PENDAHULUAN
Artinya: (5) Dan orang yang memelihara kemaluannya, (6) kecuali terhadap istri-
istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
tidak tercela. (7) Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya),
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Gejala masturbasi pada usia pubertas dan remaja, banyak sekali terjadi. Hal
ini disebabkan oleh kematangan seksual yang memuncak dan tidak mendapat
penyaluran yang wajar; lalu ditambah dengan rangsangan-rangsangan ekstern
berupa buku-buku dan gambar porno, film biru, meniru kawan dan lain-lain.2
2 Ibid.hal 30.
1
psikosomatik dan aneka dampak buruk lainnya mungkin membutuhkan
penanganan medis (Yudi, 2008).3
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kita dapat merumuskan masalah, bahwa banyak
Anak-anak remaja itu sangat rentan dengan masalah yang berhubungan dengan
seks termasuk juga yang berhubungan dengan onani. Jadi dapat dirumusan
masalahnya ialah:
1. Apakah onani/manstrubasi itu?
2. Apa onani/manstrubasi dalam pandangan kesehatan mental?
3. Apa dampak onani/manstrubasi pada kesehatan mental?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian onani dan dampaknya bagi kesehatan
reproduksi.
2. Untuk mengetahui onani/manstrubasi dalam pandangan kesehatan mental
3. Untuk dampak onani/manstrubasi pada kesehatan mental
3 “Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita”. Manuaba, Ida Bagus Gde. (1998). Jakarta ;Arcan,
hal.10.
2
BAB II
PEMBAHASAN
I. ONANI/MASTURBASI
A. Pengertian Onani/manstrubasi
4 Ibid, hal 10
5 “Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3”. Mansjoer, Arif, dkk. (2000). Jakarta; Media
Aesculapius. hal, 21.
3
melakukan hal-hal yang tidak disetujui oleh agama dan nilai-nilai budaya
sehingga jika sering dilakukan akan menyebabkan terganggunya konsentarsi pada
remaja tertentu.
6 Ibid, 43.
4
4. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif
Frank, L.k merumuska pengertian kesehatan mental secara lebih
komprehensif dan melihat sisi kesehatan mental secara “positif”. Dia
mnegemukankan bahwa kesehatan mental merupakan orang yang terus
menerus tumbuh, berkembag dan matang dalam hidupnya, menerima
tanggung jawab, menentukan penyesuaian (tanpa membayar terlalu tinggi
biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam
memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya (notosoedirdjo,
1980; scott, 1961).
Federasi kesehatan mental dunia (world faderation for mental health) pada
saat kongres kesehatan mental di london, 1948 merumuska kesehata mental
sebagai berikut:7
a) Kesehatan mental memungkinkan adanya perkembangan yang optimal
baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai
dengan keadaan orang lain.
b) Sebuah masyarakat yag baik adalah masyarakat yang membolehkan
perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat yang
sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat
yang lain (WFMH, 1961).
7 Ibid, 13
5
II. Kategori /Penggolongan gejala kesehatan mental8
8 Ibid, 14.
6
bersangkutan sering dihadapkan pada keadaan yang seolah-olah ada
kecenderungan untuk jatuh ke tingkat yang immature atau infantil dan setiap
usaha untuk bertingkah laku seksual yang matur terhambat karenanya.
Masturbasi memunculkan banyak mitos tentang akibatnya yang merusak
dan memalukan. Citra negatif ini bisa dilacak jauh ke belakang ke kata asalnya
dari bahasa Latin, mastubare, yang merupakan gabungan dua kata Latin manus
(tangan) dan stuprare (penyalahgunaan), sehingga berarti “penyalahgunaan
dengan tangan”.
Anggapan memalukan dan berdosa yang terlanjur tertanam disebabkan
karena porsi “penyalahgunaan” pada kata itu hingga kini masih tetap ada dalam
terjemahan modern, meskipun para aparatur kesehatan telah sepakat bahwa
masturbasi tidak mengakibatkan kerusakan fisik maupun mental. Tidak juga
ditemukan bukti bahwa anak kecil yang melakukan perangsangan diri sendiri
bisa mengalami celaka. Yang terjadi adalah, sumber kepuasan seksual yang
penting ini oleh beberapa kalangan masih ditanggapi dengan rasa bersalah dan
kecemasan karena ketidaktahuan mereka bahwa masturbasi adalah kegiatan
yang aman, juga karena pengajaran agama berabad-abad yang menganggapnya
sebagai kegiatan yang berdosa. Terlebih lagi, banyak di antara kita telah
menerima pesan-pesan negatif dari para orang tua kita, atau pernah dihukum
ketika tertangkap basah melakukan masturbasi saat kanak-kanak.10
Pengaruh kumulatif dari kejadian-kejadian ini seringkali berwujud
kebingungan dan rasa berdosa, yang juga seringkali sukar dipilah. Saat di mana
masturbasi menjadi begitu berbahaya adalah ketika ia sudah merasuk jiwa
(kompulsif). Masturbasi kompulsif – sebagaimana perilaku kejiwaan yang lain
– adalah pertanda adanya masalah kejiwaan dan perlu mendapatkan
penanganan dari dokter jiwa. 8 Fase akhir jika masturbasi konfulsif tidak
diselesaikan dengan tepat adalah munculnya fenomena sexual addicted, sebuah
ketagihan akan kegiatan-kegiatan seksual. Secara fisik, masturbasi dapat
menyebabkan kelecetan atau rusaknya mukosa dan jaringan lain dari organ
10 Ibid. 15.
7
genitalia yang bersangkutan, baik akibat penggunaan alat bantu masturbasi atau
hanya dengan menggunakan tangan dan jemari.
Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para
ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan
manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih
menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan
pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam
beberapa bukunya Sigmun Freud yang dikenal sebagai pengembang
psikoanalisis mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud
tampak pada prilaku manusia sebagai sebagai simbolisasi dari kebencian
terhadap ayah yang direfleksi dalam bentuk rasa takut kepada Tuhan.
8
Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut
pemberian hukuman dan hadiah.
Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau
dalam hatinya selalu merasa tenang, aman dan tenteram. Menurut H.C.
Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan
serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran,
psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
11 Diskursus Pendidikan Islam, Mansur Isna, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001,
cet.ke-1. hal, 40.
9
seperti tusuk jarum (accupunctuur), mandi uap, hingga ke cara pengobatan
perdukunan.
12 Ibid, 51.
10
aktivitas yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Sesegera
hilangkan atau alihkan pikiran yang mengarah kepada rangsangan seks
kepada pikiran atau aktivitas lainnya. Seperti ngobrol hal-hal yang tidak
berbau seks, menyelesaikan tugas, menjalankkan hoby, olah raga, musik,
berorganisasi, atau lainnya. Puasa adalah salah satu cara yang efektif untuk
menahan nafsu seksual.13
BAB III
PENUTUP
11
A. Kesimpulan
Onani/Masturbasi adalah menyentuh, menggosok dan meraba bagian tubuh
sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa menyenangkan untuk mendapat
kepuasan seksual (orgasme) baik tanpa menggunakan alat maupun menggunakan
alat.Secara medis onani/mastrubasi tidak akan mengganggu kesehatan. Orang
yang melakukannya tidak akan mengalami kerusakan pada otak atau bagian tubuh
lainnya.
Onani/mastrubasi juga tidak menimbulkan resiko fisik seperti mandul,
impotensi, dan cacat asal dilakukan secara aman, steril, tidak menimbulkan luka
dan infeksi. Resiko fisik umumnya berupa kelelahan. Pengaruh mastrubasi
biasanya bersifat psikologis seperti rasa bersalah, berdosa, dan rendah diri karena
melakukan hal-hal yang tidak disetujui oleh agama dan nilai-nilai budaya
sehingga jika sering dilakukan akan menyebabkan terganggunya konsentarsi pada
remaja tertentu.
12
keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu- ragu dan bimbang,
serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.14
DAFTAR PUSTAKA
13
Mansjoer, Arif, dkk. (2000). “Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3”.
Jakarta; Media Aesculapius.
http://ns-nining.blogspot.com/2008/10/materi-menstruasi.html
Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama,
Yogyakarta, 2001, cet.ke-1.
Moeljono Notosoedirjo, Latipun, Kesehatan Mental, Universitas
Muhammadiyah Malang, 2000.
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, PT. Bulan
Bintang, Bandung, 1986, cet ke-7.
14