Anda di halaman 1dari 30

ETIKA KOMUNIKASI INTERPERSONAL

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Interpersonal

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Edi Suryadi, M.Si.
Abi Sopyan Febrianto, S.E., M.M.

Disusun Oleh:
Kelompok 10

Andini Oktaviani 2009192


Fahrul Agustian Hartas 2004815
Faqa Marhaliza 2001216
Neng Saina 2008943

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MANAJEMEN PERKANTORAN


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Etika Komunikasi Interpersonal” tepat pada waktunya.

Adapun maksud dan tujuan penyusunan makalah ini yaitu sebagai bukti
tertulis dan menjadi salah satu bahan materi pembelajaran Komunikasi
Interpersonal. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Komunikasi Interpersonal.

Makalah ini disusun berdasarkan kajian pustaka dengan mengacu pada sub
materi yang berkaitan dengan proposal dan laporan. Materi bersumber dari buku
dan media lainnya. Tidak lupa, kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Edi Suryadi, M.Si. selaku dosen pengampu I mata kuliah
Komunikasi Interpersonal,
2. Bapak Abi Sopyan Febrianto, S.E., M.M. selaku dosen pengampu II mata
kuliah Komunikasi Interpersonal,
3. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami senantiasa menerima kritik dan saran yang
sifatnya membangun bagi penulis, kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya untuk penulis dan umumnya untuk pembaca.

Bandung, September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan............................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................4
2.1 Pengertian Etika...............................................................................4
2.2 Aliran Etika......................................................................................5
2.3 Etika Sosial Budaya..........................................................................6
2.4 Dilema Etika dan Hilang Etika.........................................................8
2.5 Etika Komunikasi Interpersonal.......................................................8
2.6 Komunikasi Interpersonal Lintas Budaya......................................17
2.7 Perbedaan Komunikasi Pria dan Wanita........................................18
BAB III STUDI KASUS.....................................................................................22
3.1 Implementasi Kasus.......................................................................22
3.2 Analisis Kasus................................................................................23
3.3 Solusi Kasus...................................................................................23
BAB IV PENUTUP............................................................................................25
4.1 Simpulan.........................................................................................25
4.2 Saran...............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia perkantoran atau organisasi, dibutuhkan keterampilan
komunikasi yang baik. Ukuran bagaimana seseorang dapat berkomunikasi yang
baik adalah cara mereka mengomunikasikan sesuatu pada lawan bicara. Hal ini
tidak terlepas dari interaksi sosial dalam lingkup pekerjaan, komunikasi
interpersonal adalah salah satunya. Komunikasi interpersonal seringkali dianggap
menjadi hal sepele karena dilakukan rutin setiap hari. Namun, tidak banyak yang
menyadari bahwa komunikasi interpersonal sangat penting dipelajari guna
membina hubungan harmonis dengan berbagai pihak.
Melihat berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam lingkup pekerjaan,
khususnya dari segi komunikasi akan sangat berdampak pada jangka panjang.
Misalnya saja terjadi miskomunikasi, terlihat kecil namun jika diabaikan maka
memungkinkan berakibat fatal untuk keberlanjutan pekerjaan nantinya. Maka dari
itu, membangun kualitas komunikasi antar individu adalah langkah terbaik dalam
mengatasi permasalahan miskomunikasi saat itu.
Pada hakikatnya, komunikasi interpersonal adalah suatu proses hubungan
saling memengaruhi, interaksi sosial, dan mengelola hubungan dinamis antar
individu. Bagaimana cara memahami, menghargai perbedaan, membangun
hubungan baik/harmonis, hingga pesan dapat disampaikan sesuai tujuan adalah
bentuk keberhasilan komunikasi di kantor atau dalam lingkup pekerjaan. Tolok
ukurnya beragam, keterampilan membangun suatu hubungan melalui komunikasi
interpersonal adalah hal yang tepat. Terlepas dari berbagai hambatan yang
mungkin dan akan terjadi nantinya, memahami dan dapat mempraktikan
komunikasi interpersonal yang baik akan muncul refleksi diri sebagai evaluasi
tindakan perbaikan selanjutnya. Oleh karena itu, komunikasi interpersonal
menjadi sangat penting untuk dipahami oleh semua orang. Terlebih dalam lingkup
kerja yang membutuhkan skill komunikasi yang baik dan frekuensi interaksi sosial
yang sepertinya telah menjadi tuntutan alamiah dalam melaksanakan tanggung
jawab sebagai pegawai.

1
2

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap orang


sebenarnya mampu berkomunikasi namun tidak seluruhnya dapat memahami cara
yang baik dalam membangun suatu hubungan antar individu. Harapannya
pembaca bisa belajar memahami komunikasi interpersonal agar miskomunikasi
dapat diminimalisasi atau bahkan tidak lagi. Sehubungan dengan hal itu, maka
penulis menyusun makalah yang berjudul “Etika Komunikasi Interpersonal”
dengan pembahasan yang lebih rinci pada bab selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan etika?
2. Apa saja aliran etika?
3. Bagaimana etika sosial budaya?
4. Bagaimana dilema etika dan hilang etika itu?
5. Bagaimana etika dalam komunikasi interpersonal?
6. Bagaimana komunikasi interpersonal lintas budaya?
7. Apa saja perbedaan komunikasi pria dan wanita dalam komunikasi
interpersonal?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui definisi etika.
2. Mengetahui apa saja aliran etika.
3. Mengetahui etika sosial budaya.
4. Mengetahui bagaimana dilema etika dan hilang etika.
5. Mengetahui etika dalam komunikasi interpersonal.
6. Mengetahui komunikasi interpersonal lintas budaya.
7. Mengetaui perbedaan komunikasi pria dan wanita dalam komunikasi
interpersonal.
3

1.4 Manfaat Penulisan


Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pendidik,
mahasiswa, pembaca, dan penulis sendiri. Adapun penyajian manfaat penulisan
ini sebagai berikut.
1. Bagi pendidik, dapat menambah wawasan terkait etika komunikasi
interpersonal, dijadikan acuan pembelajaran, dan dapat mengevaluasi materi
yang disajikan;
2. Bagi mahasiswa dan pembaca lainnya, dapat memberikan pengetahuan
mengenai definisi, aliran, dilema etika hingga bagaimana etika komunikasi
interpersonal dan secara lintas budaya, begitupun praktik bagaimana etika
yang baik dalam komunikasi interpersonal yang kemudian dapat
diimplementasikan dalam pekerjaan dan lainnya;
3. Bagi penulis, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
pembelajaran di masa mendatang terkait bagaimana mengaplikasikan materi
tentang etika komunikasi interpersonal.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika


Menurut Courtland L. Bovee dan John V. Thill (Alih Bahasa Doddi Prastuti,
2007:31) etika adalah prinsip perilaku mengatur seseorang atau sekelompok
orang. Dalam segi etimologi pula dikatakan bahwa istilah etika berasal dari kata
Latin ethicus yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno
(1982: 20-21) mengatakan bahwa etika dapat mengantar orang pada kemampuan
untuk bersikap kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri dan
bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya sendiri. Dapat
disimpulkan dari beberapa pandangan diatas, bahwa etika merupakan sebuah
prinsip perilaku yang berkembang dengan kebiasaan masyarakat dalam bersikap
kritis dan rasional agar dapat bertindak sesuai dengan apa yang
dipertanggungjawabkan.
Setelah menelaah dari ukuran baik buruk sebuah perilaku, maka dapat
digolongkan etika menjadi dua kategori utama, di antaranya sebagai berikut.
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan usaha menilai tindakan atau perilaku
berdasarkan pada ketentuan atau norma baik-buruk yang tumbuh dalam
kehidupan bersama, baik dalam keluarga maupun didalam masyarakat.
Hakikatnya, kerangka dari etika deskriptif ini menempatkan kebiasaan yang
sudah ada di keluarga atau masyarakat sebagai acuan etis. Dan dari sanalah
tindakan seseorang dapat dinilai ke-etisannya tergantung pada kesesuaiannya
dengan yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Jadi dapat disimpulkan bahwa
dalam mengukur etisnya seseorang dapat dilihat dari tindakannya, apabila
tidak bertentangan dengan kebiasaan maka tindakan tersebut dikategorikan
etis. Dan sebaliknya, apabila berbeda dengan yang dilakukan oleh kebanyakan
orang maka tindakan tersebut termasuk tidak etis. Sebagai contoh, seorang
guru besar di sebuah kampung mengundang murid-muridnya untuk hadir
dalam kegiatan kajian dalam sebuah masjid. Lalu apa yang akan dilakukan
oleh para murid tersebut? Tentunya mereka akan mendatangi masjid tersebut

4
5

sebagai ungkapan etis murid terhadap gurunya. Jadi murid tersebut akan
merasa yakin dengan keputusannya untuk datang, karena murid yang lain
melakukannya dengan sedemikian rupa. Dan bagi sebagian besar dari para
murid yang tidak datang, mereka akan merasa bersalah karena sikap tersebut
tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh sebagian besar orang
2. Etika Normatif
Etika normatif berusaha menelaah dan memberikan penilaian etis atas
tindakan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan menggunakan norma yang
dibuat oleh otoritas tertentu. Dengan demikian apakah tindakan itu etis atau
tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma yang sudah
ditentukan oleh sebuah institusi atau masyarakat. Apakah datang terlambat
dalam menghadairi sebuah pertemuan maupun rapat merupakan bagian dari
pelanggaran etika? Tergantung norma yang sudah diberlakukan pada
organisasi tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa etika terletak pada keseuaian
tindakan dengan norma yang diberlakukan. Khususnya bagi masyarakat Barat,
bagi mereka terlambat dalam menghadiri sebuah pertemuan maupun rapat
merupakan sebuah beban tersendiri dan kesalahan yang besar, sedangkan
dalam Indonesia sendiri hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah maupun
kesalahan dikarenakan sistem norma yang diberlakukan berbeda.

2.2 Aliran Etika


Dalam penjelasannya, John C. Merill (1975: 79-88) menguraikan berbagai
aliran etika yang dapat digunakan sebagai standar dalam menilai tindakan etis,
diantaranya sebagai berikut.
1. Aliran Deontologis
Dalam bahasa Yunani, deontologis berasal dari kata deon artinya ialah
yang harus atau yang wajib. Aliran ini melakukan penilaian atas tindakan
dengan melihat tindakan itu sendiri. Artinya, suatu tindakan secara hakiki
mengandung nilai sendiri apakah baik atau buruk. Termasuk dalam kriteria
etis ditetapkan langsung pada berbagai jenis tindakan tertentu. Ada tindakan
yang dapat dikategorikan baik, namun ada perilaku yang langsung dapat
dinilai buruk. Semua itu bergantung pada tindakan dari masing-masing orang.
6

2. Aliran Teologis
Dalam bahasa Yunani pula disebutkan bahwa teleologis berasal dari kata
telos yang berarti tujuan. Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu
sendiri namun berdasrkan tujuan atas tindakan tertentu. Jika tujuannya baik
dan sesuai dengan norma yang sudah ditetapkan masyarakat, maka tindakan
itu digolongkan kepada tindakan etis.
3. Aliran Egoisme
Etika egoisme menyepakati bahwa norma moral merupakan akibat yang
diperoleh oleh pelakunya sendiri. Artinya, tindakan dikategorikan etis dan
baik, apabila menghasilkan terbaik bagi diri sendiri (individu) secara pribadi.
4. Aliran Utilitarisme
Disebutkan pula dalam Bahasa Yunani, utilitarisme berasal dari kata
utilitis yang berarti berguna. Etika ini adalah kebalikan dari paham egoisme,
yaitu orang yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi
sebagian besar orang maupun masyarakat. Dengan demikian, tindakan
tidaklah diukur dari kepentingan subjektif individu, melainkan secara objektif
pada masyarakat umum.

2.3 Etika Sosial Budaya


Etika sosial budaya merupakan ketentuan baik buruk yang bersumber dari
nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya di masyarakat.
Dasar-dasar etika:
1. Sopan dan ramah kepada siapa saja.
2. Memberikan perhatian kepada orang lain/tidak mementingkan diri sendiri.
3. Menjaga perasaan orang lain.
4. Ingin membantu.
5. Memiliki rasa toleransi.
6. Dapat menguasai diri, mengendalikan emosi dalam tiap situasi.
Kesalahan dalam etika:
1. Bahasa tidak pas.
2. Tidak menghargai waktu orang lain.
3. Penampilan tidak sesuai.
7

4. Etika bertelepon salah.


5. Kesalahan menyapa.
6. Kurang keterampilan mendengarkan.
7. Tidak menghargai orang lain.
8. Mempermalukan orang lain.
Standar etika adalah tindakan dapat dikategorikan etis/baik sesuai norma
dan nilai sosial budaya di masyarakat. Jadi, tolok ukurnya adalah kesepakatan
bersama masyarakat. Etika sosial budaya berkaitan dengan etika profesi,
khususnya diterapkan dalam lingkup pekerjaan/organisasi/ instansi nantinya. Etika
profesi merupakan panduan untuk melaksanakan suatu pekerjaan berbasis etika
yakni apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Etika profesi juga sering
disebut sebagai kode etik. Kode etik sendiri dikatakan sebagai serangkaian
ketentuan dan peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku
anggota dalam lingkup organisasi.
Terdapat 3 kualifikasi etis dalam pandangan etika profesi, yaitu (Suranto
Aw: 2010):
1. Pengetahuan etis (ethical cognitive)
Memiliki pengetahuan, wawasan dan cara berpikir yang sesuai dengan
norma etika yang berlaku bagi profesinya. Lalu perlu memahami dan
mengetahui ketentuan-ketentuan etis yang menyangkut tindakan profesi.
Pengetahuan ini menjadi bekal penting untuk kualifikasi selanjutnya yang
dituntut, ialah kesadaran etis. Apabila orang mengetahui norma etika,
diharapkan memiliki kesadaran yang tinggi untuk mematuhinya.
2. Kesadaran etis (ethical afective)
Memiliki sikap sadar dan taat terhadap norma etika. Kesadaran etis ini
menjadi landasan utama bagi seorang profesional untuk lebih sensitif dalam
memperhatikan kepentingan profesi untuk kepentingan objektif profesi, dan
bukan untuk kepentingan dan bukan kesenangan subjektif individu. Yang
bersangkutan dengan senang hati menempatkan etika profesi sebagai acuan
dalam bersikap.
3. Perilaku etik (ethical behavior)
Memiliki perilaku yang sesuai dengan tuntutan etika profesi. Dalam
8

setiap tindakannya, senantiasa mempertimbangkan norma etika, moral dan


tata krama profesi. Dia dengan cermat dapat memperhatikan hak-hak orang
lain, sesuai dengan hak dan kewajiban anggota.

2.4 Dilema Etika dan Hilang Etika


Coutland L Bovee dan John V. Thill (Alih Bahasa Doddi Prastuti, 2007:32)
menjelaskan perbedaan antara dilema etika dan hilang etika. Suatu dilema etika
melibatkan pemilihan antara alternatif-alternatif yang tidak jelas batasnya
(barangkali dua alternatif tindakan tersebut sama-sama etis dan valid, atau
barangkali alternatif tersebut terletak di area abu-abu, yaitu area yang tidak jelas
benar dan salahnya). Sedangkan hilang etika adalah pilihan tindakan yang jelas
tidak beretika, atau pilihan tindakan yang ilegal tidak ada dasar hukum maupun
dasar etika. Misalnya, seorang anggota tim sukses dalam pemilihan kepala daerah
memberikan pujian yang berlebih-lebihan kepada calon yang didukung, serta
menyebarkan fitnah untuk calon yang menjadi rival. Sudah jelas bahwa tindakan
tersebut tidak etis, karena anggota tim sukses tersebut telah sengaja mengabaikan
norma etika, maka tindakannya disebut sebagai tindakan hilang etika (Suranto,
2011).

2.5 Etika Komunikasi Interpersonal


Etika komunikasi merupakan suatu rangkuman istilah yang mempunyai
pengertian tersendiri, yaitu norma, nilai, atau ukuran tingkah laku yang baik
dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat. Sedangkan komunikasi
interpersonal merupakan proses komunikasi antar pribadi atau antar individu.
Pada hakikatnya, komunikasi interpersonal dapat dilakukan secara lisan maupun
tulisan. Jika secara lisan dapat terjadi secara langsung (tatap muka), maupun
dengan menggunakan media seperti telepon, SMS, e-mail, sosial media
(Facebook, WhatsApp, Instagram, dsb). Namun yang harus dipahami bahwa baik
komunikasi langsung maupun tidak langsung, norma etika harus tetap
diperhatikan dan diterapkan.
Etika berkomunikasi sangat penting, karena sebagai upaya menjaga agar
proses komunikasi dapat berjalan dengan baik, dan agar tujuan komunikasi dapat
tercapai tanpa menimbulkan kerenggangan hubungan antar individu. Adapun cara
9

paling mudah untuk menerapkan etika komunikasi interpersonal yaitu pihak-pihak


yang terlibat dalam proses komunikasi, bahkan kita semuanya sebagai anggota
masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal di bawah ini.
a. Nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya setempat;
b. Segala aturan, ketentuan, tata tertib yang sudah disepakati;
c. Adat-istiadat, kebiasaan yang dijaga kelestariannya;
d. Tata krama pergaulan yang baik;
e. Norma kesusilaan dan budi pekerti;
f. Norma sopan-santun dalam segala tindakan.
Dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, antara etika dan
komunikasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Di manapun orang
berkomunikasi, maka selalu membutuhkan pertimbangan etis, agar lawan bicara
dapat menrima dengan baik. Dalam hal ini, berkomunikasi tidak selamanya
dilakukan dengan mudah, terlebih jika kita tidak mengetahui jati diri (latar
belakang sosial budaya) lawan bicara, hal tersebut akan menyulitkan saat
melakukan komunikasi. Sebaliknya jika kita paham tentang karakter lawan bicara,
maka akan lebih mudah berusaha menampilkan diri sebaik-baiknya dalam
berkomunikasi.
Etika yang tergambarkan dalam tata krama berkomunikasi yaitu kebiasaan
dan mungkin merupakan kesepakatan dalam hubungan antar warga di masyarakat.
Ukuran etika itu berlaku secara selingkung, dan terkadang sulit dimengerti akal
sehat. Misalnya, ada sebuah bangsa lain yang makan sambal mengeluarkan bunyi
ciplak, menurut penilaian mereka hal ini tidak dianggap tidak sopan, justru sangat
sopan karena mereka dapat menunjukkan kesungguhan dalam menikmati
hidangan. Sebaliknya, jika hal tersebut terjadi pada orang yang berasal dari
Bangsa Indonesia, maka dapat dipandang tidak sopan karena tidak sesuai etika
makan (Suranto, 2011).
1. Etika Komunikasi Interpersonal Tatap Muka
Komunikasi tatap muka berarti mempertemukan orang-orang yang
terlibat dalam proses komunikasi. Melakukan komunikasi tatap muka dengan
mengadakan pembicaraan adalah cara yang efektif untuk menyelesaikan
tugas dan pekerjaan. Dalam melakukan pembicaraan, perlu diperhatikan
10

norma etika sehingga pembicaraan berlangsung nyaman dan menenangkan


bagi kedua belah pihak. Ketika komunikasi dilakukan secara tatap muka,
maka kita dapat melihat bagaimana raut wajah orang-orang yang ada di
sekitar kita. Dengan bekal pengalaman, kita dapat mengenali suasana hati
orang yang berbicara dengan kita melalui ekspresi wajahnya. Bagian tubuh
manusia yang paling banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya
pandangan mata, meskipun mulut tidak berkata apa-apa. Wajah diibaratkan
sebagai cermin dari pikiran dan perasaan seseorang. Beberapa ahli psikolog
sepakat bahwa “mata” adalah ungkapan perasaan yang sesungguhnya (jujur),
spontan, dan dapat dipercaya. Pemahaman terhadap ekspresi wajah sangat
penting karena melalui ekspresi wajah kita dapat melihat atau membaca
makna suatu pesan, sehingga kita dapat memperkirakan apakah ada
kesesuaian dengan pesan verbal yang disampaikannya.
Berikut ini beberapa norma etika berkomunikasi interpersonal secara
tatap muka yang perlu diperhatikan.
a. Waktu berbicara hendaklah kita tenang, sekali-kali boleh saja
menegaskan pembicaraan dengan gerak tangan secara halus dan sopan.
Gerak tangan hendaklah tidak terlalu banyak, dan jangan menggunakan
telunjuk untuk menunjuk lawan bicara.
b. Jangan membicarakan sesuatu yang ingin dilupakan oleh orang lain.
Kembangkan tema pembicaraan yang berguna baik bagi kita, maupun
teman. Jika teman/lawan bicara sudah tidak tertarik dengan satu tema
pembicaraan tertentu, hendaknya kita memaklumi dan menyesuaikannya.
c. Jangan mempergunjingkan orang lain. Terlebih jika isi gunjingan
tersebut tentang kejelekan dan sisi negatif orang lain, maka sudah
sepantasnya tidak dilakukan.
d. Jangan memborong seluruh pembicaraan. Biasakanlah mendengarkan
orang lain, dan jangan memotong pembicaraan orang lain. Hendaklah
kita berdiam dan memperhatikan ketika ada orang sedang berbicara.
e. Waktu berbicara hendaknya kita mengambil jarak yang sesuai dengan
orang yang kita ajak bicara.
11

f. Ketika kita tengah berbincang dengan teman, suara hendaknya


disesuaikan, hindari penggunaan suara yang terlalu keras. Jika batuk,
bersin, atau menguap, hendaklah mulut ditutup dengan tangan. Dan jika
pembicaraan telah selesai, hendaknya mengucapkan terima kasih.
2. Etika Berkomunikasi dengan Media Telepon
Menelepon pada hakikatnya sama dengan bertamu ke rumah orang lain,
dan menerima telepon sama dengan menerima tamu. Berikut ini beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi melalui media telepon.
a. Apabila hendak menelepon, pertimbangkanlah waktu yang tepat. Hindari
menelepon seseorang pada malam hari, atau sedang jam makan, kecuali
pesan yang hendak kita sampaikan benar-benar sangat penting dan
mendesak (tidak dapat ditunda).
b. Berbicaralah dengan tenang, jelas, dan langsung ke sasaran (to the point).
c. Ketika sedang berbicara, berilah perhatian sepenuhnya kepada lawan
bicara.
d. Janganlah berbicara dengan orang lain yang berada di dekat kita, berilah
isyarat secara halus jika ada orang lain sedang mengajak bicara.
e. Siapkanlah kertas dan pensil untuk mencatat seperlunya.
f. Pada akhir pembicaraan, hendaknya mengucapkan terima kasih.
g. Setelah mengakhiri pembicaraan, janganlah mambanting gagang telpon.
h. Jika telepon di rumah atau kantor berdering, segera angkat gagang
pesawat karena dering telepon akan mengganggu ketenangan dan
menandakan kurangnya perhatian.
i. Cara mudah untuk menghindari pembicaraan telepon yang menyalahi
etika, yaitu dengan membayangkan seolah-olah lawan bicara bertatap
muka dengan kita.
3. Etika Menggunakan Short Message Service (SMS)
Berikut ini terdapat norma etika yang lazim digunakan agar isi SMS kita
terhindar dari apa yang kurang atau tidak dikehendaki oleh lawan bicara
(penerima pesan).
12

a. Isi SMS yang hendak dikirimkan hendaknya dibaca ulang, jangan sampai
muncul kata-kata atau kalimat yang dapat menyinggung perasaan si
penerima.
b. Penggunaan kata-kata kotor hendaknya dihindari dalam menulis pesan
SMS.
c. Kurang pantas jika kita menerima SMS yang perlu dibalas, tetapi
menunda-nunda sampai terlupa membalasnya. Kita dapat dianggap
kurang memperhatikan dan menghargai si pengirim SMS.
d. Jangan menggunakan istilah dan singkatan yang tidak populer, karena
dapat menimbulkan salah penafsiran.
e. Gunakan SMS sebagai ganti komunikasi telepon yang suaranya bisa
mengganggu orang lain.
f. Menuliskan SMS dengan huruf kapital, sering dianggap sebagai
ungkapan kemarahan.
4. Etika Menggunakan E-mail dan Facebook
Di tangan orang yang memahami norma etika, e-mail dan facebook
membawa banyak manfaat positif. Tetapi apabila tidak diawasi dengan norma
tata krama, sangat mungkin membawa dampak negatif. Adapun beberapa
contoh norma etika yang perlu diperhatikan ketika menggunakan e-mail dan
facebook yaitu sebagai berikut.
a. Pilahkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan organisasi;
b. Gunakan teknologi semata-mata untuk meningkatkan kualitas
komunikasi;
c. Gunakan teknologi untuk efisiensi waktu dan ruang;
d. Jangan membobol password dan mengakses informasi milik orang lain;
e. Gunakan waktu dan belanjakan uang untuk teknologi komunikasi secara
bijaksana;
f. Teknologi hanyalah merupakan alat bantu.
5. Etika Menyambut Tamu
Kemampuan menerima dan menyambut tamu dengan baik akan
berhubungan dengan penilaian si tamu terhadap diri dan keluarga kita. Ada
pepatah yang mengatakan bahwa, “tamu adalah raja” yang mengisyaratkan
13

bahwa menyambut tamu dengan baik merupakan kewajiban tuan rumah.


Terdapat berbagai cara unik yang dilakukan oleh masyarakat dalam
menyambut tamu, di antaranya yaitu:
a. Menyambut tamunya di bandara, atau di tempat kedatangan lainnya;
b. Menyediakan akomodasi dan transportasi;
c. Berjabat tangan dan/atau saling memeluk;
d. Mengalungkan bunga kepada tamu;
e. Mengadakan jamuan penghormatan disertai toast atau angkat gelas;
f. Mengomunikasikan dan mengompromikan jadwal acara.
6. Etika di Ruang Tunggu Umum
Kenyamanan dan ketertiban di ruang tunggu umum, seperti misalnya di
bank, rumah sakit, kantor kecamatan, dan semacamnya perlu dijaga dengan
memperhatikan tata tertib dan etika. Berikut ini merupakan beberapa contoh
etika di ruang tunggu umum.
a. Harus antri untuk memberi atau menerima sesuatu di depan loket. Jangan
menyerobot atau berdesakan. Berdiri di belakang orang yang datang
terlebih dahulu.
b. Jangan menerima telepon dengan suara keras, karena dapat mengganggu
orang lain.
c. Jangan duduk berselanjar kaki di bangku panjang untuk umum atau
menaikkan sepat uke atas bangku yang disediakan untuk pengunjung
lainnya.
d. Jangan membuang kertas, putung rokok, sisa bungkusan makanan, serta
meludah di sembarang tempat.
e. Setiap orang diharapkan bersikap tidak saling mengganggu
pemandangan, pendengaran, penciuman, dan lain-lain.
f. Setiap orang diharap untuk bersikap menjaga keamanan;
g. Diharapkan setiap orang memperhatikan dan menjaga kebersihan dari
sampah, punting rokok, sirkulasi udara yang bersih dan aman.
h. Jika sedang menderita flu, batuk, dan pilek yang berlebihan, diusahakan
tidak meludah dan membuang ingus secara demonstrative dan
membuang bekas tisu di tempat sampah terbuka di tempat umum.
14

i. Jika di tempat umum Anda bertemu dengan orang penting tetapi tidak
terlalu kenal, maka cukup ucapkan salam tanpa harus selalu berjabat
tangan.
j. Jika naik tangga, pria berjalan dalam jarak dekat di belakang wanita. Jika
turun tangga, pria melangkah terlebih dahulu dan berada di posisi lebih
bawah dari wanita.
k. Jika naik lift, hindari gaya saling serobot. Mereka yang keluar supaya
didahulukan.
l. Kacamata gelap tidak dipakai ketika memasuki ruangan tertutup.
7. Etika Berkenalan
Terdapat beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk berkenalan sesuai
norma etika, berikut ini salah satu caranya.
a. Sebut nama dengan jelas;
b. Bersikap penuh percaya diri (jangan over acting atau malu-malu);
c. Jangan abaikan personal contact, seperti:
1) Genggam tangannya secara mantap selama 3-4 detik saja;
2) Pandang mata selaraskan dengan tujuan komunikasi;
3) Tubuh sedikit ke depan;
4) Senyum simpatik
d. Orang yang lebih muda diperkenalkan pada yang lebih tua;
e. Umumnya pria diperkenalkan kepada wanita (kecuali orang penting yang
perlu dihormati atau lebih tua);
f. Memberi sedikit informasi tentang orang yang diperkenalkan;
g. Hindari perkenalan di tempat ramai seperti jalan raya, pasar, dan lain
sebagainya.
8. Etika dalam Percakapan
a. Topik tidak boleh menyinggung SARA, sebaiknya membicarakan
berbagai hal atau isu yang menarik kedua belah pihak, misalnya:
1) Kebudayaan;
2) Adat istiadat;
3) Hobi;
4) Olahraga;
15

5) Sejarah;
6) Hal-hal actual.
b. Cara membuat percakapan yang menarik, misalnya:
1) Memiliki keinginan untuk menyenangkan lawan bicara;
2) Memiliki rasa humor;
3) Memiliki wawasan yang luas, sehingga mampu berbicara tentang
banyak hal;
4) Mampu menyesuaikan diri dengan lawan bicara;
5) Memberi penjelasan secara singkat dan mudah untuk dimengerti;
6) Memperhatikan/melihat lawan bicara (90% pandangan mata tertuju
pada lawan bicara);
7) Menggunakan kata dan kalimat yang baik menyesuaikan dengan
lingkungan;
8) Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara;
9) Menatap mata lawan bicara dengan lembut;
10) Memberikan ekspresi wajah yang ramah dan murah senyum;
11) Gunakan gerakan tubuh (gesture) yang sopan dan wajar;
12) Bertingkah laku yang baik dan ramah terhadap lawan bicara;
13) Memakai pakaian yang rapi, menutup aurat, serta sesuai situasi dan
kondisi;
14) Tidak mudah terpancing emosi lawan bicara;
15) Menerima segala perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi;
16) Menggunakan volume, nada, intonasi suara, serta kecepatan bicara
yang baik.
c. Yang perlu dihindari dari percakapan, terdiri dari:
1) Memotong pembicaraan orang lain;
2) Memborong semua pembicaraan;
3) Membual tentang diri sendiri;
4) Membicarakan hal-hal yang menimbulkan pertentangan;
5) Membicarakan soal penyakit dan kematian secara bertele-tele;
6) Menanyakan harga barang yang dipakai seseorang;
7) Menanyakan hal-hal yang bersifat sangat pribadi;
16

8) Mempermalukan orang lain;


9) Memberi nasihat tanpa diminta (menggurui);
10) Menanyakan usia seorang Wanita;
11) Memaksa seorang pendiam atau pemalu untuk berbicara di depan
umum;
12) Melarang orang lain ikut dalam pembicaraan;
13) Berbisik-bisik;
14) Gosip (berita yang belum tentu benar).
9. Etika Merokok
a. Tidak merokok di sekitar tempat yang dilarang merokok;
b. Jika seorang perokok berat berada di suatu ruang bersama banyak orang,
hendaknya bertenggang rasa;
c. Jika berada di dalam kelompok orang, sebaiknya minta izin untuk
diperbolehkan merokok;
d. Di seputar meja makan dan khususnya selama acara makan sedang
berlangsung, dilarang merokok;
e. Sebagai perokok berat, Anda jangan tersinggung bila seseorang
menyatakan keberatan dan terganggu dengan asap rokok;
f. Prinsipnya, kita jangan merokok di dekat banyak orang, apalagi jika
sedang berdesakan karena selain mengganggu juga berbahaya;
g. Janganlah merokok di ruangan tertutup seperti lift, bagian tertentu
pesawat terbang, bus, ruang tunggu praktik dokter, dan tempat-tempat
berarti Anda dilarang merokok.
10. Etika Pertukaran Kartu Nama
a. Biasanya dilakukan pada awal pertemuan;
b. Serahkan kartu nama dengan satu tangan (biasanya tangan kanan) atau
dua tangan;
c. Apabila kartu nama dicetak dalam dua bahasa, letakkan sisi dengan
bahasa yang dimengerti oleh penerima menghadap penerima;
d. Saat menerima kartu nama, baca sesaat dan ucapkan terima kasih,
kemudian simpan dalam saku jas atau tas dengan cara yang simpatik;
17

e. Memperlakukan kartu nama dengan sembarangan dapat diartikan sebagai


suatu penghinaan.
2.6 Komunikasi Interpersonal Lintas Budaya
Konsep komunikasi interpersonal lintas budaya berangkat dari konsep
komunikasi lintas budaya itu sendiri. Tujuan dari adanya komunikasi ini adalah
untuk memahami budaya satu sama lain. Komunikasi lintas budaya menurut
Liliweri (2007) merupakan suatu interaksi atau komunikasi antar individu yang
dilakukan oleh beberapa orang dengan memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Bahkan, pendapat lain mengatakan bahwa komunikasi lintas budaya ini
dikatakan sebagai studi untuk mempelajari cara berkomunikasi dengan orang lain
melihat dari segi kebudayaan yang berbeda (saling memahami).
Secara umum, konsep komunikasi lintas budaya meliputi konsep pertukaran
simbolik, budaya yang berbeda, proses, hingga makna yang terkandung. Dalam
pertemuan budaya atau saat terjadi komunikasi interpersonal, terdapat ciri-ciri
yang menandakan komunikasi lintas budaya:
1. Pertukaran simbolik (baik verbal atau nonverbal dengan sedikitnya dua
orang mencapai makna bersama. Contoh: senyuman, pertukaran pesan);
2. Isyarat verbal terpisah (mengalir bersama sampai akhir, bersifat
kontinyu, kata-kata/kalimat sentuhan;
3. Konsep budaya berbeda (konsep luas, sekelompok individu berinteraksi
dan menjunjung tinggi sebuah tradisi);
4. Negosiasi makna bersama (negosiasi menjelaskan kata kreatif,
menerima dari proses yang komunikasi manusia yang lancar);
5. Situasi interaktif (elemen perilaku verbal/nonverbal spesifik di suatu
situasi, tujuan dan motivasi peserta, aturan perilaku – aturan
negosiasi/konsensi, peran individu berbeda, pengaturan fisik dan
peralatan, konsep kognitif, keterampilan sosial yang relevan).
Bentuk komunikasi lintas budaya, yaitu (Devito, 1997):
1. Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda (pembeda dari waktu
ibadah, cara beribadah, dll);
2. Komunikasi antara subkultur dan kultur yang berbeda (budaya yang
berbeda satu sama lain, misal: dokter dan pengacara memiliki profesi
18

yang jauh berbeda. Komunikasi lintas budaya: menghargai perbedaan,


memahami pesan);
3. Komunikasi antara subkultur dan kultur yang dominan (satu kultur lebih
dominan terhadap kultur yang lain);
4. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda (perbedaan budaya
komunikasi pria dan wanita dari keseharian, pola pikir, suara, body
language, dll. Komunikasi lintas budaya: perlu menerima dan saling
memahami, ciptakan hubungan harmonis dan lancar).
Dalam konteks komunikasi interpersonal, komunikasi lintas budaya
dipahami sebagai wujud komunikasi yang terlibat dalam proses memposisikan
individu lain sebagai entitas pribadi, bukan hanya objek (Yusa, dkk, 2021:6).
Perbedaan latar budaya ditandai dengan perbedaan kepribadian dan persepsi satu
sama lain. Setelah adanya ‘penerimaan’, maka faktor penghambat komunikasi
dapat tereduksi dengan baik, jadilah komunikasi yang adaptif, setiap individu
saling beradaptasi, tercipta komunikasi interpersonal lintas budaya yang efektif.

2.7 Perbedaan Komunikasi Pria dan Wanita


Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan bagaimana pria dan wanita
berbicara, salah satunya adalah faktor ‘sifat’ dan ‘kecenderungan’. Dalam sifat
dikenal dengan konsep budaya ‘maskulin’ dan ‘feminin’. Merujuk pada
penelitian menurut Juliano (2015), rangkuman terkait gaya komunikasi antara pria
dan wanita adalah:
19

1. Percakapan (wanita cenderung menceritakan sesuatu dengan cara


berbelit, panjang, intinya sederhana. Pria tidak memproses informasi
panjang, cenderung mengatakan apa yang harus mereka katakan, pesan
jelas);

2. Cara pandang (wanita cenderung mencemaskan hal kecil, pria dilahirkan


dengan sifat acuh terhadap hal-hal sepele);
3. Memberi pertanyaan (wanita mengutamakan hubungan dan untuk
memberi jawaban atas ketidaktahuannya, pria bertanya tanpa
memerhatikan hubungannya dengan lawan bicara dan tujuannya untuk
menunjukkan siapa dirinya) (Tannen, 1991);
4. Mendengarkan (wanita memberikan seluruh perhatian pada lawan
bicara, pria lebih tenang dan diam dalan mendengar) (Tannen, 1991);
5. Konteks verbal (wanita lebih banyak bicara pribadi, pria lebih banyak
terlibat pembicaraan publik);
6. Konteks nonverbal (wanita menunjukka gerakan terkoneksi saat tawa
senyum, manggut, bergumam penanda mendengar dan menyimak, pria
menunjukkan tingkah laku lebih dominan saat jabat tangan, marah,
kesal);
7. Humor (digambarkan dalam tabel berikut)
20

Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya hambatan dalam


komunikasi interpersonal, memicu hadirnya konflik, dan lainnya. Maka, berhenti
memperlakukan pria dan wanita secara sama, sehingga bisa menghindari
terjadinya kesalahan memaknai pesan. Contohnya, ketika wanita menyampaikan
keluh kesah soal pekerjaan yang rumit, pria langsung memberitahu penyebabnya.
Konflik disitulah terjadi, wanita merasa tersinggung karena ia malah dikoreksi
pria.
Secara umum, terdapat teori yang membahas mengenai gaya komunikasi
antara pria dan wanita yakni Genderlect Theory. Teori ini telah menggambarkan
bagaimana perbedaan gaya komunikasi pria dan wanita sering menjadi
penghambat dalam menyampaikan pesan sehingga terjadilah miskomunikasi.
Menurut teori tersebut, gaya komunikasi wanita adalah feminin dan pria adalah
maskulin.
1. Gaya komunikasi feminin
a. Tujuannya membangun, menjaga hubungan dengan lawan bicara;
b. Cenderung menunjukkan hubungan, dukungan, pengertian pada
sesamanya ketika berbicara;
c. Cenderung memberi respon cepat ketika mendengar lawan bicara.
2. Gaya komunikasi maskulin
a. Tujuannya memegang kontrol, menunjukkan kemandirian,
meningkatkan status;
21

b. Percakapan sebagai ajang pembuktian diri, berbicara membangun


status dengan cara menantang sesamanya;
c. Tidak menunjukkan respon, cenderung berbicara intinya tanpa
menunjukkan pesan verbal.
Dalam percakapan publik dan pribadi, wanita lebih banyak bicara pada hal
pribadi dan dalam publik wanita akan berkomunikasi dengan tujuan membangun
hubungan baik dengan lawan bicara. Sedangkan pria menggunakan percakapan
sebagai senjata memberikan komando, informasi, menegaskan statement. Pria
berkomunikasi memiliki tujuan untuk mengangkat status/martabatnya.
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Implementasi Kasus


Pesantren merupakan sebuah sarana untuk dijadikan sebuah tempat
pembelajaran, pendalaman penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam yang
menerapkan pentingnya moral keagamaan. Tentu dalam sebuah lembaga tersebut,
terdapat peran-peran yang memiliki eksistensi tersendiri dalam menunjang
perkembangan dalam sebuah tujuan-tujuan yang ingin dicapai, diantaranya adanya
Ustadz dan Santri. Dalam hal tersebut, antara Ustadz dan Santri merupakan
sebuah peranan penting yang dimana harus dikembangkan dalam hal komunikasi
interpersonal antar keduanya. Untuk menjaga agar proses komunikasi tersebut
berjalan baik, agar tujuan komunikasi dapat tercapai tanpa menimbulkan
kerenggangan hubungan antar keduanya, maka diperlukanlah etika dalam
berkomunikasi. Di era yang semakin berkembang dan diiringi dengan adanya
generasi milenial, beberapa santri yang dikatakan milenial khususnya yang
berbasis pesantren modern menerapkan komunikasi dalam kehidupan sehari-
harinya termasuk dalam lingkungan pesantren tidak sesuai dengan keberlakuan
norma yang ditetapkan, khususnya dalam norma keagamaan. Salah satu cara
untuk menerapkan komunikasi interpersonal yang baik antar Ustadz dan Santri
sehingga dapat tercapainya tujuan yang diharapkan ialah dengan menerapkan
etika komunikasi interpersonal khususnya dari Ustadz (Komunikator) dengan
Santri (Komunikan).
Disebutkan pula dalam buku (Suranto A.W: 2011) bahwa etika yang
tergambarkan dalam tata krama berkomunikasi adalah kebiasaan dan mungkin
merupakan kesepakatan dalam hubungan antarwarga di masyarakat. Adapun
dalam lingkungan Pesantren khususnya dalam Pesantren Qotrun Nada Depok
menyepakati bahwa tata krama dalam berkomunikasi dikaitkan dengan
pendekatan etika normatif khususnya yang berbasis keagamaan. Maka dari itu,
Pesantren Qotrun Nada menerapkan etika komunikasi interpersonal antara Ustadz
dan Santri dalam rangka mengembangkan sebuah disiplin ilmu maupun
pembentukan karakter para santri.

22
23

3.2 Analisis Kasus


Dalam prosesnya, komunikasi interpersonal memiliki dampak yang paling
signifikan terhadap kesejahteraan manusia karena didalamnya mencakup
kejujuran dalam komunikasi dan tidak melibatkan ataupun membahas situasi
pribadi dengan orang yang tidak memiliki ranahnya. Maka dari itu, dikuatkanlah
etika dalam komunikasi interpersonal. Dalam penjelasannya, David Berlo
menekankan bahwa diantara komunikator dengan komunikan harus terdapat
hubungan interpendensi. Interpendensi adalah kedua belah pihak terdapat
hubungan saling mempengaruhi. Menurut (Nuruddin 2004) interpendensi artinya
komponen-komponen itu saling berkaitan, berinteraksi, dan berinterpendensi
secara keseluruhan. Maka dari itu dalam penerapan Pondok Pesantren Qotrun
Nada Depok, seorang Ustadz dalam berkomunikasi tidak hanya melihat pada
kepentingannya sendiri saja, namun tetap melihat pada kepentingan dan
kebutuhan santrinya dengan memperhatikan pengalaman, kepentingan dan
pendapatnya serta menciptakan hubungan yang akrab. Hal tersebutlah yang
merupakan diberlakukannya pertimbangan etis antar kedua belah pihak. Dengan
sikap saling menghormati dan mempercayai antara Ustadz dan santri yang
didasarkan pada persamaan antara keduanya, karena keberhasilan dalam
berkomunikasi yaitu dengan adanya persamaan sikap antara Ustadz dan Santri.
Dalam keberlangsungan sehari-hari, para Ustadz Pesantren Qotrun Nada Depok
tetap selalu memperhatikan etika dalam berkomunikasi dengan para santri
begitupun sebaliknya, dan tentunya tetap memperhatikan norma etika yang sudah
ditetapkan dalam pesantren. Contoh kesehariannya ialah, seorang santri yang
sedang berjalan namun berpapasan dengan seorang guru maka hal yang dilakukan
ialah menunduk dengan rasa hormat ataupun berjabat tangan dengan guru tersebut
sebagai tanda menghormati antar guru dan murid. Jika tidak, maka santri tersebut
termasuk dalam pelanggaran etika karena tidak mematuhi norma keagamaan yang
sudah ditetapkan oleh Pesantren. Sedangkan dalam lembaga pendidikan non
pesantren hal tersebut tidak dijadikan sebuah masalah besar.
24

3.3 Solusi Kasus


Dari berbagai paparan kasus diatas, maka dapat diketahui bahwa
pengembangan dalam hal etika komunikasi interpersonal antara Ustadz dan Santri
sangat penting bagi perkembangan sebuah lembaga tersebut. Selain untuk
menambah rasa keakraban antar keduanya, dapat dibentuknya karakter antar
Santri dengan Ustadz begitupun sebaliknya. Agar dapat dilihat lebih efektif, solusi
yang diterapkan dalam membangun etika komunikasi interpersonal dengan
menerapkan strategi yang dikemukakan oleh Miller dan Steinberg (1975) dalam
(Budyatna 2011), di antaranya sebagai berikut.
a. Startegi Wortel Terurai
Strategi ini berupa pemberian imbalan oleh komunikator diberikan
kepada pihak lain. Startegi wortel terurai ini diasumsikan bahwa komunikator
dapat meningkatkan probabilitas untuk memperoleh respons yang diinginkan
apabila komunikator memberikan kepada seseorang imbalan.
b. Strategi Pedang Tergantung
Strategi ini didasarkan pada asumsi bahwa komunikator akan mengulang
perilaku yang menyebabkan diberinya imbalan. Strategi pedang tergantung
merupakan hukuman. Seorang komunikator dapat menghukum pihak lainnya
agar orang itu mengurangi atau membatasi perilaku-perilaku yang tidak
disukai oleh yang memberi hukuman.
c. Strategi Katalisator
Strategi ini terjadi dimana komunikator mencoba memancing respons
yang dia inginkan, tetapi sebaliknya bukan memberikan imbalan atau
ancaman hukuman, komunikator sekedar mengingatkan kepada yang
bersangkutan akan suatu tindakan.
d. Strategi Kembar Siam
Strategi kembari tidaklah untuk menciptakan hubungan yang diinginkan
melainkan merupakan hasil dari semacam hubungan yang sudah terbentuk.
Strategi ini diimplementasikan setelah hubungan terbentuk.
e. Strategi Dunia Khayal
Strategi dunia khayal mengandalkan pada ilusi dan khayalan pada
perasaan-perasaan yang ditimbulkan sendiri mengenai kendali. Khayalan-
25

khayalan ini dapat memberikan semacam ketenangan dari perasaan cemas,


tetapi memiliki dasar realitas yang tidak seberapa dan tidak cukup untuk
menggantikan kendali sebenarnya.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Etika merupakan prinsip perilaku yang berkembang dengan kebiasaan
masyarakat dalam bersikap kritis dan rasional. Aliran etika memiliki 4, yakni
deontologis, teologis, egoisme, dan utilitarisme. Dalam etika sosial budaya
dikenal dengan ketentuan baik buruknya sumber nilai dan norma sosial budaya
masyarakat, dilengkapi kualifikasi etis: pengetahuan, kesadaran, dam perilaku
etik. Maka perlu diwujudkan tanpa adanya dilema dan hilang etika (tindakan yang
tidak beretika).
Sementara, etika komunikasi interpersonal merupakan upaya menjaga agar
proses komunikasi berjalan baik dan tujuan dapat tercapai tanpa kerenggangan
hubungan antar individu. Dalam konteks komunikasi interpersonal, komunikasi
lintas budaya dipahami sebagai wujud komunikasi yang terlibat dalam proses
memposisikan individu lain sebagai entitas pribadi, bukan hanya objek. Begitupun
lintas budaya antar jenis kelamin, wanita bergaya komunikasi feminin dan pria
bergaya maskulin (genderlect theory). Keduanya memiliki perbedaan komunikasi
melalui cara pandang, mendengarkan, berbicara sehingga memungkinkan
terjadinya konflik. Maka mengatasinya perlu memahami satu sama lain.

4.2 Saran
Mengingat pentingnya memahami etika komunikasi interpersonal,
disarankan pembaca agar dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
dan lingkup pekerjaan nantinya. Harapannya makalah ini dapat menjadi acuan
pembelajarannya.
Dalam penyusunan makalah selanjutnya, disarankan untuk memiliki
referensi yang lebih luas lagi agar dapat mendukung teori pembahasan. Bukan
hanya pada kajian pustaka dari media buku namun dari media lainnya yang lebih
banyak mudah diakses. Hal ini bertujuan memberi pemahaman lebih rinci,
wawasan lebih luas, penulisan makalah lebih tertata rapi, peningkatan literasi
buku, dan menjadi bahan pertimbangan evaluasi dari seluruh referensi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aw, Suranto. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Aw, Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Budyatna, Muhammad. (2011). Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana


Prenada Media.

Devito, J. A. (1997). Komunikasi Antarmanusia, Kuliah Dasar. Profesional


Books.

Juliano, Sangra. (2015). Komunikasi dan Gender: Perbandingan Gaya


Komunikasi dalam Budaya Maskulin dan Feminim, Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi, 5(1), 19-30.

Liliweri, A. (2007). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:


LKiS Yogyakarta.

Nuruddin. (2004). Sistem Komunikasi Indonesia. Depok: Raja Grafindo Persada.

Tannen, Deborah. (1991). You Just Don’t Understand Women and Men in
Conservation Ballantine Books.

Yusa, I Made Marthana dkk. (2021). Komunikasi Antarbudaya. Medan: Yayasan


Kita Menulis.

27

Anda mungkin juga menyukai