pimpinan Unit Kerja dan atasan langsung harus mengendalikan dan menangani
benturan kepentingan secara memadai.

D. Keberhasilan
Keberhasilan Penanganan Benturan Kepentingan tentu tidak mudah untuk diwujudkan, untuk
itu diperlukan:

1. Komitmen dan keteladanan dari seluruh pegawai dalam menggunakan


kewenangannya secara baik dengan mempertimbangkan integritas, kepentingan lembaga,
kepentingan publik, kepentingan pegawai dan beberapa faktor lainnya.
2. Perhatian khusus atas hal-hal tertentu yang dianggap beresiko tinggi yang akan dapat
menyebabkan terjadinya situasi benturan kepentingan. Hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus tersebut antara lain adalah:
 Hubungan afiliasi;
 Gratifikasi;
 Pekerjaan tambahan atau sampingan;
 Informasi orang dalam;
 Kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa;
 Tuntutan keluarga dan/atau komunitas;
 Kedudukan di organisasi lain;
 Intervensi pada jabatan sebelumnya;
 Perangkapan jabatan.
3. Harus memperhatikan, menghindari dan memproteksi diri dari potensi terjadinya
benturan kepentingan, dengan lebih awal mengetahui agenda pembahasan untuk
pengambilan keputusan atau melakukan penarikan diri dari situasi yang berpotensi terjadi
benturan kepentingan.
4. Pemantauan dan evaluasi; dan
5. Sanksi.

E. Contoh Kasus
Kasus korupsi pengadaan alkes ini terjadi di Banten pada tahun anggaran 2011-2013.
Diketahui, Atut bersama adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sudah
ditetapkan sebagai tersangka sejak 2014.

Keduanya disangka telah memperkaya diri, orang lain, atau korporasi. Dalam kasus ini,
Wawan telah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Serang.

Atut diduga telah mengatur pemenang lelang pengadaan alkes di Banten dan menerima uang
dari perusahaan yang dimenangkannya. Sedangkan Wawan, pemilik PT Bali Pasifik Pragama
sebagai perusahaan pemenang lelang, diduga menggelembungkan anggaran proyek ini.

Khusus untuk Atut, KPK juga menjerat gubernur nonaktif itu dengan pasal pemerasan. Atut
disangka telah memeras beberapa kepala dinas di lingkungan Pemprov Banten.

Atas perbuatan yang dilakukannya, keduanya dijerat Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Atut juga merupakan terpidana korupsi dan kini mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Ia
menghuni bui untuk waktu 7 tahun penjara karena menyuap Ketua MK Akil Mochtar.

Sebelumnya diberitakan, LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan


gugatan praperadilan kepada KPK. MAKI meminta KPK meneruskan kasus ini. Kuasa
hukum MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan, berdasarkan audit BPK, negara mengalami
kerugian sekitar Rp 30,2 miliar dalam kasus ini.

https://itjen.dephub.go.id/2016/08/02/benturan-kepentingan/

https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-
KPK.pdf

http://www.pa-singkawang.go.id/berita/berita-terkini/131-artikel/181-memahami-korupsi

https://itjen.dephub.go.id/2016/08/02/benturan-kepentingan/

https://news.detik.com/berita/d-3378933/kpk-periksa-ratu-atut-terkait-kasus-korupsi-
pengadaan-alkes-di-banten

Anda mungkin juga menyukai