Anda di halaman 1dari 13

KONFLIK KEPENTINGAN DAN BUDAYA POPULER

(Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Etika dan Filsafat
Komunikasi)

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Ade Tasya Wahida 0101173132
Muhammad Riko 0101171043

Dosen Pengampu:
Irma Yusriani Simamora, MA.

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


(KPI-B) SEMESTER V
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
PEMBAHASAN

A. Definisi Konflik Kepentingan

Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti
bersama dan “flligere” yang berarti benturan atau tabrakan. 1 Pada umumnya konflik
sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar
pribadi melalui dari konflik keras sampai pada pertentangan dan peperangan
internasional. Konflik menurut Luthans adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan
manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah, yaitu berbeda
pendapat, persingan dan permusuhan.2 Konflik merupakan perbedaan atau
pertentangan antar individu atau kelompok sosial yang terjadi karena perbedaan
kepentingan, serta adanya usaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak
lawan disertai dengan ancaman atau kekerasan.3

Kepentingan adalah Kepentingan merupakan sebuah homonim karena arti-


artinya memilik ejeaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Kepentingan juga bisa disamakan dengan keperluan atau kebutuhan karena bersifat
sama. Kepentingan dapat menyatakan nama seseorang, tempat atau semua benda dan
segala yang dibendakan.4

Konflik Kepentingan adalah kepentingan yang memiliki konsekuensi tertentu,


karena pada hakikatnya orang yang hanya sekedar berkomunikasi pun juga memiliki
kepentingan yaitu menjalin silahrurahim atau membangun sebuah hubungan baik
dengan orang lain. Dan orang yang berkomunikasi berarti ia memiliki kepentingan,

1
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), h. 345.
2
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Depok: Prenadamedia, 2018), h. 288.
3
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h.
91.
4
Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 456.

1
karena komunikasi identik dengan kepentinga sehingga komunikasi cenderung
membuka jalan terjadinya konflik kepentingan.5

B. Jenis-Jenis Konflik
1. Konfik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah suatu konflik dengan dirinya sendiri. Konflik ini terjadi
pada waktu yang bersamaan, tetapi seseorang itu memiliki dua keinginan yang tidak
memungkinkan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan,
bidang kerja, dan lain-lain.

2. Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal adalah pertentangan antara seseorang dengan orang lain karena
pertentangan kepentingan atau keinginan.

3. Konflik Antar Individu dan Kelompok

Konflik antar-individu dan kelompok  seringkali berhubungan dengan cara individu


menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konfirmitas, yang ditekankan kepada
mereka oleh kelompok kerja mereka.

4. Konflik antara Kelompok dalam Organisasi yang sama

Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama merupakan tipe konflik yang
banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan
pekerja-manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok.6 Konflik
dalam organisasi yang dikemukaan oleh Alo Liliwer ialah pertama, Konflik tugas
terjadi karena anggota organisasi menghadapi ketidaksesuaian peran yang dia
jalankan dengan status yang (terutama) diikuti dengan kemampuan, pengetahuan,
pendidikan, keterampilan dan lain-lain. Kedua, Konflik antarpersonal terjadi
manakala hubungan antar personal dalam organisasi terganggu. Ketiga, Konflik

5
Weni Puspita, Manajeman Konflik (Suatu Pendekatan Psikologi, Komunikasi dan
Pendidikan), (Yogyakarta: Deepublish, 2018), h. 35.
6
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi..., h. 290-291.

2
prosedural adalah konflik yang terjadi ketika anggota kelompok tidak sepakat tentang
prosedur yang mengatur tentang bagaimana kelompok mencapai tujuan organisasi.7

C. Penyebab Terjadinya Konflik


a. Perbedaan komunikasi

Perselisihan yang timbul dari kesulitan semantik, kesalahpahaman bahasa, dis-


komunikasi, atau juga communication overload. Kecendrungan dari komunikasi yang
berlebihan juga akan mengakibatkan konflik.

b. Perbedaan Struktural

Setiap organisasi perusahaan pasti memiliki struktur, baik secara horizontal maupun
vertikal. Perbedaan struktural ini acap kali menciptakan masalah pengintegrasian dan
ujung-ujungnya mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan. Konflik ini muncul
dari struktur organisasi itu sendiri.

c. Perbedaan Kepribadian

Faktor-faktor seperti perbedaan latar-belakang, pendidikan, dan pengalaman,


membentuk masing-masing individu kedalam suatu kepribadian yang unik.8

D. Sumber Konflik Kepentingan

Di dalam kacamata komunikasi, sumber konflik kepentingan yang utama adalah:

1. Hubungan yang Menimbulkan Konflik

Tentu sulit bagi seseorang untuk mengabdi pada dua tuan. Inilah yang terjadi bila
memiliki dua hubungan yang sama-sama memerlukan loyalitas serupa. Independensi
kita akan menjadi terbatas. Agen iklan atau praktisi PR misalnya, tugas utamanya
adalah terhadap klien. Namun, jika terjadi konflik kepentingan, maka pelayanan
kepada klien tersebut menjadi terbatas.

2. Pemberian Hadiah
7
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,
(Yogyakarta: LkiS, 2005), 264.
8
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi..., h. 294-295.

3
Praktisi komunikasi bertanggungjawab terhadap audiensnya, dan jika ia menerima
hadiah, cendera mata dan pemberian lain yang mengandung kepentingan
tersembunyi (vested interests), maka hal tersebut akan memunculkan keraguan
terhadap obyektivitas praktisi komunikasi tersebut.

3. Checkbook Journaslim

Terjadi ketika media membayar narasumber, sehingga media yang bersangkutan akan
memperoleh hak eksklusif untuk menampilkan narasumber tersebut. Checkbook
jourrnalism menjadi sorotan etis karena terjadi pertentangan konflik, sebagai akibat
adanya kendali dari pihak tertentu (narasumber) dalam tampilan pesan.

4. Hubungan Personal

Praktisi komunikasi juga manusia yang niscaya mengembangkan hubungan sosial,


tak terkecuali dengan klien. Maka akan sulit  jika kemudian ia harus
mengkomunikasikan pesan yang bersinggungan dengan seseorang yang memiliki
hubungan personal. Maka, dalam konteks ini bisa dipahami bahwa sejumlah
organisasi/perusahaan menerapkan larangan adanya kedekatan family diantara
karyawan.

5. Partisipasi Publik

Dilema konflik kepentingan juga muncul dari kenyataan bahwa praktisi komunikasi
juga bagian dari publik secara umum. Dengan demikian, ada interaksi antara dirinya
dengan masyarakat dimana ia berada.9

E. Media dan Konflik Kepentingan

9
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi..., h. 295-298.

4
Konflik kepentingan pada media terkait dua pihak, yakni penguasa dan
pengusaha. Media yang berafiliasi atau dimiliki oleh pengusaha atau pejabat tertentu
pasti memiliki konflik kepentingan, yakni apakah akan berpihak kepada publik
ataukah berpihak pada penguasa/pengusaha yang notabene sebagai pemilik. Jika
media massa dibiarkan menjadi aparatus kekuatan sosial-politik, maka seluruh materi
pelayanannya akan senantiasa harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan
berbagai interest politik dari politik yang bersangkutan. Akibatnya, keunggulan
media tersebut akan bersifat subordinated dengan pamrih politik. Padahal, antara
keduanya secara hakiki sangat berbeda.  Pelayanan media massa bersifat sosial,
bukan politik. Sebaliknya, pelayanan politik bersifat politik, bukan sosial. Bila
pelayanan media bersifat politik, maka muatan politik didalamnya hanyalah berfungsi
sebagai variabel  antara. Artinya, pembentukan atau perubahan kognisi, afeksi
maupun konasi politik lewat media massa, tidak dengan sendirinya terealisasi, kecuali
setelah melampaui berbagai proses sosial. Sebaliknya, jika media massa terperangkap
oleh kepentingan politik praktis, kinerjanya akan lebih bersifat monoton. Ini
disebabkan, karena terlalu dominannya misi politik, yang dipikulkan dipundak media.

Ashadi Siregar mengatakan bahwa keberadaan media massa perlu dilihat


dalam konteks epistemologis, dengan melihat jurnalisme sebagai suatu susunan
pengetahuan dalam menghadapi realitas sosial. Dengan adanya jurnalisme, maka
dikenal media jurnalisme yang dapat dibedakan dengan genre media massa lainnya.
Media massa jurnalisme mengutamakan informasi faktual berkonteks kehidupan
publik, berbeda dengan media massa hiburan yang mengutamakan informasi fiksional
berkonteks kehidupan privat.10

F. Pendekatan Terhadap Konflik Kepentingan

10
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi..., h. 298-299.

5
Menurut Spiegel ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan
konflik, yakni :

a. Berkompetisi,  tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan


kepentingan sendiri diatas kepentingan pihak lain. Pillihan tindakan ini bisa
sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat,
kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital.
Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan-bawahan, dimana atasan
menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) diatas kepentingan
bawahan.
b. Menghindari konflik, tindakan ini dlakukan jika salah satu pihak menghidari
dari situasi tersebut secara fisik maupun psikologis. Sifat tindakan ini
hanyalah menunda konflik yang terjadi. Menghindari konflik bisa dilakukan
jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana,
membekukan konflik sementara.
c. Akomodasi, yaitu jika mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan
sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Hal ini
dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita
ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan
antara kepentingan pribadi dan hubugan baik menjadi hal yang utama disini.
d. Kompromi, tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak merasa bahwa
kedua hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi utama.
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya.
e. Berkolaborasi, menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja
sama. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan
antarpribadi menjadi hal yang harus kita pertimbangkan.11

Louis Alvin Day, menyodorkan tiga pendekatan untuk mengatasi konflik


kepentingan, yakni :

11
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi..., h. 303-305

6
1. Penetapan tujuan sedemikian rupa sehingga konflik kepentingan bisa dicegah.
Konflik mesti dicegah dengan menjadikan tugas (duty based) sebagai koridor
tingkah laku praktisi komunikasi.
2. Jika konflik tidak dapat diantisipasi, setiap upaya hanya harus dikerahkan
untuk mengatasi konflik.
3. Jika konflik kepentingan tidak bisa dicegah, maka publik atau klien harus
mengetahui akan adanya konflik tersebut.

Karenanya, untuk mengantisispasi agar konflik tidak terjadi lagi, kita perlu
melakukan hal-hal sebagai berikut :

a) Introspeksi, yakni bagaimana kita biasanya menghadapi konflik, gaya apa saja
yang biasa digunakan, apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita.
b) Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi
kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka
atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik.
Kesempatan kita untuk suskses, dalam menangani konflik semakin besar jika
kita melihat konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
c) Identifikasi sumber konflik. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi
sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik.
d) Mengetahui pilihan penyesuaian atau penanganan konflik yang ada dan
memilih yang tepat.12

G. Definisi Budaya Populer

12
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi..., h. 305-306.

7
Istilah budaya populer (biasa disingkat sebagai budaya pop, atau dalam bahasa
Inggris popular culture atau disingkat pop culture) mengandung berdebatan oleh para
kritikus dan teoretisi budaya. Istilah budaya populer sendiri dalam bahasa Latin
merujuk secara harfiah pada “culture of the people” (budaya orang-orang atau
masyarakat).13 Budaya populer adalah budaya yang lahir atas keterkaitan dengan
media. Artinya, media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik
akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer
yang dibicarakan disini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media
massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen. 14 Dengan kata lain, budaya
populer lahir atas kehendak media (ideologi kapitalistik) dan perilaku konsumsi
masyarakat. Media berperan sebagai penyebar informasi yang mempopulerkan suatu
produk budaya. Akibatnya, apapun yang diproduksi oleh media akan diterima oleh
publik sebagai suatu nilai (budaya) bahkan menjadi kiblat panutan masyarakat.

H. Analisa Kasus

Pada bulan April lalu tahun 2019 Indonesia mengadakan Pemilu, dimana
mulai dari Presiden, DPR, DPRD, dan DPD. Pada Capres dan Cawapres ada dua
nama calon beserta wakilnya yang mengusungkan untuk menjadi Presiden Indonesia.
Mereka memilih nomor urut agar rakyat Indonesia lebih gampang mengingat mereka
dengan nomor. Pada paslon nomor urut 01 ada Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dan
paslon nomor urut 02 ada Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Untuk mendapatkan
dukungan dari rakyat agar mereka di pilih untuk menjadi Presiden Indonesia, mereka
melakukan kampanye. Kampanye yang mereka lakukan ini memicu terjadinya
konflik kepentingan dan pro kontra diantara rakyat Indonesia. Hal ini membuat
kondisi Indonesia memanas dan banyaknya konflik kepentingan antar kelompok.
Dimana pada saat mereka menyampaikan misi dan visi mereka kepada publik melalui
saluran media massa. Media berbondong-bondong menyiarkan iklan kampenye
tersebut. Salah satu saluran televisi yang menyajikan kampanye dalam pemilihan
13
Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2007),
h.23.
14
Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, (Yogyakarta:
Jejak,2007), h. 40.

8
Presiden 2019 ialah MNC Grup yaitu MNC TV dan Global TV. Dimana stasiun
swasta ini lebih sering mengiklankan kampanye paslon 01 yaitu Jokowi dan Ma’ruf
Amin daripada paslon 02. Akibat dari ini banyak argumen diantara kedua kelompok
pendukung tersebut. Mereka mengomentari berbagai narasi dengan saling menyerang
dalam menyikapi setiap tayangan politik yang datang. Bahkan tidak jarang, banyak
simpatisan kedua kubu yang mencoba menyebarkan berita hoaks untuk menjatuhkan
pihak lawan. Konflik diantara kedua pendukungpun semakin memanas ketika para
elit politik yang menjadi model mereka ikut pula memainkan berbagai drama politik
yang menyuluti aspek emosional mereka. Tidak sedikit elit politik yang
menggunakan kampanye hitam untuk menjatuhkan kubu lawannya serta memperkuat
dukungan pada basis kelompok loyalnya. Kampanye hitam yang sering didengungkan
oleh para politik dalam meraup suara elektoral adalah dengan menggunakan isu
sentimen agama. Isu ini dianggap ampuh dalam mengkalkulasi suara secara elektoral.

Tak hanya itu banyak juga stasiun TV menayangkan iklan politik pada stasiun
TV nya ketika Pemilu lalu, dimana mereka mengiklankan suatu Partai agar publik
memilih partai tersebut lewat iklan yang tayang di televisi tersebut. Dalam hal ini
pihak MNC Grup ataupun Media lainnya yang menyangkan sebuah iklan kampanye
tersebut mengakibatkan konflik kepentingan yaitu dimana sebuah stasiun televisi ini
mementingkan alokasi para pihak konglomerat (pemilik) stasiun pertelevisian kepada
pihak-pihak tersebut menggunakan televisi menjadi ajang untuk mengembangkan
perkonomian bahkan untuk sarana kampanye politik. Dalam penayangan sebuah
berita, pertelevisian juga memanfaakannya, banyak sekali berita-berita yang
disampaikan jauh dari kode dan sifat kejurnalisan, karena banyak berita yang
disampaikan pihak pertelevisian hanya condong kepada satu arah maksudnya pihak
pertelevisian disini tidak bersifat netral, sedangkan yang kita ketahui bahwa berita itu
harus bersifat netral. Karena sesungguhnya perletevisian atau media itu tidak hanya
memihak satu pihak saja, tetapi media harus bisa andil dalam menyebarkan berita.
Dan media juga tidak boleh memikirkan kepentingannya saja sehingga tontonan

9
masyarakat banyak mengandung kampanye politik yang mengakibatkan pada pola
pikir masyarakat dan mengakibatkan terjadinya konflik pada masyarakat tersebut.

Pada budaya populer yang terjadi di Indonesia adalah dimana budaya populer
menjadi kendaraan politik yang efektif bagi para politisi dalam meraup suara secara
elektoral. Para pelaku politik menggunakan budaya populer sebagai sarana untuk
meraih atensi dan memperoleh dukungan dari khalayak. Salah satunya adalah dengan
menggunakan jasa musik pop dan musik dangdut sebagai kendaraan politik mereka
pada setiap kampanyenya. Setiap kampanye politik, politisi selalu menggunakan jasa
musik dangdut dan artis-artis dangdut untuk menarik massa yang banyak ke dalam
kampanye. Tidak jarang juga para politisi pun ikut bernyanyi bersama para
pendukungnya walaupun suaranya sumbang sekalipun. Fenomena budaya populer
yang menjadi alat politik ini juga semakin menyeruak setelah para pelaku seni budaya
popular ini ikut terjun ke dalam dunia politik. Banyak artis yang mencalonkan diri
untuk terjun ke dalam dunia politik dengan modal popularitas sebagai pelaku seni
budaya populer seperti Mulan Jamila. Hal ini membuktikan bahwa budaya populer
mempunyai kekuatan yang luar biasa secara elektoral dalam mempengaruhi minat
masyarakat untuk memilih seseorang berdasarkan popularitasnya.

Para politisi juga kerapkali menjadi pusat perhatian publik bukan hanya
karena program-program politiknya, melainkan juga karena citra dan penampilannya
di muka umum. Penampilan merupakan faktor yang esensial dalam mengambil atensi
khalayak. Citra mereka ini akan senantiasa diekspos oleh pemberitaan media,
sehingga para politisi senantiasa mengedapankan pemolesan citra yang akan
membentuk siapa dirinya dimata publik. Bahkan tidak jarang mediapun juga turut
menyoroti kehidupan pribadi para politisi. Pemberitaan di media tidak lagi
mengedapankan tradisi esensi keseriusan semata, melainkan hal-hal yang bersifat
pribadipun juga ikut dieskplorasi oleh media. Sehingga dalam tataran praktisnya,
ranah pribadi seorang politisi mempunyai pengaruh secara elektoral.

10
KESIMPULAN

Konflik Kepentingan adalah kepentingan yang memiliki konsekuensi tertentu,


karena pada hakikatnya orang yang hanya sekedar berkomunikasi pun juga memiliki
kepentingan yaitu menjalin silahrurahim atau membangun sebuah hubungan baik
dengan orang lain. Dan orang yang berkomunikasi berarti ia memiliki kepentingan,
karena komunikasi identik dengan kepentinga sehingga komunikasi cenderung
membuka jalan terjadinya konflik kepentingan. Di jenis konflik kepentingan ada
empat yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar-individu
kelompok dan konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama.

Sumber dari konflik kepentingan sendiri yaitu hubungan yang menimbulkan


konflik, pemberian hadiah, checkbook journalism, hubungan personal dan pertisipasi
publik. Dalam media dan konflik kepentingan sangat berkaitan dimana, media ini bisa
memicu konflik kepentingan pada suatu isu tersebut. Seharusnya media memberikan
tayangan yang netral yang tidak memihak siapapun. Pendekatan terhadap konflik
kepentingan ada lima yaitu berkompetisi, menghindari konflik, akomodasi,
kompromi, dan berkolaborasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

M. Setiadi dan Usman Kolip, Elly. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Mufid, Muhammad. 2018. Etika dan Filsafat Komunikasi. Depok: Prenadamedia.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grapindo
Persada.
Kemdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Puspita, Weni. 2018. Manajeman Konflik (Suatu Pendekatan Psikologi, Komunikasi
dan Pendidikan). Yogyakarta: Deepublish.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur. Yogyakarta: LkiS.
Ibrahim. 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Yogyakarta: Jejak.

12

Anda mungkin juga menyukai