Anda di halaman 1dari 20

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Pengertian Komunikasi

Pengertian komunikasi dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Onong,

2000), dan (Effendi, 1998: 60), yaitu:

1. Pengertian Komunikasi secara umum

Komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk

lambang bermakna sebagai paduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi,

kepercayaan, harapan, himbauan dan sebagainya, yang dilakukan kepada orang

lain baik langsung secara tatap muka maupun tidak langsung melalui media

dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, atau perilaku (Effendi, 1998: 60).

Setiap orang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur

lagi, secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi. Terjadinya komunikasi

sebagai konsekuensi dari hubungan sosial dan interaksi sosial. Komunikasi dalam

pengertian secara umum dapat dibagi dua segi yaitu, secara etimologis dan

terminilogis. Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin

communicatio, berasal dari kata communis, yang berarti sama makna. Jadi,

komunikasi berlangsung apabila orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan

makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan. Secara terminologis,

komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada

orang lain.

Universitas Sumatera Utara


2. Pengertian komunikasi secara paradigmatis

Dalam pengertian paradigmatis, komunikasi mengandung tujuan tertentu

yang dilakukan secara lisan, tatap muka atau melalui media. Dalam hal ini,

komunikasi besifat intensional, karena itu harus dilakukan dengan perencanaan.

Mengenai pengertian komunikasi secara paradigmatis, banyak defenisi yang

dikemukakan oleh para ahli, tetapi dari sekian banyak dapat disimpulkan secara

lengkap dengan menampilkan makna yang hakiki, yaitu komunikasi merupakan

proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi

tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku, baik langsung melalui

lisan maupun tidak langsung melalui media (Onong, 200:5).

Proses komunikasi yang berlangsung di antara individu tidak selalu

berlangsung mulus dan lancar. Adakalanya pesan yang akan disampaikan tersebut

mendapat hambatan sebelum sampai kepada komunikan. Hambatan-hambatan

tersebut bisa disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:

1. Hambatan Sosio-Antro-Psikologis

a. Hambatan Sosiologis

Masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, yang menimbulkan

perbedaan dalam statu sosial, agama, ideologi, tingkat pendidikan dan

sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran

komunikasi.

b. Hambatan Antropologis

Dalam melancarkan komunikasi, seorang komunikator tidak akan berhasil

apabila ia tidak mengenal siapa komunikannya. siapa di sini bukan

Universitas Sumatera Utara


namanya, melainkan ras apa, bangsa apa, dan suku apa. Dalam hal ini,

komunikator harus mengenal kebudayaan, gaya hidup, norma kehidupan

serta kebiasaan komunikannya.

c. Hambatan Psikologis

Faktor psikologis seringkali menjadi hambatan dalam komunikasi. Hal ini

umumnya disebabkan komunikator tidak mengkaji diri komunikan

sebelum melancarkan komunikasi. Komunikasi sulit berhasil apabila

komunikan sedang sedih, bingung, marah, kecewa, kesal dan lain

sebagainya.

2. Hambatan Semantis

Hambatan semantis meliputi bahasa yang digunakan oleh komunikator

dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Demi

kelancaran komunikasi, komunikator harus benar-benar memperhatikan

gangguan semantis ini, sebab kesalahan dalam ucapan maupun tulisan

dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) dan salah tafsir

(misinterpreatation), yang pada akhirnya dapat menimbulkan salah

komunikasi (misunderstanding).

3. Hambatan Mekanis

Hambatan mekanis kita jumpai pada media yang dipergunakan dalam

melancarkan komunikasi. Seperti suara telepon yang berisik, ketikan huruf

yang rusak pada media cetak, atau gambar kabur di layar televisi.

Universitas Sumatera Utara


4. Hambatan Ekologis

Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap

berlangsungnya komunikasi. Contohnya adalah suara riuh orang-orang

ramai atau kebisingan lalulintas, suara hujan atau petir, suara pesawat

terbang dan lain-lain saat sedang berkomunikasi.

2.2 . Teori Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari

studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif

besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan.

Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda

pula komunikasi dan makna yang dimilikinya.

Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada

tahun 1959. namun demikian, Hall tidak menerangkan pengaruh perbedaan

budaya terhadap proses komunikasi antarpribadi. Perbedaan antarbudya dalam

berkomunikasi baru dijelaskan David K.Berlo melalui bukunya The Process of

Communication (An Introduction to Theory and Practice) pada tahun 1960

(Liliweri, 2001:1).

Menurut Liliweri (2001), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi

antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda

budaya, bahkan dalam satu bangsa sekalipun.

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu

budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam

Universitas Sumatera Utara


keadaan demikian, akan segera dihadapkan pada masalah-masalah yang ada

dalam suatu situasi tempat suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus

disandi balik dalam budaya lain. Seperti diketahui bahwa budaya sangat

mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas

seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap

orang. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda

pula perbendaharaan yang dimilikinya, dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan

tertentu.

Sehubungan dengan itu, Model William B. Gudykunst dan Young Yun

Kim ini sebenarnya merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi

antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan, atau komunikasi

dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk

komunikasi tatap-muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut

model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing,

model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja,

karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya

dan psikobudaya yang persis sama.

Seperti model Tubbs, model Gudykunst dan Kim ini mengasumsikan dua

orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing sebagai pengirim dan

sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus melakukan penyandian

(encoding) dan penyandian-balik (decoding). Karena itu, tampak pula bahwa

pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi pihak lainnya.

Pesan/umpan balik antara kedua peserta komunikasi dipresentasikan oleh garis

Universitas Sumatera Utara


dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang lain dan dari penyandian

orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua garis pesan/umpan balik

menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara serentak kita menyandi dan

menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi tidak statis; kita tidak

menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga kita menerima umpan

balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang (menyandi-balik) pada

saat kita juga menyandi pesan.

Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik

pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter

konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya,

psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung

interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga

lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan

psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, yakni orang A dan orang B,

dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran

dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa

budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu saling berhubungan atau saling

mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak

dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Lagi, garis

terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan

tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi

antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup

orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Model Gudykunst dan Kim
Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, 1992)

Seperti ditunjukkan di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan

psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan

menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah

alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandi-

balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat

mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita.

Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi

pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan

dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik

pesan yang datang.

Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam model itu

meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya,

misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, juga sikap terhadap manusia,

misalnya apakah kita harus peduli terhadap individu (individualisme) atau

terhadap kolektivis (kolektivisme). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai,

Universitas Sumatera Utara


norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi. Pengaruh

sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial (social

ordering process). Penataan sosial berkembang berdasarkan interaksi dengan

orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu.

Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan dalam kelompok

sosial, konsep diri, ekspektasi peran, dan defenisi mengenai hubungan

antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi (personal

ordering process). Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas

pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip dan sikap

(misalnya etnosentrisme dan prasangka) terhadap kelompok lain. Stereotip dan

sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku.

Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan

yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain.

Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang lain

berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain berperilaku

sama seperti kita. Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan

meramalkan perilakunya yang akan datang secara salah pula.

Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah

lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik

pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural (lingkungan fisik), dan persepsi

atas linkungan tersebut, mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang

dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain

mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang

Universitas Sumatera Utara


sama. Intinya, model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam

perbedaan dalam komunikasi antarbudaya.

Ada beberapa unsur budaya dalam komunikasi antarbudaya yaitu:

1. Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,

mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal.

Secara umum dipercaya bahwa orang berperilaku sedemikian rupa sebagai hasil

dari cara mereka mempersepsikan dunia yang sedemikian rupa pula. Perilaku ini

dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka (Porter dan Samovar,

dalam Mulyana dan Rakhmat, 1993:27).

Masyarakat Timur pada umumnya adalah masyarakat kolektivitis. Dalam

budaya kolektivitis, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur

dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya),

sementara diri dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi

suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan

kolektivitis, hanya saja seperti orientasi kegiatan, salah satu biasanya lebih

menonjol.

Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan

persamaan dalam pengalman persepsi. Tetapi karak terbudaya cenderung

memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama, dan oleh

karenanya, membawa kita kepada persepsi yang berbeda atas dunia ekstenal.

Universitas Sumatera Utara


2. Proses Verbal

Proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana berbicara dengan orang lain,

namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi

kata0kata yang digunakan. Proses-proses ini secara vital berhubungan dengan

proses pemberian makna saat melakukan komunikasi antarbudaya:

a. Bahasa Verbal

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan oleh budaya untuk

menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-

orang untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir.

Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.

Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu lambang yang

terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang

digunakan untuk menyajikan penalaman-pengalaman dalam suatu komunitas

budaya.

b. Pola Pikir

Pola pikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu

dalam budaya tersebut berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi

bagaimana setiap orang akan merespon individu-individu dari budaya lain.

Kebanyakan orang menganggap bahwa setiap orang meiliki pola pikir yang sama.

Namun, harus disadari bahwa terdapat perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek

berpikir. Kita tidak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola

pikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat pola pikir dan belajar

menerima pola-pola tersebut akan memudahkan kita dalam berkomunikasi.

Universitas Sumatera Utara


3. Proses Nonverbal

Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk bertukar pikiran dan

gagasan, namun proses ini sering diganti dengan proses nonverbal, yang biasanya

dilakukan melalui gerak isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan lain-lain.

Lambang-lambang tersebut dan respon-respon yang ditimbulkannya merupakan

bagian dari pengalaman budaya. Budaya mempengaruhi kita dalam mengirim,

menerima dan merespon lambang-lambang tersebut.

a. Perilaku Nonverbal

Kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang

dilambangkannya merupakan hal yang telah disebarkan budaya kepada anggota-

anggotanya. Misalnya lambang bunuh diri berbeda-beda antara satu budaya

dengan budaya lainnya. Di Amerika Serikat, hal ini dilambangkan dengan jari

yang diarahkan ke pelipis, di Jepang dilambangkan dengan tangan yang diarahkan

ke perut, dan di New Guinea dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke

leher.

Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana

komunikasi nonverbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman, kaum wanita

seperti juga kaum pria biasa berjabat tangan dalam pergaulan sosial, sedangkan

Amerika wanita jarang berjabat tangan. Di Muangthai orang-orang tidak

bersentuhan (berpegang tangan) dengan lawan jenis di tempat umum, dan

memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.

Universitas Sumatera Utara


b. Konsep Waktu

Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Konsep waktu pada

suatu budaya merupakan filasafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa

depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Terdapat banyak perbedaan

mengenai konsep waktu antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, yang

mempengaruhi komunikasi.

c. Penggunaan Ruang

Cara seseorang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi

disebut dengan prosemik. Prosemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang

yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Orang-orang

dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam

menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila berbicara dengan orang

yang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran

yang mungkin timbul, menghindari pelanggaran tersebut dan meneruskan

interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan.

Namun, melakukan komunikasi antarbudaya sebenarnya sangat sulit.

Bukan hanya karena berbeda budaya, tetapi juga muncul hambatan-hambatan

yang timbul dalam komunikasi antarbudaya atara lain disebabkan oleh:

1. Prasangka Sosial

Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap

golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan dengan

golongannya. Prasangka sosial terdiri dari sikap sosial yang negatif terhadap

golongan lain dan mempengaruhi perilakunya terhadap golongan tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Prasangka sosial awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif, namun

lambat laun dinyatakan dalam bentuk tindakan-tindakan yang diskriminatif

(Gerungan, 1991: 167).

Menurut Jones (dalam Liliweri, 2001:175) prasangka adalah sikap antipati

yang didasarkan pada suatu cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel.

Kesalahan itu mungkin saja tertangkap secara langsung dan nyata yang

ditunjukkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri.

Sehingga prasangka diduga memilliki pengaruh yang kuat sekali dalam

menghambat terciptanya komunikasi antarbudaya yang efektif.

Ada tiga faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi

komunikasi antarbudaya menurut Poortinga (dalam Liliweri, 2001: 176), yaitu:

a. Stereotip

Stereotip dapat diartikan sebagai suatu sikap atau karakter yang dimiliki

oleh seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau

pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif.

Kendati pada permukaan orang-orang Indonesia tampak bersatu karena

memiliki budaya Indonesia, namun tidak demikian halnya dalam kenyataan. Dari

sudut pandang kultural atau psikologis, stereotip-stereotip antar etnis masih tetap

ada di berbagai kelompok etnis, ras, dan agama di Indonesia. Sementara konsep

budaya Indonesia sendiri dipertanyakan apakah ini sudah terbentuk atau tidak.

Sebagai contoh, orang Jawa dan Sunda merasa bahwa diri mereka halus dan

sopan, dan orang batak itu kasar, tegas dan kepala batu, suaranya keras

dan berisik, mudah marah dan suka bertengkar. Yang paling menarik, orang

Universitas Sumatera Utara


Batak memandang diri mereka sendiri sebagai berani, terbuka dan

langsung, cerdas, rajin. kuat dan tangguh. Mereka menganggap orang

Jawa dan Sunda sebagai sopan dan halus, namun mereka penakut, lemah,

dan ragu-ragu dalam berbicara. Bagi orang Batak, merupakan kejujuran apa

yang dipikirkan orang lain sebagai kekasaran, sementara mereka menafsirkan

kehalusan orang Sunda dan Jawa sebagai kemunafikan.

Rich melakukan penelitian tentang hubungan stereotip dengan

komunikasi. Ia memakai lima dimensi proses stereotip sebagai pesan yaitu: (1)

pelabelan atau penanamaan dan generalisasi; (2) kesamaan individu dengan orang

lain; (3) arah stereotip; (4) intensitas atau derajat stereotip; dan (5) kekerasan

terhadap etnik. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor pengalaman dengan intra

maupun antaretnik mempengaruhi komunikasi. Dalam berkomunikasi terjadi

proses persepsi yang bersifat selektif sehingga terjadi generalisasi yang keliru

terhadap objek sikap.

b. Jarak Sosial

Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau

kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain.

Jarak sosial sebagai suatu penilaian di atas skala pada mulanya dilakukan oleh

Borgadus, dengan mengambil sample 1725 orang Amerika asli dengan latar

belakang 30 etnik. Borgadous menemukan bahwa pada setiap etnik ada perbedaan

pilihan jarak sosial. Ada kecenderungan yang menunjukkan bentuk interaksi

Universitas Sumatera Utara


sosial lebih bisa diterima jika ada kesamaan ras atau etnik atau faktor-faktor yang

semu di antara ras atau etnik.

Sementara Golman meneliti jarak sosial antara sesama orang Negro

berdasarkan usia responden yang berusia tua dan muda di dua wilayah yaitu

Amerika Utara dan Amerika Selatan. Ia menemukan bahwa: (1) wilayah

pemukiman menentukan pendapat responden; (2) faktor usia mempengaruhi jarak

sosial; (3) perpaduan faktor usia dan tempat tinggal mempunyai peranan terhadap

pilihan jarak sosial (Suwardi, 1999:26).

Dari berbagai penelitian tentang hubungan antara jarak sosial dan

komunikasi itu dapat disimpulkan bahwa jarak sosial tergantung pada: (1) cirri

dan sifat intraetnik dan antaretnik; (2) cara, tempat, usia; (3) perasaan jauh dekat

antara intraetnik dengan antaretnik; (4) prestise; dan (5) kesejahteraan. Liliweri

beranggapan semakin dekat jarak sosial dengan seorang komunikator dari suatu

etnik dengan seorang komunikan dari etnik lain, maka semakin efektif komunikasi

yang terjalin di antara mereka, begitu juga sebaliknya.

c. Sikap Diskriminasi

Secara teoritis Doob menyatakan bahwa diskriminasi dapat dilakukan

melalui kebijaksanaan untuk mengurangi, memusnahkan, menaklukkan,

memindahkan, melindungi secara legal, menciptakan pluralisme budaya, dan

tindakan asimilasi terhadap kelompok lain. Ini juga berarti bahwa sikap

diskriminasi tidak lain dari suatu kompleks berpikir, berpersaan, dan

kecenderungan untuk berperilaku maupun bertindak dalam bentuk negatif maupun

Universitas Sumatera Utara


positif. Sikap ini dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi antaretnik (Liliweri,

2001: 178).

Menurut Zastrow, diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama

antarmanusia maupun komunikasi di antara mereka. Doob (1985, dalam Liliweri,

2001:178) mengakui diskriminasi sebagai bentuk perilaku yang ditujukan untuk

mencegah suatu kelompok atau membatasi kelompok lain yang berusaha memiliki

atau mendapatkan sumberdaya.

Dari beberapa penelitian tentang diskriminasi, dapat disimpulkan bahwa

diskriminasi terjadi karena: (1) alasan historis, seperti kebanggaan atas kejayaan

suatu etnik; (2) sistem nilai yang berbeda antara etnis mayoritas dan minoritas; (3)

pola kerjasamal (4) pola pemukiman yang berbeda, seperti Timur dan Barat, urban

dengan rural; (5) faktor sosial budaya, ekonomi, agama yang memerlukan

perbedaan perlakuan; dan prestise suatu kelompok.

Menurut ODonnell prasangka social mengarah kepada kepercayaan dan

nilai-nilai yang dipelajari oleh para anggota kelompok etnik tertentu dalam

berhubungan dengan kelompok etnik lain. Prasangka sosial dan stereotip

kemudian berpengaruh terhadap tingkah laku diskriminatis yang terinternalisasi

melalui proses sosialisasi, persuasi, identifikasi dan penyesuaian. Hal tersebut

akan berpengaruh terhadap para anggota kelompok etnik lain dan mempengaruhi

penilaian masing-masing anggota antar kelompok ini, karena mereka

merefleksikan penilaian-penilaiannya yang perpengaruh terhadap identitas dirinya

(Cookie dan Walter, 1985 dalam Nugroho, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Prasangka sosial sendiri muncul karena didasari oleh 3 hal yaitu:

a. Etnosentrisme yaitu merasa etniknya sendiri yang paling baik

b. Terlalu mudah menganalisir perilaku etnik lain dengan pengetahuan dan

pengalamannya yang terbatas

c. Cenderung memilih stereotip yang mendukung kepercayaannya tentang

hubungan dan hak-hak istimewa apa yang harus dimiliki

2.3. Teori Sikap dan Perilaku

Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefenisikan

dalam berbagai versi oleh para ahli. Berkowitz bahkan menemukan adanya lebih

dari tiga puluh defenisi sikap (Berkowitz, 1972). Sikap adalah suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak

mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz,

1972, dalam Azwar, 2005: 5).

LaPierre (1934 dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980) mendefenisikan

sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi

untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah

respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Sebuah penelitian awal (LaPiere, 1934) (dalam Severin J. Werner &

Tankard W. James, 2007: 199) telah menunjukan bahwa sikap mungkin tidak

banyak berhubungan dengan perilaku. Satu alasan mengapa perubahan sikap

mungkin tidak secara otomatis diikuti perubahan perilaku, menurut Festinger

Universitas Sumatera Utara


(1946) adalah bahwa faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan sikap asli

biasanya akan tetap berlaku setelah sikap berubah.

Perilaku adalah respon individu atau kelompok terhadap lingkungan.

dalam kacamata ilmu sosial, perilaku atau perbuatan manusia merupakan

manifestasi terhadap pola-pola hubungan, dinamika, perubahan dan interaksi yang

menitikberatkan pada masyarakat dan kelompok sosial sebagai satu kesatuan,

serta melihat individu sebagai bagian dari kelompok masyarakat (keluarga,

kelompok sosial, kerabat, klien, suku, ras, bangsa) (www.conflict resolution

training.com).

Teori sikap dan perilaku ini awalnya diformulasikan oleh Fishbein &

Ajzen (1975) dengan nama Theory of Reasoned Action (TRA). Sebelum

membahas lebih lanjut, penelitian ini diawali dengan paparan mengenai TRA.

Penelitian ini akan terlebih dahulu memaparkan TRA (Theory of Reasoned

Action).

Theory Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun

1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini disususn menggunakan asumsi dasar bahwa

manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala

informasi yang tersedia. Dalam TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat

seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak

dilakukannya perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat

melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu

dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan

yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective

Universitas Sumatera Utara


norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif

terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi

TRA ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari

keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif

berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs). Secara skematik TRA

digambarkan seperti skema berikut ini:

Sikap
terhadap
perilaku
Intensi untuk
Perilaku
berperilaku
Norma-
norma
subjektif

Gambar 2.2. Theory of Reasoned Action (Teori Tindakan Beralasan) (Fishbein & Ajzen, 1980
dalam Brehm & Kassin, 1990)

Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga dapat memprediksi perilaku,

Icek Ajzen, Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (theory of

reasoned action) (Ajzen & Fishbein, 1980 dalam Brehm & Kassin, 1990; Ajzen,

1988). Dengan mencoba melihat atesenden penyebab perilaku volisional (perilaku

yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan atas asumsi-asumsi; a)

bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal;

b) bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada; c) bahwa

secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan

mereka.

Universitas Sumatera Utara


Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku

lewat suatu proses proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan

dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak

ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Ke

dua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma

subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain

inginkan agar kita perbuat. Ke tiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-

norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Dari Gambar 2, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari determinan

dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan

persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak

melakukan perilaku yang bersangkutan yang disebut dengan norma subjektif.

Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu

perbuatan apabila ia memendang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa

orang lain ingin agar ia melakukannya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai