Anda di halaman 1dari 3

1.

Program PECS (Picture Exchange Communication System) untuk Meningkatkan


Kemampuan Berbicara Terstruktur Pada Anak Autis.
Judul : Meningkatkan Kemampuan Berbicara Terstruktur
Jurnal : Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (GAMAJPP) Volume 5
tahun 2019
Penulis : Restu Vistasari dan Bhina Patria
Target Permasalahan yang Diintervensi. Pada jurnal ini target yang diintervensi
adalah kemampuan peningkatan berbicara terstruktur pada anak autis.
Dasar Paradigma. Intervensi permasalahan tersebut menggunakan paradigma
behavioristik.
Subjek dan Metode Pemilihan Partisipan. Subjek pada penilitian ini terdiri dari dua
orang anak dengan diagnosis autis. Sehingga metode pemilihan subjek yang
digunakan adalah non probability sampling-consecutive sampling sebab subjek dipilih
berdasarkan kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian.
Prosedur Pelaksanaan Intervensi. Intervensi dilakukan dari bulan Oktober hingga
Desember 2018 dengan empat fase program PECS. Fase pertama yakni pengenalan
kartu bergambar dimana trainer menunjukkan dan menanyakan setiap gambar (aspek
subjek, predikat, objek) pada partisipan. Fase kedua yakni penyusunan kalimat pola S-
P dimana trainer memberi contoh kalimat S-P ke dalam bentuk gambar-gambar. Lalu
partisipan diminta menyusun kalimat S-P dengan gambar pada papan strip. Setelah
ini, partisipan diminta menyebutkan ulang secara lisan gambar yang disusun ke dalam
kalimat S-P. Fase ketiga yaitu penyusunan kalimat PO dimana tahapan-tahapan
intervensi sama dengan fase kedua. Fase keempat yaitu penyusunan kalimat SPO
dimana tahapan intervensi dilakukan seperti fase kedua dan ketiga. Pengambilan data
dilakukan dengan instrumen behavior checklist untuk mengukur target perilaku yang
diambil pada fase baseline dan post-treatment dalam setting natural.
Hasil Intervensi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa program PECS dapat
meningkatkan kemampuan berbicara terstruktur pada anak autis.
Kelebihan Intervensi. Intervensi dengan program PECS mudah untuk dilakukan baik
oleh trainer maupun orang tua dengan anak diagnosis autis. Selain fase intervensi
yang mudah, instrumen yang digunakan dalam intervensi mudah didapatkan dan
biaya terjangkau. Sebab hanya membutuhkan kartu bergambar kehidupan sehari-hari
dan dokumen tabel perilaku yang ditargetkan.
Kekurangan Intervensi. Fase intervensi yang berulang cenderung berpengaruh pada
mood anak, sehingga anak mudah bosan saat proses intervensi. Selain itu, program
PECS perlu dilakukan berulang-ulang dalam waktu lama agar efeknya dapat bertahan
dalam jangka panjang.
Probabilitas untuk Diterapkan Dalam Masyarakat. Metode intervensi pada
penelitian ini dapat ditetapkan di masyarakat karena tidak wajib membutuhkan trainer
profesional, karena dapat dilakukan oleh guru, orang tua atau keluarga. Selain itu
instrumen yang digunakan bisa didapatkan dengan mudah dan harganya terjangkau
oleh berbagai lapisan masyarakat.

2. Pelatihan Empati untuk menurunkan perilaku Bullying pada pelaku Bullying di


Sekolah Dasar.
Judul : Pelatihan Empati untuk menurunkan perilaku Bullying.
Jurnal : Jurnal Intervensi Psikologi, Volume II tahun 2019
Penulis : Lailatul Izzah, Sukarti, Ulu Gusniarti.
Target Permasalahan Yang Diintervensi. Perilaku Bullying pada pelaku Bullying.
Dasar Paradigma. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kognitif.
Subjek dan Metode Pemilihan Partisipan. Siswa kelas 4A SDIT X Yogyakarta
yang berjumlah 8 orang. Partisipan dipilih dengan dengan teknik purposive sampling
non random sampling dari 26 anak SDIT X di kelas 4A.
Prosedur Pelaksanaan Intervensi. Intervensi pada penelitian ini dibagi ke dalam 6
tahapan, yaitu:
1. Prates skala observasi dan skala bullying pada 8 orang partisipan. Selain itu,
peneliti mengobservasi partisipan selama 2 sesi. 1 sesi di jam pelajaran sementara
1 sesi lainnya di jam istirahat.
2. Pembekalan fasilitator dimana peneliti menjelaskan mengenai pelatihan
meningkatkan empati kepada fasilitator yang terpilih yakni seorang psikolog
pendidikan dan langkah-langkah penerapan modul pelatihan program
meningkatkan empati di sekolah.
3. Peneliti memberikan informed consent kepada pihak sekolah sebagai
penanggung jawab siswa yang menjadi partisipan dalam penelitian.
4. Melakukan pelatihan meningkatkan empati selama tiga kali pertemuan dengan
beberapa metode seperti ceramah, diskusi, role play, story telling, permainan, tanya
jawab dan tugas individu.
5. Melakukan pasca tes dengan memberi skala bullying dan empati seperti pada
pra tes. Peneliti melakukan observasi yang sama seperti tahap 1 dan mewawancarai
guru terkait perubahan perilaku partisipan.
6. Melakukan pengukuran tindak lanjut dengan metode yang sama pada pra tes
dan pasca tes.
Hasil Intervensi. Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan signifikan antara
sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan empati. Dimana tingkat perilaku
bullying lebih rendah dibandingkan sebelum mendapat perlakuan. Namun tidak ada
perubahan signifikan antara sesudah pelatihan dengan fase follow up.
Kelebihan Intervensi. Pelatihan meningkatkan empati terbukti dapat menurunkan
kecenderungan perilaku bullying dan meningkatkan empati.
Kekurangan Intervensi. Efek pelatihan meningkatkan empati ini tidak dapat
bertahan lama dengan sekali intervensi. Sehingga diperlukan efektifitas sekolah serta
proses belajar mengajar untuk mempertahankan empati di dalam diri siswa. Selain itu
terdapat faktor-faktor lain yang sulit dikontrol yang mempengaruhi perilaku bullying
seperti keluarga, teman sebaya dan faktor budaya sekolah itu sendiri.
Probabilitas untuk Diterapkan Dalam Masyarakat. Intervensi ini dapat diterapkan
pada masyarakat sebab tidak membutuhkan proses rumit agar intervensi dapat
berjalan. Guru dan orang tua diharapkan dapat bekerjasama untuk menanamkan nilai-
nilai empati di dalam diri anak sejak dini secara terus menerus sehingga perilaku
bullying dapat diminimalkan.

Anda mungkin juga menyukai