Disusun Oleh :
Kelompok 13
Nakhlah (4115161330)
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan
ilmu, kasih sayang, dan petunjuk-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Analisi Putusan Perceraian”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas bagi mahasiswa/i yang menempuh
mata Hukum Islam di Universitas Negeri Jakarta dengan bapak Dr. Achmad Husen M.Pd
sebagai dosen pengampu.
Penulis sudah berupaya semaksimal mungkin menulis makalah ini. Namun, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan dan belum sempurna substansinya. Oleh
karena itu, saran, kritik, teguran yang bersifat konstruktif dari pembaca sangat diharapkan dan
diterima dengan tangan terbuka untuk perbaikan. Semoga makalahmemberikan guna dan
manfaat bagi pembaca.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian............................................................................................................ 4
B. Analisis ........................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan..................................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................................... 13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian merupakan sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu
ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang
menyebutkan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk meweujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma, dan juga aturan tentang perkawinan
terdapat dalam Undang - undang No, 1 tahun 1974. Adanya pengaturan tentang
perkawinan ini adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi adanya hubungan
yang dilakukan oleh seorang laki - laki dan perempuan dalam suatu ikatan resmi yang
sering disebut dengan ikatan perkawinan (Syarifuddin, 2009).
Meskipun telah diatur sedemikian rupa, adanya perkawinan berakibat pada
adanya suatu perceraiaan. Perceraiaan adalah ikatan perkawinan yang diputus kembali.
Sehingga dalam perkawinan tersebut ada sebab - sebab yang menimbulkan suatu
perceraian. Meskipun memungkinkan terjadi, perceraian harus dilakukan di hadapan
pengadilan dan didasarkan atas alasan - alasan serta yang diupayakan untuk damai oleh
hakim melalui nasihat - nasihat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Secara teori penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam khazanah keilmuan
khususnya dalam bidang Hukum Islam. Secara praktis dapat menjadi kontribusi dalam
mempertimbangkan perceraiaan dalam rumah tangga.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraiaan
Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus hubungan
sebagai suami istri, talak. Kemudian kata “perceraian” mengandung arti: perpisahan, perilah
bercerai (antara suami istri), perpecahan. Secara yuridis istilah perceraian berarti putusnya
perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-
bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam kamus Bahasa Indonesia di atas.
“Putusnya Perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalm UU Perkawinan untuk
menjelaskan “perceraiaan” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki - laki
dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Untuk perceraian itu fiqih
menggunakan istilah furqah atau talak. Talak diambil dari kata itlak artinya melepaskan atau
meninggalkan. Sedangkan dalam istilah syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau
rusaknya hubungan perkawinan. Penggunaan istilah “putusnya perkawianan” ini harus dilakukan
seara hati - hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqih
digunakan kata “ba-in”, yaitu satu bentuk perceraiaan yang suami tidak boleh kembali lagi
kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Perceraiaan sendiri dalam
KHI secara jelas ditegaskan dalam pasal 117 yang menyebutkan bahwa perceraiaan adalah ikrar
suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
5
faraqa, atau yang semakna dengan itu. Bahkan bisa jadi menggunakan kata kiasan semisal
”pulanglah kamu” yang disertai niat dalam hati bahwa kata itu dimaksudkannya untuk
pemutusan ikatan perkawinan mereka.
Masalah talak menjadi hak pihak suami oleh para ulama telah disepakati, karena khitab
atau pelaku kata talaqa dalam ayat alquran selalu laki - laki, jadi pelaku hukum talaq pun tentu
pihak suami. Hak talaq ini dapat digunakan unuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang
dihadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga.
Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan ras cinta kasih antara
dua pihak, sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada diantara mereka dan sulit dipulihkan,
tetapi, yang ada kemudian hanya benci - membenci, terbukalah pintu yang memberi hak talaq ini
kepada suami (Kuzari, 1995).
Mengikuti ketentuan Pasal 19 peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka
penggunaan hak talaq oleh suami hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan sebagai
berikut. Pasal 19 menyatakan:
Perceraiaan dapat terjadi karen alasan - alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan,
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berurut - turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya,
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung,
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain,
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagi suami/istri
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan persengketaan dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6
perkawinan, bersedia menceraikan, dan pihak istri menyediakan jumlah pembayaran yang
besarnya disetujui oleh pihak suami (yang lazim paling besar tidak melebihi mahar). Bila kedua
belah pihak akur maka pemutusan demikian, walaupun suami dalam sigatnya menggunakan kata
talaq, dinamai khlu’ atau talaq khul’i.
Unsur pokok yang menentukan bentuk perbuatan hukum ini adalah adanya kesediaan
pihak istri membayar sejumlah harta kepada pihak suami. Bayarannya disebut ‘iwad. Kecuali ada
perbedaan prosedur talaq yang tidak membutuhkan qobul., tetapi khulu’ membutuhkan qobul.
Yang melakukan qobul bisa pihak suami bisa pihak istri, tergantung siapa yang melakukan ijab
dan bagaimana bunyi ijabnya.
Putusnya ikatan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dalam PP No. 9 tahun
1975 disebut dengan kata perceraian. Sehingga sama dengan penggunaan hak talaq oleh suami,
hak khulu’ oleh istri ini pun hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan seperti yang
tersebut dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 itu.
7
3) salah satu pihak dihukum penjara
4) pemukulan jamaniah atau pemaksaan untuk berbuat dosa dan sebagainya
Keempat contoh diatas dapat menjadikan sebab untuk memutuskan ikatan perkawinan
menurut pandangan ulama. Tetapi tidak selalu demikian karena dalam kondisi tertentu conton
nomor 1, misalnya tidak dapat dijadikan sebab kalau ternyata masih ada harta benda yang
tersedia. Demikan juga contoh lainnya, pengadilanlah yang dapat menentukan apakah perginya,
hukumannya, pemukulan dan lain - lain telah memenuhi criteria yang membuat mudarat atau
tidak, sehingga kondisinya pada dua kemungkinan, antara bisa jadi cerai adalah yang ma’ruf atau
tetap terikat yang ma’ruf.
8
BAB III
HASIL PUTUSAN DAN ANALISIS
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada
tingkat pertama, dalam sidang Majelis telah menjatuhkan putusan atas perkara Cerai Gugat
antara:
Penggugat , umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu rumah tangga, tempat
kediaman di Kota Jakarta Timur, selanjutnya disebut Penggugat. Tergugat, umur 36
tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai swasta, dahulu bertempat kediaman di Kota Jakarta
Timur, sekarang tidak diketahui alamatnya di Indonesia, selanjutnya disebut Tergugat.
Bahwa kebahagiaan yang dirasakan Penggugat setelah berumah tangga dengan Tergugat
hanya berlangsung beberapa waktu saja, ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat
mulai goyah setelah antara Penggugat dengan Tergugat terjadi perselisihan dan perteng karan
secara terus menerus sejak bulan Desember tahun 2010 yang penyebabnya antara lain:
Tergugat diketahui mempunyai banyak hutang sebelum menikah dengan Penggugat yang
mana hal ini membuat Penggugat harus ikut bertanggung jawab terhadap hutang
Tergugat tersebut ;
Tergugat tidak jujur terhadap Penggugat terlebih mengenai keuangan yang diperolehnya;
Tergugat telah mempunyai hubungan (berselingkuh) dengan perempuan lain;
Bahwa kemudian puncak keretakan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat
tersebut terjadi pada Februari tahun 2015 Tergugat pergi meninggalkan rumah kediaman
bersama dan tidak diketahui lagi keberadaannya hingga sekarang (ghoib). Selama itu sudah tidak
ada lagi hubungan baik lahir maupun batin antara Penggugat dan Tergugat. Bahwa Penggugat
sudah mencari keberadaan Tergugat ke kediaman keluarga Tergugat di daerah Pondok Gede
Kota Bekasi namun Penggugat tetap tidak mengetahui keberadaan Tergugat hingga sekarang.
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil - dalil Penggugat dihubungkan dengan alat - alat
bukti tersebut di atas, maka Majelis telah menemukan fakta dalam sidang yang pada pokoknya:
bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terikat dalam perkawinan yang sah sejak
tanggal….
9
bahwa sejak Desember 2010 antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan
dan pertengkaran secara terus - menerus disebabkan Tergugat mempunyai banyak hutang
tanpa sepengetahuan Penggugat hingga banyak yang datang menagih hutang Tergugat di
rumah Penggugat dan Tergugat, Tergugat tidak memberi nafkah kepada Penggugat
bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi pisah tempat kediaman disebabkan
Tergugat pergi meninggalkan tempat kediaman bersama sampai sekarang selama 2 tahun
10 bulan dan selama itu sudah tidak ada yang berusaha untuk rukun kembali dalam
rumah tangga
bahwa pihak keluarga telah berusaha mendamaikan, demikian pula Majelis hakim dalam
setiap persidangan telah berupaya menasehati Penggugat agar mempertahankan rumah
tangganya dengan Tegugat, namun tidak berhasil
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan - pertimbangan hukum tersebut di atas,
maka majelis hakim berkesimpulan bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh Peng gugat
telah terbukti dan telah memenuhi unsur Pasal 39 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 huruf (b dan f), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Jo. Pasal 116 huruf (b dan f) Kompilasi Hukum Islam, maka gugatan Penggugat tersebut
beralasan dan tidak melawan hukum
MENGADILI
1. Menyatakan, Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap
di persidangan, tidak hadir.
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek.
3. Menjatuhkan talak satu ba'in shughra Tergugat ( Tergugat ) terhadap Penggugat
( Penggugat ).
4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk mengirimkan salinan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta Timur, untuk dicatat dalam
daftar yang disediakan untuk itu.
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
516.000,00 (lima ratus enam belas ribu rupiah).
10
B. Analisis
Berdasarkan putusan Pengadilan Jakarta Timur terkait kasus perceraian di atas dapat
dianalisis bahwa terdapat beberapa permasalahan yang mengakibatkan perceraian diputusakan
pengadilan, diantaranya:
1. Tergugat (suami) ternyata memiliki banyak hutang yang tidak diketahui pihak penggugat
(istri) semenjak sebelum pernikahan. Tergugat juga tidak jujur terhadap keuangan yang
diperoleh. Sehingga banyak penagih hutang datang dan penggugat juga harus
menanggung akibatnya. Hal ini juga berdampak tidak diberikannya nafkah untuk
penggugat. Masalah ini merupakan pemicu perselisihan yang terjadi secara terus menerus
antara kedua belah pihak tergugat (suami) dan penggugat (istri).
2. Penggugat dan tergugat akhirnya berpisah, dikarenakan tergugat pergi meninggalkan
penggugat selama 2 tahun 10 bulan hingga putusan ini dikeluarkan tergugat tidak terdapat
kabar yang pasti berada dimana.
11
Dalam usahanya untuk memperoleh kepastian, pihak istri juga sebelumnya telah berusaha
mencari keberadaan suaminya. Namun, hal ini tidak membuahkan hasil, karena keberadaan
suaminya juga tidak diketahui. Pihak keluarga juga telah menasehati untuk menempuh
perdaimaan dengan pihak suami. Lagi - lagi dari pihak suami juga tidak ada itikad baik untuk
menemui istri yang telah lama di tinggal tersebut. Dihadapan pengandilan pun pihak suami juga
tidak menghadiri panggilan pengadilan selaku keluarga suami juga tidak mewakili. Keadaan ini
memunculkan sebab lain putusnya perkawinan, adalah hak pengadilan selaku pihak yang
mendapat kewenangan untuk menyelesaikan dan memutuskan perkara tersebut. Dengan banyak
pertimbangan putusan ini telah sesuai dengan apa yang diinginkan penggugat untuk bercerai.
Pertimbangan pengadilan juga sudah sesuai dengan kriteria dan bukti - bukti yang ada serta
ditambah keterangan saksi - saksi yang didatangkan.
12
BAB
IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Perceraian atau putusnya perkawinan merupakan cara terakhir yang dilakukan suami atau
istri dalam usahanya mempertahankan rumah tangga yang tetap harmonis. Langkah ini dilakukan
apabila serangkaian langkah - langkah pencegahan daripada perceraiaan telah coba di usahakan
agar tetap memperoleh jalan keluar selain perceraian. Dari cara komunikasi, memahami satu
sama lain, nasehat dari pihak keluarga, serta nasehat dihadapan pengadilan oleh hakim. Selama
cara - cara preventif telah dilakukan dan tetap tidak dapat ditemukan jalan keluar, maka
perceraiaan adalah pilihan untuk menghindari kemudaratan yang lebih besar. Pengadilan selaku
pemutus ikatan perkawinan yang legal secara hukum mengambil peranan yang berada di tengah
kedua belah pihak untuk secara proporsional menandang sebab - sebab syar’i yang berakibat
diputuskannya perkara, dikabulkan atau ditolak.
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
14