Anda di halaman 1dari 28

KEPERAWATAN KOMPLEMENTER

MOOD MANAGEMENT

Dosen Pengampu :

Imroatul Farida, S.Kep., Ns., M.Kep., CWCS

Di susun Oleh :

Kelompok 9

Claudia Ayu 161.0022


Hanaz Rona A.Q.N 161.0040
Hernindya Diajeng 161.0042
Ika Tantia 161.0046
Mei Ayu Sari 161.0060

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATA HANG TUAH

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama untuk menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Mood Management”

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki kami. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Surabaya, 1 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Cover ................................................................................................................

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Daftar Isi .......................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................. 2
1.4 Manfaat ................................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4

2.1 Teori Manajemen Suasana Hati ........................................................... 4


2.2 Konsep Perasaan .................................................................................. 4
2.3 Asumsi dan Prediksi dasar ................................................................... 6
2.4 Bukti Empiris ....................................................................................... 9
2.5 Ekstensi Teoritis................................................................................... 15

BAB 3 PENUTUP ........................................................................................... 23

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 23


3.2 Saran .................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Emosi sangat mendukung dalam kehidupan, apakah itu emosi positif atau emosi
negatif. Pentingya individu mengelola emosi dalam kehidupan karena seseorang yang
cakap secara emosi akan mampu mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri
dengan baik, kecakapan mengelola emosi akan mempunyai andil yang lebih besar
dalam kesuksesan seseorang lebih dari mengandalkan kecerdasan interlektual.
Hubungan personal membutuhkan pengelolaan emosi yang baik, pengelolaan emosi
disini menyangkut bagaimana individu mampu memahami perasaan orang lain dan
mampu mengatur diri sendiri sehingga bisa menempatkan diri dalam posisi yang tepat
dan bersikap baik terhadap diri sendiri dan orang lain.
Menurut Walton (Islamia, 2005) masalah-masalah yang menjadi sumber
konflik dapat bersifat emosional, yaitu yang berkaitan dengan perasaan seperti
kemarahan, ejekan, penolakan, atau perasaan takut. Individu yang stabil emosinya tentu
dapat mengendalikan emosinya dengan efektif dan mampu mengontrol emosi serta
mampu menyeimbangkan perasaan negatif dalam dirinya. Individu juga dapat
mengelola emosinya lebih obyektif dan realistis dalam menganalisis permasalahannya.
Kemampuan menganalisis permasalahan secara obyektif dan realistis ini akan
mendorong individu mampu menyelesaikan dengan baik. Sebaliknya, individu yang
memiliki kestabilan emosi yang rendah, tidak terampil dalam mengelola emosinya
sehingga permasalahan yang sedang dihadapi tidak mampu dipecahkan secara efektif.
Menghadapi semua situasi yang menekan dan meminimalisasi dampak
negatifnya secara psikologis, individu membutuhkan kemampuan untuk mengelola
emosi secara efektif. Hal ini didasarkan bahwa stres dan stresor tidak bisa hindari. Hal
yang bisa lakukan untuk meminimalisasi dampak dari stres adalah dengan mengelola
emosi secara konstruktif dan efektif. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
mengelola emosi dengan relaksasi, tujuannya adalah untuk menurunkan tingkat
ketegangan psikis dan fisiologi akibat stresor yang menekan dan menggantikannya
dengan keadaan santai dan tenang.
Shapiro (dalam Safaria dan Saputra 2009) menegaskan bahwa individu yang
memiliki kemampuan mengendalikan emosi, maka akan lebih cakap menangani
ketegangan emosi, karena kemampuan pengendalian emosi ini akan mendukung

1
individu menghadapi dan memecahkan konflik interpersonal dan kehidupan secara
efektif. Individu dalam keadaan stabil emosinya akan cenderung berada dalam kondisi
bahagia, dan lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupan yang menekan.
Menjaga agar emosi tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan
emosi. Emosi yang berlebihan dengan intensitas yang terlampau tinggi atau untuk
waktu yang terlalu lama akan mengoyak kestabilan individu. Salah satu kemampuan
untuk mestabilkan emosi adalah kemampuan menghibur diri maupun relaksasi, dengan
menghibur diri dan relaksasi maka emosi negatif akan dapat ditekan atau mengurangi
rasa sedih, marah, atau kecewa (Suryanto, 2008).
Hude (2006) menegaskan bahwa mekanisme tubuh manusia mengharuskan
adanya relaksasi ketika kegiatan fisik dan mental melebihi ukuran biasanya. Orang
yang kelelahan sehabis olah raga memerlukan relaksasi untuk mengembalikan kondisi
tubuh pada posisi normal, demikian juga degan orang yang mengalami ketegangan
emosional, perlu relaksasi karena sebagai kendali kestabilan emosional dalam diri,yang
berperan dalam relaksasi adalah saraf parasintetis dengan pola respon relaksasi, yaitu
serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang membangkitkan keadaan menenangkan dan
puas sehingga mempermudah kerja sama.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ada keefektifan Mood Management dalam terapi komplementer?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis kefektifan Mood Management dalam terapi komplementer
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Mood Management

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan dengan terapi mood dapat menjadikan terapi alternatif pada
seluruh pasien.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Institusi

2
Hasil Penelitian Ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi institusi untuk
memperdalam ilmu keperawatan komplementer terlebih pada terapi mood management
2. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pada masyarakat tentang terapi mood
management
3. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi teman sejawat agar dapat
mengembangkan intervensi keperawatan komplementer khususnya pada terapi mood
management

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Manajemen Suasana Hati


Teori manajemen suasana hati (Zillmann, 1988a, b) termasuk dalam kelompok
pendekatan teoretis yang lebih besar yang membahas paparan selektif terhadap konten
media dan mengusulkan bahwa pemilihan rangsangan media didorong oleh motivasi
hedonistik. Berbeda dengan pendekatan teoretis lain yang menjelaskan pilihan media
berdasarkan disposisi yang relatif stabil, seperti kebiasaan atau kepuasan yang dicari
akibat perbedaan individu dalam karakteristik kepribadian, teori manajemen suasana
hati berpendapat bahwa paparan selektif terhadap pesan media adalah fungsi dari
keadaan afektif saat ini. pengguna media dan mengikuti prinsip optimasi mood.
(Reinecke, 2017)
2.2 Konsep Perasaan
Perasaan adalah suatu pernyataan jiwa, yang sedikit banyak bersifat subjektif,
untuk merasakan senang atau tidak senang dan yang tidak bergantung kepada
perangsang dan alat-alat indra. Sedangkan menurut Hukstra, perasaan adalah suatu
fungsi jiwa yang dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut rasa senang
dan tidak senang. Perasaan merupakan suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang
karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan positif dan negatif (Uin,
2017)
Sementara menurut Koentjaraningrat, perasaan adalah suatu keadaan dalam
kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan
positif dan negatif. Selain itu dalam pandangan Dirganusa, perasaan (feeling)
mempunyai dua arti. Ditinjau secara fisiologis, perasaan adalah penginderaan, sehingga
merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Dalam
psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai, yaitu penilaian terhadap sesuatu hal.
Makna penilaian ini tampak misalnya “Saya rasa nanti sore hari akan hujan”. Perasaan
selalu bersifat subjektif karena ada unsur penilaian tadi biasanya menimbulkan suatu
kehendak dalam kesadaran seseorang individu. Kehendak itu bisa positif artinya
individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasakannya suatu yang memberikan
kenikmatan kepadanya, atau juga bisa negatif artinya ia hendak menghindari hal yang
dirasakannya sebagai hal yang akan membawa perasaan tidak nikmat kepadanya (Uin,
2017)

4
Dalam mempelajari perasaan, hal ini tampak pada pembagian perasaan yang
dilakukan oleh para ahli. Menurut Bigot dkk. (1950) dalam Sumadi Suryabrata
membagi perasaan menjadi dua golongan, yaitu: (1) Perasaan rendah (Jasmaniah)
meliputi perasaan indriah, yaitu perasaan yang berhubungan dengan penginderaan,
misalnya: rasa panas, dingin dan sakit, dan perasaan vital, yaitu perasaan yang
berhubungan dengan keadaan tubuh misalnya : rasa lesu, segar; (2) Perasaan luhur
(rohaniah) yang meliputi perasaan intelektual, perasaan kesusilaan, perasaan
keindahan, perasaan sosial, perasaan harga diri, perasaan keagamaan. W. Stren
mengadakan pembagian perasaan sebagai berikut: pertama, perasaan yang
bersangkutan dengan masa kini, misalnya perasaan senang yang diperlihatkan masa
sekarang dalam hubungan dengan rangsangan-rangsangan yang dialami pada waktu
sekarang juga. Kedua, perasaan yang bersangkutan dengan masa lampau, misalnya
perasaan senang pada waktu sekarang yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa di masa
lampau. Ketiga, perasaan yang bersangkutan dengan masa yang akan datang, misalnya
perasaan senang sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang akan datang (Uin, 2017)
Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata, membagi rumpun perasaan sebagai
berikut: Perasaan indriah, terdiri atas perasaan keinderaan (sensoris), perasaan yang
timbul waktu indera kita menerima rangsangan. Perasaan vital (kehidupan), ialah
perasaan yang bergantung kepada keadaan tubuh kita sesewaktu, misalnya merasa
senang sekali karena sehat. Perasaan tanggapan, ialah perasaan yang mengiringi apabila
kita menanggap sesuatu atau keadaan, misalnya seorang prajurit masih merasa senang
sekali kalau ia ingat betapa sangsaka berkibar dengan megahnya. Perasaan insting, ialah
perasaan yang mengiringi sesuatu insting yang sedang timbul, misalnya kita akan
merasa senang, kalau pada saat makan, di meja makan selalu tersedia hidangan yang
berganti-gantian (Uin, 2017)
Perasaan luhur (rohani) terdiri atas: Perasaan keindahan, ada dua macam:
perasaan keindahan negatif, ialah perasaan yang timbul kalau kita mengindera sesuatu
yang buruk. Perasaan keindahan yang positif, ialah perasaan keindahan yang timbul
kalau kita mengindera sesuatu yang baik. Perasaan intelek, ialah perasaan yang timbul
sebagai akibat dari hasil intelek, misalnya kalau kita dapat memecahkan sesuatu yang
sulit, timbul rasa senang dan sebaliknya. Perasaan kesusilaan, ialah perasaan yang
timbul karena indera kita menerima perangsang susila atau jahat. Perasaan ketuhanan,
ialah perasaan yang timbul dalam mengetahui adanya Tuhan. Misalnya orang akan
merasa bahagia kalau ia merasa bahwa Tuhan selalu melindungi dan dekat padanya.

5
Perasaan diri, ini ada dua macam : positif dan negatif. Perasaan diri positif adalah
perasaan yang timbul bila ia dapat berbuat sama atau lebih dari orang lain. Perasaan diri
negatif adalah perasaan yang timbul kalau tidak dapat berbuat seperti atau mendekati
orang lain. Perasaan simpati, ialah perasaan yang timbul karena orang lain mengalami
rasa senang atau tidak senang. Perasaan sosial, ialah perasaan yang timbul karena
melihat keadaan masyarakat.Perasaan-perasaan tersebut terdapat dalam diri setiap
manusia. Manusia yang mempunyai kemampuan mengolah perasaannya tidak akan
menimbulkan reaksi negatif, sedangkan jika perasaan dibiarkan tanpa ada pengelolaan
akan berakibat menimbulkan emosi. Karena emosi akan menimbulkan gejolak suasana
hati. Hati yang baik, maka muncul emosi positif. Sebaliknya hati lagi jelek, maka
muncul emosi negatif (Uin, 2017)
2.3 Asumsi dan Prediksi Dasar
Teori manajemen suasana hati, awalnya disebut sebagai teori pengaturan
stimulus yang tergantung pada pengaruh (Zillmann & Bryant, 1985), didirikan pada
asumsi dasar bahwa individu termotivasi untuk mengakhiri atau meringankan keadaan
afektif negatif dan untuk mempertahankan dan mengintensifkan pengaruh positif.
Untuk melayani tujuan hedonistik ini, individu mengatur ulang lingkungan stimulus
mereka dengan cara yang membantu mereka dalam optimalisasi suasana hati melalui
memaksimalkan pengaruh positif dan meminimalkan keadaan suasana hati
permusuhan.(Reinecke, 2017)
Paparan media hanyalah satu di antara banyak pilihan pengaturan stimulus,
namun sangat efisien. Sementara cara tradisional pengaturan rangsangan sering
membutuhkan usaha yang cukup besar, seperti perubahan lokasi (misalnya, berjalan-
jalan), atau aktivitas energi dalam kegiatan yang mengangkat (misalnya, bermain sepak
bola bersama teman), paparan media menawarkan peluang pengaturan stimulus
simbolis melalui representasi mediasi dari lingkungan, narasi, atau interaksi sosial.
Mengingat hampir semua ketersediaan media yang tersedia di mana-mana, penataan
ulang stimulus saat ini lebih mudah tersedia daripada sebelumnya. Menurut teori
manajemen suasana hati, kita belajar untuk menavigasi melalui lingkungan stimulus ini
dengan cara yang paling sesuai dengan kebutuhan hedonis kita melalui pembelajaran
operan. Awalnya, pemilihan stimulus terjadi secara acak dan independen dari kondisi
suasana hati kita sa at ini. Pilihan, bagaimanapun, yang secara kebetulan dibuat selama
keadaan suasana hati negatif dan yang berhasil mengakhiri atau nada dilakukan keadaan
berbahaya ini diperkuat secara negatif dan dengan demikian akan diberlakukan dengan

6
probabilitas yang lebih tinggi dalam situasi yang sama di masa depan. Secara analog,
paparan stimulus yang berhasil mempertahankan atau mengintensifkan suasana hati
yang baik diperkuat secara positif, sehingga meningkatkan kemungkinan pemilihan
stimulus serupa di masa depan. (Reinecke, 2017)
Berbeda dengan teori-teori pilihan media lainnya, seperti pendekatan
penggunaan dan kepuasan, yang mengusulkan bahwa pemilihan konten media adalah
proses pengambilan keputusan yang rasional dan sadar, teori manajemen suasana hati
mengasumsikan bahwa pengguna media mungkin tetapi tidak harus harus menyadari
proses motivasi yang mendorong paparan selektif mereka terhadap konten media.
Karena teori ini didasarkan pada mekanisme pembelajaran operan, teori ini tidak
memerlukan asumsi pilihan media yang disengaja. Sementara pengguna media
mungkin mengenali motivasi hedonis mereka dalam beberapa situasi, paparan media
mereka mungkin kurang disengaja dan lebih intuitif dalam banyak situasi lainnya
(Reinecke, 2017).
Prasyarat yang diperlukan untuk proses pembelajaran yang diusulkan dalam
teori manajemen suasana hati adalah kemungkinan antara karakteristik pesan dan
modifikasi suasana hati yang berlaku. Preferensi konten spesifik mood hanya dapat
berkembang jika jenis dan genre pesan yang berbeda memiliki efek yang dapat
diandalkan dan dapat diprediksi pada suasana hati. Jika semua rangsangan media
memiliki kualitas yang mengubah suasana hati yang sama atau jika efek konten media
terhadap suasana hati bervariasi secara acak, tidak ada preferensi stabil dan kongruen-
suasana hati yang dapat muncul. Dengan demikian, penelitian sebelumnya tentang
manajemen suasana hati telah membuat prediksi konkret pada karakteristik yang
mempengaruhi suasana hati dari rangsangan media dan pola seleksi moodcongruent
yang sesuai. Teori manajemen suasana hati berfokus pada empat dimensi berbeda yang
menjadi ciri pesan media dalam hal efek perubahan suasana hati mereka (Zillmann,
1988a, b):
1. Potensi bersemangat
Dimensi pertama yang dibahas dalam teori manajemen suasana hati mengacu
pada efek pesan media pada tingkat gairah pengguna media. Sedangkan
rangsangan media yang tenang dan santai (mis., Film alam atau musik lambat)
mengurangi tingkat gairah, paparan bentuk konten media lainnya (misalnya,
film aksi, atau konten erotis) menyebabkan peningkatan gairah.
2. Potensi penyerapan

7
Faktor penting kedua yang mempengaruhi potensi perubahan suasana hati dari
pesan media adalah kemampuan mereka untuk menangkap perhatian pengguna
media dan dengan demikian untuk menekan elaborasi kognitif yang memelihara
dan memelihara rumor tentang asal-usul keadaan mood yang diberikan. Pesan
media yang sangat menyerap memiliki potensi intervensi yang lebih tinggi dan
dengan demikian lebih kuat mengalihkan pengguna media dari sumber status
afektif mereka saat ini, menghasilkan perubahan suasana hati yang lebih efektif
daripada pesan yang kurang menyerap.
3. Afinitas semantik
Dimensi lebih lanjut yang sangat terkait dengan gangguan dari mood saat ini
adalah tumpang tindih antara konten media dan status afektif pengguna media
saat ini. Pesan media yang berisi referensi kuat ke suasana hati saat ini kurang
efektif dalam mengubah keadaan afektif yang berlaku daripada yang
menunjukkan afinitas semantik rendah dengan suasana hati saat ini.
4. Hedonic valence
Karakter media yang mengubah suasana hati terakhir mengacu pada nada umum
positif versus negatif dari konten media. Pesan dengan valensi hedonis positif
(mis., Program komedi) lebih efektif dalam mengakhiri permusuhan dan
mempertahankan suasana hati yang menyenangkan daripada pesan dengan
valensi afektif negatif (mis., Penggambaran sedih dan tragis dalam drama).
Teori manajemen suasana hati memprediksi bahwa pengguna media
menunjukkan preferensi spesifik untuk pesan media dengan kombinasi berbeda dari
karakteristik yang mengubah suasana hati ini sebagai fungsi dari keadaan afektif
mereka saat ini. Karena pengaturan stimulus dipandu oleh tujuan untuk meminimalkan
negatif dan untuk memaksimalkan suasana hati yang positif, pengguna media harus
secara selektif memaparkan diri mereka pada pesan-pesan seperti itu yang paling sesuai
dengan kebutuhan optimisasi suasana hati pengguna saat ini (Reinecke, 2017)
Satu set pertama hipotesis teori manajemen suasana hati mengacu pada
pengelolaan komponen gairah (rous Gairah / Aktivasi) dari keadaan afektif saat ini.
Karena keduanya kurang stimulasi (mis., Kebosanan) serta stimulasi berlebih (stres,
kecemasan) dianggap sebagai keadaan yang tidak menyenangkan, pemilihan
rangsangan media harus dipandu oleh tujuan homeostasis rangsang untuk mencapai
keadaan gairah yang lebih seimbang. Dengan demikian, teori manajemen suasana hati
memprediksi bahwa individu yang terlalu bersemangat akan menunjukkan preferensi

8
untuk konten media dengan potensi rangsangan rendah sedangkan pengguna media
yang kurang terstimulasi harus memilih pesan dengan potensi rangsangan tinggi
(Reinecke, 2017).
Hipotesis yang tersisa mengacu pada efek suasana hati positif versus negatif
pada preferensi untuk rangsangan media dengan berbagai tingkat potensi intervensi,
afinitas semantik, dan valensi hedonis. Individu yang menderita keadaan afektif negatif
harus secara khusus termotivasi untuk mengubah suasana hati mereka saat ini. Karena
rangsangan media dengan potensi penyerapan tinggi dan afinitas semantik rendah
dengan keadaan mood saat ini paling menjanjikan dalam hal gangguan dari pengaruh
yang berlaku, mereka harus disukai oleh pengguna media dalam keadaan permusuhan
daripada rangsangan media yang kurang menyerap dan konten media yang
menunjukkan koneksi yang kuat dengan suasana hati saat ini. Individu dalam keadaan
suasana hati yang negatif juga harus menunjukkan preferensi untuk konten media
dengan valensi afektif positif daripada pesan negatif yang akan mengintensifkan
daripada menghentikan suasana hati yang buruk. Individu yang mengalami suasana hati
positif harus secara selektif memaparkan diri mereka pada rangsangan media yang
memberikan gangguan minimal dari pengaruh mereka yang berlaku. Individu-individu
ini dengan demikian harus menahan diri dari penggunaan media sama sekali atau
memilih rangsangan media dengan potensi penyerapan rendah dan afinitas semantik
tinggi. Selain itu, karena mereka sudah dalam keadaan yang menyenangkan, preferensi
mereka untuk konten media dengan valensi positif harus kurang diucapkan daripada
untuk individu di negara-negara yang tidak suka (Zillmann, 1988a, b).
2.4 Bukti empiris
Asumsi dasar teori manajemen suasana hati telah diuji dalam berbagai
penelitian selama tiga dekade terakhir. Karena teori ini mengasumsikan bahwa
pengguna media sering tidak menyadari proses dan motivasi yang memandu pilihan
media mereka, sebagian besar studi dalam tradisi penelitian ini telah menggunakan
desain eksperimental daripada langkah-langkah laporan diri. Biasanya, peserta pertama
kali dihadapkan dengan induksi suasana hati, menghasilkan keadaan afektif positif,
negatif, atau netral, dan kemudian diberi kesempatan untuk memilih dari serangkaian
stimuli media yang telah diuji secara sistematis dengan berbagai variasi dalam kualitas
pengubah suasana hati mereka (misalnya , Knobloch & Zillmann, 2002). Pola paparan
selektif yang dihasilkan dari induksi suasana hati sebelumnya kemudian dinilai secara
tidak mencolok. Sementara desain eksperimental mendominasi penelitian manajemen

9
suasana hati, metode empiris lainnya, seperti studi buku harian (misalnya, Anderson,
Collins, Schmitt, & Smith Jacobvitz, 1996) atau survei (misalnya, Meadowcroft &
Zillmann, 1987) juga telah diterapkan untuk menguji dasar asumsi dan prediksi teori.
Sementara bukti empiris yang ada memberikan dukungan substansial untuk gagasan
umum bahwa paparan selektif terhadap konten media bervariasi sebagai fungsi dari
keadaan afektif situasional, beberapa prediksi yang lebih spesifik dari teori manajemen
suasana hati telah menghasilkan hasil yang beragam dan hanya menerima dukungan
parsial (Reinecke, 2017)
2.3.1 Potensi Bersemangat dan Peraturan Gairah
Manajemen suasana hati mengidentifikasi keadaan gairah saat ini
sebagai prediktor sentral dari paparan selektif terhadap konten media. Penelitian
sebelumnya dengan jelas menunjukkan bahwa pilihan media mencerminkan
dengan baik tujuan homeostasis rangsang dengan individu yang terlalu
terstimulasi mencari relaksasi dan individu yang kurang terstimulasi lebih
memilih konten media yang aktif dan menarik. Dalam sebuah studi mani pada
regulasi gairah melalui paparan selektif, Bryant dan Zillmann (1984)
menginduksi keadaan stimulasi berlebih dan kurang dengan memaparkan
partisipan mereka pada membosankan (memasukkan ring ke renda)
dibandingkan tugas yang menegangkan (menyelesaikan pertanyaan ujian di
bawah tekanan waktu) . Setelah induksi gairah, peserta seolah-olah menunggu
dimulainya studi kedua. Selama masa tunggu 15 menit ini, mereka memiliki
kesempatan untuk memilih di antara enam program TV. Dalam pra-tes, tiga
program ini dinilai santai (mis., Pemandangan alam bawah laut) dan tiga
sebagai konten yang mengasyikkan (mis., Drama petualangan yang penuh aksi).
Pilihan program dan waktu pemaparan untuk bersantai dibandingkan konten
yang menarik diukur dengan tidak mencolok. Temuan ini jelas mendukung
prediksi teori manajemen suasana hati: Seperti yang diharapkan, peserta yang
stres memilih program relaksasi yang lebih signifikan daripada peserta yang
bosan, yang pada gilirannya, menunjukkan preferensi yang jauh lebih kuat
untuk program yang menarik. Selain itu, temuan ini juga menunjukkan bahwa
mayoritas peserta yang telah memilih program TV sesuai dengan prediksi teori
manajemen suasana hati berhasil mencapai homeostasis rangsang. Tingkat
gairah peserta yang kurang berkembang secara signifikan meningkat setelah
paparan konten yang menarik. Untuk peserta yang stres, paparan konten TV

10
mengakibatkan penurunan gairah terlepas dari pilihan program mereka. Jelas,
tingkat gairah yang dihasilkan dari tugas yang memicu stres melebihi tingkat
gairah yang dihasilkan dari paparan ke salah satu dari enam rangsangan TV.
Akibatnya, dibandingkan dengan keadaan mereka saat ini stimulasi berlebih,
semua enam program TV menawarkan bantuan melalui relaksasi. Dukungan
empiris untuk paparan selektif sebagai fungsi stres dan gairah juga berasal dari
penelitian lapangan non-eksperimental. Anderson et al. (1996) meneliti dampak
peristiwa kehidupan yang penuh tekanan pada paparan TV di 329 keluarga di
AS. Hasilnya mengungkapkan hubungan positif antara stres dan paparan
terhadap program komedi. Berdasarkan asumsi bahwa komedi memiliki efek
relaksasi dan semangat, hasil ini jelas mendukung prediksi teori manajemen
suasana hati (Reinecke, 2017)
2.3.2 Optimasi Mood melalui Paparan Selektif
Sejumlah penelitian telah membahas hubungan antara paparan selektif
terhadap konten media dan perubahan suasana hati. Namun, temuan penelitian
ini tidak melukiskan gambaran yang jelas tentang optimalisasi suasana hati
melalui pilihan media. Faktor penting yang merumitkan penelitian tentang
preferensi konten mood-kongruen adalah kenyataan bahwa berbagai
karakteristik stimuli media yang mengubah suasana hati sangat dikacaukan
(Zillmann, 1988b). Pesan media yang sangat membangkitkan gairah, misalnya,
juga cenderung memiliki potensi penyerapan yang tinggi. Koneksi semacam itu
di antara karakteristik konten membuat tes yang ketat dari peran individu
mereka dalam paparan selektif mood-kongruen sulit atau bahkan tidak mungkin
(Reinecke, 2017)
Sejumlah penelitian mendukung asumsi umum teori manajemen
suasana hati bahwa paparan selektif didorong oleh optimisasi suasana hati.
Dalam sebuah percobaan dari Knobloch dan Zillmann (2002) yang menguji
paparan selektif terhadap musik sebagai fungsi dari suasana hati saat ini, para
peserta pertama-tama secara acak ditugaskan ke salah satu dari tiga kondisi
eksperimental yang menginduksi keadaan suasana hati positif, negatif, atau
netral. Dalam bagian kedua dari studi yang tampaknya tidak berhubungan, para
peserta dapat dengan bebas memilih di antara serangkaian delapan rangsangan
musik yang berbeda yang telah dinilai pada dua dimensi energi dan
kegembiraan dalam pretest. Pilihan musik dan waktu paparan peserta dilacak

11
secara diam-diam selama 10 menit. Sesuai dengan prediksi teori manajemen
suasana hati, peserta dalam kondisi suasana hati yang buruk menghabiskan
lebih banyak waktu secara signifikan mendengarkan musik yang energik dan
menyenangkan daripada peserta dalam kondisi suasana hati positif. Keadaan
afektif negatif kemudian mengarah pada preferensi untuk stimuli media dengan
valensi afektif positif dan potensi gangguan tinggi, mendukung asumsi teori
manajemen suasana hati. Setelah periode mendengarkan musik, peserta dalam
tiga kondisi eksperimental tidak lagi berbeda secara signifikan mengenai
keadaan mood mereka, yang menggarisbawahi efektivitas preferensi konten
mood-congruent yang diamati dalam hal optimasi mood. Dukungan lebih lanjut
untuk peningkatan suasana hati melalui paparan selektif terhadap konten media
dengan valensi afektif positif disediakan oleh data korelasional. Dalam sebuah
studi survei, Meadowcroft dan Zillmann (1987) mengeksplorasi efek dari siklus
menstruasi pada preferensi TV wanita. Studi ini didasarkan pada asumsi bahwa,
karena variasi dalam konsentrasi hormon, wanita pra-menstruasi dan menstruasi
akan lebih tertekan dan akibatnya akan menunjukkan preferensi yang lebih kuat
untuk konten media dengan valensi afektif positif yang berjanji untuk
mengurangi suasana hati mereka daripada wanita di pertengahan jalan melalui
siklus menstruasi. Data mendukung asumsi ini dan mengungkapkan bahwa
preferensi peserta untuk program komedi mencapai puncaknya sebelum dan
selama menstruasi. Pola eksposur yang tidak selaras juga telah ditemukan
sehubungan dengan afinitas semantik dari pesan-pesan media. Dalam
percobaan oleh Zillmann, Hezel, dan Medoff (1980), peserta dihadapkan
dengan manipulasi induksi suasana hati dan kemudian diizinkan untuk
menonton televisi dan memilih di antara program TV yang menampilkan
drama, pertunjukan game, dan komedi situasional. Bertentangan dengan
harapan penulis, peserta dalam kondisi suasana hati yang buruk tidak
menunjukkan preferensi untuk program komedi. Pola hasil ini tampaknya
sangat kontras dengan asumsi manajemen suasana hati yang akan menyarankan
preferensi individu dalam keadaan afektif permusuhan untuk stimuli media
dengan valensi hedonis positif yang harus paling efektif dalam mengakhiri
suasana hati yang buruk. Namun, penulis menyarankan interpretasi data yang
berbeda: Sebagai bagian dari manipulasi induksi suasana hati, peserta dalam
kondisi suasana hati yang buruk menerima umpan balik kinerja negatif dan

12
mengolok-olok komentar dari eksperimen. Karena program komedi yang
digunakan dalam percobaan sebagian besar menampilkan bentuk-bentuk humor
bermusuhan yang menggambarkan kegagalan dan meremehkan protagonis,
program-program ini menunjukkan afinitas semantik yang tinggi dengan
keadaan mood peserta yang berlaku. Baru saja mengalami kegagalan dan
mengolok-olok diri mereka sendiri, paparan terhadap fitnah orang lain
tampaknya tidak menawarkan bantuan afektif bagi para peserta dalam kondisi
suasana hati yang buruk. Asumsi ini diverifikasi dalam studi tindak lanjut yang
juga dilaporkan oleh Zillmann et al. (1980). Dalam tugas induksi suasana hati
awal, peserta ditempatkan dalam suasana hati yang buruk baik oleh frustrasi
atau oleh frustrasi dan provokasi. Selanjutnya, paparan selektif mereka untuk
komedi sarat ejekan atau non-bermusuhan diamati. Dalam keadaan ini, komedi
bermusuhan menunjukkan afinitas semantik tinggi untuk peserta yang
terprovokasi yang karenanya harus menghindari konten tersebut sedangkan
individu yang frustrasi harus menunjukkan preferensi yang kuat untuk kedua
jenis komedi. Hasilnya mendukung asumsi ini dan menunjukkan bahwa peserta
yang terprovokasi menghindari komedi yang bermusuhan sedangkan peserta
yang frustrasi menunjukkan preferensi yang lebih kuat untuk jenis humor ini.
Temuan ini mendukung asumsi teori manajemen suasana hati yang berkaitan
dengan paparan selektif sebagai fungsi afinitas semantik dan menggarisbawahi
kebutuhan untuk membuat perbedaan halus antara berbagai bentuk suasana hati
(misalnya, frustrasi vs provokasi) dan potensi representasi mereka dalam konten
media ( misal, komedi permusuhan vs non-permusuhan) (Reinecke, 2017).
Hasil yang disebutkan di atas yang mendukung proposisi dasar teori
manajemen suasana hati dikontraskan dengan penelitian lain yang menyebut
validitas dan generalisasi dari beberapa prediksi teori menjadi pertanyaan.
Biswas, Riffe dan Zillmann (1994) meneliti paparan selektif terhadap berita
sebagai fungsi dari suasana hati yang berlaku. Setelah induksi suasana hati awal,
peserta bebas memilih di antara 12 artikel majalah. Enam dari berita ini
digolongkan sebagai kabar baik dan enam sebagai berita buruk dalam pretest.
Hasil percobaan mengungkapkan perbedaan gender yang mencolok. Pola
paparan selektif yang ditunjukkan oleh peserta perempuan dalam penelitian
memberikan dukungan untuk prediksi teori manajemen suasana hati. Seperti
yang diharapkan, berdasarkan alasan optimisasi suasana hati, peserta

13
perempuan yang telah dimasukkan ke dalam suasana hati yang buruk memilih
berita yang secara signifikan lebih buruk daripada peserta perempuan dalam
kondisi suasana hati positif. Peserta laki-laki, bagaimanapun, tidak
menunjukkan pola paparan mood-kongruen yang signifikan. Akibatnya, hasil
percobaan oleh Biswas et al. (1994) hanya memberikan dukungan parsial
terhadap asumsi bahwa suasana hati negatif harus dikaitkan dengan preferensi
yang lebih kuat untuk stimuli media dengan valensi afektif positif dan
menunjukkan bahwa paparan selektif kongruen selektif tergantung pada
perbedaan gender. Hasil yang bertentangan juga ada sehubungan dengan
paparan mood-kongruen untuk konten media dengan afinitas semantik tinggi
versus rendah. Sejumlah penelitian telah membahas paparan musik yang
meratapi cinta sebagai fungsi kebahagiaan romantis (mis., Knobloch,
Weismann, & Zillmann, 2004).
Berlawanan dengan ekspektasi teori manajemen suasana hati yang akan
menyarankan bahwa orang-orang lovelorn atau putus asa romantis harus
menghindari lagu-lagu cinta sedih karena afinitas semantik tinggi mereka
dengan suasana hati berbahaya saat ini, hasil studi ini menunjuk ke arah yang
berlawanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak
bahagia secara romantis tertarik pada dan bukannya ditolak oleh lagu-lagu cinta
yang sedih, menunjukkan bahwa orang-orang dalam keadaan afektif negatif
tidak selalu menghindari konten media dengan afinitas semantik tinggi. Selain
hasil individu yang berbeda dengan prediksi spesifik teori manajemen suasana
hati, gagasan dasar optimasi suasana hati sebagai prediktor inti dari paparan
media menghadapi tantangan yang lebih mendasar. Banyak rangsangan media
menampilkan penggambaran kemalangan, penderitaan, kekerasan, konflik, dan
kompleksitas kondisi manusia daripada memberikan bentuk hiburan media
yang menggembirakan, menyenangkan, dan secara eksklusif positif. Paparan
genre seperti drama, seri kriminal, film horor, atau pembuat air mata tampaknya
bertentangan dengan pandangan eksklusif hedonistik bahwa teori manajemen
suasana hati menyediakan pengguna media dan mekanisme motivasi yang
diduga mendorong paparan media. Jika pengoptimalan suasana hati dan
perjuangan untuk kesenangan hedonis adalah satu-satunya mekanisme paparan
selektif, maka mengapa memiliki genre yang tampaknya tidak membantu
tujuan-tujuan ini berkembang sejak awal dan mengapa begitu banyak pengguna

14
media memaparkan diri mereka pada konten media semacam ini? secara
teratur? (Reinecke, 2017)
2.5 Ekstensi Teoritis
Sebagai reaksi terhadap bukti empiris campuran mengenai asumsi dasar dan
prediksi teori manajemen suasana hati, sejumlah ekstensi teoritis dan interpretasi
alternatif telah disarankan selama tiga dekade terakhir setelah perumusan awal teori.
Untuk menjelaskan hasil yang bertentangan sebagian dari penelitian sebelumnya,
asumsi dasar teori telah diperluas untuk menjelaskan peran perbedaan individu dalam
proses paparan selektif. Selanjutnya, premis hedonistik teori manajemen suasana hati
telah diperluas untuk lebih menjelaskan bentuk-bentuk pilihan media yang tampaknya
non-hedonistik (Reinecke, 2017)
2.4.1 Perbedaan individu
Teori manajemen suasana hati terutama menjelaskan paparan selektif
melalui fluktuasi situasional dalam suasana hati dan gairah. Namun, hasil
mengungkapkan perbedaan yang signifikan dalam pola pilihan berdasarkan
variabel demografis seperti jenis kelamin (misalnya, Biswas et al., 1994)
menunjukkan bahwa selain suasana hati negara, teori juga perlu
memperhitungkan pengaruh perbedaan individu dalam sifat yang lebih stabil.
variabel pada pola pilihan mood-kongruen. Sebagai contoh, telah disarankan
bahwa preferensi media yang stabil untuk gender spesifik, seperti preferensi
yang lebih tinggi untuk konten media yang kasar atau agresif pada pria
dibandingkan dengan wanita, berinteraksi dengan proses manajemen mood
situasional (Zillmann, 2000). Selanjutnya, perbedaan individu dalam
karakteristik kepribadian atau sikap pribadi juga memainkan peran yang relevan
dalam proses manajemen suasana hati karena mereka sangat terkait dengan
valensi hedonis yang dirasakan dari rangsangan media. Bergantung pada
karakteristik kepribadian (mis., Pencari sensasi tinggi versus rendah) atau
pandangan dunia individu (mis., Keberpihakan politik), stimulus media yang
sama dapat memiliki valensi hedonis positif untuk satu individu dan valensi
hedonis negatif untuk pengguna media lainnya. Karenanya sifat-sifat setidaknya
sebagian menentukan apakah individu menunjukkan reaksi euforia atau disforis
terhadap rangsangan media dan dengan demikian memainkan peran yang
relevan dalam proses manajemen suasana hati (Zillmann, 2000).
2.4.2 Utilitas emosional

15
Penelitian sebelumnya telah menerapkan sejumlah pendekatan teoritis
untuk menjelaskan mengapa konten media yang tampaknya non-hedonis dapat
memiliki kegunaan emosional, yaitu memberikan kepuasan hedonis positif dan
dengan demikian membantu optimalisasi mood (Zillmann, 2000). Teori
disposisi afektif, misalnya, memberikan wawasan tentang utilitas emosional
konten media yang menampilkan penderitaan tokoh protagonis yang dicintai
(mis., Drama atau seri kejahatan). Teori ini mengusulkan bahwa pemirsa
mengembangkan antisipasi dan harapan khusus mengenai nasib karakter media
yang disukai dan tidak disukai. Sementara pengguna media berharap untuk
akhir yang positif untuk protagonis yang baik secara moral dan tidak bersalah,
mereka berharap untuk hukuman dan akhir yang negatif untuk antagonis yang
tidak disukai. Karena banyak rangsangan media yang tampaknya non-hedonis
pada akhirnya menggambarkan pemulihan keadilan dan hukuman yang pantas
dari sang antagonis, paparan terhadap penderitaan karakter media yang disukai
akhirnya dihargai melalui pengalaman afektif yang menyenangkan secara
hedonis. Kegunaan emosional dari rangsangan media yang sarat ketegangan
seperti aksi kekerasan atau film horor, yang tampaknya membangkitkan
perasaan tegang dan ketakutan yang tidak menyenangkan daripada optimalisasi
dan kesenangan suasana hati, dijelaskan lebih lanjut dengan teori transfer
eksitasi. Teori ini menunjukkan bahwa rangsangan fisiologis yang ditimbulkan
selama adegan film yang menegangkan atau rangsangan media yang
membangkitkan lainnya hanya perlahan-lahan kembali ke tingkat awal dan
mengintensifkan pengalaman emosional selama paparan media berikutnya.
Karena banyak narasi sarat aksi berujung pada akhir yang bahagia, pengalaman
permusuhan dan ketakutan selama pemaparan memberikan kepuasan hedonis
atas perasaan euforia yang intensif dan kelegaan di akhir narasi (Reinecke,
2017).
Meskipun banyak bentuk konten media memberikan kepuasan
emosional melalui empati dengan protagonis dan akhir yang bahagia,
rangsangan media lainnya mendatangkan reaksi afektif negatif terutama yang
tidak berujung pada kesimpulan yang menggembirakan (misalnya drama atau
film horor). Konstruk teoritis metaemosi telah digunakan untuk menjelaskan
kegunaan emosional dari media yang sedih dan pedih (Oliver, 1993). Konsep
metaemosi mengacu pada penilaian kognitif emosi, membuat perbedaan antara

16
respons emosional langsung terhadap rangsangan media dan evaluasi emosi ini.
Berbeda dengan asumsi asli teori manajemen suasana hati, ini menunjukkan
bahwa suasana hati dan emosi negatif tidak harus harus dianggap sebagai
keadaan tidak menyenangkan yang perlu dihentikan atau dihindari. Sebaliknya,
pengguna media dapat sampai pada kesimpulan bahwa emosi negatif memang
memiliki nilai positif dan memberikan kepuasan emosional, misalnya karena
mereka diinginkan secara sosial atau menunjukkan karakteristik kepribadian
yang menarik dan diinginkan, kemampuan untuk merasakan empati terhadap
orang lain. Interpretasi positif semacam itu dari suasana hati dan perasaan yang
buruk, dengan demikian, memberikan kepuasan hedonis. Sama seperti suasana
hati dan emosi positif, metaemosi positif dapat bertindak sebagai penguat positif
dari pilihan media yang sukses dan dengan demikian berdampak pada perilaku
paparan selektif masa depan (Oliver, 1993).
Utilitas emosional dari konten media kontra-hedonistik juga telah
dijelaskan dengan mengacu pada proses perbandingan sosial. Dalam percobaan
mani oleh Mares dan Cantor (1992), perilaku paparan selektif peserta lansia
yang kesepian dan tidak sendirian diperiksa. Partisipan lansia yang kesepian
menunjukkan preferensi untuk penggambaran yang bernasiensi negatif dari usia
tua. Selain itu, mereka menunjukkan penurunan pengaruh negatif setelah
menonton film yang menggambarkan seorang lelaki tua yang tidak bahagia dan
terisolasi secara sosial sedangkan paparan penggambaran positif dari protagonis
yang sama tidak meningkatkan suasana hati mereka. Peserta lansia yang tidak
sendirian menunjukkan pola kebalikan dari hasil. Sementara temuan mengenai
peserta yang kesepian (preferensi dan optimalisasi suasana hati melalui
rangsangan media dengan valensi afektif negatif) tampaknya bertentangan
dengan prediksi teori manajemen suasana hati, teori perbandingan sosial
memberikan interpretasi yang masuk akal: Untuk peserta lansia, perbandingan
sosial menurun dengan individu lansia lainnya. yang berada dalam situasi yang
lebih buruk memberikan kepuasan hedonis melalui peningkatan diri. Proses
perbandingan sosial juga telah diterapkan untuk menjelaskan pemaparan ke
bentuk konten media lainnya, seperti lagu cinta yang sedih. Oleh karena itu,
orang-orang yang frustrasi secara romantis dapat memaparkan diri mereka pada
musik yang meratapi cinta untuk meyakinkan diri mereka tentang fakta bahwa

17
orang lain berbagi kesengsaraan mereka atau bahkan lebih buruk (Zillmann,
2000).
2.4.3 Utilitas informasi
Konsep utilitas emosional dilengkapi dengan konsep utilitas informasi.
Sementara perspektif asli teori manajemen suasana hati menunjukkan bahwa
individu yang bermasalah harus menghindari semua konten media yang
membuat referensi ke situasi mereka saat ini (yaitu, memiliki afinitas semantik
tinggi), interpretasi yang lebih baru juga mengakui kemungkinan bahwa pilihan
media dapat dimotivasi oleh tujuan dari pencarian informasi daripada optimisasi
suasana hati (Zillmann, 2000). Dengan demikian, paparan selektif terhadap
konten media kontra-hedonistik dapat didorong oleh keinginan untuk
mempelajari sesuatu tentang diri dan untuk menerima informasi yang
membantu dalam memperbaiki situasi saat ini. Selain gratifikasi hedonis yang
ditawarkan oleh perbandingan sosial ke bawah, paparan penggambaran
protagonis yang terisolasi secara sosial dalam studi oleh Mares dan Cantor
(1992), misalnya, mungkin juga termotivasi oleh keinginan untuk mempelajari
cara-cara baru dalam mengatasi kesendirian. Utilitas informasi juga dapat
memandu paparan lagu-lagu cinta sedih yang dapat memberikan wawasan baru
ke cara-cara alternatif mengatasi frustrasi romantis. Konsep utilitas informasi
secara signifikan memperluas perspektif penelitian manajemen suasana hati
dengan mengakui bahwa paparan selektif tidak selalu atau secara eksklusif
merupakan bentuk koping yang berhubungan dengan emosi yang berusaha
menyembuhkan suasana hati dan emosi negatif yang dihasilkan dari masalah
dan stres pribadi. Sebaliknya, paparan selektif juga dapat menyerupai bentuk
koping yang berfokus pada masalah yang bertujuan untuk memecahkan atau
menghilangkan sumber kondisi afektif yang tidak menyenangkan (Reinecke,
2017)
2.4.4 Teori penyesuaian suasana hati dan hedonisme telic
Perpanjangan akhir dari teori manajemen suasana hati mengacu pada
konsep hedonisme telic dan perbedaan antara proses yang melayani tujuan
hedonis jangka pendek versus jangka panjang (Zillmann, 2000). Sementara
bentuk spontan dan jangka pendek dari perilaku hedonistik bertujuan untuk
kesenangan sesaat dan optimalisasi suasana hati, konsep hedonisme telik
mengacu pada penerimaan suasana hati yang negatif dan keadaan afektif yang

18
tidak menyenangkan untuk kepentingan pemuasan hedonis berikutnya. Ini
menunjukkan bahwa pertimbangan antisipatif memainkan peran penting dalam
proses manajemen suasana hati: Individu mungkin bersedia untuk menunda
kesenangan hedonis segera dan optimalisasi suasana hati jika mereka
mengantisipasi bahwa ini pada akhirnya akan mengarah pada kepuasan hedonis
yang lebih besar. Ini adalah ekstensi penting untuk logika awal teori manajemen
suasana hati karena menunjukkan bahwa pola paparan yang tampaknya
berlawanan hedonis dapat melayani tujuan hedonis jangka panjang (Reinecke,
2017)
Baru-baru ini, Knobloch (2003) telah memperkenalkan teori
penyesuaian suasana hati yang semakin memperluas gagasan manajemen
suasana hati telic dan menunda kepuasan melalui paparan selektif. Teori ini
mengusulkan bahwa suasana hati yang optimal secara hedonis tidak dicari
dalam semua keadaan dan bahwa paparan selektif tunduk pada antisipasi
persyaratan situasional. Sementara suasana hati yang positif dan kesenangan
hedonis mungkin diinginkan dan adaptif dalam banyak situasi, itu mungkin
tidak berfungsi atau tidak diinginkan secara sosial untuk tugas-tugas lain (mis.,
Ujian akademik) atau situasi sosial (mis., Pemakaman) (Reinecke, 2017).
Teori penyesuaian suasana hati memprediksi bahwa dalam keadaan
seperti itu, individu akan termotivasi untuk mencapai keadaan afektif yang
secara subyektif paling cocok untuk memfasilitasi fungsi optimal dalam situasi
berikutnya. Bergantung pada persyaratan situasional yang diantisipasi,
pengguna media dengan demikian dapat memilih konten media yang membantu
mereka untuk memaksimalkan konsentrasi atau menetralkan keadaan afektif
mereka saat ini daripada rangsangan media yang memberikan kondisi suasana
hati yang menyenangkan secara hedonis. Namun, dengan tidak adanya
persyaratan situasional seperti itu, paparan selektif dipandu oleh tujuan
optimalisasi suasana hati. Teori penyesuaian suasana hati dengan demikian
menyediakan model yang lebih umum dari paparan media selektif daripada teori
manajemen suasana hati, karena itu menunjukkan bahwa pilihan media adalah
fungsi dari berbagai tujuan regulasi yang mencakup tetapi tidak terbatas pada
optimalisasi suasana hati. Penyesuaian suasana hati juga melampaui konsep
hedonisme telik karena hal itu menunjukkan bahwa suasana hati yang tidak
menyenangkan hedonis tidak hanya ditoleransi untuk mendapatkan kepuasan

19
hedonis yang tertunda, tetapi juga jika mengantisipasi tujuan nonhedonis atau
persyaratan sosial menuntutnya (Reinecke, 2017)
2.6 Perkembangan Terkini dan Arah Masa Depan
Sejak awal pengembangan teori manajemen suasana hati oleh Zillmann dan
Bryant (1985), lanskap media telah banyak berubah. Pengenalan media interaktif,
khususnya, memberikan tantangan baru yang menarik untuk penelitian manajemen
suasana hati. Berbeda dengan rangsangan media non-interaktif tradisional yang
menyajikan konten, struktur, dan penampilan yang sama untuk semua pengguna, media
interaktif seperti video game atau media sosial online bereaksi terhadap dan diubah oleh
aktivitas pengguna. Ini memiliki implikasi penting untuk proses manajemen suasana
hati karena lingkungan stimulus yang disediakan oleh stimulus media yang sama dapat
sangat bervariasi tergantung pada pola penggunaan individu. Hal ini membuat lebih
sulit untuk menafsirkan temuan percobaan manajemen suasana hati menggunakan
rangsangan interaktif karena menjadi lebih sulit untuk mengekspos peserta ke
lingkungan stimulus yang mengubah suasana hati yang sama. Pada saat yang sama,
media interaktif mungkin menyediakan yang baru (Reinecke, 2017).
peluang untuk lebih membedakan antara efek individual dari karakteristik
rangsangan media yang mengubah suasana hati yang sering dikacaukan dalam konten
tradisional. Video game, misalnya, menyediakan cara-cara baru untuk memanipulasi
eksperimental potensi intervensi dari konten media (misalnya, melalui tingkat
permintaan tugas dalam game) sambil tetap menjaga semua fitur lain dari stimulus
(suara, grafik, narasi, dll.) Konstan (Bowman & Tamborini, 2013). Media interaktif
juga menciptakan masalah baru terkait variabel-variabel yang membingungkan, seperti
tingkat keterampilan pribadi pemain game atau kesediaan untuk mengungkapkan
informasi pribadi di media sosial, yang dapat memengaruhi pengalaman penggunaan
media dan mempersulit proses manajemen suasana hati. Meskipun bukti awal
mendukung penerapan teori manajemen suasana hati ke media baru (Bowman &
Tamborini, 2013), penelitian di masa depan akan perlu untuk mengeksplorasi lebih
lanjut spesifik dari proses manajemen suasana hati di lingkungan interaktif (Reinecke,
2017).
Perkembangan terkini dalam distribusi konten media memperkenalkan faktor-
faktor rumit tambahan untuk proses manajemen suasana hati. Di saat koneksi internet
seluler dan telepon pintar, godaan penggunaan media yang menyenangkan tampaknya
menjadi tantangan yang semakin besar bagi banyak pengguna media. Dalam

20
lingkungan media ini, upaya hedonis untuk optimalisasi suasana hati dapat dengan
mudah bertentangan dengan tujuan dan kewajiban lain yang kurang menyenangkan dan
menghasilkan penundaan. Reaksi bersalah dan penilaian negatif dari bentuk
penggunaan media tersebut mengurangi efek menguntungkan dari paparan media dan
dapat menghambat manajemen suasana hati yang sukses (Reinecke, Hartmann, &
Eden, 2014). Dalam menghadapi meningkatnya konten media di mana-mana, penelitian
di masa depan dalam bidang mood management perlu diintegrasikan dan menjelaskan
proses pengendalian diri yang moderat antara paparan media hedonis dan pencapaian
tujuan non-hedonis lainnya serta evaluasi normatif penggunaan media (Reinecke,
2017).
Tantangan baru untuk penelitian manajemen suasana hati di masa depan juga
datang dari perkembangan teori baru-baru ini dalam penelitian hiburan. Dalam upaya
untuk menjelaskan apresiasi konten media yang sedih dan dramatis, para pakar hiburan
telah memperluas pandangan hedonis tradisional tentang kenikmatan media dan
menyarankan bahwa motivasi menonton hedonis dilengkapi dengan motivasi menonton
eudaimonik. Pandangan eudaimonik ini melampaui gagasan utilitas emosional yang
menunjukkan bahwa paparan konten media kontra-hedonis akhirnya menghasilkan
kepuasan hedonis dalam bentuk metaemosi positif atau perbandingan sosial yang
menurun. Sebaliknya, motivasi menonton eudaimonik merujuk pada kepuasan non-
hedonis konten media yang pedih seperti perasaan kebermaknaan atau kontemplasi
(Oliver & Raney, 2011). Peneliti lain di bidang ini telah menyarankan bahwa alih-alih
dibimbing oleh pencarian kesenangan, paparan selektif terhadap konten media yang
menghibur dipandu oleh kebutuhan intrinsik, dan bahwa kepuasan kebutuhan adalah
mekanisme tambahan perbaikan suasana hati (Reinecke et al., 2012).
Teori manajemen suasana hati telah secara signifikan membentuk pandangan
ilmiah tentang konten media sebagai sumber daya untuk mengatasi dan mengatur diri
sendiri. Penelitian terbaru telah memperluas perspektif ini dengan memberikan
pandangan yang lebih umum tentang efek penggunaan media terhadap kesejahteraan
yang melampaui pengaturan mood dan gairah. Penelitian tentang pemulihan yang
disebabkan oleh media, misalnya, menunjukkan bahwa selain perbaikan suasana hati,
paparan media juga dapat memfasilitasi pemulihan sumber daya lain seperti vitalitas
umum dan kinerja kognitif setelah fase stres dan ketegangan (Reinecke, Klatt, &
Krämer, 2011 ). Penelitian mood management di masa depan dapat mengambil manfaat
dari memperluas pandangannya untuk memasukkan variabel hasil tambahan dan dari

21
menangani efek manajemen mood pada kesehatan psikologis umum dan kesejahteraan
pengguna media (Reinecke, 2017).

22
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Emosi sangat mendukung dalam kehidupan, apakah itu emosi positif atau emosi
negatif. Pentingya individu mengelola emosi dalam kehidupan karena seseorang yang
cakap secara emosi akan mampu mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri
dengan baik, kecakapan mengelola emosi akan mempunyai andil yang lebih besar
dalam kesuksesan seseorang lebih dari mengandalkan kecerdasan interlektual.
Teori manajemen suasana hati berpendapat bahwa paparan selektif terhadap
pesan media adalah fungsi dari keadaan afektif saat ini. pengguna media dan mengikuti
prinsip optimasi mood.

3.2 Saran
1. Dengan terselesaikannya tugas makalah ini kami berharap para pembaca dapat
memahami tentang Mood Management.
2. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk membuat pembaca lebih mengetahui
dan menambah wawasan tentang Moodood Management.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D. R., Collins, P. A., Schmitt, K. L., & Smith Jacobvitz, R. (1996). Stressful life
events and television viewing. Communication Research, 23(3), 243-260.

Biswas, R., Riffe, D., & Zillmann, D. (1994). Mood influence on the appeal of bad news.
Journalism Quarterly, 71(3), 689-696.

Bowman, N. D., & Tamborini, R. (2013). “In the mood to game”: Selective exposure and mood
management processes in computer game play. New Media & Society. doi:
10.1177/1461444813504274

Bryant, J., & Zillmann, D. (1984). Using television to alleviate boredom and stress: Selective
exposure as a function of inducing excitational states. Journal of Broadcasting, 28, 1-20.

Meadowcroft, J. M., & Zillmann, D. (1987). Women's comedy preferences during menstrual
cycle. Communication Research, 14, 204-218. doi: 10.1177/009365087014002004

Knobloch, S. (2003). Mood adjustment via mass communication. Journal of Communication,


53(2), 233-250. doi: 10.1111/j.1460-2466.2003.tb02588.x

Knobloch, S., Weisbach, K., & Zillmann, D. (2004). Love lamentation in pop songs: Music for
unhappy lovers? Zeitschrift für Medienpsychologie, 16, 116-124. doi:
10.1026/16176383.16.3.116

Knobloch, S., & Zillmann, D. (2002). Mood management via the digital jukebox. Journal of
Communication, 52(2), 351-366.

Oliver, M. B. (1993). Exploring the paradox of the enjoyment of sad films. Human
Communication Research, 19(3), 315-342. doi: 10.1111/j.1468-2958.1993.tb00304.x

Oliver, M. B., & Raney, A. A. (2011). Entertainment as pleasurable and meaningful:


Identifying hedonic and eudaimonic motivations for entertainment consumption. Journal
of Communication, 61, 984-1004. doi: 10.1111/j.1460-2466.2011.01585.x

Reinecke, L., Hartmann, T., & Eden, A. (2014). The guilty couch potato: The role of ego
depletion in reducing recovery through media use. Journal of Communication, 64,
569589. doi: 10.1111/jcom.12107

Reinecke, L., Klatt, J., & Krämer, N. C. (2011). Entertaining media use and the satisfaction of
recovery needs: Recovery outcomes associated with the use of interactive and

24
noninteractive entertaining media. Media Psychology, 14, 192-215. doi:
10.1080/15213269.2011.573466

Reinecke, L., Tamborini, R., Grizzard, M., Lewis, R., Eden, A., & Bowman, N. D. (2012).
Characterizing mood management as need satisfaction: The effects of intrinsic needs on
selective exposure and mood repair. Journal of Communication, 62, 437-453. doi:
10.1111/j.1460-2466.2012.01649.x

Reinecke, L. (2017). Mood Management Theory Leonard Reinecke Johannes Gutenberg


University Mainz, Germany. The International Encyclopedia of Media Effects, (2017),
1271–1284.

Uin, M. (2017). mengelola self efficacy, perasaan dan emosi daam pembelajran melalui
manajemen diri. Cendekia, 15 no.1.

Zillmann, D. (1988a). Mood management through communication choices. American


Behavioral Scientist, 31(3), 327-340.

Zillmann, D. (1988b). Mood management: Using entertainment to full advantage. In L.


Donohew, H. E. Sypher & E. T. Higgins (Eds.), Communication, social cognition, and
affect (pp. 147-171). Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Zillmann, D. (2000). Mood management in the context of selective exposure theory. In M. E.


Roloff (Ed.), Communication yearbook 23 (pp. 103-123). Thousand Oaks, CA: Sage.

Zillmann, D., & Bryant, J. (1985). Affect, mood, and emotion as determinants of selective
exposure. In D. Zillmann & J. Bryant (Eds.), Selective exposure to communication (pp.
157-189). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

25

Anda mungkin juga menyukai