Anda di halaman 1dari 5

Komponen Komunikasi Politik

Nama : Marielyn
NIM : E1101141015

Komunikator = Partisipan yang menyampaikan informasi politik

Pesan Politik = Informasi, fakta, opini, keyakinan politik

Media = Wadah (medium) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (misalnya surat
kabar, orasi, konperensi pers, televisi, internet, demonstrasi, polling, radio)

Komunikan = Partisipan yang diberikan informasi politik oleh komunikator

FeedBack = Tanggapan dari Komunikan atas informasi politik yang diberikan oleh
komunikator

Komunikator dan Komunikan


Komunikator dalam proses komunikasi politik dapat diposisikan oleh beragam pihak.
Parlemen, partai politik, kelompok kepentingan, warganegara, presiden, menteri, pengamat
politik, dan lain sebagainya. Mereka menjadi komunikator jika menjadi partisipan yang
menyampaikan pesan-pesan politik, dan berubah menjadi komunikan jika mereka berposisi
sebagai penerima.
Partisan Bias. Dalam komunikasi politik dikenal istilah partisan bias. Artinya,
kecenderungan melebih-lebihkan posisi diri dan tindakan suatu kelompok ketimbang kelompok

lain. Partisan bias cenderung berakibat pada ketidakakuratan fakta. Partisan bias tampak saat
seorang anggota parlemen memposisikan partainya lebih bagus dan komitmen pada
kesejahteraan rakyat ketimbang partai lain.
Demikian pula, komunikan dapat saja membelokkan pemahaman atas apa yang
disampaikan komunikator. Misalnya, ketika pemerintahan SBY memberlakukan kebijakan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan uang
bantuan, sehingga dapat langsung dirasakan penerima. Ini ditanggapi berbeda oleh lawan-lawan
politik dan warganegara yang kontra kebijakan tersebut, yang diwakili dengan pernyataan
pemerintah Cuma mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan mengurangi angka kemiskinan
dan sejenisnya.
Media
Media menempati tempat strategis di dalam kajian komunikasi politik. Terlebih lagi,
dunia kini tengah berada di peralihan antara Era Industrik menjadi Era Informasi. Informasi
menjadi komoditi yang laku dipasarkan layaknya barang-barang seperti mobil, motor, sepeda,
dan air conditioner. Dalam proses komunikasi pun, media memperoleh peranan yang semakin
signifikan terutama setelah ditemukannya media-media baru akibat hasil perkembangan
teknologi.
Contoh media adalah surat kabar (misalnya Kompas, Media Indonesia, Rakyat Merdeka,
Republika), televisi (Metro TV, RCTI, SCTV, TV One, Al Jazeerah, CNN), website (detik.com,
kompas-online, tempo-interaktif), majalah (tempo, gatra), dan masih banyak lagi. Media-media
tersebut memiliki karakteristik berupa keunggulan maupun kelemahannya, dan ini dapat
dijelaskan melalui Teori Medium.
Media Bias. Media bias merupakan kecenderungan media untuk melakukan pemberitaan
secara tidak berimbang. Jika partisan bias dilakukan oleh komunikator, maka media bias adalah
kecenderungan media untuk tidak memberitakan fakta secara berimbang. Apa yang disampaikan
media akan diserap oleh komunikan dan memunculkan FeedBack yang tidak akurat.
Medium Theory. Teori ini menjelaskan tentang alat yang digunakan sebagai media
penyampai pesan punya pengaruh besar atas sifat dan isi komunikasi manusia. Marshall
McLuhan lewat karya penelitiannya The Guttenberg Galaxy (1962) menceritakan proses
perubahan dari komunikasi oral menjadi komunikasi tertulis (cetak). Revolusi alat cetak ini

yang membuat ajaran Protestantisme menyebar cepat ke seluruh penjuru Eropa. Selain itu, ia
juga menceritakan soal terjadinya peralihan dari komuniasi tercetak menjadi elektronik.
Komunikasi lewat media elektronik ini membuat manusia mampu memahami dunia secara
kolektif sehingga memunculkan apa yang disebutnya sebagai Global Village (Desa Global).
Efek dari peristiwa baku-hantam di parlemen tentu berbeda, jika dinikmati melalui media yang
berbeda. Efek marah, kesal, atau lucu lebih mudah muncul jika peristiwa tersebut kita saksikan
melalui televisi ketimbang surat kabar. McLuhan menyebut ini sebagai hot media dan cold
media. Televisi dan media elektronik lagi bersifat hot media, sementara surat kabar bersifat
cold media.
Hot media artinya komunikan harus menggali atau mampu memperoleh makna lain
setelah menyaksikan peristiwa baku-hantam melalui televisi. Sementara itu, jika melalui surat
kabar, pemaknaan terbatas pada kalimat-kalimat yang ditulis wartawan. Variasi makna pada surat
kabar dapat diperoleh jika terdapat image (foto) dan itupun tidak terlalu banyak oleh sebab
keterbatasan tempat.
Media Logic. Media Logic adalah konsep yang mengindikasikan pengaruh media untuk
merepresentasikan peristiwa yang kita sebut sebagai realitas. Media sebab itu dapat
mengkonstruksi peristiwa dan hasil rekaannya, setelah dipublikasi, dinyatakan sebagai kenyataan
yang sesunggunya. Contoh dari ini adalah film Pemberontakan G30S/PKI yang diproduksi
pemerintah Orde Baru. Film ini mengkonstruksi peristiwa pemberontakan yang didalangi oleh
PKI. Film tersebut terus diputar setiap tanggal 30 September di Indonesia, setiap tahun.
Akhirnya, masyarakat mengira bahwa itulah kejadian pemberontakan yang sebenarnya.
Media logic ini dipertentangkan dengan Party Logic, sebagai pola yang lebih tua. Party
logic adalah konstruksi realitas oleh partai politik melalui penerbitan partai, seperti surat kabar,
majalah, ataupun pamflet. Kini, party logic mendapat desakan yang kuat dari media, yang
sebagian besar dimiliki oleh para pengusaha. Konstruksi realitas sebab itu semakin sulit untuk
dikendalikan oleh partai politik.
Editorial. Editorial adalah pokok-pokok pikiran yang dibuat oleh dewan redaksi suatu
media di dalam setiap edisi penerbitan. Surat kabar seperti Kompas memuatnya dalam kolom
Tajuk Rencana dan Kartunnya. Editorial ini menjelaskan posisi media dalam isu-isu penting
suatu penerbitan. Metro TV (pemberitaan elektronik) memuat Editorialnya setiap pagi hari, yang

berisikan pokok-pokok masalah yang harus dicermati dan mengajak masyarakat berpikir akan
masalah tersebut.

Pesan Politik
Pesan politik adalah isu-isu yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Diyakini
bahwa komunikator politik selalu merekayasa pesan politik sebelum itu disampaikan kepada
komunikan. Artinya, suatu pesan tidak pernah dibuat secara sembarang oleh sebab seluruh
komunikator percaya selalu ada FeedBack dalam setiap komentar mereka. Penentuan isu ini
berkait dengan konsep-konsep Manajemen Isu dan Kepemilikan Isu.
Manajemen Isu. Manajemen isu adalah istilah untuk menggambarkan langkah-langkah
strategis komunikator politik guna mempengaruhi kebijakan publik seputar masalah-masalah
yang tengah hangat dipertikaikan masyarakat. Dalam kasus kenaikan harga BBM misalnya,
PDIP berusaha mengambil simpati warganegara dengan secara terang-terangan menolak
kebijakan tersebut meskipun akhirnya kenaikan tersebut tidak bisa dicegah. Sebagai partai yang
tidak terserap ke dalam pemerintahan, PDIP hadir dengan isu-isu yang mengkritis kebijakankebijakan pemerintahan SBY.
Sebab itu, komunikator politik selalu membicarakan isu-isu hangat ketimbang isu-isu
dingin. Misalnya, kini hampir tidak ada partai politik yang berbicara tentang orang hilang
atau lumpur Lapindo. Isu-isu tersebut hampir dapat disebut sebagai isu dingin dan jika
dibicarakan pada publik maka tidak akan meningkatkan popularitas partai di mata masyarakat.
Kepemilikan Isu. Kepemilikan isu terjadi ketika pemilih yang beragam menganggap
bahwa partai atau komunikator politik tertentu lebih layak untuk membawakan isu itu ketimbang
pihak lain. Hal ini diketahui secara baik oleh PKS, misalnya, bahwa isu-isu Islam sudah jenuh
diserahkan masyarakat pada partai-partai Islam lain seperti PPP, PKB, PAN, atau PBB.
Masyarakat kemungkinan sekarang menganggap kepemilikan isu Islam terletak pada PKS.
Referensi

1.

R.M. Perloff, Political Communication: Politics, Press, and Public in America(New


Jersey and London : Lawrence Erlbaum, 1998)

2.

Dennis McQuail, Political Communication, dalam Mary Hawkesworth and Maurice


Kogan, Encyclopedia of Government and Politics, Volume 1, (London: Routledge, 1992)

3.

Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication,


(California: Sage Publications, 2008)

Anda mungkin juga menyukai