Disusun oleh:
Kelompok 6
1. Alfiananda Fahriansyah (223101002)
2. Hanifah Kurnia Dewi (223101011)
3. Imelda Ayu Vinantari (223101013)
4. Nadya Febi Kharisma (223101020)
Kami sadar bahwa masih ada kekurangan dan kesalahan dalam tulisan serta proses
penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon maaf sebesar-besarnya. Akhir kata,
semoga makalah yang sederhana ini dapat membawa manfaat serta pengetahuan bagi kita
semua.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian etika.
2. Mengetahui pengertian public relations secara umum.
3. Untuk mengetahui etika apa saja yang ada dalam kegiatan public relations.
4. Mengetahui prinsip-prinsip etika dalam public relations.
5. Mengetahui hubungan etika dengan citra (image) dalam public relations.
6. Perihal etiket serta hubungannya dengan public relations.
7. Etika dalam kegiatan public relations.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Pengertian etika (etimologi) berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu mos dan
dalam bentuk jamaknya mores, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari hal-
hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral hampir sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari -hari
terdapat perbedaan. Moral atau moralitas digunakan untuk penilaian perbuatan yang
dilakukan, sedangkan etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang
berlaku. Istilah lain yang identic dengan etika adalah sebagai berikut:
a. Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan dasar-dasar, prinsip, aturan hidup
(sila) yang lebih baik (su).
b. Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1962), etika ialah ilmu yang mempelajari segala
soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang
mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan
perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
Menurut Austin Fogothey, dalam bukunya Rights and Reason Ethic (1953),
etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat
sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan hukum.
Perbedaan terletak pada aspek keharusan. Etika berbeda dengan teologi moral karena
bersandar pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang
dilahirkan tenaga manusia sendiri. Etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang
praktis mengenai “kelakuan benar dan tidak benar” manusia dan dapat dimengerti
oleh akal murni.
Berkaitan dengan definisi atau pendapat para tokoh tersebut di atas tentang
etika, dapat ditarik suatu kesimpulan secara umum bahwa “etika merupakan
kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab”.
Pendapat lain berkaitan dengan etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui
oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku
sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.
Telah kita ketahui ciri hakiki manusia bukanlah dalam hal pengertian wujud
manusia (human being), melainkan proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan
yang menyangkut watak, sifat, perangai, kepribadian, tingkah laku dan lain-lain, serta
aspek-aspek yang menyangkut kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia (Soekotjo,
1993:102).
Menurut Soekotjo (1993), karena itu dalam konteks hubungan di Indonesia,
yang baik terlebih lagi sebagai insan PR, maka akan tampak betapa pentingnya faktor
etika. Disebut orang penting karena sebelum melaksanakan hubungan manusia, sikap
etis harus tercermin terlebih dahulu pada diri seorang humas yang profesinya banyak
menyangkut hubungan manusia.
Terlebih lagi sebagai manusia Indonesia, yang sifat paternalistiknya masih
tampak di mana-mana, sikap etis seorang pemimpin terhadap bawahannya menjadi
sangat penting karena seorang pemimpin harus mencerminkan sikap seorang panutan
yang akan disegani oleh bawahan dan rekan-rekan sekerjanya. Aturan pertama dan
pokok dari segala etika: Do what you want from others do to you?.
Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap etislah
yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang humas
harus menguasai etika-etika yang umum dan tidak umum antara lain:
1) Good communicator for internal and external public
2) Tidak terlepas dari faktor kejujuran (integrity) sebagai landasan utamanya
3) Memberikan kepada bawahan/karyawan adanya sense of belonging dan
sense of wanted pada perusahaannya (membuat mereka merasa
diakui/dibutuhkan)
4) Etika sehari-hari dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus tetap dijaga
5) Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan
kelompok yang berkepentingan
6) Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
7) Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat
memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana
8) Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya
9) Penuh dedikasi dalam profesinya
10) Menaati kode etik humas
Etika Kehumasan atau Etika Profesi Humas merupakan bagian dari bidang
etika khusus atau etika terapan yang menyangkut dimensi sosial, khususnya bidang
profesi (Etika Profesi Humas). Kegiatan Humas atau profesi Humas (Public Relations
Professional), baik secara kelembagaan atau dalam struktur organisasi (PR by
Function) maupun individual sebagai penyandang profesional Humas (PRO by
Professional) berfungsi untuk menghadapi dan mengantisipasi tantangan ke depan,
yaitu pergeseran system pemerintahan otokratik menuju sistem reformasi yang lebih
demokratik dalam era globalisasi yang ditandai dengan munculnya kebebasan pers,
mengeluarkan pendapat, opini dan berekspresi yang lebih terbuka, serta kemampuan
untuk berkompetitif dalam persaingan dan pasar bebas, khususnya di bidang jasa
teknologi informasi dan bisnis lainnya yang mampu menerobos (penetration) batas-
batas wilayah suatu Negara (borderless), dan sehingga dampaknya sulit dibendung
oleh negara lain sebagai target sasarannya.
Etika dalam industri PR juga dapat dikatakan dengan etika sosial. Etika sosial
adalah menyangkutkan hubungan manusia yang mempunyai sikap kritis terhadap
setiap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab
umat manusia terhadap lingkungan hidup. Dalam pengertian etika sosial ini juga
berkaitan dengan etika profesi, etika profesi adalah aturan-aturan yang berkaitan
dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga
banyak orang yang bekerja tetap dan sesuai, tetapi dengan keahlian saja yang
diperoleh dari pendidikan dan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi
perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan
antara teori dan penerapan dalam praktek.
Tuntutan profesional sangat erat dengan suatu kode etik setiap profesi. Kode
etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di
sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk
semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip etika pada umumnya yang
berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi profesional sejauh mereka adalah
manusia (Kerap, 1998:44).
Menurut Kerap, ada 4 prinsip etika profesi dalam Public Relation, yaitu :
1) Prinsip tanggung jawab adalah salah satu prinsip bagi kaum profesional.
Bahkan sedemikian pokoknya sehingga seakan tidak harus lagi
dikatakan. Karena, sebagaimana diuraikan di atas, orang yang profesional
sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab.
2) Prinsip kedua adalah prinsip keadilan.
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam
menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan tertentu,
khususnya orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya.
3) Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi.
Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan
profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya
menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan konsekuensi dari
hakikat profesi itu sendiri. Hanya saja prinsip otonomi ini punya batas-
batasnya juga.
4) Prinsip integritas moral.
Istilah etiket sebagai terjemahan dari bahasa Perancis etiquette secara harfiah
berarti peringatan, secara maknawi menurut The Random House Dictionary of The
English Language, berarti persyaratan konvensional mengenai perilaku sosial
(conventional requirements as to social behavior). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, etiket diartikan sebagai tata cara dalam masyarakat beradab dalam
memelihara hubungan baik antara sesama manusianya.
Definisi di atas menjelaskan bahwa etiket adalah peraturan, baik secara tidak
tertulis maupun tertulis, mengenai pergaulan hidup manusia dalam suatu masyarakat
yang beradab. Perkataan “beradab” menunjukkan bahwa seseorang merasa dirinya
beradab harus mengenal tata cara hidup dalam pergaulan dengan manusia lain.
Apabila ia tidak peduli akan etiket pergaulan, maka ia akan dinilai tidak beradab. Lalu
timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan beradab atau peradaban itu?
Peradaban atau sivilisasi (civilization), menurut kamus di atas berarti sebuah keadaan
masyarakat manusia yang maju yang telah mencapai taraf kebudayaan, ilmu
pengetahuan, industri, dan pemerintahan pada tingkat tinggi (an advance state of
human society, in which a high level of culture, science, industry, and government has
been reach).
Etiket berkaitan dengan tata cara pergaulan modern yang biasanya
dihubungkan dengan kehidupan bangsa barat yang memang telah mencapai taraf
kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan yang tinggi. Etiket dalam
hal tertentu berhubungan dengan etika, tetapi tidak selalu, sebab etika seperti telah
dijelaskan tadi berhubungan dengan penilaian benar atau salah dan baik atau buruk
yang dilakukan secara sengaja. Seorang yang berperilaku tidak etis dalam arti kata
tidak mempedulikan etika adalah menyinggung perasaan orang lain, kelompok lain,
atau bangsa lain, karena tindakannya dilakukan dengan sengaja. Seseorang yang tidak
tahu etiket tidak dapat dinilai tidak etis. Etiket berfungsi seseorang dinilai beradab
sebagaimana disinggung diatas. Demikianlah dalam pergaulan modern dikenal etiket
berpakaian, etiket makan, etiket minum, etiket bertamu, dan lain sebagainya.
Paparan di atas merupakan isyarat para pejabat humas betapa pentingnya etika
dan etiket bagi para pejabat humas dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, sebab
penampilannya menyangkut citra organisasi yang diwakilinya.
Kolonel William P. Nickols, Direktur Humas Angkatan Darat Amerika
Serikat, pernah menyajikan suatu ilustrasi yang sangat bagus kepada para tarunanya
mengenai pentingnya penjagaan citra organisasi yang menjadi tanggung jawab humas.
Dia berucap begini:
“ Humas adalah ibarat cermin yang Anda pegang di depan organisasi Anda,
sehingga Anda, organisasi yang Anda wakili, dan publik, dapat melihat segala sesuatu
yang tampak pada cermin tersebut. Jika cermin itu retak, kotor dan banyak goresan,
akan memantulkan gambaran atau citra yang rusak di wajah organisasi Anda yang
sebenarnya. Akan tetapi, apabila cermin itu bersih cemerlang akan memperlihatkan
wajah organisasi Anda yang sebenarnya pula, terang dan jelas. Misalkan pada wajah
organisasi Anda terdapat noda, apakah karena penampilan Anda, kebijaksanaan Anda,
atau kegiatan yang Anda lakukan, maka itu semua dengan mudah dapat menyentuh
perasaan publik Anda. Cermin yang cacat tidak akan dapat menunjukkan noda-noda
tadi. Dan Anda, demikian pula organisasi Anda dan publik Anda tidak akan
mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi. Sebaliknya cermin yang utuh
cemerlang akan membangkitkan perhatian untuk segera menghilangkan noda-noda
tersebut.”
Jadi humas diibaratkan cermin, dan yang bertugas memelihara dan
bertanggung jawab atas kebersihan itu adalah pejabat humas beserta staf yang
dipimpinnya dengan cara senantiasa menjaga etika dan etiket dalam pergaulan hidup
sehari-hari, baik dengan publik internal maupun eksternal.
Saran
DAFTAR PUSTAKA