Anda di halaman 1dari 63

PENGARUH KONFORMITAS TEMAN SEBAYA TERHADAP

KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF ONLINE PADA


MAHASISWA GENERASI MILENIAL

SKRIPSI

Disusun Oleh :

YUDHA BERLYANDINI LAMPE

NIM. 111411133025

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
PENGARUH KONFORMITAS TEMAN SEBAYA TERHADAP

KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF ONLINE PADA MAHASISWA

GENERASI MILENIAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Universitas Airlangga Surabaya

Disusun oleh:

YUDHA BERLYANDINI LAMPE

NIM. 111411133025

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA
HALAMAN MOTTO

“Hardwork beats talent when talent doesn’t work hard”


HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, Nicodemus Panarung

Lampe dan Anak Agung Sagung Inten Adriyani


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus dalam segala

penyertaann-Nya sehingga penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Penulis

menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, sangat sulit bagi

penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Nurul Hartini, M. Kes., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya.
2. Bapak Dr. Seger Handoyo, Psikolog sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan daya upaya untuk membimbing penulis ditengah
kesibukannya.
3. Bapak Iwan Wahyu Widayat, M. Psi., Psikolog sebagai dosen perwalian yang
selalu membantu penulis untuk menentukan mata kuliah yang diambil tiap
semester agar sesuai dengan minat dan kebutuhan penulis.
4. Para responden yang telah bersedia mengisi kuisioner penulis.
5. Kedua orang tua penulis, Nicodemus Panarung Lampe dan Anak Agung
Sagung Inten Adriyani, yang telah dengan sabar mendengarkan keluh kesah
penulis da menguatkan kembali dalam pengerjaan skripsi, hingga menjadi
teman diskusi terkait permasalahan yang penulis alami dalam pengerjaan
skripsi.
6. Teman-teman kelompok yang menjadi teman dekat hingga sahabat dalam
berbagi cerita hingga saling menyemangati dalam pengerjaan skripsi masing-
masing, Ario Bentar, Yogi Ramadhani, dan Raka Manggala.
th
7. Teman-teman 11 Psychofest yang telah memberikan pelajaran dalam hal
professionalitas dalam bekerja, khususnya Affif Fachrudin, Satrio Perdana,
Gevio Kautsar, Muhammad Maulana, Ilham Arsy, Abimanyu Hadisuryo, Dedi
Setiawan, Aliftra Alwi dan pihak-pihak lainnya yang belum bisa penulis
sebutkan satu persatu.
8. Teman-teman Chorterra yang telah memberikan penulis kesempatan belajar
untuk menjalankan suatu organisasi dengan mengadakan rangkaian event.
Pipo Riyadi, Tatar Christanto, Norman Seno, Aldi Megantara, Kevin Fausta,
Farah Amalia, Ilman Christian, Frida Ramadhanty, dan Raka Manggala.
9. Teman-teman Vizepsy yang telah menjadi tempa berkumpul di lingkungan
kampus, semoga dapat selalu terjalin hubungan pertemanan dalam waktu yang
lama.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis. Terima
kasih atas bantuan, dukungan, dan doa yang diberikan kepada penulis.

Surabaya, 12 November 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia pada zaman ini tidak bisa dipisahkan dari teknologi.

Seiring dengan perkembangannya, keberadaan teknologi bisa dirasakan oleh semua

khalayak tanpa terkecuali. Salah satu teknologi yang berkembang dengan pesat yaitu

teknologi di bidang informatika. Hampir semua orang menggunakan perangkat seperti

komputer dan gadget untuk membantu kegiatan sehari-hari. Mayoritas pemilik

perangkat komputer tersebut menggunakannya untuk mengakses internet.

Internet dalam era informasi telah menempatkan dirinya sebagai salah satu

pusat informasi yang dapat diakses dari berbagai tempat tanpa dibatasi oleh ruang dan

waktu. Internet sebagai bentuk teknologi komunikasi telah mengalami perkembangan

yang sangat pesat dengan peningkatan delapan kali lipat dalam tiga tahun terakhir

terhitung dari 1997 dengan total pengguna 50 juta hingga 400 juta pada akhir tahun

2000 (Community, 2000). Di Indonesia sendiri pengguna internet memiliki jumlah

yang tidak sedikit. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)

dalam (Kompas, 2018) Lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah

terhubung jaringan internet sepanjang 2017. Mayoritas pengguna internet sebanyak

72,41 persen masih dari kalangan masyarakat urban. Pemanfaatannya sudah lebih

jauh, bukan hanya untuk berkomunikasi tetapi juga membeli barang, memesan

transportasi, hingga berbisnis dan berkarya.

Secara demografis, Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia (APJII) dalam (Katadata, 2018), hampir separuh dari total pengguna

internet di Indonesia merupakan masyarakat dalam kelompok usia 19-34 tahun


(49,52%). Sementara pengguna terbanyak kedua merupakan kelompok usia 35-54

tahun (29,55%), kelompok usia 13-18 tahun (16,68%), dan pengguna dengan usia di

atas 54tahun (4,24%). Dari data tersebut bisa kita simpulkan berdasarkan

pengelompokan umur, bahwa pengguna internet di Indonesia merupakan orang-orang

yang berasal dari Generasi Y.

Generasi Y merupakan individu yang lahir pada rentang tahun 1980-2000

(Meier & Crocker, 2010) dan mereka lahir di dunia dimana teknologi dan dunia

digital sangat berkembang dengan pesat, serta hidup di zaman yang serba mudah

(Novitasari,2014). Ciri yang menonjol dari generasi ini adalah aktivitas sehari-hari

yang tidak terpisahkan dengan teknologi informasi dan komunikasi,serta kemudahan

akses internet yang memungkinkan untuk berbagai informasi. Generasi Y atau yang

disebut millennials tumbuh bersama dengan mulai berkembangnya internet. Bagi

generasi millennials internet sudah menjadi kebutuhan pokok. Jika kita mengikuti

teori Maslow, maka saat ini internet sudah masuk dalam piramida dasar bersama

sandang, pangan dan papan (The Urban Middle Class Millenials Indonesia, 2017).

Dari paparan tersebut bisa disimpulkan bahwa internet sudah menjadi kebutuhan

pokok generasi millennials saat ini sehingga perannya tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan sehari-hari.

Hasil riset menunjukkan bahwa konsumsi internet usia muda cenderung lebih

besar dengan konsumsi internet generasi yang lebih tua. Asosiasi Pengguna Jasa

Internet Indonesia (APJI) menghitung ada peningkatan konsumsi internet di Indonesia

setiap tahunnya. Hasil riset ini menemukan bahwa mayoritas generasi millenials kelas

menengah urban merupakan kelompok pengguna internet medium user dan heavy

user. Artinya mereka menggunakan internet mayoritas antara 1 hingga 6 jam perhari

(The Urban Middle Class Millenials Indonesia, 2017).


Alokasi waktu untuk menggunakan internet tentunya memiliki dinamikanya

tersendiri. Salah satunya mayoritas Generasi millenials menggunakan internet untuk

mengakses media sosial. Menurut penelitian yang dilakukan We Are Social dalam

(Kompas, 2018), perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite,

rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit sehari untuk mengakses

media sosial. Lalu Berdasarkan laporan berjudul "Essential Insights Into Internet,

Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World" yang diterbitkan

tanggal 30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa,

pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen

(Kompas, 2018).

Berdasarkan aplikasi yang paling banyak diunduh, perusahaan media sosial di

bawah Mark Zuckerberg mendominasi di tiga teratas. Secara berurutan dari posisi

pertama adalah WhatsApp, Facebook, Instagram, dan baru diikuti media sosial buatan

Korea Selatan, Line. Berdasarkan rata-rata trafik situs per bulan (We Are Social,

2018) Facebook menjadi media sosial paling banyak dikunjungi dengan capaian lebih

dari 1 miliar juta pengunjung perbulan. Rata-rata pengunjung Facebook

menghabiskan waktu 12 menit 27 detik untuk mengakses jejaring sosial tersebut.

Sebesar 92 persen mengakses Facebook via mobile dengan perbandingan persentase

berdasar gender sebanyak 44 persen untuk wanita dan 56 persen adalah pengguna

pria. Pengguna Facebook didominasi golongan usia 18-24 tahun dengan presentase

20,4 persennya adalah wanita dan 24,2 persennya adalah pria.

Namun penelitian lain berpendapat bahwa walaupun hingga saat ini Facebook

tetap memiliki pengikut terbanyak di sosial media para millenials mulai meninggalkan

platform tersebut. Prediksi dari eMarketer yang dikutip oleh TechBadar

(Digitalentrepreneur, 2018) menyatakan bahwa pada tahun 2018, generasi millenial


yang berusia kisaran 12 hingga 17 tahun tidak tertarik untuk menggunakan facebook

sebagai media sosial mereka. Para kaum remaja ini kebanyakan memutuskan untuk

menggunakan media sosial yang memiliki tema yang lebih ‘milenial’. Pilihan mereka

pun jatuh ke Instagram, media sosial ini memliki fitur yang dianggap lebih cocok

untuk remaja. Survey yang dilakukan oleh JakPat kepada 1033 reponden di pulau

Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi dengan fokus rentang usia 16

– 35 tahun menyebutkan bahwa media sosial favorit di kalangan muda adalah

Instagram, dengan persentase pengguna di rentang usia tersebut mencapai lebih dari

70% (Dailysocial, 2016). Penggunaan instagram pun beraneka ragam, mulai dari

memperbarui status di instastory, mengunggah foto di galeri feed, hingga sekedar

mencari informasi terkini. Akan tetapi sebagian besar pengguna Instagram

menggunakannya untuk mencari informasi produk online shop dan meme, kemudian

sisanya sebanyak 48% pengguna Instagram gemar mengunggah foto-foto liburan dan

wisata (Dailysocial, 2016).

Menjamurnya akun-akun jualan alias online shop di instagram jadi fenomena

yang mempengaruhi gaya beli penggunanya. Belakangan logaritma media sosial

berbagi foto ini berubah dan cukup berdampak pada para penggiat jual beli online

yang memanfaatkan platformnya. Para kaum millenial sering menghabiskan

waktunya untuk berbelanja melalui fitur Instagram karena tampilan foto dari

Instagram membuat tergiur dan berkeinginan untuk membelinya. Dibandingkan

dengan media sosial lainnya, Instagram lebih memaksimalkan fiturnya untuk

komunikasi melalui gambar atau foto. Instagram juga memaksimalkan platformnya

dalam menanggapi kebutuhan penggunanya dalam berbelanja online dengan

menambahkan fitur Instagram Shopping Service. Dengan adanya Instagram Shopping

Service proses jual beli menjadi lebih mudah karena fitur ini menghubungkan
konsumen dengan aneka retailers di seluruh dunia. Tentu dengan adanya

berbagai macam fasilitas tersebut transaksi bisnis di instagram menjadi berkembang

dengan pesat dibanding sosial media lainnya.

Penjualan online atau dikenal sebagai Electronic Commerce (E-Commerce)

merupakan kegiatan jual beli barang dan jasa melalui internet (Bidgoli, 2002). Bidgoli

juga menyebutkan bahwa E-Commerce merupakan perdagangan tradisional yang

dikembangkan dengan fleksibilitas yang disajikan melalui jaringan komputer dan

ketersediaan jaringan internet. Beberapa unit usaha yang mendapatkan manfaat dari

E-Commerce antara lain Bank, Hiburan, Asuransi, Pemasaran, Retail, Industri Travel,

dan Pemerintah.

E-Commerce dibagi kedalam beberapa ketegori yang didasarkan pada sifat

dari transaksi yaitu B2C (business to consumer) dimana dalam jenis ini bisnis menjual

kepada konsumen, sebagai contoh penerapan B2C adalah pada situs Amazon

(amazon.com) yang dikatakan sebagai pelopor transaksi online di internet

(Mäkeläinen, 2006). Sedangkan C2C dapat difasilitasi dengan berbagai wadah seperti

newsgroup, online auction, classified ads, web-based forum, blog, dan chat rooms

(Mäkeläinen, 2006). Lalu C2B (consumer to business) dimana dalam jenis ini

konsumen menyediakan barang atau jasa kapada bisnis.

Dalam publikasi yang dilakukan Singapore Post pada 2014 disebutkan bahwa

melalui E-Commerce ini PDB Indonesia diperkirakan tumbuh dengan rata- rata 5,8%

selama 2013 hingga 2020. Belanja online mengalami peningkatan 40% pada tahun

2014 dan 53% pada tahun 2014. Beberapa produk komoditas pada penjualan online

yang popular adalah pakaian (71,6%), kosmetik (20,%), gadget (17,1%), jasa travel

perjalanan (9,7%), dan buku (9,7%) (APJII, 2014). Menurut versi dari Singapore Post

(2014) disebutkan bahwa Social Commerce yang sering digunakan dalam pembelian
online yaitu Traditional E-Commerce (20%), BBM (27%), Forum Online (26,6%),

dan Sosial Media (26,4%). Meningkatnya angka penjualan online di berbagai produk

melalui berbagai jenis jejaring sosial menjelaskan bahwa transaksi online semakin

popular di Indonesia.

Hal yang perlu diperhatikan pada fenomena tersebut yaitu terkait pengambilan

keputusan pada seorang online buyer ketika hendak berbelanja melalui layanan E-

Commerce, dimana peningkatan aktivitas E-Commerce meningkat tajam. Sehingga

dalam konteks ini salah satu pertimbangan seseorang dalam melakukan transaksi

online yaitu melalui proses pengambilan keputusan. Kotler (2009) menjelaskan bahwa

consumer decision adalah perilaku dimana konsumen mempunyai keinginan memilih,

menggunakan, mengkonsumsi dan menginginkan suatu produk bedasarkan

pengalamannya. Sebelum melakukan keputusan pembelian suatu produk atau jasa,

konsumen tentunya melakukan pemilihan terhadap produk tersebut. Karakter unik

dalam hal ini adalah perilaku konsumen yang memiliki ciri khas tersendiri

dibandingkan dengan konsumen lain. Menurut Susanta (2007: 78), sebagian besar

konsumen Indonesia memiliki karakter unplanned. Mereka biasanya suka bertindak

last minute. Karakteristik konsumen tersebut secara tidak langsung membentuk

perilaku mereka menjadi impulsive buyer atau perilaku pembelian impulsif.

Pembelian impulsif adalah perasaan positif yang kuat akan dilanjutkan dengan

tindakan pembelian (Rock & Hock, 1985 dalam Mowen, 2002). Pembelian impulsif

dapat diartikan sebagai pembelian tidak direncanakan sebelum memasuki toko

(Assael, 1992). Hal tersebut dikarenakan adanya dorongan yang kuat dari muncul dari

individu untuk membeli barang secara spontan (Solomon, 2002). Pembelian impulsif

memiliki dua elemen, yaitu tidak direncana atau pertimbangan yang dalam dan emosi

yang berlebihan (Verplanken & Herabadi, 2001).


Stern (2015), mengemukakan dalam penelitiannya bahwa pembelian impulsif

dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu pembelian impulsif murni,

pembelian impulsif karena ingatan, pembelian impulsif secara sugesti, dan pembelian

impulsif yang direncanakan. Lebih jauh pembelian yang merencanakan untuk

membeli produk tetapi belum memutuskan fitur dan merek yang dibutuhkan dapat

juga dikelompokkan sebagai pembeli impulsif (Rook, 2000). Konsumen akan

menggunakan toko ritel dan promosi penjualan sebagai alat mendapatkan informasi,

mengembangkan alternatif, membandingkan produk, kemudian melakukan keputusan

pembelian yang diinginkan. Selain itu, dapat saja konsumen yang menemukan

informasi melalui online, tetapi memutuskan pembelian secara offline, itupun

dikategorikan sebagai salah satu bentuk pembelian impulsif. Sangat potensial untuk

melakukan pembelian impulsif secara online. Ditemukan bahwa terdapat hubungan

antara perilaku pembelian online secara impulsif dengan kemampuan sosial ekonomi

pembeli potensial. Media internet dapat merupakan wahana yang lebih disukai untuk

melakukan pembelian impulsif (Rook, 2000).

Pembelian impulsif melalui internet semakin marak di kalangan generasi

muda, tidak terkecuali mahasiswa yang mayoritas tergolong pada generasi Y.

Mahasiswa adalah bagian masyarakat yang sangat dekat dengan persoalan akses

informasi dan dunia internet. Online shopping merupakan bentuk perubahan yang di

sajikan oleh internet dari segi inovasi dalam berbelanja. Mahasiswa tertarik

mengkonsumsi produk fashion untuk mengikuti trend anak muda jaman sekarang.

Untuk itu semakin maraknya produsen yang menjual barang melalui internet akan

lebih meningkatkan mahasiswa untuk melakukan transaksi melalui online shopping

dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu mahasiswa berpersepsi bahwa mereka

akan diterima dalam lingkungan teman-temannya jika mereka mengikuti gaya hidup
teman-temannya yang saat ini sedang tren melakukan online shopping dalam

memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas

mahasiswa kaum milenial menjadikan online shopping sebagai gaya hidup.

Menurut Welles (1986), 90 persen konsumen mengaku melakukan pembelian

impulsif. Faktor yang berkontribusi dalam pembelian impulsif yaitu kepribadian,

seperti pengendalian diri (Hoch & Loewenstein, 1991), variabel demografi (Richins

dan Dawson, 1992; Dittmar et al., 1995; Rindfleisch et al., 1997; Wood, 1998; Kollat,

1969 ), faktor situasional, seperti preferensi inkonsistensi waktu (Hoch dan

Loewenstein, 1991), dan efek konformitas (Wilkie, 1994; Luo, 2005; Peck dan

Childers, 2006). Menurut Aronson (1992) konformitas muncul dalam pribadi remaja

akibat pembelajaran dari lingkungan sosial remaja atau pengaruh dari pergaulan

teman sebayanya. Konformitas terbentuk dalam pribadi remaja yang belajar dari

lingkungan sosialnya, agar dirinya dapat diterima dan diakui oleh orang lain dengan

kemampuan yang dimiliki, sehingga ciri khas remaja dalam berpakaian, berdandan,

gaya rambut, serta tingkah laku dan sebagainya dipengaruhi oleh pergaulan dengan

teman-teman sebayanya (Swastha & Handoko, 2000).

Konformitas sendiri merupakan suatu desakan oleh teman-teman sebaya yang

dapat bersifat negatif maupun positif. Konformitas dapat terjadi apabila individu

mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak orang lain baik

dalam desakan yang nyata maupun desakan bayangannya saja (Santrock, 2007 Bab

10). Sears (1991) menambahkan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku

hal ini dilakukan agar sesuai dengan tingkah laku orang lain untuk mencapai suatu

tujuan. Konformitas juga didefinisikan sebagai perubahan perilaku dan keyakinan

individu agar sesuai dengan orang lain maupun standar kelompok (Taylor, Peplau,

dan Sears, 2000).


Konformitas terhadap teman sebaya mempunyai efek yang kuat terhadap

tingkah laku remaja (Baron & Byrne, 2005). Hal ini juga terjadi dalam perilaku

pembelian impulsif pada remaja khususnya yang terjadi pada mahasiswa rantau.

Mahasiswa rantau adalah seorang individu yang melanjutkan pendidikan di luar

daerah asal mereka, dengan pergi ke daerah lain untuk mencari ilmu (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 1990). Masalah yang sering dialami oleh mahasiswa adalah

masalah psikososial salah satunya adalah konformitas. Hal ini terjadi karena

mahasiswa tidak terbiasa dengan gaya dan norma sosial yang baru, adanya perubahan

sistem dukungan dan masalah intrapersonal dan interpersonal. Masalah ini akan lebih

berat apabila terjadi pada mahasiswa perantau hidup terpisah dengan keluarga,

menemukan masalah dalam berhubungan sosial (Lin & Yi dalam Lee, Koeske, Sales,

2004).

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Nur Fitriyani (2012) pada

mahasiswa yang tinggal merantau dan tinggal terpisah dari keluarga bahwa

mahasiswa yang tinggal di kos memiliki kecenderungan untuk membeli barang dan

menyamakan gaya hidup untuk menyamakan diri dengan teman-temannya Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Cahyani dalam (Sitohang,2009) 83% remaja lebih

terpengaruh dengan lingkungan sosial remaja dan 17% akibat iklan. Hal ini didukung

dengan penelitian yang dilakukan oleh Zebua dan Nurdjayadi dalam (Sitohang, 2009)

yang menyatakan bahwa 15,8% perilaku membeli pada remaja merupakan akibat

pengaruh konformitas. Berdasarkan paparan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti

pengaruh antara konformitas terhadap pembelian impulsif online pada mahasiswa

generasi milineal.

1.2 Identifikasi Masalah


Pembelian impulsif merupakan suatu fenomena psikoekonomik yang banyak

melanda kehidupan masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan. Fenomena ini

menarik untuk diteliti mengingat pembelian impulsif juga melanda kehidupan remaja

kota-kota besar yang sebenarnya belum memiliki kemampuan finansial untuk

memenuhi kebutuhannya. Menurut Johnstone (dikutip Santoso, 1998, h92), konsumen

remaja mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut : (a) mudah terpengaruh oleh rayuan

penjual, (b) mudah terbujuk iklan, terutama pada penampilan produk, (c) kurang

berpikir hemat, dan (d) kurang realistis, romantis dan impulsif.

Rook (1987) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian tidak

terencana yang terjadi ketika seorang konsumen berada dalam pengaruh positif saat

menerima suatu stimulus. Pembelian impulsif ini tidak hanya terjadi secara offline

seperti in-store, tetapi juga online (internet).

Seiring juga dengan perkembangan internet, kecenderungan konsumen untuk

melakukan pembelian impulsif semakin meningkat. Pembelian impulsif yang terjadi

di internet semakin meningkat setiap tahun. Faktanya, 40% dari transaksi online

merupakan pembelian impulsif (Liu, 2002). Hal ini juga didukung dengan

pertumbuhan e-commerce dan pertambahan transaksi yang berorientasi pada

konsumen (consumer-orientation) (Lee, 2002).

Saat ini transaksi online kerap dilakukan oleh kaum milenial, hal ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII) di tahun 2014 yang menunjukkan profil pengguna internet di Indonesia

didominasi oleh pengguna berusia 18-25 sebesar 49%. Data jumlah pengguna internet

di Indonesia sendiri bisa direfleksikan bahwa pembelian online mayoritas dilakukan

oleh kaum milenial atau Generasi Y.


Generasi Y merupakan individu yang lahir pada rentang tahun 1980-2000

(Meier & Crocker, 2010) dan mereka lahir di dunia dimana teknologi dan dunia

digital sangat berkembang dengan pesat, serta hidup di zaman yang serba mudah

(Novitasari, 2014). Ciri yang menonjol dari generasi ini adalah aktivitas sehari-hari

yang tidak terpisahkan dengan teknologi informasi dan komunikasi, serta kemudahan

akses internet yang memungkinkan untuk berbagai informasi. Begitu pula dengan

mahasiswa yang pada saat ini mayoritas berasal dari Generasi Y, mereka juga

memiliki ciri-ciri yang hampir sama.

Pembelian impulsif yang terjadi pada mahasiswa diduga juga karena

karakteristik psikologis yang dimiliki oleh mahasiswa yaitu konsep diri mereka yang

masih sangat dipengaruhi oleh teman sebaya. Mahasiswa merupakan seseorang yang

masih terbilang sebagai remaja akhir dalam proses perkembangannya. Remaja

merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa yang ditandai

dengan berbagai perubahan baik dalam aspek fisik, sosial, dan psikologis dalam

upaya menemukan jati diri serta identitas. Perubahan fisik, psikologis dan sosial yang

terjadi pada remaja bisa mempengaruhi ketertarikan remaja sebagai konsumen seperti

halnya minat yang kuat terhadap penampilan (Sitohang, 2009).

Pada saat remaja minat suatu perangkat yang kuat dirasakan sehingga minat

pribadi muncul saat remaja menyadari bahwa penerimaan sosial terutrama peer

groupnya sangat dipengaruhi oleh keseluruhan yang menampakkan remaja.

Kemampuan yang ada dalam diri remaja dapat meningkatkan atau justru menurunkan

pandangan teman sebaya terhadap dirinya. Sehingga sesuatu yang bersifat pribadi

seperti penampilan, bentuk tubuh, pakaian, atau perhiasan dan lain sebagainya.

Remaja berusaha berpenampilan menarik dengan bersolek, merawat tubuh,

menggunakan pakaian dan perhiasan yang sesuai dengan nilai kelompoknya. Para
remaja cenderung berpenampilan seperti yang dikehendaki kelompoknya (Hurlock,

2002:220).

Penampilan fisik berpengaruh terhadap penerimaan diri remaja dalam

kelompoknya. Penerimaan diri ini merupakan suatu proses dalam mencari identitas

diri. Terkait dengan identitas diri, terdapat periode dimana para remaja sangat senang

untuk mencoba sesuatu yang baru dan mengikuti trend. Remaja berusaha untuk

membuat citra diri atau image yang relevan dengan teman-temannya. Termasuk di

dalamnya cara remaja menampilkan diri secara fisik sehingga mendorong remaja

untuk melakukan upaya dalam memenuhi tuntutan komunitas sosial dalam

berpenampilan. Keinginan untuk memenuhi tuntutan tersebut diduga dapat

mendorong remaja untuk melakukan pembelian impulsif.

Remaja adalah seseorang yang berada pada rentang usia 12-21 tahun, dengan

pembagian menjadi tiga tahap yaitu; masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja

tengah 15-18 tahun, dan masa remaja akhir 18-21 tahun (Monks. dkk, 2002). Pada

tahap remaja akhirlah seseorang sedang menempuh pendidikan Srata satu (S1). Pada

tahap ini biasanya seseorang mulai bertemu teman baru sehingga memiliki

kecenderungan untuk mengikuti kegiatan dan norma kelompok atau yang disebut

dengan konformitas (Santrock, 2002:46). Konformitas adalah suatu tuntutan yang

tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi memiliki

pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan perilaku-perilaku tertentu pada angggota

kelompok (Zebua dan Nurdjayadi, 2001: 73).

Menurut Myers (2012: 252) menyatakan bahwa konformitas merupakan

perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok, terlihat dari kecenderungan

remaja untuk selalu menyamakan perilakunya terhadap kelompok sebayanya sehingga

dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan. Baron & Byrne (2005: 206)
mengatakan bahwa konformitas remaja dalah penyesuaian perilaku remaja untuk

menganut norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan kelompok yang

mengatur cara remaja berperilaku. Sehingga konformitas terjadi dimana individu

mengubah perilaku dirinya dengan menganut pada norma sosial yang ada, menerima

ide-ide atau aturan yang menunjukkan bagaimana individu harus berperilaku.

Penelitian Sriatmini (2009) pada remaja di Malang menunjukkan bahwa

remaja gengsi dan merasa malu jika tidak membeli barang-barang yang tidak bermerk

karena mereka takut merasa dikucilkan oleh temannya, meskipun tidak mempunyai

uang tetapi mereka akan tetap membeli barang bermerk tersebut sekalipun dengan

jalan yang tidak wajar. Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa

konformitas diantara remaja memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap

seseorang.

Pengaruh konformitas kelompok teman sebaya terhadap seseorang tidak bisa

diabaikan begitu saja karena teman sebaya juga mempengaruhi sikap dan gambaran

diri yang mengarah pada konsep diri seseorang. Konformitas dapat dipengaruhi oleh

lingkungan sosial remaja salah satunya yakni berupa norma sosial yang mengatur

perilaku sehingga tercipta keberagaman tingkah laku dalam kelompok. Pada akhirnya

usaha seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok teman sebaya diduga

memiliki pengaruh untuk mendorong remaja melakukan pembelian impulsif. Oleh

karena itu peneliti ingin meneliti apakah konformitas teman sebaya berpengaruh

terhadap pembelian impulsif online mahasiswa Generasi Y.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka batasan masalah dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


1. Generasi Y

Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam mahasiswa generasi Y

merupakan mahasiswa yang lahir pada rentang tahun 1980-2000 (Dulin,

2008). Jika disesuaikan dengan hitungan kalender hingga 2019, diketahui

bahwa mahasiwa yang termasuk dalam generasi Y merupakan mahasiswa

yang memiliki rentang umur 19-25 tahun.

2. Pembelian impulsif (Impulsive buying)

Pembelian impulsif merupakan tindakan yang tidak rasional dan

terdapat keputusan yang cepat dan tidak direncanakan. Terdapat banyak faktor

yang dapat menyebabkan pembelian impuls pada konsumen online. Salah satu

faktor tersebut adalah kepribadian (Verplanken & Herabadi, 2001).

3. Konformitas

Menurut Baron dan Byrne (1994, h.206) konformitas remaja adalah

penyesuaian perilaku remaja untuk menganut norma kelompok acuan,

menerima ide atau aturan-aturan kelompok yang mengatur cara remaja

berperilaku. Seseorang melakukan konformitas terhadap kelompok hanya

karena perilaku individu didasarkan pada harapan kelompok atau masyarakat.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam uraian diatas,

maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berkut: Apakah

konformitas teman sebaya berpengaruh terhadap perilaku pembelian impulsif online

pada mahasiswa generasi Y?

1.5 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, adapun tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh konformitas teman

sebaya terhadap pembelian impulsif mahasiswa generasi Y di Universitas Airlangga.

1.6 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi maupun informasi bagi

penelitian selanjutnya untuk mengkaji/melakukan penelitian lebih lanjut

tentang pengaruh konformitas teman sebaya terhadap pembelian impulsif

online mahasiswa Generasi Y. Selain itu, memperluas kajian ilmu psikologi,

khususnya pada ranah psikologi industri dan organisasi.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang

bagaimana pengaruh konformitas teman sebaya terhadap pembelian impulsif

online mahasiswa Generasi Y serta memberikan pandangan pada mahasiswa

dalam bergaul sebagai upaya untuk mencegah atau mengantisipasi adanya

perilaku pembelian impulsif pada mahasiswa Generasi Y.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Generasi Y

2.1.1 Definisi Generasi Y

Definisi tentang generasi dapat diperoleh melalui pengalaman-pengalaman

yang terjadi pada diri individu. Pengalaman tersebut berkaitan dengan peristiwa yang

terjadi dalam cakupan global seperti penemuan, peperangan, kepercayaan, dan budaya

yang populer (Meier & Crocker, 2010). Karakteristik yang melekat pada individu

biasanya nampak pada rentang usia tertentu biasanya merupakan refleksi atas

peristiwa yang terjadi di sekitar lingkungan individu tersebut. Strauss & Howe (1991)

juga menjelaskan bahwa generasi terbentuk berdasarkan peristiwa penting yang

terjadi disekitarnya. Peristiwa penting yang terjadi di tiap generasi merupakan faktor

utama yang menjadi pembeda antar generasi.

Dalam mendefinisikan rentang usia generasi Y, masih terdapat banyak

pandangan dari berbagai macam tokoh mengenai rentang kelahiran generasi Y. Dulin

(2008) dan Mangundjaya & Ratnaningsih (2017) menjelaskan bahwa individu yang

termasuk dalam generasi Y merupakan individu yang lahir pada rentang tahun 1977-
1997. Meier & Crocker (2010) menjelaskan individu yang termasuk dalam generasi Y

merupakan individu yang lahir pada rentang tahun 1980-2000, sedangkan Meriac dkk.

(2010) menjelaskan bahwa individu yang termasuk dalam generasi Y merupakan

individu yang lahir pada rentang tahun 1981-1999.

2.1.2 Karakteristik Generasi Y

Generasi Y memiliki ciri-ciri antara lain karakteristik masing-masing individu

berbeda tergantung tempat individu tersebut tumbuh, diantaranya bersikap realistis,

sangat menghargai perbedaan, lebih memilih bekerjasama daripada menerima

perintah, sangat pragmatis ketika memecahkan persoalan, memiliki rasa optimis yang

tinggi, fokus pada prestasi, percaya diri, percaya pada nilai-nilai moral dan sosial,

serta menghargai adanya keragaman (Lancaster dan Stillman 2002), tingkat ekonomi

dan sosial keluarganya, pola komunikasi lebih terbuka, penggunaan media sosial yang

fanatik dan sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi dalam kehidupannya,

lebih terbuka terhadap pandangan politik dan ekonomi sehingga lebih reaktif terhadap

perubahan lingkungan disekitarnya, serta memiliki perhatian yang lebih terhadap

kekayaan (Lyons 2004).

2.2 Impulsive Buying

2.2.1 Definisi Membeli

Perilaku membeli konsumen (consumer buying behaviour) merujuk pada

perilaku membeli konsumen akhir-individu dan rumah tangga yang membeli barang

dan jasa untuk konsumsi pribadi (Kotler, dkk., 2005). Dengan kata lain perilaku

membeli pada konsumen adalah perilaku individu yang membeli barang dan jasa

untuk konsumsi pribadi. Pembelian konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor

(Kotler, dkk., 2005) yaitu:

1. Budaya
Faktor budaya memberikan pengaruh paling luas pada keinginan dan

perilaku konsumen. Terdapat tiga peranan dalam faktor budaya antara lain

a. Budaya

Budaya merupakan penyebab yang paling mendasar dari keinginan dan

perilaku sesorang. Setiap kelompok atau masyarakat memiliki budaya

dan pengaruh budaya pada perilaku pembelian yang sangat beraneka

ragam di setiap Negara. Sehingga, budaya adalah susunan nilai-nilai

dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari individu dalam

suatu masyarakat dari keluarga dan institusi penting lainnya (Kotler,

dkk., 2005).

b. Subkebudayaan

Setiap budaya memiliki subbudaya atau subkultur yang lebih kecil atau

sekelompok orang-orang memiliki pengalaman yang sama.

Subkebudayaan meliputi kewarganegaraan, agama, kelompok ras, dan

daerah geografis. Subkebudayaan adalah sekelompok orang dengan

sistem nilai bersama berdasarkan pengalaman dan situasi hidup yang

sama (Kotler, dkk., 2005).

c. Kelas sosial

Kelas-kelas sosial adalah bagian-bagian masyarakat yang relatif

permanen dan tersusun rapi yang anggota- anggotanya memiliki nilai-

nilai, kepentingan dan perilaku yang sama satu sama lain.

2. Sosial

Dalam faktor-faktor sosial terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi

perilaku konsumen (Kotler, dkk., 2005), yaitu:

a. Kelompok
Kelompok merupakan dua orang atau lebih yang berinteraksi

untuk mencapai sasaran individu maupun bersama (Kotler, dkk.,

2005). Terdapat beberapa macam kelompok yang dapat

mempengaruhi perilaku individu. Kelompok yang secara langsung

mempengaruhi dan dimiliki seseorang disebut kelompok

keanggotaan. Beberapa diantaranya adalah kelompok primer yang

memiliki interaksi reguler tetapi dalam informal seperti keluarga,

teman, tetangga, dan rekan sekerja. Selain kelompok primer

terdapat pula kelompok sekunder yang lebih formal dan memiliki

lebih sedikit interaksi reguler, yaitu seperti organisasi.

b. Keluarga

Anggota keluarga dapat sangat mempengaruhi perilaku individu

dalam hal membeli suatu barang dan jasa. Keluarga merupakan

organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam

masyarakat, dan pengaruh tersebut telah diteliti secara ekstensif.

c. Peran dan Status

Individu yang berada dalam berbagai kelompok atau organisasi

dapat menentukan posisinya dalam setiap kelompok yang

ditetapkan baik lewat perannya maupun statusnya dalam organisasi

tersebut. Peran adalah harapan yang diberikan masyarakat atau

orang sekitarnya kepada seorang individu melalui sikap atau

tingkah laku seorang individu di masyarakat (Kotler, dkk., 2005).

Setiap peran yang terdapat dalam individu membawa status.

Individu memilih produk yang dapat menunjukkan status mereka

dalam masyarakat.
3. Pribadi

Keputusan seorang individu untuk membeli suatu barang dan jasa juga

didasari oleh karakteristik pribadi (Kotler, dkk., 2005) seperti:

a. Umur dan Tahap Siklus Hidup

Seseorang mengubah barang dan jasa yang mereka beli selama

hidup mereka. Selera terhadap barang dan jasa yang akan dibeli

sering kali berkaitan dengan usia. Pembelian juga dibentuk oleh

adanya tahap siklus hidup, tahap ini akan dilalui oleh setiap

anggota keluarga sesuai dengan kedewasaan anggotanya

(Kotler,dkk., 2005).

b. Pekerjaan

Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang

dibelinya (Kotler,dkk., 2005). Misalnya, pekerja kasar yang

cenderung untuk membeli pakaian kerja kasar, sedangkan pekerja

kantoran lebih memilih pakaian dengan setelan bisnis.

c. Situasi Ekonomi

Situasi ekonomi seseorang akan mempengaruhi sikap pembelian

dan pemilihan produk atau jasa.

d. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan pola kehidupan seseorang seperti yang

diperlihatkan dalam kegiatan, minat, dan opinions mengenai diri

sendiri, masalah sosial, bisnis, dan produk (Kotler,dkk., 2005).

Gaya hidup lebih mencakup dari sekedar kelas sosial atau

kepribadian seseorang. Gaya hidup menampilkan pola perilaku

seseorang dan interaksi dengan kenyataannya.


e. Kepribadian dan Konsep Diri

Kepribadian tiap orang yang berbeda mempengaruhi perilaku

pembelian. Kepribadian (personality) merupakan karakteristik

psikologis seseorang yang menghasilkan tanggapan-tanggapan

yang relatif konsisten dan menetap terhadap lingkungannya

(Kotler, dkk., 2005). Kepribadian biasanya didasarkan pada sifat

seseorang seperti kepercayaan diri, dominasi, kemampuan

bersosialisasi, kemampuan beradaptasi, dan agresivitas.

Kepribadian dapat berguna untuk menganalisis perilaku konsumen

atas suatu produk maupun pilihan merek. Selain kepribadian,

konsep diri dapat mencerminkan identitas seseorang (Kotler, dkk.,

2005).

4. Psikologis

Faktor yang terakhir yang mempengaruhi perilaku pembelian individu

yaitu psikologis. Seseorang dalam membeli dipengaruhi oleh empat faktor

psikologis (Kotler, dkk., 2005), antara lain:

a. Motivasi

Seseorang mempunyai banyak kebutuhan pada suatu waktu, misalnya

kebutuhan biologis, yang muncul dari keadaan yang bersifat memaksa

seperti rasa lapar, haus, atau merasa tidak nyaman. Kebutuhan lainnya

bersifat psikologi, muncul dari kebutuhan untuk diakui, dihargai,

ataupun rasa memiliki. Suatu kebutuhan akan menjadi motif apabila

dirangsang sampai pada tingkatan mecukupi (Kotler, dkk., 2005).


Sebuah motif atau dorongan adalah kebutuhan secara cukup dirangsang

untuk mengarahkan seseorang mencari kepuasan atas kebutuhannya.

b. Persepsi

Persepsi adalah proses di mana seseorang memilih, mengatur, dan

menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambaran yang

berarti mengenai dunia (Kotler,dkk., 2005). Seseorang dapat

membentuk persepi yang berbeda mengenai rangsangan yang sama

karena terdapat tiga macam proses penerimaan indera yaitu perhatian

selektif yaitu kecenderungan seseorang untuk menyaring sebagian

informasi yang didapat, retensi selektif yaitu sikap melupakan sebagian

besar informasi yang telah didapat dan lebih mempertahankan

informasi yang mendukung sikap dan kepercayaan, yang ketiga

terdapat iklan subliminal.

c. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan perubahan pada perilaku individu yang

muncul dari pengalaman (Kotler,dkk., 2005).

d. Keyakinan dan Sikap

Dengan melakukan dan lewat pembelajaran, seseorang akan

mendapatkan keyakinan dan sikap. Keyakinan merupakan pemikiran

deskriptif seseorang mengenai sesuatu dan sikap adalah evaluasi,

perasaan, dan kecenderungan seseorang terhadap suatu objek atau

gagasan.

2.2.2 Definisi Pembelian Impulsif

Perilaku “impulsive buying” didefinisikan sebagai pembelian yang

tidak terencana dan spontan dimana sebenarnya tidak ada niat sebelumnya
untuk melakukan pembelian saat memasuki toko atau saat mengunjungi

website. Pada beberapa studi disebutkan bahwa pembelian impulsif

merupakan suatu sikap pembelian yang dilakukan oleh seorang konsumen

karena adanya dorongan yang berasal dari stimulan yang berada dari luar diri

(calon) konsumen. Faktor eksternal diri (calon) konsumen yang diakui

memberikan dampak yang besar dalam mempengaruhi (calon) konsumen

untuk berbelanja secara impulsif. Secara umum faktor tersebut berkaitan

dengan harga, seperti “pemberian harga spesial”, “discount”, dan “bebas biaya

pengiriman”.

Pembelian secara impulsif sendiri dimaknai sebagai pembelian yang

dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu yang kemudian disertai dengan

adanya keinginan mendesak untuk membeli produk tertentu (Chuah & Gan,

2015). Menurut Chuah & Gan (2015) pembelian impulsif adalah suatu fakta

kehidupan dalam perilaku konsumen yang dibuktikan sebagai suatu kegiatan

pembelian yang berhubungan dengan lingkungan dan keterbatasan waktu

dalam berbelanja, dimana rute pembelian yang mereka lakukan semestinya

berbeda. Rute tersebut dapat dibedakan melalui hierarki impulsif yang

memperlihatkan bahwa perilaku didasarkan pada respon efektif yang

dipengaruhi oleh perasaan yang kuat (Mowen & Minor, 2002). Oleh karena

itu, pembelian impulsif dapat dikatakan sebagai sebuah perasaan positif yang

sangat kuat yang terjadi dan kemudian diikuti oleh sikap pembelian.

Perilaku impulsive buying ini memiliki dua macam pola, yaitu pola

pembelian yang berulang (brand loyalty) dan pembelian tidak direncanakan

(impulse purchasing) (Loudon & Bitta, 1993 dalam Purwanto, 2014). Pada

pola brand loyalty, pembelian suatu produk oleh konsumen seringkali


mengacu pada suatu merk tertentu. Hal tersebut bahkan terjadi berulang-kali

sebab konsumen telah loyal terhadap merek tersebut. Berbeda dengan

pembelian impulsif. Dalam pembelian impulsif, terjadinya transaksi

pembelian justru tidak direncanakan secara khusus.

Engel et al. (1995) menambahkan bahwa strategi pemasaran ditujukan

untuk mempengaruhi konsumen agar melakukan pembelian. Proses pembelian

itu sendiri ada yang bersifat rasional dan emosional. Pada proses pembelian

yang sifatnya rasional, konsumen melakukan pertimbangan yang matang dan

mengevaluasi sifat produk secara fungsional. Sedangkan pembelian yang

muncul karena didasari faktor emosi, dikatakan sebagai pembelian yang

bersifat emosional. Pembelian ini bersifat hedonis, objek konsumsi dipandang

secara simbolis dan berhubungan dengan respon emosi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

pembelian impulsif (impulsive buying) merupakan pembelian yang tidak

rasional dan terjadi secara spontan karena munculnya dorongan yang kuat

untuk membeli dengan segera pada saat itu juga dengan adanya perasaan

positif yang kuat mengenai suatu benda atau jasa. Oleh sebab itu, pembelian

yang didasari dengan impuls dapat dikatakan terjadi karena adanya

ketertarikan yang kuat pada produk dan jasa tertentu hingga mengabaikan

konsekuensi negatif setelahnya.

2.2.3 Tipe-Tipe Pembelian Impulsif

Loudon & Bitta(1993) mengemukakan empat tipe dari pembelian

impulsif yaitu pure impulse buying, reminder impulse buying, suggestion

impulse buying, dan planned impulse buying. Penjelasan keempat tipe

pembelian impulsif tersebut (Loudon & Bitta, 1993) sebagai berikut :


1. Pure impulse buying adalah pembelian impulsif yang benar-benar tidak

direncanakan karena ada barang yang baru.

2. Suggestion impulse buying adalah pembelian yang dilakukan ketika

pertama kali melihat suatu produk dan mengevaluasi kegunaannya.

3. Reminder impulse buying adalah pembelian yang didasarkan pada

kebutuhan dan pengalaman sebelumnya.

4. Planned impulse buying adalah pembelian yang dilakukan karena faktor

harga.

2.2.4 Karakteristik Pembelian Impulsif

Terdapat empat karakteristik pembelian impulsif yang dikemukakan oleh Rook

(Engel, dkk., 1990), yaitu:

1. Spontaneity

Pembelian tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli

sekarang, sering sebagai respon terhadap stimulasi visual yang langsung di

tempat penjual.

2. Power, compulsion, and intensity

Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan

bertindak seketika.

3. Excitement and stimulation

Desakan mendadak untuk membeli sering disertai emosi yang dirincikan

sebagai “menggairahkan”, “menggetarkan” atau “liar”.

4. Disregard for consequences

Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat

yang mungkin negatif akan terabaikan.

2.1.5 Elemen Pembelian Impulsif


Terdapat dua elemen penting dalam pembelian impulsif (Verplanken &

Herabadi, 2001) yaitu:

1. Kognitif

Kurangnya suatu perencanaan dan pertimbangan dari indvidu untuk

mengambil keputusan membeli suatu produk jasa. Elemen ini fokus pada

konflik yang terjadi pada kognitif individu yang meliputi:

1. Tidak adanya pertimbangan harga dan kegunaan pada suatu produk

yang akan dibeli.

2. Tidak melakukan evaluasi terhadap suatu pembelian produk.

3. Tidak melakukan perbandingan produk yang akan dibelidengan

produkyang mungkin lebih berguna.

2. Afektif

Pada pendekatan elemen afektif, dilihat dari emosional individu

seperti perasaan gembira, kurang kontrol diri, dan keinginan untuk membeli

sesuatu. Elemen ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang

meliputi :

1. Timbulnya dorongan perasaan untuk segera melakukan

pembelian.

2. Timbul perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian.

2.3 Konformitas

2.3.1 Konformitas Teman Sebaya

Myers menjelaskan bahwa konformitas adalah perubahan perilaku atau

kepercayaan agar selaras dengan orang lain. Konformitas tidak hanya sekedar

bertindak sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh orang lain, namun

dipengaruhi oleh bagaimana mereka bertindak. Sehingga konformitas adalah


bertindak atau berpikir yang berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa

dilakukan jika sendiri (Myers, 2012).

Menurut Chialdini & Gold-Stein dalam (Taylor dkk, 2009, Hal. 253)

menjelaskan bahwa konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan

atau perilaku agar sesuai dengan perilaku orang lain. Kebanyakan remaja

dianggap bebas memilih sendiri baju dan gaya rambutnya akan tetapi orang

lebih dering suka mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial

mereka dan karenanya mengikuti tren busana terbaru.

Menurut Baron & Bryne mengatakan bahwa konformitas remaja

adalah penyesuaian perilaku remaja remaja untuk menganut norma kelompok

acuan, menerima ide atau aturan-aturan kelompok yang mengatur cara remaja

berperilaku (Baron & Bryne, 2005, Hal: 206). Sehingga konformitas terjadi

dimana individu mengubah perilaku dirinya dengan menganut pada norma

sosial yang ada, menerima ide-ide atau aturan yang menunjukkan bagaiman

individu harus berperilaku (Baron & Bryne, 2005, Hal: 331).

Menurut Sarwono, perilaku konformitas terhadap kelompok yang

dilakukan individu adalah perilaku menyamakan diri dengan orang lain yang

didorong oleh keinginan sendiri dengan tujuan untuk bisa diterima dalam

kelompok yang diinginkan (Sarwono, 2002, Hal: 182).

Berdasarkan dari beberapa definisi mengenai konformitas menurut

beberapa ahli, sehingga dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah perubahan

perilaku agar sama dengan perilaku orang lain untuk menganut norma dan

aturan-aturan kelompok yang menunjukkan bagaimana individu harus

berperilaku.

2.3.2 Bentuk-bentuk Konformitas Teman Sebaya


Konformitas teman sebaya merupakan kecenderungan untuk melakukan

tingkah laku yang sesuai dengan norma kelompok, yang dilakukan menghindari

celaan sosial, walaupun perilaku tersebut berbeda dengan keyakinan sendiri.

Konformitas sering kali bersifat adaptif karena sebagai mahluk sosial individu

memang perlu menyesuaikan diri terhadap orang lain. Sering kali orang yang

konform karena mereka mempercayai informasi yang mereka peroleh dari orang

lain merupakan inormative influence (pengaruh informatif) dan mengikuti

informasi tersebut karena mereka takut dianggap sebagai orang yang

menyimpang (Sears, 1991, Hal: 103).

Alasan lain dari konformitas adalah keinginn agar individu diterima

secara sosial yang dinamakan normative influence (pengaruh normatif).

Individu sebgai anggota kelompok sering kali ingin agar diterima dilingkungan

sosialnya, menyukai serta memperlakukannya dengan baik. Penolakan itu juga

alasan orang yang konformitas juga ingin menghindari penolakan, pelecehan,

atau ejekan oleh lingkungan sosialnya. Pengaruh normatif terjadi ketika anggota

kelompok mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri dengan norma

kelompok atau standar kelompok agar diterima secara sosial (Taylor, 2009, Hal:

259).

Menurut Myers (2012, Hal: 103) terdapat dua bentuk konformitas yang

dimunclkan oleh setiap individu pada umumnya yakni:

a. Menurut (compliance) merupakan bentuk konformitas yang dilakukan

individu dengan cara mengubah perilakunya di depan publik agar

sesuai dengan tekanan kelompok, tetapi secara diam-diam tidak

mengubah pendapat pribadinya. Keseragaman perilaku yang

ditunjukkan pada konformitas bentuk menurut (compliance) dilakukan


individu untuk mendapatkan hadiah, pujian, rasa penerimaan, serta

menghindari hukuman dari kelompok.

b. Penerimaan (acceptance) merupakan bentuk konformitas yang

dilakukan individu dengan cara menyamakan sikap, keyakinan pribadi,

maupun perilakunya di depan publik dengan norma atau tekanan

kelompok. Perubahan keyakinan maupun perilaku individu terjadi

apabila dirinya sungguh-sungguh percaya bahwa kelompok memiliki

opini atau perilaku yang benar. Kurangnya informasi yang didapat

individu menyebabkan individu melakukan konformitas penerimaan

(acceptance). Karena individu melakukan atas dasar keinginan untuk

berbuat benar.

2.3.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi komformitas

Menurut Baron & Byrne (2005, Hal: 57) sda empat faktor yang perlu

diperhatikan yang dapat mempengaruhi konformitas yaitu:

a. Kohesitas (cohesiveness) adalah tingkat ketertarikan yang dirasakan oleh

individu terhadap suatu kelompok. Semakin tinggi tingkat ketertarikan

individu terhadap suatu kelompok maka semakin tinggi pula konformitas

yang dilakukan.

b. Ukuran kelompok yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh Asch (dalam

Baron, 2005) mengemukakan bahwa konformitas akan meningkat sejalan

dengan bertambahnya kelompok. Semakin besar suatu kelompok maka

semakin besar pula kecenderungan konformitas, bahkan walaupun hal

tersebut bertentangan dengan keinginan diri individu tersebut.

c. Norma sosial deskriptif atau himbauan adalah norma yang menetapkan apa

yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima
pada situasi tertentu oleh sebagian. besar orang. Norma deskriptif atau

himbauan dilakukan sebagian besar orang pada situasi tertentu.

d. Norma sosial injungtif atau perintah adalah norma yang menetapkan apa

yang harus dilakukan, tingkah laku apa yang diterima atau tidak diterima

pada situasi tertentu.

2.3.3 Aspek-aspek konformitas

Menurut Sears (1991, Hal: 81) dalam bukunya psikologi sosial aspek- aspek

yang terdapat pada konformitas adalah

a. Kepercayaan terhadap kelompok

Kepercayaan individu terhadap kelompok disebabkan karena individu

tersebut berpendapat bahwa kelompok selalu benar. Individu akan

mengikuti apa pun yang dilakukan oleh kelompok tanpa memperdulikan

pendapatnya sendiri karena keterbatasan informasi yang dimilikinya.

Konformitas akan semakin meningkat ketika individu tidak mempunyai

informasi yang dimiliki kelompok. Semakin besar kepercayaan individu

terhadap kelompo sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar

pula kemungkinan untuk menyesuaikan iri terhadap kelompok.

b. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri

Kepercayaan yang tinggi individu terhadap penilaiannya sendiri akan

menurunkan tingkat konformitas karena kelompok bukan merupakan

sumber informasi yang unggul lagi. Salah satu faktor yang sangat

mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat

keyakinan orang terseut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan

suatu reaksi. Konformitas akan menurun jika seseorang merasa lebih

menguasai dan lebih tahu akan suatu persoalan. Pada penelitian Mausner
1954, Synder, Mischel & Lott, 1960; Wiesenthal dkk., 1976) mendukung

pernyataan di atas, bahwasannya rasa percaya diri individu yang tinggi

terhadap penilaian sendiri akan menurunkan tingkat konformitas.

c. Rasa takut terhadap celaan sosial

Alasan utama konformitas adalah demi memperoleh penerimaan oleh

kelompok sosial atau menghindari celaan kelompok sosial.

d. Takut menjadi orang yang menyimpang

Faktor yang mendasari perilaku konformitas hampir dalam situasi sosial

adalah rasa takut akan dianggap sebagai orang yang menyimpang. Setiap

individu sering kali tidak mau dilihat berbeda dari kelompok sosialnya,

individu seringkali ingin diterima dan disukai oleh lingkungan sosialnya.

Seringkali individu khawatir jika memiliki paham yang berbeda dengan

kelompok sosialnya, karena hal itu akan menyebabkan subjek dikucilkan

dan diasingkan dari kelompok. Maka dari itu individu cenderung

menyesuaikan diri untuk menghindari akibat-akibat semacam itu.

e. Ketaatan atau kepatuhan

Tekanan sosial merupakan salah satu cara untuk membuat oang rela

melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan.

2.4 Hubungan antara Konformitas dengan Impulsive Buying

Menurut Sarwono (2002), perilaku konformitas terhadap kelompok

yang dilakukan individu adalah perilaku menyamakan diri dengan orang lain

yang didorong oleh keinginan diri sendiri dengan tujuan untuk bisa diterima

dalam kelompok yang diinginkan. Banyak remaja yang bersedia melakukan

berbagai perilaku demi pengakuan kelompok bahwa ia adalah bagian yang

tidak terpisahkan dari kelompok tersebut. Sehingga teman sebaya dapat


dijadikan sebagai sarana tujuan dalam pencarian jati diri dimana dalam hal ini

kepribadian akan ikut berpengaruh terhadap perilaku pembelian yang nantinya

mengarah kepada konsep diri. Misalnya dalam hal pembelian suatu barang,

seseorang dengan konsep diri negatif akan berupaya dengan berbagai cara

untuk meningkatkan self image salah satunya dengan melakukan pembelian

terhadap suatu produk. Sementara seseorang dengan konsep diri positif akan

merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku membeli impulsif

yang berkaitan dengan faktor sosial seperti pengaruh teman sebaya, Glock

(dalam Loudon & Bitta, 1984) menyatakan bahwa perilaku membeli seorang

remaja dipengaruhi oleh konformitas terhadap kelompoknya, perilaku

membelinya lebih cenderung impulsif. Konformitas merupakan faktor internal

yang terbentuk dari lingkungan sosial remaja yang dapat mempengaruhi

munculnya perilaku membeli impulsif pada remaja, karena konformitas

muncul dalam pribadi remaja akibat pembelajaran dari lingkugan sosial

remaja atau pengaruh dari pergaulan teman sebayanya (Aronson, 1992).

Pengaruh komformitas terhadap kelompok teman sebaya pada masa

remaja tidak dapat diabaikan begitu saja karena teman sebaya dapat

mempengaruhi sikap dan gambaran diri seseorang yang mengarah pada

konsep diri seseorang. Konformitas dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial

remaja salah satunya yakni berupa norma sosial yang menjadi kesepakatan

bersama untuk mengatur remaja berperilaku sehingga tercipta suatu

keseragaman tingkah laku dalam kelompok. Kondisi tersebut sedikit banyak

berpengaruh terhadap perilaku pembelian dan mengarah pada perilaku

pembelian impulsif. Sehingga usaha dalam menyesuaikan diri terhadap


kelompok teman sebaya ini diduga mendorong remaja untuk melakukan

pembelian impulsif.

2.5 Kerangka Konseptual

Generasi Y Teknologi & Informasi

Karakteristik Internet sebagai


Gen Y Usia gaya hidup
(Remaja
akhir/Dewasa
awal)

Konformitas Impulsif

2.5 Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap

suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah sehingga harus diuji

secara empiris.Hipotesis pada penelitian ini adalah :

H0 : Tidak ada pengaruh positif antara konformitas teman sebaya terhadap

pembelian impulsif

Ha : Ada pengaruh positif antara konformitas teman sebaya terhadap

pembelian impulsif
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

penjelasan (explanatory research) yaitu penelitian yang berfokus pada

mengapa peristiwa terjadi atau mencoba untuk menguji hipotesis yang

telah ditetapkan sebelumnya (Neuman, 2007).

Metode ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk

mengetahui pengaruh konformitas teman sebaya terhadap pembelian

impulsif mahasiswa Generasi Y. Penelitian kuantitatif sendiri merupakan

pendekatan yang dilakukan terhadap kajian empiris yang bertujuan untuk

mengumpulkan, menganalisa dan menampilkan data dalam bentuk

numerik (Given, 2008).

3.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel merupakan langkah penetapan variabel-variabel

utama dalam penelitian dan penentuan fungsinya masing-masing (Azwar,


2014). Penelitian bermaksud meneliti suatu konsep secara empiris.

Variabel satu dengan lainnya dalam kelompok. Variabel-variabel dalam

sebagai atribut dari sekelompok orang atau obyek yang mempunyai

variasi antara penelitian terdiri atas variabel yang dijelaskan sebagai

berikut (Azwar, 2014):

3.2.1 Variabel Independen (X)

Variabel independen yaitu variabel yang sering disebut

sebagai variabel stimulus, predictor, dan antecedent. Dalam

bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel

bebas merupakan variabel yang dapat mempengaruhi variabel

lain atau dapat dikatakan sebagai variabel yang pengaruhnya

terhadap variabel yang ingin diketahui (Azwar, 2014). Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah konformitas teman sebaya.

3.2.2 Variabel Dependen (Y)

Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel

output, kriteria, dan konsekuen. Variabel dependen merupakan

variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek

atau pengaruh variabel lain (Azwar, 2014). Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah pembelian impulsif (impulsive

buying).

3.3 Definisi Operasional Variabel

Variabel penelitian merupakan kumpulan konsep mengenai fenomena yang

akan diteliti. Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat

diamati (Azwar, 2014). Definisi operasional pada penelitian ini antara lain:
3.3.1 Konformitas

Perubahan perilaku agar sama dengan perilaku orang lain untuk menganut

norma dan aturan-aturan kelompok yang menunjukkan bagaimana individu harus

berperilaku. Konformitas teman sebaya akan diungkapkan dengan menggunakan

skala konformitas teman sebaya yang akan disusun oleh peneliti berdasarkan

aspek-aspek yang dijelaskan oleh Sears yang meliputi kepercayaan terhadap

kelompok, kepercayaan yang lemah terghadap penilaian sendiri, rasa takut

terhadap celaan sosial, takut menjadi orang yang menyimpang, dan ketaatan.

3.3.2 Pembelian Impulsif

Pembelian suatu barang yang dilakukan konsumen secara mendadak dan tiba-

tiba serta tidak ada niat membeli sebelimnya yang lebih mengarah pada

keputusan emosional dan desakan hati. Tinggi rendahnya pembelian impulsif

akan diungkapkan dengan menggunakan skala pembelian impulsif yang akan

disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Rook (1987)

yang meliputi Spontaneit, power, compulsion and intensity, excitement dan

stimulation dan disregard for consequences. Pada variabel ini, pengukuran

menggunakan skala yang dikembangkan oleh Verplanken, B., & Herabadi, A.

(2001), yaitu Impulsive Buying Tendency. Pembelian impulsif akan ditunjukkan

dari perolehan skor yang tinggi dalam hasil skala yang telah ditentukan.

3.4 Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi

Azwar (2011) menjelaskan bahwa populasi merupakan sekelompok subjek

yang memiliki karakteristik ataupun ciri-ciri yang sama yang dapat membedakan

dengan kelompok subjek yang lain. Hal tersebut dikarenakan kelompok subjek

akan digeneralisasikan pada hasil penelitian. Neuman (2014) menjelaskan bahwa


populasi penelitian merupakan himpunan besar dari kasus yang digunakan untuk

mengambil sampel yang hasilnya dapat digeneralisasikan Pada penelitian kali ini,

populasi yang digunakan adalah mahasiswa generasi Y Universitas Airlangga.

3.4.2 Sampel

Menurut Arikunto (2010: 174) sampel adalah wakil atau sebagian populasi

diteliti. Sedangkan menurut Sugiono (2011: 81) sampel merupakan bagian dari

jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Apabila sampel yang

diambil kurang dari 100 maka sebaiknya yang digunakan adalah keseluruhan dari

jumlah populasi. Maka dalam penelitian ini menggunakan sampel seluruh

populasi, karena jumlah responden penelitian berjumlah xx mahasiswa, dengan

demikian teknik sampling yang digunakan yaitu sampling jenuh atau sensus

sampling, sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel yang menggunakan

semua anggota populasi (Sugiono, 2011: 84). Hal ini dikarenakan populasi dalam

penelitian ini relatif kecil dan ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang

sangat kecil. Jadi sampel dalam penelitian ini mengambil sejumlah populasi yang

ada yaitu xx mahasiswa.

3.5. Teknik Pengambilan Data

Pada penelitian ini, alat pengumpulan data yang digunakan berupa kuesioner

yang berbentuk survey online dengan menggunakan skala jenis Likert. Teknik

Skala ini digunakan karena penulis menilai bahwa tujuan penelitian ini sesuai

dengan kegunaan skala tersebut, yaitu mengukur intensitas, potensi, ataupun

tingkatan dari suatu variabel. Penulis menggunakan skala Likert mengacu pada

asumsi bahwa skala Likert merupakan skala yang paling umum digunakan dalam

melakukan survey (Neuman, 2014). Selain itu, penulis menggunakan survey

online dikarenakan tidak memerlukan biaya yang mahal dan memberikan tekanan
yang lebih rendah pada subjek ketika memberikan respon langsung, sehingga

mampu mengumpulkan data dalam jumlah yang lebih besar (Hadi, 2004).

Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini merupakan self report yang

kemudian diajukan pertanyaan tertulis yang sama terhadap sampel. Hadi (2004)

menjelaskan penggunaan self form dikarenakan pada anggapan bahwa subjek

merupakan orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, pernyataan subjek

kepada penulis adalah benar dan dapat dipercaya, dan intepretasi terhadap

pernyataan yang diajukan sama antara subjek dengan penulis.

3.5.1 Skala Konformitas teman sebaya

Skala konformitas teman sebaya disusun berdasarkan dimensi konformitas

teman sebaya Sears dalam bukunya psikologi sosial (1991: 81) yaitu

a. Kepercayaan terhadap kelompok yaitu kepercayaan individu terhadap

kelompok disebabkan karena individu tersebut berpendapat bahwa

kelompok selalu benar.

b. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri yaitu kepercayaan

yang tinggi individu terhadap penilaiannya sendiri akan menurunkan

tingkat konformitas karena kelompok bukan merupakan sumber informasi

yang unggul lagi.

c. Rasa takut terhadap celaan sosial yaitu alasan utama dari konformitas

untuk demi memperoleh penerimaan oleh kelompok sosial atau

menghindari celaan kelompok sosial.

d. Takut menjadi orang yang menyimpang yaitu yang menjadi faktor yang

mendasari perilaku konformitas hampir dalam situasi sosial adalah rasa

takut akan dianggap sebagai orang yang menyimpang.


e. Ketaatan atau kepatuhan yaitu rela melakukan sesuatu yang sebenarnya

tidak ingin mereka lakukan.

3.5.2 Alat Ukur Pembelian Impulsif

Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan untuk pembelian impulsif adalah

Impulsive Buying Tendency yang dikembangkan oleh Verplanken, B., &

Herabadi, A. (2001). Alat ukur tersebut telah ditranslasi oleh penulis ke dalam

bahasa Indonesia dengan cara menerjemahkan pada tenaga ahli melalui translate

back translate dan telah disesuaikan dengan konteks penelitian penulis. Terdapat

dua aitem dalam alat ukur kecenderungan pembelian impulsif yaitu aitem

kognitif dan aitem afektif dan jumlah keseluruhan teradapat 20 aitem. Semakin

tinggi skor yang didapat subjek maka akan semakin impulsif dalam pembelian,

sebaliknya jika skor yang didapat rendah maka subjek tersebut memiliki

pembelian impulsif yang rendah. Adapun blue print pembelian impulsif adalah

sebagai berikut:

---------------------isi ------------

Skala kecenderungan pembelian impulsif memiliki empat alternatif jawaban

yang dapat dipilih oleh subjek sesuai dengan keadaan dirinya. Alternatif

jawaban tersebut adalah Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan

Sangat Tidak Setuju (STS). Pada pernyataan favorable, penentuan skornya

adalah nilai 1 untuk STS (Sangat Tidak Setuju), nilai 2 untuk TS (Tidak Setuju),

nilai 3 untuk S (Setuju) dan nilai 4 SS (Sangat Setuju). Sedangkan penentuan

skor pada pernyataan skor pernyataan unfavorable adalah nilai 4 untuk STS

(Sangat Tidak Setuju), nilai 3 untuk TS (Tidak Setuju), nilai 2 untuk S (Setuju)

dan nilai 1 untuk SS (Sangat Setuju).


3.5.3 Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan

kecermatan pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar,2011).

Pada penelitian ini menggunakan jenis validitas isi (content validity) yang diuji

oleh expert judgement untuk melihat kesesuaian butir aitem dalam tes dengan

perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini, expert

judgment adalah dosen pembimbing.

3.5.4 Seleksi aitem

Seleksi aitem dalam penelitian ini menggunakan tryout terpakai. Definisi tryout

terpakai dalam penelitian ini adalah data skala alat ukur yang disebarkan pada

subjek untuk pertama kali dan langsung digunakan serta dianalisis langsung

(Ario Wiratmoko, 2012). Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dan sulitnya

mendapatkan subjek yang memiliki karakteristik yang sama dengan penelitian.

Penyeleksian aitem dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows versi

21 untuk melihat daya diskriminasi pada setiap aitem yang ada. Daya

diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara

individu atau kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur

(Azwar, 2012). Seleksi aitem didasarkan pada besarnya koefisien korelasi

(Azwar, 2013). Adanya ketentuan dalam pemilihan aitem dengan menggunakan

batasan korelasi aitem total (rix) dengan batasan rix >0,30 dikatakan memiliki

daya diskriminasi yang baik, sedangkan koefisien korelasi <0,30 dikatakan

memiliki daya diskriminasi yang rendah. Pada jumlah aitem yang lolos masih

kurang mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat dipertimbangkan untuk

menurunkan batasan korelasi aitem total menjadi 0,25 (Azwar, 2013).


Pada skala kecenderungan pembelian impulsif, terdapat 26 aitem yang terdiri

dari 13 aitem favorable dan 13 aitem unfavorable. Pada hasil uji data,

kecenderungan pembelian impulsif tergolong aitem yang baik dengan memiliki

nilai rix ≥ 0,30. Pada skala konformitas terdapat 20 aitem pernyataan, 11 aitem

favorable dan 9 unfavorable. Pengujian data pada skala konformitas yang

dilakukan menghasilkan 5 aitem yang memiliki nilai rix ≤ 30 adalah aitem

nomor 5,6,7,18, dan 19. Aitem dengan nilai rix ≤ 30 termasuk aitem yang

gugur.

3.5.5 Reliabilitas

Reliabilitas adalah konsistensi hasil pengukuran jika prosedur pengetesannya

dilakukan secara berulang kali terhadap suatu populasi individu atau kelompok

(Supratiknya,2014). Dalam penelitian ini menggunakan koefisiensi konsistensi

internal dalam menguji reliabilitas atau tidaknya sebuah skala melalui program

SPSS for windows 21. Penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach

dalam mencari estimasi koefisiensi reliabilitas konsistensi internal (Supratiknya,

2014). Nilai reliabilitas dianggap baik apabila mencapai nilai r> 0,70

(Supratiknya, 2014). Pada skala kecenderungan pembelian impulsif nilai Alpha

Cronbach diperoleh nilai sebesar 0,905. Pada skala konformitas ini, reliabilitas

diuji kembali setelah terdapat item yang gugur menggunakan Alpha Cronbach

dan diperoleh nilai sebesar 0,681.

3.6 METODE ANALISIS DATA

3.6.1. Uji Asumsi

Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk melihat data penelitian

berasal dari distribusi yang normal atau tidak (Santoso,2010). Penelitian ini

menggunakan teknik Kolmogrov Smirnov Test pada program SPSS for

windows versi 21. Distribusi dikatakan normal apabila p>0,05 dan sebaliknya

bila data memiliki nilai p<0,05 maka distribusi tersebut tidak normal (Santoso,

2010).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah data mengikuti garis lurus atau

tidak, apabila data mengikuti garis lurus maka peningkatan maupun penurunan

kuantitas di suatu variabel akan diikuti secara linear oleh kuantitas variabel yang

mengalami peningkatan atau penurunan di variabel lain. Jika nilai signifikansi

kurang dari 0,05 (p<0,05), maka dikatakan sebagai hubungan yang linear

(Santoso, 2010).

c. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk melihat keeratan hubungan antar dua variabel

(Priyatno, 2014). Penelitian menggunakan statistik parametrik Pearson Product

Moment apabila uji asumsi terpenuhi. Sebaliknya jika tidak maka dilakukan uji

hipotesis dengan menggunakan Spearmen Rho karena teknik tersebut tidak

mensyaratkan adanya normalitas data (Santoso,2010). Jika nilai sig (p) < 0,05,

maka hal tersebut menunjukkan adanya hubungan signifikan antar variabel yang

diteliti.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Rabu 31 Juli 2019 sampai dengan Rabu 7 Agustus

2019. Penelitian menggunakan subjek mahasiswa tahun pertama berjumlah 161.

Selain itu pengambilan data dilakukan dengan menyebar skala pada mahasiswa

di saat jam jeda kuliah dan saat akhir jam kuliah di beberapa tempat sesuai

dengan ketersediaan serta kemudahan peneliti dalam memperoleh subjek

penelitian.
B. Deskripsi Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek mahasiswa tahun pertama berasal dari luar

Pulau Jawa. Pada umumnya, mahasiswa tahun pertama berada di antara usia 18

sampai 22 tahun (Santrock, 2003). Adapun identitas subjek yang diperoleh dari

penyebaran skala adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Identitas Subjek Penelitian

Usia Jumlah
18 76
19 63
20 11
21 8
22 3
Laki-laki Perempuan
72 89

Uang Saku Perbulan Total


500ribu – 1 juta 80
1 juta – 2 juta 40
2 juta – 3 juta 15
Lebih dari 3 juta 16
Total 161

C. Deskripsi penelitian

Data penelitian dideskripsikan oleh peneliti bertujuan untuk melihat perbedaan

antara mean teoretik dan mean empirik kedua variable penelitian. Perhitungan

mean teoretik dilakukan secara manual untuk mendapatkan hasil rata-rata skor

dari skor maksimal dan skor minimal pada skala. Sedangkan perhitungan mean
empirik dilakukan dengan cara menggunakan program SPSS for windows versi

21 dari skor yang diperoleh subjek penelitian. Berdasarkan skala penelitian yang

digunakan, maka diperoleh hasil perhitungan mean teoritik dan mean empiris

sebagai berikut :

a. Mean teoritik Kecenderungan Pembelian Impulsif

Jumlah aitem : 20

Nilai minimum :20 x 1=20

Nilai maximum :20 x 5 =100

Rentang nilai : 80-20=60

Mean Teoritik : (min+max)/2 = (20+80)/2=50

b. Mean teoritik Konformitas

Jumlah aitem : 15

Nilai minimum : 15 x 1 = 15

Nilai maximum : 15 x 4 = 60

Rentang nilai :60 – 15 = 45

Mean Teoritik : (min+max)/2 = (15+60)/2=37,5

Tabel 6. Deskripsi Data Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif dan

Konformitas

Variabel N SD Teoritik Empiris Mean Mean

Teoritik Empiris
Kecendrunga 161 13,522 20-80 20-89 50 50,41

n Pembelian

Impulsif
Konformitas 161 4,920 20-60 30-58 37,5 46,23
Tabel 7. Uji Beda Mean Teoritik dan Mean Empiris Kecenderungan Pembelian

Impulsif

Pengujian data dari one sample t test variabel kecenderungan pembelian

impulsif menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hasil data menunjukkan

bahwa mean teoritik dari variabel kecenderungan pembelian impulsif sebesar

50, sedangkan mean empiris dari variabel kecenderungan pembelian impulsif

50,41 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 hal ini berarti mean empiris lebih

besar daripada mean teoritik, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan

pembelian impulsif subjek tergolong tinggi.

Tabel 8. Uji Beda Mean Teoritik dan Mean Empiris Konformitas

Pengujian data dari one sample t test variabel kecenderungan konformitas

menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hasil data menunjukkan bahwa

mean teoritik dari variabel konformitas sebesar 37,5

sedangkan mean empiris dari variabel konformitas 46,23 dengan nilai

signifikansisebesar 0,000 yang berarti mean empiris lebih besar daripada mean

teoritik, maka dapat disimpulkan bahwa konfomitas subjek penelitian tergolong

tinggi.

D. Hasil Penelitian

a. Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk melihat data penelitian

berasal; dari distribusi yang normal atau tidak yang diperoleh dari populasi

(Santoso,2010). Penelitian ini menggunakan teknik Kolmogrov Smirnov Test

pada program SPSS for windows versi 21. Distribusi dikatakan normal apabila
p>0,05 dan sebaliknya bila data memiliki nilai p<0,05 maka distribusi tersebut

tidak normal (Santoso, 2010).

Tabel 9. Uji Normalitas Konformitas dan Kecenderungan Pembelian Impulsif

Berdasarkan hasil analisa kolmogorov – smirnov test di peroleh nilai p untuk

variabel kecenderungan pembelian impulsif sebesar 0,004 (0,004>0,05).

Sedangkan untuk variabel konformitas di peroleh nilai p sebesar 0,001 (0,001 >

0,05). Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan bahwa data dikatakan

berdistribusi normal apabila nilai signifikansi > 0,05. Maka dapat disimpulkan

untuk variabel kecenderungan pembelian impulsif maupun variabel konformitas

data tidak normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk melihat data mengikuti garis lurus atau tidak,

apabila data mengikuti garis lurus maka peningkatan maupun penurunan

kuantitas di suatu variabel akan diikuti secara linear oleh kuantitas variabel yang

mengalami peningkatan atau penurunan di variabel lain. Jika nilai signifikansi

kurang dari 0,05 (p<0,05) antar variabel dapat dikatakan sebagai hubungan yang

linear (Santoso,2010).

Tabel 10. Hasil Uji Linearitas Kecenderungan Pembelian Impulsif dan

Konformitas
Berdasarkan tabel di atas diketahui nilai signifikansi sebesar 0,005 (0,005>

0,05) maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang linier antara variabel

Kecenderungan Pembelian Impulsif dengan Konformitas Mahasiswa Perantau.

c. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk melihat keeratan hubungan antar dua variabel

(Priyatno, 2014). Penelitian menggunakan Spearman Rho apabila data yang

dihasilkan tergolong dalam perhitungan tidak normal. Jika nilai sig (p) < 0,05

menunjukkan adanya hubungan signifikan antar variabel yang diteliti, dan

apabila dua variabel yang tidak ada hubungan signifikan bernilai (p) > 0,05.

Tabel 11. Hasil Uji Hipotesis Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif dan

Konformitas

Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut menunjukkan bahwa konformitas dan

kecenderungan pembelian impulsif memiliki nilai r sebesar 0,599 dengan nilai p

sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bersifat

positif dan signifikan antara variabel konformitas dan kecenderungan pembelian

impulsif.

E. Pembahasan

Hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas

dan kecenderung pembelian impulsif pada mahasiswa perantau. Pada penelitian

ini menggunakan teknik Spearman Rho karena data yang tidak normal namun

linear. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hasil koefisien korelasi

antara konformitas dan kecenderungan pembelian impulsif sebesar r = 0,599

dengan nilai signifikansi sebesar p = 0,000 ( p < 0,05 ) yang menunjukkan

adanya hubungan positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

tinggi konformitas, maka semakin tinggi kecenderungan pembelian impulsif.


Sebaliknya, semakin rendah konformitas, maka semakin rendah kecenderungan

pembelian impulsif. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa hipotesis dalam

penelitian ini diterima, yaitu terdapat hubungan yang positif antara konformitas

dan kecenderungan pembelian impulsif.

Hal tersebut mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan Astari (2009)

yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara konformitas dengan perilaku

membeli impulsif. Selain penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh

Sitohang (2009) juga menyatakan bahwa adanya hubungan antara konformitas

dengan perilaku membeli impulsif, semakin positif konformitas terhadap

kelompok sebaya maka semakin tinggi pembelian impulsif pada remaja,

sebaliknya semakin negatif konformitas terhadap kelompok teman sebaya akan

rendah pembelian impulsif pada remaja.

Mahasiswa yang memiliki konformitas tinggi dipengaruhi oleh dua aspek yaitu

aspek kognitif dan aspek afektif. Konformitas tinggi pada mahasiswa dalam

aspek kognitif mahasiswa akan mengambil mudah terpengaruh lalu mengambil

keputusan pembelian tanpa perancanaan yang matang sedangkan pada aspek

afektif atau emosional mahasiswa kurang melakukan pertimbangan sehingga

respon emosional muncul terlebih dahulu atau setelah terjadi pembelian dan

akhirnya mengalami penyesalan karena melakukan pemborosan. Hal ini

didukung oleh Taylor, Peplau, dan Sears (2000) bahwa mahasiswa yang

memiliki konformitas tinggi akan cenderung mengalami perubahan perilaku dan

keyakinan individu agar sesuai dengan orang lain maupun standar kelompok

termasuk dalam kegiatan berbelanja sehingga pembelian impulsif tinggi

Dari penelitian ini, konformitas yang dilakukan subjek tergolong tinggi. Hal ini

dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwamean empiris lebih besar
dibandingkan dengan mean teoritik ( 46,23 > 37,5 ). Data tersebut menunjukkan

adanya perbedaan signifikan antara mean teoritik dan mean empiris pada

variabel konformitas. Nilai mean empiris yang lebih besar dibandingkan dengan

nilai mean teoritik menunjukkan bahwa subjek penelitian cenderung melakukan

konformitas terhadap kelompoknya. Subjek cenderung mengalami perubahan

perilaku hal ini dilakukan agar sesuai dengan tingkah laku orang lain untuk

mencapai suatu tujuan (Sears,1991).

Penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan pembelian impulsif tinggi.

Hal ini dapat ditunjukkan dengan mean teoritik dari variabel kecenderungan

pembelian impulsif sebesar 50, sedangkan mean empiris dari variabel

kecenderungan pembelian impulsif 50,41 dengan nilai signifikansi sebesar

0,000 menunjukkan bahwa mean teoritik lebih besar dari pada mean empiris,

maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian kecenderungan pembelian

impulsif tergolong tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan antara mean empiris dan teoritik pada variabel kecenderungan

pembelian impulsif. Kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi

menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam pembelian relatif cepat,

didorong oleh keinginan kuat akan memiliki suatu produk (Rook, 1987).
DAFTAR PUSTAKA

Agus, P. (2018). Lebih Pilih Instagram dan Snapchat, Generasi Milenial Mulai

Tinggalkan Facebook???. Digital Entrepreneur. Diakses dari

https://digitalentrepreneur.id/instagram-snapchat/ pada 29 September 2018

Ali, H., & Purwandi, H. (2017). The Urban Middle-Class Millenials Indonesia:

Financial and Online Behavior. Alvara Research Center.

Anin, A. F., Rasimin B.S., Nurhayati A., (2005). Hubungan Self Monitoring dengan

Impulsive Buying Terhadap Produk Fashion Pada Remaja. Jurnal Psikologi

Vol. 35, No. 2, hal: 181-193. Universitas Gajah Mada.

Arikunto, S.. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Renika Cipta.

Aronson, E. 1992. The Social Animal.San Fransisco: W. H. Freeman & Co.

Assael, Henry. (1992) Consumer Behavior and Marketing Action 4th. Boston : PWS-

Kent Publication.

Azwar, S. (2014). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, R.A & Byrne, D. (2000). Social Psychology (9th ed). USA : Allyn & Bacon.

Bidgoli, Hossein. 2002. Electronic Commerce: Principles and Practice. UK:

Academic Press.

Biddle, B. J., Bank, B. J., & Slavings, R. L. (1987). Norms, preferences, identities and

retention decisions. Social Psychology Quarterly, 50, 322–337

Chuah, Siew Lin & Chin Chuan Gan. 2015. The Influence of Individual Internal

Factors on Impulse Buying Behaviour Through Online Shopping. Global

Journal of Business and Social Science Review, 60-70.

Community, I. I. (2000). Study on "Indonesia Cyber Industry and Market".

Crafts, C. E. (2012).Impulse Buying on the Internet.Information Systems and

Decision Sciences.
Engel. James.F.Roger. D.Black Well And Paul.W.Miniard, 1995.,Perilaku

Konsumen.Jakarta.Bina Rupa Aksara.

Epstein,S. 1973."TheSelf-ConcepRtevisited."Ameri- can Psychologis2t8:404-16.

Given, L. M. (2008). The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods.

Thousand Oaks: Sage.

Hoch SJ, Loewenstein GF 1991. Time-Inconsistent Preferences and Consumer Self-

Control. J. Consum. Res., 17: 493-507.

Hidvegi, A., & Erdos, K.A. (2016). Assesing the Online Purchasing Decisions of

Generation Z, Proceedings of FIKUSZ ’16 Symposium for Young Researches,

Paper of Conference Procedings Compilation.

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Pekembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi Ketujuh. Diterkemahkan oleh Istiwindayanti dan

Soedjarwo. Jakarta : Erlangga.

Kartini, F. (2018). “Berapa Jumlah Pengguna Internet Indonesia?”. Kompas. Diunduh

dari https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-

pengguna-internet-indonesia pada 26 September 2018.

Kemp, S. (2018). DIGITAL IN 2018: WORLD’S INTERNET USERS PASS THE 4

BILLION MARK. We Are Social. Diunduh dari

https://wearesocial.com/blog/2018/01/global-digital-report-2018 pada 26

September 2018.

Kotler, P., & Amstrong, G. (2005). Prinsip-prinsip Pemasaran, Edisi Kedelapan, Jilid

1. Jakarta: Erlangga.

Kotler, Philip & Keller Kevin Lane. (2009). Marketing Management. 14th Ed.

USA:Prentice Hall
Kusuma, W. (2018). Riset Ungkap Pola Pemakaian Medsos Orang Indonesia.

Kompas. Diunduh dari

https://tekno.kompas.com/read/2018/03/01/10340027/riset-ungkap-pola-

pemakaian-medsos-orang-indonesia pada 26 September 2018.

Lada, S., Tanakinjal, G.H. and Amin, H. (2009), “Predicting intention to choose Halal

products using theory of reasoned action”, International Journal of Islamic and

Middle Eastern Finance and Management, Vol. 2 No. 1, pp. 66-76.

Lancaster LC, Stillman D. 2002. When Generations Collide. Who They Are. Why

They Clash. How to Solve the Generational Puzzle at Work. New York:

Collins Business.

Lee, J. J. (2002). The Influence of Culture on Consumer Impulsive Buying Behavior.

Journal of Consumer Psychology , 1.

Loudon, D. L., & Bitta, A. J. (1993). Consumer Behavior: Concepets and Aplications.

Singapore: McGRAW-HILL, INC.

Lyons S. 2004. An exploration of generational values in life and at work. ProQuest

Dissertations and Theses, 441-441. Retrieved from

http://ezproxy.um.edu.my/docview/305203456?accountid=28930.

Mäkeläinen, S. I. (2006). From B2C to C2C E-commerce. Helsinki: University of

Helsinki.

Meier, J., & Crocker, M. (2010) Generation Y in the Workforce: Managerial

Challenges. The Journal of Human Resource and Adult Learning Vol.6. p. 68-

78.

Monks, F.J, Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (2002). Psikologi Perkembangan

Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.
Mowen, J.c. Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen Jilid 2. Jakarta : Salemba Empat.

Myers, D (1982). Psychology. First Edition. New York : Worth Publishers, Inc

Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research: Qualitative and Quantitative

Approaches. Boston: Pearson Education Inc.

Novitasari. (2014). Tantangan Tingkat Usia dan Kepemimpinan terhadap Kinerja.

Pavlou, P. A. (2003). Consumer Acceptance of Electronic Commerce Integrating

Trust and Risk with the Technology Acceptance Model. International Journal

of Electronic Commerce, 73, 69–103.

Purwanto, Nuri. 2014. Peran Store Atmosphere dan Positive Emotion Sebagai

Mediasi Pengaruh Fashion Involvement Terhadap Fashion Oriented Impulse

Buying di Distro Kota Malang. Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis, Vol. 9, No.

1.

Rook, D. W. (1987). The Buying Impulse. The Journal of Consumer Research, vol. 14

, 189-199.

Rook, D. W. & R. J. Fisher. (2000). Normative Influence on Impulse Buying

Behaviour. Journal of Consumer Research. Vol. 22, pp. 305-313.

Santrock, J. W. (2007). Remaja edisi 11.Jakarta: Erlangga.

hubun, S. W. (2002). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi

Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Sears, D. O (1991). Psikologi Sosial edisi 5 Jilid 2. Alih bahasa : Michael Adryanto.

Jakarta : Penerbit Erlangga.

Sriatmini, L. (2009). Perilaku Konsumtif Remaja SMAN Se-kota Malang. Skripsi.

Stern, H. (2015). The Significance of Impulse Buying Today. Journal of Marketing.

Vol. 26, pp. 59-62.


Strauss, William & Howe, Neil (1991). Generations. New York, NY: Harper

Perennial. p. 318

Sitohang, A. (2009). Hubungan Antara Konformitas Terhadap Kelompok Teman

Sebaya Dengan Pembelian Impulsif Pada Remaja. Ringkasa Skripsi,

Universitas Diponegoro : Semarang.

Sugiono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Susanta. (2007). Marketing. Edisi Khusus II. Bogor: Ghalia Indonesia.

Verplanken, B. & Herabadi, A. (2001). Individual Differences in Impulse Buying

Tendency: Feeling and no Thinking. European Journal of Personality Eur. J.

Pers. 15: S71-S83.

Wilkie W. L. 1994. Consumer Behavior (3rd ed.). New York: John Wiley and Sons.

Welles G 1986. We're in the habit of impulsive buying. USA Today, May21.

Winastiti, A. (2016) Generasi Millenial dan Karakteristiknya. CNN. Diunduh dari

https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20160823145217-445-

153268/generasi-millenial-dan-karakteristiknya/ pada 26 September 2018.

Yusra, Y. (2016). Facebook dan Instagram Memiliki Khasiat yang Sama dalam

Pemasaran Digital. Daily Social. Diunduh dari

https://dailysocial.id/post/facebook-dan-instagram-pemasaran-digital/ pada 29

September 2018.

Zebua, A & Nurdjayadi, R (2001). Hubungan Antara Konformitas dan Konsep Diri

Dengan Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Putri. Phronesis.

Anda mungkin juga menyukai