Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang

Insomnia merupakan suatu keadaan dimana seseorang

mengalami gangguan tidur berupa kesulitan untuk memulai tidur,

sering terbangun di malam hari atau sering bangun terlalu pagi

yang dapat bersifat semetara atau persisten (Siregar,2011).

Sekarang ini insomnia tidak hanya menjadi masalah pada anak-

anak dan remaja, tetapi bisa juga terjadi pada orang dewasa

bahkan cenderung terjadi pada usia lanjut. Sebagian besar lansia

mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat

berbagai faktor salah satunya adalah proses patologis.

Menurut teori penuaan biologis, lansia mengalami penurunan

fungsi dan struktur atau mengalami proses degeneratif. Hal ini

mengakibatkan perubahan struktur atau mengalami perubahan

sistem syaraf pusat , antara lain system gelombang otak dan siklus

sirkandian. Perubahan tersebut menyebabkan terganggunya pusat

pengaturan tidur yang ditandai dengan menurunnya aktivitas

gelombang alfa sehingga mempengaruhi proses tidur (Kurnia,2009)


Menurut data dari WHO (Word Health Organization) kurang

lebih 28% penduduk dunia pernah mengalami gangguan sulit tidur

dan meningkat setiap tahunnya dengan keluhan yang sedemikian

hebat sehingga menyebabkan tekanan jiwa pada penderitanya.

(Dewi,2015). Prevalensi insomnia di Indonesia sekitar 10 %. Artinya

kurang lebih 28 juta penduduk indonesia menderita insomnia

(Dewi,2015) Di Jawa Timur kejadian insomnia lansia pada tahun

2014 mencapai sekitar 10% dari seluruh jumlah lansia di Jawa Timur

3% diantaranya mengalami gangguan yang serius (Yunita dalam

Kurniawan, 2016). Jumlah Lansia sebanyak 352.031 orang (36,01%)

(Dinkes Jombang,2015)

Insomnia pada lansia dapat menyebabkan berbagai macam

hal yang dapat merugikan baik untuk kesehatan tubuh sendiri

ataupun menurunkan angka harapan hidup. Selain itu, insomnia

dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak produktif, tidak fokus,

tidak dapat membuat keputusan dengan baik, pelupa, pemarah,

depresi, menyebabkan tubuh rentan terhadap penyakit,

menyebabkan kecelakaan bahkan dapat meningkatkan resiko

kematian (Siregar,2011). Sehingga perlu dilakukan terapi agar

seseorang tidak mengalami insomnia dan dapat tidur secara

berkualitas terutama pada lansia.


Terapi guided imagery (imajinasi terbimbing) sebagai upaya

menurunkan insomnia pada lansia. Terapi guided imagery

merupakan proses terapi yang menggunakan kekuatan pikiran

dengan mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan

memelihara kesehatan. Relaksasi guided imagery ini melalui

komunikasi dalam tubuh yag melibatkan semua panca indera (visual,

sentuhan, penglihatan, penciuman, dan pendengaran).Terapi

relaksasi guided imagery dapat digunakan pada berbagai keadaan

antara lain : mengurangi stress dan nyeri, kesulitan tidur, hipertensi,

dan keadaan lain . Guided imagery akan membentuk bayangan yang

akan diterima sebagai rangsangan oleh berbagai indra. Bayangan

yang indah akan menyebabkan perasaan tenang, ketegangan otot

dan ketidaknyamanan akan dikeluarkan sehingga tubuh menjadi

rileks dan nyaman (Brunner dan Suddart,2002). Guided imagery

terbukti efektif dalam memberikan relaksasi pada lansia. Berdasarkan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh rizam perdana dengan

judul efektivitas teknik relaksasi guided imagery terhadap

penurunan gangguan tidur pada lansia yang diberikan waktu 15

menit selama 3 terdapat perubahan kualitas tidur sebelum dan

sesudah diberikan teknik relaksasi guided imagery pada lansia.


Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Terapi Relaksasi

Guided Imagery Terhadap Insomnia di UPT PSTW jombang

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Pengaruh terapi relaksasi Guided Imagery

terhadap insomnia pada lansia di UPT PSTW jombang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh terapi relaksasi Guided Imagery

terhadap Insomnia pada lansia di UPT PSTW jombang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi skala Insomnia pasien sebelum dilakukan

terapi relaksasi Guided Imagery


2. Mengidentifikasi skala Insomnia setelah dilakukan terapi

relaksasi Guided Imagery


3. Menganalisis pengaruh terapi relaksasi Guided Imagery

terhadap insomnia pada lansia

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi refrensi dalam

menangani masalah insomnia dengan menggunakan terapi

Guided Imagery.

1.4.2 Manfaat Praktis

Terapi relaksasi Guided Imagery diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

intervensi dalam menangani masalah gangguan pola tidur pada lansia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Relaksasi

2.1.1 Pengertian Relaksasi


Menurut Townsend (1999) dalam Rahmawati YN (2010) bahwa

relaksasi adalah sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari

tekanan dan kecemasan atau kembalinya keseimbangan

(equilibrium) setelah terjadinya gangguan. Tujuan dari teknik

relaksasi adalah mencapai keadaan relaksasi

menyeluruh,mencakup keadaaan relasksasi secara fisiologis, secara

kognitif, dan secara behavior. Secara fisiologis keadaan relaksasi

ditandai dengan penurunan kadar epineprin dan non epineprin

dalam darah, penurunan frekuensi denyut jantung (sampai

mencapai 24 kali per menit), penurunan ketengangan otot,

metabolism menurun, vasodilatasi dan peningkatan temperature

pada extremitas.

Manifestasi kognitif pada tekanan relaks adalah perubahan

status kesadaran dari beta, dimana kondisi mental berada dalam

keadaan siaga penuh menjadi alfa, yang menunjukkan status

kesadaran, kemampuan menganalisa, konsentrasi, kreativitas dan

proses meningat telah meningkat (Townsend 1999). Black dan

mattasarin (1997) menyatakan bahwa relaksasi merupakan teknik

yang berhubungan dengan tingkah laku/tindakan manusia yang

terdiri atas meditasi autogenic training, latihan relaksasi progresif,

guided imagery, pernafasan,ritmik/teratur, operan conditioning dan

biofeedback. Macam-macamnya antara lain teknik relaksasi


termasuk dalam metode kognitif,behavior yang terdiri dari guided

imagery, masuk dan pernafasan. Teknik relaksasi progresif misalnya

dapat digunakan untuk pelaksananaan masalah fisik psikis. Guided

imagery dapat bermanfaat menurunkan kecemasan, kontraksi otot

dan memfasilitasi tidur (Rahmayanti,2010).

2.1.2 Karakteristik Relaksasi

Karakteristik relaksasi merupakan metode untuk

mengembalikan tubuh dalam kondisi homeostatis sehingga

konseling dapat kembali tenang. Relaksasi tidak menganggap

penting usaha pemecahan masalah penyebab terjadinya

ketegangan melainkan menciptakan kondisi individu yang lebih

nyaman dan menyenangkan.

2.1.3 Tujuan Relaksasi

a. Melegakan stress untuk penyakit darah tinggi, penyakit

jantung, susah hendak tidur, sakit kepala disebabkan tekanan

dan asma.
b. Membantu orang menjadi rileks, dan dengan demikian dapat

memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik.


c. Membantu individu untuk dapat mengontrol diri dan

memfokuskan perhatian sehingga ia dapat mengambil respon

yang tepat saat berada dalam siatuasi yang menegangkan.


2.1.4 Prinsip Relaksasi

a. Teknik relaksasi adalah seni ketrampilan dan pengetahuan,

sehingga ketika seseorang berusaha meraih kesehatan lahir

batinnya melalui metode relaksasi, dianjurkan untuk

memahami yang benar, apa yang akan diupayakan dan apa

yang diharapkan hasilnya.


b. Relaksasi dapat menjadi suatu kegiatan harian yang rutin,

semakin sering dan diatur teknik relaksasi ini diterapkan

maka diri konseli akan semakin rileks.

2.1.5 Manfaat Relaksasi

Menurut Welker, dkk, dalam karyono (1994), penggunaan teknik

relaksasi memiliki beberapa manfaat sebagai berikut.

a. Memberikan ketenangan batin bagi individu


b. Mengurangi rasa cemas, khawatir dan gelisah.
c. Mengurangi tekanan dan ketegangan jiwa
d. Mengurangi tekanan darah, detak jantung jadi lebih rendah

dan tidur menjadi nyenyak.


e. Memberikan ketahanan yang lebih kuat terhadap penyakit.
f. Kesehatan mental dan daya ingat menjadi lebih baik.
Terapi relaksasi dilakukan untuk mencegah dan mengurangi

ketegangan pikiran dan otot-otot akibat stress karena

ketengangan dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh. Bila

ketegangan terjadi maka tubuh akan menjadi lemah dan


akibatnya tubuh tidak dapat melakukan fungsinya secara

optimal.
Relaksasi penting apabila anda mempunyai gejala seperti

berikut :
a. Berdebar-debar.
b. Sakit kepala.
c. Susah untuk bernafas.
d. Kepenatan atau susah hendak tidur.
e. Susah untuk member tumpuan dan mudah risau
f. Kurang sabar, mudah tersinggung dan cepat marah
g. Hilang selera makan atau makan berlebih.

2.2 Konsep Relaksasi Guided Imagery

2.2.1 Pengertian Guided Imagery

Imajinasi terbimbing (guided imagery) adalah sebuah teknik relaksasi yang

bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan perasaan tenang dan damai serta

merupakan obat penenang untuk situasi yang sulit dalam kehidupan. Imajinasi

terbimbing atau imajinasi mental merupakan suatu teknik untuk mengkaji kekuatan

pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang

membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council, 2004).

Guided imagery adalah proses yang menggunakan kekuatan pikiran dengan

menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks

melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan,

penciuman, penglihatan, dan pendengaran (Potter & Perry, 2005 : 1503).


Dari beberapa penjelasan pengertian tentang Guided imagery

tersebut, dapat disimpulkan bahwa Teknik Relaksasi Guided

imagery merupakan salah satu teknik relaksasi yang bertujuan

untuk mengurangi stress dan memelihara kesehatan tubuh melalui

komunikasi dalam tubuh melibatkan semua panca indra.

2.2.2 Dasar Guided Imagery

Imajinasi merupakan bahasa yang digunakan oleh otak untuk berkomunikasi

dengan tubuh. Segala sesuatu yang kita lakukan akan diproses oleh tubuh melalui

bayangan. Imajinasi terbentuk melalui rangsangan yang diterima oleh berbagai indera

seperti gambar aroma, rasa suara dan sentuhan (Holistic-online, 2006). Respon

tersebut timbul karena otak tidak mengetahui perbedaan antara bayangan dan aktifitas

nyata. Penelitian membuktikan bahwa dengan menstimulasi otak melalui imajinasi

dapat menimbulkan pengaruh langsung pada system saraf dan endokrin (Tusek,

2000).

2.2.3Macam-macam Teknik Guided Imagery

Berdasarkan pada penggunaannya terdapat beberapa macam teknik Sugeng (2011):

1) Guided Walking Imagery

Teknik ini ditemukan oleh psikoleuner. Pada teknik ini pasien dianjurkan

untuk mengimajinasikan pemandangan standar seperti padang rumput,


pegunungan, pantai dll.

2) Autogenic Abstraction

Dalam teknik ini pasien diminta untuk memilih sebuah perilaku negatif

yang ada dalam pikirannya kemudian pasien mengungkapkan secara verbal tanpa

batasan. Bila berhasil akan tampak perubahan dalam hal emosional dan raut muka

pasien.

3) Covert Sensitization

Teknik ini berdasar pada paradigma reinforcement yang menyimpulkan bahwa

proses imajinasi dapat dimodifikasi berdasarkan pada prinsip yang sama dalam

modifikasi perilaku.

4) Covert Behaviour Rehearsal

Teknik ini mengajak seseorang untuk mengimajinasikan perilaku koping

yang dia inginkan. Teknik ini lebih banyak digunakan.

2.2.4 Tujuan Guided Imagery

Tujuan dari guided imagery adalah mengerahkan secara lembut seseorang kedalam

keadaan dimanan pikiran mereka tenang dan tetap. Teknik ini dapat mengurangi nyeri,

mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu tubuh mengurangi berbagai

macam penyakit seperti depresi dan insomnia (Sugeng, 2011).


2.2.5 Manfaat Guided Imagery

Guided imagery dapat bermanfaat untuk menurunkan kecemasan, kontraksi otot

dan menfasilitasi tidur (Black and Matassarin, 1998). Potter and Perry (2005: 1503)

juga menyatakan imajinasi terbimbing (guided imagery) dapat meningkatkan tidur.

Teknik guided imagery digunakan untuk mengelola stres dan koping dengan cara

berkhayal atau membayangkan sesuatu.

Menurut Townsend (1977), manfaat guided imagery diantaranya mengurangi

stress dan kecemasan, mengurangi nyeri, mengurangi efek samping, mengurangi

tekanan darah tinggi, mengurangi level gula darah (diabetes), mengurangi alergi dan

gejala pernapasan, mengurangi sakit kepala, mengurangi biaya rumah sakit,

meningkatkan penyembuhan luka dan tulang, dan lain-lain (Rahmayanti, Yeni. N,

2010).

2.2.6 Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi Guided Imagery

Menurut Guyton and Hall, 2007 yang disitasi oleh (Khoirul

A.2016) Relaksasi dengan teknik guided imagery akan membuat

tubuh lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya. Dengan melakukan

nafas dalam secara perlahan, tubuh akan menjadi lebih rileks.

Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan

Corticotropin Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang

kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelano-

cortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal


meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai

neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks .

Imajinasi terbimbing (Guided Imagery) merupakan suatu

teknik yang menuntut seseorang untuk membentuk sebuah

bayangan/imajinasi tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang

terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsang oleh berbagai

indra, kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang

otak menuju sensor thalamus. Ditalamus rangsang diformat sesuai

dengan bahasa otak, sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan

ke amigdala dan hipokampus sekitarnya dan sebagian besar lagi

dikirim ke korteks serebri, dikorteks serebri terjadi proses asosiasi

pengindraan dimana rangsangan dianalisis, dipahami dan disusun

menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak mengenali objek dan

arti kehadiran tersebut. Hipokampus berperan sebagai penentu

sinyal sensorik dianggap penting atau tidak sehingga jika

hipokampus memutuskan sinyal yang masuk adalah penting maka

sinyal tersebut akan disimpan sebagai ingatan. Hal-hal yang disukai

dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga

diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa

bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut, memori yang telah

tersimpan akan muncul kembali dan menimbulkan suatu persepsi

dari pengalaman sensasi yang sebenarnya, walaupun pengaruh /


akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu sensasi

(Guyton and Hall, 2007 : 678).

Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja

pada tingkat bawah sadar. Amigdala berproyeksi pada jalur system

limbik seseorang dalam hubungan dengan alam sekitar dan pikiran.

Berlandaskan pada informasi ini, amigdala dianggap membantu

menentukan pola respon perilaku seseorang sehingga dapat

menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dari hipokampus

rangsangan yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala.

Amigdala mempunyai serangkaian tonjolan dengan reseptor yang

disiagakan untuk berbagai macam neurotransmitter yang mengirim

rangsangan kewilayah sentralnya sehingga terbentuk pola respons

perilaku yang sesuai dengan makna rangsangan yang diterima

(Guyton & Hall, 2007: 678).

Dengan relaksasi nafas dalam secara perlahan sehingga

meningkatnya enkephalin dan endorphin dan dengan adanya suatu

rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai, lansia

akan merasa lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya.

2.2.7 Pelaksanaan Guided Imagery

Pengaturan posisi yang nyaman pada klien. Dengan suara

yang lembut, klien dibawa menuju ke tempat spesial dalam


imajinasi pegunungan). Mereka dapat merasa aman dan bebas

dari dari segala gangguan. Meminta klien untuk tetap fokus pada

bayangan yang menyenangkan sambal merelaksasikan tubuhnya.

Teknik Guided Imagery, dapat juga digunakan audio tape dengan

musik yang lembut atau suara-suara alam sebagai background.

Waktu yang digunakan 15 menit (Asmadi, 2008).

Prosedur pelaksanaan guided imagery :

1) Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi

pasien

(duduk/berbaring).

2) Klien menutup mata.

3) Letakkan tubuh senyaman-nyamannya.

4) Periksa otot-otot klien dalam keadaan relaks.

5) Ambil nafas melalui hidung, tahan sebentar, dan keluarkan

melalui mulut perlahan-lahan (sesuai bimbingan).

6) Minta klien untuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan

atau keindahan, dan pastikan klien mampu melakukannya.


7) Kalau perlu tanyakan kepada klien, bila belum bisa dan gagal,

Secara terbimbing perawat meminta klien untuk melakukan

imaginasi sesuai dengan ilustrasi yang dicontohkan perawat.

8) Biarkan klien menikmati imaginasinya dengan iringan musik.

9) Setelah terlihat adanya respon bahwa klien mampu, dan

waktu dalam rentang 15 menit, minta klien untuk membuka

mata.

2.3 Konsep Insomnia

2.3.1 Pengertian Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi

kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada

tiga macam yaitu tidak dapat memulai tidur, tidak bias

mempertahankan tidur atau sering terjaga, dan bangun secara dini

serta tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005)

Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering

dialami oleh seluruh orang di dunia. Insomnia dapat didefinisikan

sebagai gangguan maupun gejala. Insomnia sebagai gangguan

merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan tidur,


kesulitan dalam mempertahankan tidur maupun kualitas tidur buruk

dan disertai keadaan penyulit (Busysse dan Sateia,2010).

Dari beberapa penjelasan pengertian insomnia tersebut,

dapat disimpulkan bahwa insomnia merupakan suatu keadaan

dimana seseorang mengalami kesulitan memasuki tidur dan

mempertahankan dan tidak memperoleh jumlah tidur yang

diperlukan.

2.3.2 Faktor-faktor penyebab Insomnia

Menurut Talbot dan Harvey, dalam I. Buysee dan I. Sateia

dalam Anggriawan (2015). Menyebutkan bahwa terdapat model

psikologi untuk insomnia. Yang disebut dengan Three P.model.

Three P. Model juga disebutkan sebagai model tiga faktor atau

Model Spielman, yaitu diathesis dari teori stress yang termasuk

faktor predisposisi, factor presipitasi, dan factor prepersuasi.

Maksud dari ketiga faktor tersebut adalah ,

1. Faktor Predisposisi (kecendrungan)


Faktor Predisposisi adalah termasuk didalamnya kondisi

biologis (misalnya keteraturan tingginya kortisol), Kondisi

psikologis (misalnya kecenderungan untuk merasa cemas).

Atau kondisi social (misalnya jadwal pekerjaan yang tidak


sesuai dengan jadwal tidur). Faktor-faktor tersebut mewakili

kerentanan untuk insomnia.


2. Faktor Predisposisi (Pengendapan)
Yang termasuk di dalam faktor presipitasi adalah

peristiwa yang penuh tekanan didalam hidup, yang dapat

memicu onset (mulai pertama kali muncul) yang tiba tiba dari

insomnia. Pengaruh dari faktor Presipitasi ini berkurang dari

waktu ke waktu.
3. Faktor Prepersuasi (Pengabdian)
Yang termasuk di dalam faktor persuasi seperti

misalnya langkah coping (mengatasi) yang maladaptive atau

perpanjangan waktu ditempat tidur, maksudnya adalah

seseorang yang merasa kurang tidur mengatasinya dengan

memperpanjang waktu berbaring dengan maksud agar bias

menambah durasi tidurnya, tetapi hal itu malah semakin

membuatnya tidak bias tidur. Hal tersebut memberikan

konstribusi pada tahap insomnia akut untuk berkembang

menjadi insomnia kronis atau jangka panjang.


Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang menyebabkan insomnia adalah,


a. Faktor biologis
1) Efek samping dari pengobatan
2) Berubahnya kebiasaan tidur atau kebiasaan

tidur yang kurang, gangguan tidur dan

bangun
3) Tidur yang berlebihan saat siang hari
4) Penyalahgunaan zat kafein, nikotin, alcohol.
5) Kurang berolahraga
6) Pola makan yang buruk
7) Rasa nyeri
8) Penyakit fisik
9) Kondisi neurologis
10) Perubahan hormon selama siklus

menstruasi wanita
11) Terganggunya ritme sirkandian

(circandian rhythm), restless

syndrome,makanan atau stimulant saat

tidur, stimulant fisik


b. Faktor psikologis
1) Kegembiraan
2) Ketakutan
3) Kekhawatiran
4) Depresi
5) Kecemasan
6) Kemarahan
7) Rasa bersalah
8) Stimulasi intelektual saat tidur
9) Menunggu sesuatu yang tidak

menyenangkan
10) Stress
c. Faktor Lingkungan
1) Teman tidur yang mendengkur
2) Suhu yang ekstrim
3) Tempat tidur yang tidak mendukung
4) Ruang tidur yang tidak kondusif
5) Terlalu banyak menggunakan cahaya

2.3.3 Penyebab Insomnia pada Lansia

Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola

tidur.4 Hal ini meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi

pertambahan umur tidak menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia


pada usia lanjut. Perubahan pola tidur yang terkait dengan usia

terjadi pada Sleep Architecture dan Ritme sirkadian.

a. Sleep Architecture

Tidur normal terdiri dari 5 tahap yaitu tahap 1 sampai 4

adalah non-rapid eye movement (NREM) dan tahap yang terakhir

adalah Rapid eye movement (REM) .Tahap 1 dan 2 disebut tidur

ringan sedangkan tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam/slow wave

sleep/delta sleep. Dari tahap 1-4 akan terjadi peningkatan

kedalaman tidur. REM memiliki perbedaan dengan NREM karena

pada REM terdapat peningkatan aktivitas simpatetik, pergerakan

mata yang cepat, bermimpi dan peningkatan kedalaman serta

frekuensi nafas.1,4 Tidur normal diawali dengan tidur NREM

dilanjutkan dengan tidur REM. Siklus NREM dan REM berulang

secara periodik setiap 90-120 menit. Pertambahan umur

menyebabkan terjadinya perubahan dalam tahapan tidur. Pada

kenyataanya, meskipun mereka mempunyai waktu yang cukup

untuk tidur tetapi terjadi penurunan kualitas tidur. Pada usia

lanjut terjadi penurunan tidur tahap 3, tahap 4, tahap REM dan

REM laten tetapi mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan 2.

Perubahan ini menimbulkan beberapa efek yaitu: kesulitan untuk


mengawali tidur, menurunnya total sleep time, sleep efficiency,

transient arousal dan bangun terlalu dini.

b. Ritme Sirkandian

Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme

sirkadian selama 24 jam.4 Ritme sirkadian mengatur siklus tidur,

suhu tubuh, aktivitas saraf otonum, aktivitas kardiovaskuler dan

sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah

suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang

mempengaruhi kerja dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial

dan fisik. Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron

fotoreseptor SCN akan teraktivasi. SCN akan merangsang pineal

gland untuk mensekresikan melatonin, yang menimbulkan rasa

lelah. Penurunan fungsi dari SCN berkaitan dengan

pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami

penurunan fungsi SCN akan menyebabkan terjadinya gangguan

pada ritme sirkadian. Gejala akibat gangguan ritme sirkadian

adalah ketidakmampuan untuk tidur meskipun terdapat

rangsangan. Hal ini menyebabkan pasien bangun dan tidur pada

waktu yang tidak tepat, peningkatan resiko insomnia dan

peningkatan frekuensi tidur. Penurunan fungsi SCN diduga

disebabkan oleh penurunan paparan cahaya, aktivitas fisik dan

sosial saat memasuki usia lanjut.


Insomnia pada usia lanjut bersifat multifaktorial, selain faktor

biologik diatas ada beberapa faktor komorbid yang dapat

menyebabkan terjadinya insomnia pada usia Insomnia sekunder

pada usia lanjut dapat disebabkan oleh faktor komorbid yang

terdiri dari : nyeri kronis, sesak nafas pada penyakit paru

obstruktif kronis, gangguan psikiatri (gangguan cemas dan

depresi), penyakit neurologi (Parkinsons disease, Alzheimer

disease), dan obat-obatan (beta-bloker, bronkodilator,

kortikosteroid dan diuretik).

2.3.4 Klasifikasi Insomnia

Menurut Kaplan (2007). Insomnia dibagi dalam tiga golongan

besar, yaitu :

1. Transient Insomnia
Mereka yang menderita Transient insomnia biasanya

adalah mereka yang termasuk orang yang tidur secara

normal, tetapi dikarenakan suatu stres atau suatu siatuasi

penuh stress yang berlangsung untuk waktu yang tidak

terlalu lama (misalnya perjalanan jauh dengan pesawat

terbang yang memlampaui zona waktu, hospitalisasi dan

sebagainya), tidak bias tidur penyebab dari transient

Insomnia yaitu, penyakit akut, cedera atau pembedahan,


kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan,

masalah dalam pekerjaan.


2. Short term insomnia
Mereka yang menderita Short term insomnia adalah

mereka yang mengalami stress situasional

(kehilangan/kematian seoarang yang dekat, perubahan

pekerjaan dan lingkungan pekerjaan, pemindahan dan

lingkungan tertentu ke lingkungan lain, atau penyakit fisik).

Biasanya insomnia yang demikian itu lamanya sampai tiga

minggu dan akan pulih lagi seperti biasa.


3. Long term insomnia
Yang lebih serius adalah insomnia kronik, yaitu Long term

insomnia, untuk dapat mengobati insomnia jenis ini maka

tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan fisik

dan psikiatrik yang terinci dan komperhensif untuk dapat

mengetahui etiologi dari insomnia ini.

2.3.5 Gejala Insomnia

1. Kesulitan tidur secara teratur


2. Jatuh tidur atau merasa lelah di siang hari
3. Perasaan tidak segar atau merasa lelah setelah baru bangun
4. Bangun berkali kali saat tidur
5. Kesulitan jatuh tertidur
6. Pemarah
7. Bangun dan memiliki waktu yang sulit jatuh kembali tidur
8. Bangun terlalu dini
9. Masalah berkonsentrasi
Berapa banyak tidur yang dibutuhkan tubuh bervariasi dari

satu orang ke orang lain. Gejala Insomnia biasanya


berlangsung satu minggu dianggap insomnia jangka pendek

dan gejala penguat lebih dari tiga minggu diklasifikasikan

sebagai insomnia kronis. Orang yang menderita insomnia

biasanya terus berfikir tentang bagaimana untuk

mendapatkan lebih banyak tidur, semakin mereka mencoba,

semakin besar penderitaan mereka dan menjadi frustasi yang

akhirnya mengarah pada kesulitan yang lebih besar

(Ramadhani,2014).

2.3.6 Dampak Insomnia

Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang,

antara lain :

1. Efek fisiologis : karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh

stress
2. Efek Psikologis : Dapat berupa gangguan memori, gangguan

berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi dan lain-lain.


3. Efek fisik/somatic : Dapat berupa kelelahan, nyeri otot,

hipertensi dan sebagainya.


4. Efek social : Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu,

seperti susah mendapat promosi pada lingkungan kerjanya,

kurang bias menikmati hubungan social dan keluarga.


5. Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam

memiliki angka harapan hidup yang lebih sedikit dari orang

yang tidur 7-8 jam semalam.


Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang

mengidentifikasi insomnia yang memperpendek angka

harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat

pada insomnia. Selain itu, orang yang menderita insomnia

memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami

kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang yang

normal (Turuna,2007).

2.3.7 Penatalaksanaan Insomnia

Terapi nonfarmakologi khususnya behavioral therapies efektif sebagai

farmakoterapi dan diharapkan menjadi pilihan pertama untuk insomnia kronis

pada pasien usia lanjut. Behavioral therapies terdiri dari beberapa metode

yang dapat diterapakan baik secara tunggal maupun kombinasi yaitu :

a. Stimulus control
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk mengunakan tempat tidur hanya

untuk tidur dan menghindari aktivitas lain seperti membaca dan menonton

tv di tempat 6 tidur. Ketika mengantuk pasien datang ke tempat tidur, akan

tetapi jika selama 15- 20 menit berada disana pasien tidak bisa tidur maka

pasien harus bangun dan melakukan aktivitas lain sampai merasa

mengantuk baru kembali ke tempat tidur. Metode ini juga harus didukung

oleh suasana kamar yang tenang sehingga mempercepat pasien untuk

tertidur. Dengan Metode terapi ini, pasien mengalami peningkatan durasi


tidur sekitar 30-40 menit.
b. Sleep restriction
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan meningkatkan

sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak tidur terlalu lama dengan

mengurangi frekuensi berada di tempat tidur. Terlalu lama di tempat tidur

akan menyebabkan pola tidur jadi terpecah- pecah. Pada usia lanjut yang

sudah tidak beraktivitas lebih senang menghabiskan waktunya di tempat

tidur namun, berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak

teratur.Melalui Sleep Restriction ini diharapkan dapat menentukan waktu

dan lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan.


c. Sleep higiene

Sleep Higiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan

lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.6 Hal-hal yang

dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan Sleep Higiene yaitu: olahraga

secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas yang

merupakan hobi dari usia lanjut, mengurangi konsumsi kafein, mengatur

waktu bangun pagi, menghindari merokok dan minum alkohol 2 jam

sebelum tidur dan tidak makan daging terlalu banyak sekitar 2 jam sebelum

tidur.
d. Terapi relaksasi
Tujuan terapi ini adalah mengatasi kebiasaan usia lanjut yang mudah

terjaga di 1malam hari saat tidur. Pada beberapa usia lanjut mengalami

kesulitan untuk tertidur kembali setelah terjaga. Metode terapi relaksasi

meliputi: melakukan relaksasi otot, guided imagery, latihan pernapasan

dengan diafragma, yoga atau meditasi. Pada pasien usia lanjut sangat sulit
melakukan metode ini karena tingkat kepatuhannya sangat rendah.

2.3.8 Alat Ukur Insomnia

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur insomnia dari subjek

adalah menggunakan KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri Biologi

Jakarta Insomnia Rating Scale) menurut Iskandar & Setyonegoro

dalam ramadhani (2014). Alat ukur ini mengukur insomnia secara

terperinci, memiliki pertanyaan yang lebih aplikatif bila digunakan pada

subjek. KSPBJ-IRS memiliki pertanyaan yang dirasa tidak memberatkan

subjek dalam menjawab. Berikut merupakan butir-butir dari KSPBJ

Insomnia Rating scale yang telah di modifikasi dan nilai scoring dari

tiap item yang dipilih oleh subjek adalah sebagai berikut :


1. Lamanya tidur
Bagian ini mengevaluasi jumlah tidur total yang tergantung

dari lamanya subjek tertidur dalam satu hari. Untuk subjek

normal tidur biasanya lebih dari 6,5 jam, sedangkan pada

penderita insomnia memiliki lama tidur lebih sedikit nilai yang

diperoleh untuk setiap jawaban adalah :


Nilai 0 untuk jawaban tidur lebih dari 6,5 jam, nilai 1 untuk

jawaban tidur antara 5,5 6,5 jam untuk insomnia ringan, nilai 2

untuk jawaban tidur antara 4,5 5,5 jam untuk insomnia ringan,

nilai 3 untuk jawaban tidur antara 4,5 jam untuk insomnia berat.
2. Mimpi
Subjek normal biasanya tidak bermimpi atau tidak mengingat

bila ia mimpi, sedangkan penderita insomnia mempunyai mimpi

yang lebih banyak. Nilai yang diperoleh untuk setiap jawaban :


Nilai 0 untuk jawaban tidak ada mimpi, nilai 1 untuk jawaban

terkadang yang mimpi yang menyenangkan atau mimpi biasa

saja, nilai 2 untuk jawaban selalu bermimpi, nilai 3 untuk

jawaban mimpi buruk.


3. Kualitas tidur
Kebanyakan subjek normal tidurnya dalam, sedangkan

penderita insomnia biasanya tidur dangkal. Nilai yang diperoleh

dalam setiap jawaban adalah :


Nilai 0 untuk jawaban dalam atau sulit terbangun, nilai 1

untuk jawaban terhitung tidur yang baik, tetapi sulit terbangun,

nilai 2 untuk jawaban terhitung tidur yang baik, tetapi mudah

terbangun, nilai 3 untuk jawaban tidur dangkal, mudah terbangun.


4. Masuk tidur
Subjek normal biasanya dapat tidur dalam waktu 5 15

menit atau rata-rata kurang dari 30 menit. Penderita insomnia

biasanya lebih lama dari 30 menit. Nilai yang diperoleh dalam

setiap jawaban adalah :


Nilai 0 untuk jawaban kurang dari jam, nilai 1 untuk

jawaban antara jam sampai 1 jam untuk insomnia ringan, nilai

2 untuk jawaban antara 1-3 jam untuk insomnia sedang, nilai 3

untuk jawaban lebih dari 3 jam untuk insomnia berat.


5. Terbangun malam hari
Subjek normal dapat mempertahankan tidur sepanjang

malam, kadang-kadang terbangun 1-2 kali, tetapi penderita

insomnia terbangun lebih dari 3 kali. Nilai yang diperoleh dalam

setiap jawaban :
Nilai 0 untuk jawaban tidak terbangun sama sekali, nilai 1

untuk jawaban 1-2 kali terbangun untuk insomnia ringan, nilai 2


untuk jawaban 3-4 kali terbangun untuk insomnia sedang, nilai 3

untuk jawaban lebih dari 4 kali terbangun untuk insomnia berat.


6. Waktu untuk tertidur kembali
Subjek normal mudah sekali untuk tidur kembali setelah

terbangun dimalam hari, biasanya kurang dari 5 menit jam

mereka dapat tidur kembali. Nilai yang diperoleh dalam setiap

jawaban.
Nilai 0 untuk jawaban kurang dari 5 jam, nilai 1 untuk

jawaban antara jam 1 jam untuk insomnia ringan, nilai 2

untuk jawaban anatara 1-3 jam untuk insomnia sedang, nilai 3

untuk jawaban lebih dari 3 jam atau tidak dapat tidur lagi untuk

insomnia berat.
7. Lamanya tidur setelah terbangun
Subjek normal biasanya dapat tertidur kembali setelah

bangun, sedangkan penderita insomnia tidak dapat tidur

kembali atau tidur hanya jam. Nilai yang diperoleh dalam

setiap jawaban :
Nilai 0 untuk jawaban lama tidur lebih dari 3 jam, nilai 1

untuk jawaban lama tidur antara 1-3 jam, nilai 2 untuk jawaban

lama tidur -1 jam, nilai 3 untuk jawaban lama tidur kurang dari

jam.
8. Lamanya gangguan tidur terbangun pada malam hari
Subjek normal biasanya tidak mengalami gangguan tidur

terbangun malam hari atau hanya 1 malam, tetapi penderita

insomnia biasanya mengalami gangguan tidur selama 7 hari,

sebulan tergantung dari berat insomnianya. Nilai yang diperoleh

dalam setiap jawaban :


Nilai 0 untuk jawaban lama gangguan tidur terbangun dini

hari tidak sama sekali atau 1 pagi, nilai 1 untuk jawaban 2-7 hari
untuk insomnia ringan, nilai 2 untuk jawaban 2-4 minggu untuk

insomnia sedang, nilai 3 untuk jawaban lama gangguan sudah

lebih dari 4 minggu untuk insomnia berat.


9. Terbangun dini hari
Subjek normal dapat terbangun kapan ia ingin bangun,tetapi

penderita insomnia biasanya bangun lebih cepat (missal 1-2 jam

sebelum waktu untuk bangun). Biasanya rata-rata subjek normal

terbangun 4.30 WIB. Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban

adalah :
Nilai 0 untuk jawaban bangun jam 4.30 nilai WIB, nilai 1

untuk jawaban bangun jam 4.00 untuk insomnia ringan, nilai 2

untuk jawaban bangun jam 3.30 dan tidak dapat tidur lagi untuk

insomnia sedang, nilai 3 untuk jawaban bangun sebelum 3.30

dan tidak dapat tidur lagi untuk insomnia berat.


10.Lamanya perasaan tidak segar setiap bangun pagi
Subjek normal merasa segar setelah tidur di malam hari,

akan tetapi penderita insomnia biasanya bangun tidak segar

atau lesu dan perasaan ini biasanya dialami selama 7 hari,

sebulan, bahkan berbulan-bulan tergantung berat insomnianya.

Nilai yang diperoleh dalam setiap jawaban :


Nilai 0 untuk jawaban lamanya perasaan tidak segar setiap

bangun pagi tidak ada, nilai 1 untuk jawaban 2-7 hari untuk

insomnia ringan, nilai 2 untuk jawaban 2-4 minggu untuk

insomnia sedang, nilai 3 untuk jawaban lama gangguan sudah

lebih dari 4 minggu untuk insomnia berat.


Setalah semua nilai terkumpul kemudian di hitung dan

digolongkan kedalam tingkat insomnia :


a. Insomnia ringan : 11-17
b. Insomnia sedang : 18-24
c. Insomnia berat : 25-33

2.4 Konsep Lansia

2.4.1 Pengertian Lanjut Usia (Lansia)

Menurut WHO, 2013 dan Undang-Undang No 13 Tahun

1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2

yang menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia

permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, akan tetapi

merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan

perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam

dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Padila, 2013).


Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60

tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999 dalam Taat

Sumedi, 2016).

Lanjut usia merupakan sebagai seseorang yang

digolongkan ke kelompok usia lanjut yang berpedoman pada

usia dan lazimnya bila dia menginjak usia 50-60 tahun (Yaumil

Agoes Achir, 2010).

Lanjut usia adalah suatu proses menghilangnya

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti

dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-

lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan

memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994

dalam Taat Sumedi, 2016).

2.4.2 Batasan-batasan lanjut usia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan

pada daur kehidupan manusia. Usia yang dijadikan patokan

untuk lanjut lansia berbeda-beda, umumnya berkisar antara

60-65 tahun. Menurut pendapat berbagai ahli dalam effendi


(2009), batasan-batasan umur mencakup batasan umur lansia

sebagai berikut:

a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1

pasal 1 ayat 2 berbunyi Lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun (enam puluh) tahun ke atas.


b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi

menjadi empat criteria sebagai berikut: usia pertengahan

(middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-

74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat

tua (very old) ialah diatas 90 tahun.


c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase,

yaitu: pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase

virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-

65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.


d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia

(geriatric age): > 65tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia

(getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi batasan umur, yaitu

young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( >

80 tahun) (effendi, 2009 dalam Padila, 2013).

2.4.3 Karakteristik Lansia

Menurut Budi Ana Keliat (1999) dalam Padila (2013). Lansia

memiki karakteristik sebagai berikut:


1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai pasal 1 ayat (2) UU No. 13

tantang kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat

samapi sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual,

serta dari kondisi adaptif hingga maladaptif.


3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

2.4.4 Tipe Lansia

Tipe lansia bergantung pada karakter, p[engalaman hidup,

lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonominya

(Nugroho,2000 dalam Padila, 2013). Tipe tersebut diantaranya :

a. Tipe arif bijaksana


Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah,

rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan

menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selekrif

dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan

memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,

tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak

menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan

melakukan pekerjaan apa saja.


e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,

dan acuh tak acuh.


Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, dependen

(tergantung), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe

pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta

tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

2.4.5 Proses penuaan

Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur

seseorang manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur

tersebut. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ

tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut, sehingga

munculah teori-teori yang menjelaskan mengenai faktor penyebab proses

penuaan ini. Diantara teori yang terkenal adalah Teori Telomere dan teori

radikal bebas (J.M. McCord dan I.

Proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat

dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi

secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi. Proses

penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya

dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan

lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit (Mubarak, 2009).


Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara

biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka

kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan

kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher, 2009).

2.4.6 Teori-teori proses penuaan

Ada beberapa teori penuaan, sebagaimana dikemukakan oleh Maryam,

dkk. (2008), yaitu teori biologi, teori psikologi, teori kultural, teori sosial, teori

genetika, teori rusaknya system imun tubuh, teori menua akibat metabolism,

dan teori kejiwaan sosial. Berdasarkan pengetahuan yang berkembang tentang

teori proses menjadi tua yang sampai saat ini masih dianut gerontologist, maka

dalam tingkatan kompetensinya, perawat perlu mengembangkan konsep dan

teori keperawatan sekaligus praktik keperawatan yang didasarkan atas teori

menua tersebut.

1. Teori Biologis
Teori Biologis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Teori Stokastik/

Stochastic Theories/NonStochastic Theories.


a. Teori Stokastik/Stochastic Theories
Teori ini mengatakan bahwa penuaan merupakan suatu kejadian yang

terjadi secara acak atau random dan akomulasi setiap waktu. Termasuk

teori Stokastik adalah Teori kesalahan (Error Theory), Teori keterbatasan

Hayflick (Hayflick Limit Theory), Teori Pakai dan Usang (Wear & Tear

Theory), Teori Imunitas (Imunity Theory), Teori Raikal Bebas (Free

Radical Theory), dan Teori Ikatan Silang (Crost Linkage Theory).


2. Teori Nonstokatis
Menurut John Wiley & Sons, 1996 dalam Taat Sumedi, 2016. Dalam teori

ini dikatakan bahwa proses penuaaan disesuaikan menurut waktu tertentu.

Termasuk teori menua dalam lingkup proses menua biologis dan bagian

dari Teori Nonstokastik adalah Programmed Theory dan Immunity

Theory.
3. Teori Biologis Menurut Horan M.

Horan M. (1997) dalam Taat Sumedi (2016), mengemukakan bahwa Teori

Biologis meliputi Teori Genetik Clock, Teori Mutasi Somatik, Teori Autoimun,

Teori Radikal Bebas, dan Teori Stres.

1. Teori Genetik Clock, menyatakan bahwa menua telah terprogram

secara genetik untuk spesies-spesies tertentu.Dalam nukleusnya (inti

selnya), tiap spesies mempunyai sutu jam genetic yang telah diputar

menurut suatu replikasi tertentu.


2. Teori Mutasi Somatik, menurut teori ini faktor yang menyebabkan

mutasi somatic adalah lingkungan. Sebagai contoh diketahui bahwa

radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur. Sebaliknya,

menghindarinya dapat memperpanjang umur.


3. Teori Autoimun. Teori ini dikemukakan oleh Goldstein, yang

menyatakan bahwa dalam proses metabolism tubuh, suatu saat

diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh yang tertentu yang

tidak tahan terhadap zat tersebut, sehingga jaringan tubuh menjadi

lemah dan sakit/mati.


4. Teori Radikal Bebas. Dalam teori radikal bebas, bahwa zat-zat tertentu
Dapat dibentuk di alam bebas. Tidak stabilnya radikal bebas

mengakibatkan oksigenasi bahan-bahan organic seperti karbohidrat

dan protein. Radiak ini menyebabkan sel-sel tidak dapat bergenerasi.


5. Teori Stress. Dalam teori ini menua terjadi akibat hilangnya sel-sel

yang biasa digunakan. Regenerasi jaringan tidak dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal dan stress

menyebabkan sel-sel tubuh telah dipakai.


4. Teori Psikologi

Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang merespons pada tugas

perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan seseorang akan terus berjalan

meskipun orang tersebut telah menua. Teori Psikologi terdiri dari Teori HIerarki

Kebutuhan Manusia Maslow, Teori Individualisme Jung, dan Optimalisasi

Selektif dengan Kompensasi.

5. Teori Kultural

Ahli antropologi menjelaskan bahwa tempat kelahiran seseorang berpengaruh

pada budaya yang dianut oleh seseorang. Dipercayai bahawa kaum tua tidak

dapat mengabaikan sosial budaya mereka.

6. Teori Sosial

Teori Sosial meliputi Teori Aktivitas, Teori pembebasan, dan Teori

Kesinambungan. Teori Aktivitas menyatakan lanjut usia yang sukses adalah

mereka yang aktif dan mengikuti banyak kegiatan sosial. Teori Pembebasan

(Disengagement Teori) menerangkan bahwa dengan berubahnya usia seseorang,


secara berangsur-angsur orang tersebut mulai melepaskan diri dari kehidupan

sosialnya.

7. Teori Genetika

Dalam teori ini, proses penuaan kelihatannya mempunyai komponen genetic.

Hal ini dapat dilihat dari penganatan bahwa anggota kelurga yang sama

cenderung hidup pada umur yang sama dan mereka mempunyai umur yang rata-

rata sama,tanpa mengikutsertakan meninggal akibat kecelakaan dan penyakit.

8. Teori Rusaknya Sistem Imun Tubuh

Teori ini menyatakan bahwa mutasi yang terjadi secar aberulang

mengakibatkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya berkurang

(self recognition), menurun mengakibatkan kelainan pada sel, dan dianggap sel

asing sehingga dihancurkan.

2.4.7 Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia

2.4.8 Tindakan untuk meningkatkan hidup pada lansia

Anda mungkin juga menyukai