Anda di halaman 1dari 73

Cultivation Theory

Teori Kultivasi
Kultivasi adalah teori sosiokultural mengenai peran televisi
dalam memengaruhi pemirsa, melalui persepsi,keyakinan, sikap,
dan nilai-nilai (Gerbner & Gross, 1976). Menurut Wood, kata
‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi
menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada
khalayaknya (Wood,
2000: 87).
Analisis kultivasi yang berfokus pada bagaimana paparan
pesan media mempengaruhi konsepsi penerima tentang dunia
nyata. Selain itu, karena pada saat perkembangan teori kultivasi
televisi adalah media mendongeng yang dominan, sebagian besar
pengembangan dan pengujian teori telah berfokus pada pengaruh
dan efek televisi pada persepsi pemirsa terhadap realitas sosial.
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang
“Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk
mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain,
Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang
dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi Itu juga bisa
dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih
menekankan pada “dampak” . Teori kultivasi muncul dalam
situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan
komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa
(powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai
keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga
perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media
massa bersif angsung dengan kelompok efek media massa
bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul
untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa
lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-
budaya ketimbang individual
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya
pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di
televisi.
Kemudian Gerbner bersama beberapa rekannya melanjutkan
penelitian media massa dengan memfokuskan pada dampak media massa
dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis
tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang
kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi
dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya.

Analisis konten dari program TV dengan jelas menunjukkan bahwa


dunia televisi sangat berbeda dari dunia nyata, dengan cara yang sangat
sistematis. Sebagai contoh, dunia televisi lebih keras secara umum
daripada dunia nyata, kekerasan secara tidak proporsional diberlakukan
pada kelompok tertentu (anak-anak, lansia, minoritas). Perbedaan penting
lainnya ada antara penggambaran TV dan fakta aktual. Misalnya, televisi
secara konsisten menggambarkan gambaran tentang kelimpahan materi.
Representasi kekayaan dan kemakmuran, dan tingkat materialisme umum,
cenderung berlebihan yang disajikan di televisi (O’Guinn & Shrum, 1997)
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa
penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers)
mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia
sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan.
Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi
menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoid) yang
membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka
tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya.
Gerbner berpendapat bahwa media massa
menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian
memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut
antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya
bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan
masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para
pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang
sama satu sama lain.
Dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada
dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai
karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu

(1) para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah


mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam
setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut
sebagai kahalayak ‘the television type”,
(2) penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang
menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap
harinya.
Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu
untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan
orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan
realitas sosial. Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata
(real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan
dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic
world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat
dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun
yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya.
Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh
tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan
lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy
viewer (penonton berat).
Gerbner menyatakan bahwa cultivation differential dari media effect
untuk dijadikan rujukan untuk membandingkan sikap penonton televisi.

Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap yang akan muncul berkaitan
dengan keberadaan heavy viewers, yaitu:
1. Mereka yang memilih melibatkan diri dengan kekerasanYaitu
mereka yang pada akhirnya terlibat dan menjadi bagian dari
berbagai peristiwa kekerasan.
2. Mereka yang ketakutan berjalan sendiri di malam hariYaitu
merekayang percaya bahwa kehidupan nyata juga penuh dengan
kekerasan, sehingga memunculkan ketakutan terhadap berbagai
situasi yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan. Beberapa
kajian menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak perempuan
daripada laki-laki.
3. Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan hukum,Yaitu mereka yang
percaya bahwa masih cukup banyak orang yang tidak mau terlibat
dalam tindakan kekerasan.
4. Mereka yang sudah kehilangan kepercayaan,Yaitu mereka yang
sudah apatis tidak percaya lagi dengan kemampuan hukum dan
aparat yan
Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world
syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan bentuk
keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah
tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah
tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat
membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati
menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light
viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di
antara mereka. Penonton ringan (light viewers) cenderung
menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih
bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal),
semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung
mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
Media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang
besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh
tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak
langsung, dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri
penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu
mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka
melalui berbabagai acara yang ditayangkan.

Teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat


komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat
individual. Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi
bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak
berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama
terhadap realitas yang diciptakan media tersebut. Terpaan pesan televisi
yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai
pandangan konsensus masyarakat.
Televisi membentuk mainstreaming dan resonance,
adalah asumsi yang menegaskan bahwa televisi membentuk
mainstreaming dan resonace.
Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor
mainstreaming dan resonance. Mainstreaming diartikan sebagai
kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai
pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (TV
stabilize and homogenize views within a society).
Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan
(bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan
(bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan
mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan
pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika
apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat
dalam kehidupan nyata
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai
bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya
televisi. adapun yang kita kita kenal dengan istilah cultivation
analysis.

Contoh penelitian yang berkaitan dengan Teori Kultivasi


Penelitian yang dilakukan oleh Yudhi Primadiansyah dengan judul
“Pengaruh televisi Terhadap Perilaku Kekerasan” Penelitian ini
menggunakan terori Kultivasi sebagai acuan dalam penelitiannya.
Dalam karya nya dibahas tentang tayangan OVJ (Opera Van Java)
yang di dalamnya banyak adegan kekerasan, misalnya mendorong
pemain lain ke dinding atau assesoris lain yang terbuat dari bahan-
bahan lunak, sehingga bahan tersebut hancur dalam rangka untuk
mengundang gelaktawa dari penonton. Menurut Peneliti, tayangan
seperti ini ternyata bisa membentuk perilaku keras dari para
penontonnya. (Pramadiansyah, 2014: 22).
Meskipun teori kultivasi yang diperkenalkan oleh George Gerbner ini sudah
tepat diterapkan pada analisis yang berkaitan dengan tayangan televisi, akan
tetapi ada beberapa kelemahan dan kritik terhadap teori ini, antara lain:

1. Korelasi antar terpaan televisi dan kepercayaan khalayak membuktikan


hubungan sebab akibat. Tayangan di televisi membentuk sebuha realitas
sosial yang dibangun dengan cara teetentu, akan tetapi realitas sosial ini
bisa jadi mempengaruhi prilaku.
2. Perilaku khalayak dan apa yang dilihat khalayak pasti banyak dipengaruhi
oleh latar belakang sosial budaya. Sikap kita tidak hanya dipengaruhi oleh
televisi saja, tetapi juga oleh media lain, pengalaman langsung orang lain,
dan lain-lain.
3. Program televisi yang berbeda akan memberikan kontribusi yang berbeda
dalam membentuk realitas. Maka letak kelemahan teori kultivasi adalah teori
ini menganggap setiap tayangan televisi adalah homogen. Dalam
kenyataannya ada banyak hal yang harus diperhatikan. Misalnya saja para
heavy viewers seharusnya lebih memperhatikan penampilannya. Hal ini
disebabkan biasanya aktor dan aktris di televisi kelihatan muda, langsing
dan menarik. Tetapi kenyataannya para heavy viewers ini sama sekali tidak
menaruh perhatian pada kesehatan dan berat badan.
5) Hubungan tayangan kekerasan di televisi dan rasa takut dapat
dijelaskan melalui hubungan bertetangga dimana khalayak
tinggal. Mereka yang tinggal di daerah yang tingkat
kriminalitasnya tinggi cenderung untuk tetap tinggal di rumah
dan meyakini bahwa ada kemungkinan besar dirinya akan
diserang dibanding dengan mereka yang tinggal di daerah yang
tingkat kriminalitasnya rendah.

6) Teori kultivasi tidak memperhatikan pentingnya dinamika sosial


dari penggunaan televisi. Faktor-faktor seperti tingkat
perkembangan, pengalaman, pengetahuan umum, gender,
etnis, sikap keluarga dan latar belakang sosial ekonomi,
memberikan kontribusi dalam menanggapi tayangan di televisi.
Misalnya saja, kelompok dengan status sosial ekonomi yang
rendah cenderung menonton televisi sebagai satu – satunya
sumber informasi bila dibandingkan dengan kelompok lain.
Teori Kultivasi lahir dalam situasi ketika terjadi
perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi
yang meyakini efek sangat kuat media massa
(powerfull effects model) dengan kelompok yang
mempercayai keterbatasan efek media (limited
effects model), dan juga perdebatan antara
kelompok yang menganggap efek media massa
bersifat langsung dengan kelompok efek media
massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori
kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan
orang, bahwa efek media massa lebih besifat
kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-
budaya ketimbang individual.
Teori kultivasi ini banyak dipakai dalam penelitian
oleh para peneliti yang ingin mengetahui dampak
dari Televisi yang merupakan bentuk media massa.
Walaupun secara umum tayangan televisi mampu
mempengaruhi perilaku penonton sebagaimana
yang disampaikan oleh teori ini, namun semua itu
juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh sebab itu
faktor-faktor lain itu perlu menjadi pertimbangan
dalam membuat sebuah pernyataan bahwa perilaku
khalayak tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh
tayangan yang ia tonton.
Spiral of Silence Theory
Teori spiralkesunyian/kebisuan
Diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle
Neuman,seorang guru besar ilmu Komunikasi dari
Institute fur Publizistik Jerman melalui tulisannya
yangberjudul The Spiral of Silence Pada tahun 1984.

Teori spiral kesunyian


Berkaitan dengan bagaimana terbentuknya
pendapat umum maupun pendapat pribadi,setelah
dalam diri seseorang memperoleh terpaan
informasi dari Komunikasi massa,komunikasi
interpersonal, dan persepsi individu.
Menurut Teori ini,Indivividu pada umumnya berusaha
untuk menghindari isolasi sendirian mempertahankan
sikap atau keyakinan tertentu.Individu-individu tersebut
akan mengamati lingkungannya, memperhatikan opini-
opini di media massa,mempertimbangkan hasil
komunikasi interpersonal dengan individu lain,dan juga
tidak melupakan persepsi individu.
Dari Konfigurasi opini media massa ,opini
interpersonal, dan persepsi pribadi,Setelah semuanya
dipelajari maka ia akan dapat menyimpulkan
pandangan-pandangan mana yang bertahan atau
yang paling populer,Sehingga pendapat yang dominan
dan populer ini akan menjadi pendapat dan sikap
individu.
 Asumsi dasar:
 Media massa mempunyai dampak yang sangat kuat pada
opini publik tetapi dampak ini diremehkan atau tidak
terdeteksi di masa lalu karena keterbatasan riset. Dalam
teori ini opini publik terbentuk melalui proses spiral
kesunyian. Orang yang berada pada kelompok mayoritas
sering merasa perlu mengubah pendiriannya karena jika
tidak merubah ia merasa sendiri.
Setiap individu memiliki kecenderungan “konformitas” yaitu akan
merasa lebih nyaman apabila berpendapat atau beropini sesuai
dengan pendapat atau opini mayoritas (yang dominan).

Oleh karena itu banyak orang akan memilih mengubah pendiriannya ,


ia tidak mau berbeda sendirian, dan juga tidak mau merasa sendiri
merasa sunyi , dan sepi .

Misalnya ada seseorang yang menjadi anggota masyarakat baru


(pendatang) di sebuah lingkungan masyarakat. Ia merasa
perlubersikap “diam” atau “membisu” ketikapendapat mayoritas
bertolak belakang dengan pendapat dirinya , bahkan ia sering merasa
perlu untuk mengubah pendiriannya sesuai dengan kelompok
mayoritas dimana dia berada.
Teori spiral kesunyian ini menitik beratkan peran opini
dalam interaksi interpersonal dan interaksi sosial.
Sebagaimana kita ketahui,opini publik, terutama yang
dikategorikan sebagai “isu kontroversial” akan berkembang
cepat apabila disebar - luaskan melalui media massa.
Selain itu, isu tersebut juga diperhebat dengan komunikasi
berantai antara satu orang kepada orang lain secara
interpersonal. Ini berarti,telah terjadi persaingan dan
pertempuran antara satu opini dengan opini lain dalam
setiap pikiran manusia.

Opini manusia dibentuk ,disusun, ditambah,dikurangi,


diubah oleh Peran media massa, dan komunikasi
interpersonal.
• Spiral keheningan mengajak kita kembali
kepada teori media massa yang perkasa, yang
mempengaruhi hampir setiap orang dengan
cara yang sama.
(Noelle-Meumann, 1973)
• Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa
kekuatan media massa diperoleh dari:
1. Kehadirannya dimana-mana (ubiquity)
2. pengulangan pesan yang sama dalam suatu
waktu (kumulasi)
3. konsensus (konsonan) tentang nilai-nilai kiri
di antara mereka yang bekerja dalam media
massa, yang kemudian direfleksikan dalam
isi media massa
Selain itu, spiral kebisuan ini juga memperlakukan
opini publik sebagai suatu proses dan bukan sebagai
sesuatu yang statis. Perspektif itu juga memperhatikan
dinamika produksi media dengan pembentukan opini
publik (Glynn dan McLeod, 1985; Katz, 1981; Salmon
dan Kline, 1983).

Dalam evaluasi masalah-masalah yang dihadapi


oleh suatu komunitas di Waukegan, Illinois, Taylor
(1982) menemukan bahwa orang-orang yang
merasa opininya mendapat dukungan mayoritas
akan lebih berani mengungkapkan pendapatnya.
Demikian juga dengan orang-orang yang
merasa bahwa opininya akan mendapat
dukungan di kemudian hari.
(misalnya kelompok avant garde, Sebuah kelompok yang
aktif dalam penemuan dan penerapan ide-ide baru dan teknik
dengan cara yang asli atau eksperimental).

Glynn dan McLeod (1985) menemukan bahwa


persepsi tentang apa yang dipercayai orang
lain akan mempengaruhi ekspresi opini dan
pemungutan suara.
 Sedangkan pada kelompok hard core di antara para
pemilih lebih suka mendiskusikan kampanye politik
daripada yang lain. Yang dimaksud dengan hard core
di sini ialah orang-orang yang secara eksplisit
menyukai seorang kandidat setelah melalui beberakali
wawancara.
 Glenn dan McLeod (1985) juga menyatakan bahwa
responden-responden mereka lebih suka melibatkan
diri dalam diskusi-diskusi politik dalam suatu
pertemuan, jika orang-orang lain yang hadir di situ
pandangannya sejalan dengan pandangan mereka.
 Contoh kasusnya yakni, Meskipun dalam
posisi minoritas, namun karena dia seorang
ahli dan teknisi komputer, misalnya, maka
pendapat dan pandangannya mengenai
komputer, akan tetap lebih dipercaya
dibandingkan dengan mereka yang banyak
jumlahnya namun tidak mengetahui perihal
komputer
 Diam adalah emas biasanya berlaku pada
konteks teori spiral of silence. Daripada
berbicara yang belum tentu didengar
pendapatnya, maka lebih baik diam
 Makna diam yang kedua, yakni diam bukan
berarti setuju, juga masih dalam kerangka
teori ini.
 Teori ini muncul karena orang-orang dari kelompok
minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan
pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok
mayoritas. Dapat dikatakan bahwa seseorang sering merasa
perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam
kelompok mayoritas.
 Orang sering merasa lebih aman jika tidak mengeluarkan
pendapatnya di forum-forum tertentu karena berbagai
alasan
 Misalnya karena tidak ada yang akan mendukung
pendapatnya karena dia tergolong minoritas, atau mungkin
malahan merasa inferior
 Prinsip penting teori tersebut:
 · Media massa memainkan peran penting dalan
spiral kesunyian karena media massa merupakan
sumber yang diandalkan orang untuk menemukan
distribusi opini publik.
 · Media massa memainkan peran penting ketika
orang berusaha untuk menentukan opini mayoritas.
 · Individu mempunyai organ indra yang mirip
statistik yang digunakan untuk menentukan “opini
dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak
disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan
perilaku mana yang memperoleh dan kehilangan
kekuatan.”
 Opini yang berkembang dalam kelompok
mayoritas dan kecenderungan seseorang
untuk diam karena berasal dari kelompok
minoritas juga bisa dipengaruhi olehn isu-
isu dari media massa.
 Salah satu alasan individu-individu dari
kelompok minoritas dan sedang berada
dalam kelompok mayoritas merasa perlu
untuk diam adalah dia tidak mau diisolasi
dari pergaulan sosial dimana dia berada
 Kelebihan dari spiral of silence: Dengan
hadirnya teori ini, membantu kalangan
minoritas secara tidak langsung.

 Kekurangan dari spiral of silence: Jika


seseorang mempunyai keinginan yang
kuat, maka orang tersebut tidak akan
mudah mengikuti opini mayoritas yang
ada di sekitar nya.
Agenda Setting Theory
McCombs and Shaw melakukan
analisis dan investigasi terhadap jalannya
kampanye pemilihan presiden pada
tahun 1968, 1972, dan 1976. pada
penelitiannya yang pertama (1968),
mereka menemukan dua hal penting,
Teori Penentuan Agenda yakni kesadaran dan informasi.
diperkenalkan oleh Maxwell Mc. Dalam menganalisa fungsi agenda setting
Comb Donald L. Shaw pada
media ini mereka berkesimpulan bahwa
tahun 1972.
media massa memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhadap apa yang
pemilih bicarakamengenai kampanye
politik tersebut, dan memberikan
pengaruh besar terhadap isu - isu apa
yang penting untuk dibicarakan
Teori Penentuan Agenda
 Teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan
pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan untuk
mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi
ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran
publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap
penting oleh media massa.

Media massa informasi agenda kesadaran Public

 Atau penyampaikan informasi kepada masyarakat dengan


tujuan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat tentang
sesuatu hal yang dianggap penting melalui media massa.
 Agenda setting terjadi karena media massa sebagai penjaga
gawang informasi (gatekeeper) harus selektif dalam
menyampaikan berita. Media harus melakukan pilihan
mengenai apa yang harus dilaporkan dan bagaimana
melaporkannya. Apa yang diketahui publik mengenai suatu
keadaan pada waktu tertentu sebagian besar ditentukan oleh
proses penyaringan dan pemilihan berita yang dilakukan
media massa.
 Dalam penelitian ini Shaw dan McComb, mengemukakan
bahwa agenda setting dapat dibagi dalam dua tingkatan.
Pertama, upaya membangun isu umum yang dinilai penting.
Kedua, menentukan bagian-bagian atau aspek dari isu umum
yang dinilai penting. Tingkat kedua dinilai penting karena
menginformasikan bagaimana cara membingkai isu atau
melakukan framing terhadap isu.
ASUMSI
 Bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau
tulisan yang akan disiarkannya.
 Orang yang menyunting dan menyiarkan berita di media
massa disebut dengan gatekeepers.
 Media massa terbukti sanggup membentuk citra orang-
orang tentang lingkungan dengan menyampaikan
informasi.
 Media massa berperan dalam menyampaikan
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang baik.
 Teori ini akhirnya berkembang dan banyak riset dilakukan untuk
membuktikan hipotesisteori ini. Pada 1972 misalnya, teori ini
digunakan untuk meriset efek kampanye presiden di Noth
California. Hasilnya, media cetak terbukti mendukung hipotesis
riset agenda settingsedangkan media elektronik hasilnya tidak
mendukung. Kurt Lang pada 1983 juga telahmelakukan
pengujian yang sama, hasilnya mereka menyimpulkan bahwa
pemberitaan mediamemang menjadi variable penentu yang
mempengaruhi apa yang dianggap penting dandibicarakan
publik.Fungsi penentuan agenda media mengacu pada
kemampuan media, dengan liputan beritayang diulang-ulang,
untuk mengangkat pentingnya sebuah isu dalam benak publik
 Teori agenda setting mempunyai kesamaan dengan teori
peluru yang menanggap media mempunyai kekuatan
mempengaruhi khalayak. Bedanya, Teori peluru
memfokuskan pada sikap (afektif), pendapat atau bahkan
perilaku. Agenda setting memfokuskan pada kesadaran
dan pengetahuan (kognitif).
KONSEP-KONSEP AGENDA SETTING TEORI
 Agenda Media: Berpusat bagaimana media mengeksploitasi
atau mengarahkan berita dan informasi secara terus menerus
kepada massa.
 Agenda media memiliki dimensi-dimensi sbb:
1. Visibility : Jumlah dan tingkat menonjolnya berita.
2. Audience salience: Relevansi isi berita dengan kebutuhan
khalayak.
3. Valence : Menyenangkan atau tidak cara pemberitaan bagi
suatu peristiwa
 Agenda Publik : Berpusat pada informasi dan berita yang
terus menerus diterima oleh publik , sehingga
menimbulkan awareness tersendiri kepada publik.
Dimensi-dimensi agenda publik sbb:
1. Familiarity : Derajat kesadaran khalayak akan topik
tertentu
2. Personal salience : Relevansi kepentingan individu
dengan ciri pribadi.
3. Favorability : Pertimbangan senang atau tidak senang
akan topic berita.
 Agenda Kebijakan: Bagaimana akhirnya berita dan informasi tersebut
mempengaruhi kebijakan publik atau kebijakan pemerintah.
Dimensi-dimensi agenda kebijakan sbb:
1. Support: Kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu.
2. Likelihood of action : Kemungkinan pemerintah melaksanakan apa
yang diibaratkan.
3. Freedom of action : Nilai kegiatan yang mungkin dilakukan
pemerintah.

 Framing : Dilakukan media dalam membuat suatu berita terus


menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik.
 Framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas
sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol
dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik
utama yang diangkat oleh media sebagai bahan
perbincangan sehari-hari
 Konsep agenda setting ini adalah masalah waktu
pembingkaian fenomena - fenomena tersebut dalam artian
bahwa tiap - tiap media memiliki potensi - potensi agenda
setting yang berbeda - beda satu sama lainnya

 Priming: Memberikan standar pada khayalak ,


menentukan acuan tentang bagaimana seharusnya sesuatu
berlaku, seperti apa yang baik dan apa yang buruk,
apakah sesuatu itu melanggar atau tidak, apakah pantas
atau tidak, media membuat khalayak menganggapnya
benar.
 Ciri dari agenda setting adalah media terus menerus
memberitakan suatu berita sehingga berita tersebut
menjadi “penting” untuk diketahui.

 Efek dari model agenda setting terdiri atas efek langsung


dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung
berkaitan dengan isu adalah apakah isu itu ada atau tidak
ada dalam agenda khalayak dari semua isu, mana yang
dianggap paling penting menurut khalayak sedangkan efek
lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang persitiwa
tertentu) atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu
atau aksi protes (Elvinaro, 2007: 77).
 Media tidak hanya sanggup memengaruhi opini publik,
tapi juga tindakan publik. Di sisi lain, pengaruh media
dikatakan terbatas, tergantung pada konteks ruang dan
waktu, dan di mana media itu bekerja. Bagi mereka yang
menganggap the media is powerfull, kemudian
melahirkan beberapa teori komunikasi massa yang
memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan
budaya, yakni teori Agenda Setting, teori Dependensi,
Spiral of Silence, dan Information Gaps.
Diffusion of innovation Theory
 Tahun 1944 menjadi titik awal munculnya teori difusi inovasi
yang di tulis oleh paul Lazearfeld, Bernard Barelson, dan
H.Gaudet dalam artikel berjudul “The People’s Choice” teori ini
mengatakan bahwa komunikator yang mendapat pesan dari
media massa sangat kuat untuk memengaruhi orang-orang.
Dengan demikian, adanya inovasi (penemuan), lalu disebarkan
(difusi) melalui media massa akan kuat memengaruhi massa
untuk mengikutinya.

 Teori difusi inovasi yang dikembangkan Everett M Rogers


dikenal luas sebagai teori yang membahas keputusan inovasi.
Melalui buku Diffusion of Innovation(DOI), Rogers (1983)
menawarkan konsep difusi inovasi berikut kecepatan sebuah
sistem sosial menerima ide-ide baru yang ditawarkan sebuah
inovasi. Teori Rogers ini hingga kini banyak dirujuk para peneliti
khususnya saat membahas soal difusi inovasi.
 Ada tiga konsep pokok yang dibahas Rogers dalam DOI, yakni
inovasi, difusi, dan adopsi.
 Inovasi adalah sebuah ide, praktik atau objek yang dipersepsikan
sebagai sesuatu yang baru oleh individu.
 Sedangkan difusi merupakan proses mengkomunikasikan sebuah
inovasi melalui saluran komunikasi tertentu dalam waktu
tertentu kepada anggota sistem sosial.
 Adopsi akan terjadi ketika individu menggunakan secara penuh
sebuah inovasi ke dalam praktek sebagai pilihan terbaik(Rogers,
1983).
 Armstrong dan Kotler (2009) mendefinisikan proses adopsi
inovasi merupakan proses mental di mana seorang individu
melalui tahap pertama dalam mempelajari inovasi menuju adopsi
final.
 Asumsi utama yang dapat disimpulkan dari teori ini adalah:
 · Difusi inovasi adalah proses sosial yang mengomunikasikan
informasi tentang ide baru yang dipandang secara subjektif.
Makna inovasi dengan demikian perlahan-lahan
dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial
 · Inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang
mempunyai manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk
dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh lebih besar, dan
tingkat kerumitan yang lebih rendah akan lebih cepat diadopsi
daripada inovasi-inovasi lainnya
 Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4
(empat) elemen pokok, yaitu:
 1. Inovasi
Gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut
pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru
oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’
dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
 2. Saluran komunikasi
Alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada
penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling
tidakperlu memperhatikan tujuan diadakannya komunikasi dan
karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk
memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan
tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan
efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk
mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran
komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
 3. Jangka waktu
Waktu merupakan pertimbangan yang penting dalam proses difusi.
Dimensi waktu terdapat dalam (1) proses pengambilan keputusan
inovasi, (2) relatif lebih lambat atau lebih lambatnya seseorang dalam
menerima inovasi, dan (3) kecepatan pengadopsian inovasi dalam
sistem sosial. Pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental
sejak individu mulai mengenal suatu inovasi sampai memutuskan
untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap
keputusan itu. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan
sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Masa
pengambilan keputusan inovasi adalah jangka waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan seluruh proses pengambilan keputusan inovasi
 4. Sistem sosial
Kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam
kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan
bersama
 Proses Difusi Inovasi
1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau
unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami
eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi
berfungsi
2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil
keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3.Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah
pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan
penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
 Kategori Adopter
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter
(penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan
dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan
rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah
duji oleh Rogers (1961).
 Inovator (Innovators). Inovator adalah individu yang secara aktif mencari
informasi mengenai ide baru. Mereka memiliki tingkat yang cukup tinggi
terpapar oleh media massa dan memiliki jaringan yang luas hingga di luar
lokal sistem mereka. Menjadi seorang inovator memiliki beberapa syarat.
 Pengadopsi Awal (Early Adopters). Pengadopsi awal ini biasanya lebih
berbaur dengan anggota sistem sosial lainnya dibandingkan para inovator.
Pengadopsi kategori ini memiliki peran sebagai pemuka pendapat dalam
sistemnya.
 Mayoritas Awal (Early Majority). Kelompok ini mengadopsi ide
sebelum rata-rata anggota sistem lain mengadopsinya. Mereka
memiliki interaksi yang kuat dalam lingkungannya, tetapi jarang
memegang peranan sebagai pemuka pendapat. Mereka berada di
posisi yang unik, yaitu berada di antara pengadopsi awal dan
pengadopsi akhir sehingga menjadi jembatan bagi keduanya
dalam proses difusi.
 Mayoritas Akhir (Late Majority). Kelompok pengadopsi akhir ini
mengadopsi sebuah inovasi setelah rata-rata anggota kelompok
mengadopsinya. Hal inipun biasanya dikarenakan kebutuhan
ekonomi atau tekanan dari lingkungannya. Mereka memandang
inovasi dengan lebih skeptis dan berhati-hati sehingga mereka
baru akan mengadopsinya setelah sebagian besar sistem telah
melakukannya.
 Terlambat (Laggards). Kelompok ini adalah yang paling terakhir
dalam mengadopsi sebuah inovasi. Penolakan kelompok ini
mungkin diakibatkan cara berpikir mereka yang masih berorientasi
pada masa lalu dan memiliki sedikit sumber informasi sehingga
harus memastikan sebelum mereka mengadopsinya, ide baru atau
inovasi tersebut tidak akan gagal. Sistem sosial adalah kumpulan
unit yang berbeda secara
 fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan
masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Difusi terjadi
dalam suatu sistem sosial. Struktur dari sistem sosial tersebut akan
berpengaruh pada difusi inovasi dan juga hal lain yaitu norma,
peran dari tokoh masyarakatdan agen perubah, tipe dari keputusan
inovasi, dan konsekuensi dari inovasi itu sendiri. Hal-hal tersebut
diatas melibatkan hubungan antara sistem sosial dan proses difusi
yang terjadi di dalamnya (Rogers, 1983)
 Adapun lima karakteristik inovasi yang ditawarkan Rogers(1983)
tersebut itu adalah :
1. Pertama,relative advantage(keunggulan relatif), yaitu kadar atau
tingkat sebuah inovasi dipersepsikan lebih baik daripada ide
inovasi sebelumnya.
2. Kedua, compatibility(kesesuaian)atau merupakan derajat
sebuah inovasi itu dipersepsikan sesuai dengan nilai-nilai yang
sudah ada,pengalaman masa lalu, serta sesuai dengan kebutuhan
orang-orang yang potensial sebagai pengadopsi.
3. Ketiga,complexity(kerumitan)merupakantingkat sebuah inovsi
itu dipersepsikan sulit untuk dipahami atau digunakan.
4. Keempat, trialability(ketercobaan)atau derajat sebuah inovasi
dapat dieksperimentasikan pada lingkup terbatas.
5. Kelima,observability(keterlihatan)merupakan tingkat di mana
sebuah inovasi itu dapat terlihat bagi orang lain
.
 Penyebaran dan penerimaan inovasi, Jelas terjadi sepanjang waktu.
Karena itu, jika seorang individu mengkomunikasikan sebuah ide
baru kepada orang lain dalam suasana sistem sosial tertentu, di situ
akan terjadi penerimaan atau penolakan oleh individu kedua. Jika ia
menerimanya, biasanyaia kan melewati 5 tahap .
1.Menyadari
2.Tertarik
3.Menilai
4.Mencoba dan akhirnya
5.Menerima

 Jadi penerimaan meliputi penerimaan dan penggunaan suatu inovasi


oleh individu, sedangkan penyebaran menyangkut tersebarnya
inovasi di dalam sistem sosial.
 Sejumlah gagasan mengenai proses difusi inovasi sebagai
berikut:
 Pertama, Teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan
proses ke dalam tahapan anteseden, Proses,dan konskuensi. Tahapan
Pertama mengacu pada situasi atau karakteristik dari orang yang
terlibat yang memungkinkan untuk diterpa informasi tentang suatu
inovasi dan relevensi informasi tersebut terhadap kebutuhan-
kebutuhannya. Misalnya adopsi, inovasi biasanya lebih mudah terjadi
pada mereka yang terbuka terhadap perubahan.Menghargai
kebutuhan akan informasi, dan selalu mencari informasi baru,
 Tahapan kedua berkaitan dengan proses mempelajari perubahan
sikap, dan keputusan. Disini nilai inovatif yang dirasakan akan
memainkan peran penting. Demikian, pula dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku dalam sistem sosialnya.
 Difusi inovasi, biasanya melibatkan berbagai sumber komunikasi
yang berbeda ( media massa, advertensi, atau promosi,
penyuluhan atau kontak-kontak sosial yang informal) dan
efektivitas sumber –sumber tersebut akan berbeda pada tiap
tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi media massa
dan advertensi dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan
pengetahuan, penyuluhan berguna untuk memersuasi, pengaruh
antar pribadi berfungsi bagi keputusan untuk menerima atau
menolak inovasi dan pengalaman dalam menggunakan inovasi
dapat menjadi sumberkonfirmasi untuk menerapkan inovasi atau
sebaliknya.
Use and Gratiffication Theory
 Teori Uses and Gratification
 Pengguna (Uses) isi media untuk mendapatkan pemenuhan
(Gratification) atas kebutuhan seseorang atau Uses and
Gratification salah satu teori dan pendekatan yang sering
digunakan dalam komunikasi. Teori ini tidak mencakup atau
mewakili keseluruhan proses komunikasi karena sebagian besar
pelaku audience hanya dijelaskan melalui berbagai kebutuhan
(needs) dan kepentingan (interest) mereka sebagai suatu
fenomena mengenai proses penerimaan (pesan media). Teori
Uses and Gratification ditujukan untuk menggambarkan proses
penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan
penggunaan media oleh individu atau agregasi individu
(Effendy,2000:289).
 Herbert Blumer dan Elihu Katz adalah orang pertama yang
memperkenalkan teori ini. Teori kegunaan dan kepuasan ini
dikenalkan pada tahun 1974 dalam bukunya The Uses of Mass
Communications: Current Perspectives on Gratification Research.
Teori milik Blumer dan Katz ini menekankan bahwa pengguna
media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan
media tersebut. Pengguna media adalah pihak yang aktif dalam
proses komunikasi, pengguna media berusaha untuk mencari
sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi
kebutuhannya. Artinya, teori uses and gratifications
mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan alternatif
untuk memuaskan kebutuhannya (Nurudin, 2003:181).
 Teori uses and gratification ini lebih menekankan pada pendekatan
manusiawi di dalam melihat media. Artinya, manusia itu punya
otonomi, wewenang untuk memperlakukan media. Blumer dan Katz
percaya bahwa tidak hanya ada satu jalan bagi khalayak untuk
menggunakan media. Sebaliknya, mereka percaya bahwa ada banyak
alasan khalayak untuk menggunakan media. Menurut pendapat teori
ini, konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan
bagaimana (lewat media mana) mereka menggunakan media dan
bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya .
(Nurudin,2003:181).
 Katz, Blumer & Gurevitch menjelaskan mengenai asumsi dasar dari
teori Uses and Gratification, yaitu (West dan Turner, 2008:104) :
 1.Khalayakaktif dan penggunaan medianya berorientasi pada tujuan.
Asumsi teori ini mengenai khalayak yang aktif dan penggunaan media
yang berorientsi pada tujuan cukup jelas. Anggota khalayak individu
dapat membawa tingkat aktivitas yang berbeda untuk penggunaan media
mereka. Kita semua mempunyai acara favorit dalam media tertentu, dan
kita semua mempunyai alasan untuk memilih media tertentu.
 2.Inisiatif dalam menghubungkan pemuasan kebutuhan pada pilihan
mediat ertentu terdapatpada anggota khalyak. Asumsi ini
menghubungkan kepuasan akan kebutuhan pada pilihan terhadap sebuah
media yang berada di tangan khalayak karena orang adalah agen yang
aktif, mereka mengambil inisiatif. Contohnya, kita memilih acara
seperti the simpsonsketika kita ingin tertawa dan CNN World News
Tonight ketika kita ingin mendapatkan informasi, tetapi ada seorang pun
memutuskan untuk kita apa yang kita inginkan dari sebuah media atau
bagian dari isinya. Implikasi yang ada disini adalah khalayak mempunyai
banyak sekali otonomi dalam proses komunikasi massa.
 3.Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dipengaruhi media lebih luas, bagaimana
kebutuhan ini terpenuhi memalui konsumsi media amat bergantung pada
prilaku khalayak yang bersangkutan. Contohnya, pergi ke bioskop pada kencan
pertama merupakan penggunaan media yang lebih mungkin dari pada
menyewa sebuah video dan menontonnya dirumah.
 4. Asumsi keempat dari teori kegunaan dan gratifikasi adalah masalah
metodelogis mengenai kemampuan peneliti untuk mengumpulkan informasi
yang akurat dari konsumen media. Untuk berargumen bahwa khalayak cukup
sadar diri akan penggunaan media, minat, serta motif mereka sehingga mereka
dapat memberikan kepada peneliti sebuah gambaran akurat menyatakan
kembali keyakinan akan khalayak yang aktif; hal ini juga mengimplikasikan
bahwa orang sadar akan aktivitas ini.
 5.Penilaian tentang nilai isi media hanya dapat dinilai oleh khalayak. Asumsi
kelima ini juga sedikit berbicara mengenai khalayak dari pada mengenai
mereka yang melakukan studi mengenai ini. Hal ini menyatakan bahwa peneliti
harus mempertahanan penilaiannya mengenai hubungan antara kebutuhan
khalayak akan media atau muatan tertentu. Dikarenakan individu khalayak
yang memutuskan untuk menggunakan isi tertentu untuk tujuan akhirnya,
nilai muatan media dapat dinilai hanya oleh khalayaknya.
 Model ini memulai dengan lingkungan sosial (social environment) yang
menentukan kebutuhan kita. Lingkungan sosial tersebut meliputi ciri-ciri
afiliasi kelompok dan ciri-ciri kepribadian. Kebutuhan individual
(individual’s needs) dikategorisasikan sebagai kebutuhan kognitif
(cognitive needs), kebutuhan afektif (affective needs), kebutuhan integratif
personal (personal integrative needs), kebutuhan integratif sosial (social
integrative needs), dan kebutuhan pelepasan (escapist needs). Penjelasanya
adalah sebagai berikut (Effendy, 2003:294) :
1. Cognitive needs (kebutuhan kognitif) Kebutuhan yang berkaitan dengan
peneguhan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan.
Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai
lingkungan, juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk
penyelidikan kita.
2. Affective needs (kebutuhan afektif) Kebutuhan ini berkaitan dengan
peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan dan
emosional.
 3. Personal integrative needs (kebutuhan pribadi secara
integratif)Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas,
kepercayaan, stabilitas dan status individual. Hal-hal tersebut
diperoleh dari hasrat akan harga diri.
 4. Social integrative needs (kebutuhan sosial secara
integratif)Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak
dengan keluarga, teman dan dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada
hasrat untuk berafilitasi
 5. Escapist needs (kebutuhan pelepasan) Kebutuhan yang berkaitan
dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan dan hasrat akan
keanekaragaman
 Inti teori Uses and Gratifications adalah khalayak pada dasarnya
menggunakan media massa berdasarkan pada motif-motif
tertentu. Media dianggap memenuhi motif khalayak. Jika motif
ini terpenuhi maka kebutuhan khalayak akan terpenuhi. Pada
akhirnya, media yang mampu memenuhi kebutuhan khalayak
disebut media efektif (Kriyantono, 2009:206).
 Anteseden meliputi variabel individual yang terdiri dari data
demografis serta variabel lingkungan seperti organisasi,
sistem sosial, dan struktur sosial. Daftar motif memang tak
terbatas. Tetapi operasionalisasi Blumer agak praktis untuk
dijadikan petunjuk penelitian. Blumer menyebutkan tiga
orientasi :
 1.Kognitif (kebutuhan informasi, surveillanceatau eksplorasi
realitas),
 2.Diversi (kebutuhan akan pelepasan dari tekanan dan
kebutuhan akan hiburan),
 3.Identitas Personal (yakni menggunakan isi media untuk
memperkuat/menonjolkan sesuatu yang penting dalam
kehidupan atau situasi khalayak sendiri).
 Salah satu macam riset Uses and Gratificationsyang saat ini
berkembang adalah yang dibuat oleh Philip Palmgreen.
Kebanyakan riset Uses and Gratificationmemfokuskan pada
motif sebagai variabel independen yang mempengaruhi
penggunaan media. Palmgreen juga menggunakan dasar yang
sama yaitu orang menggunakan media didorong oleh motif-
motif tertentu, namun konsep yang diteliti oleh Palmgreen
ini tidak berhenti disitu dengan menanyakan apakah motif-
motif audiens itu telah dapat dipenuhi oleh media. Dengan
kata lain apakah audiens puas setelah menggunakan media
(Kriyantono, 2009:20)
SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai