B. LATAR BELAKANG
Dalam abad modern saat ini, pergaulan manusia tidak lagi dapat dibatasi
hanya dalam suatu lingkungan yang kecil dan sempit, seperti hanya pada
golongan, suku, agama dan ras saja. Diantara mereka senantiasa terdapat pertalian
atau timbal balik dan manusia juga tidak tunggal dalam hal jenis kelamin, ada
yang laki-laki dan ada yang perempuan. Tidak menutup kemungkinan terjalin
suatu interaksi sosial antara satu orang dengan orang lainnya yang berbeda suku
sampai berbeda agama dan kewarganegaraan. Kita tidak menutup mata bahwa
beda. Masyarakat Indonesia yang beragam suku, ras, adat istiadat bahkan terdapat
berbagai macam agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang
diakui oleh Pemerintah Indonesia adalah agama Islam, Kathotik, Protestan, Hindu,
menjadi bangsa yang kaya akan budaya. Dan tidak mustahil jika dari interaksi
dan berdasarkan pada Pancasila. Dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, hal ini berarti segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh
1
2
Negara Republik Indonesia haruslah berdasar pada Prinsip Ketuhanan Yang Maha
agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir
atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat
penting.
1945. Dalam pasal pasal 28B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan :”setiap orang
sah”. Perkawinan sah yang dimaksusd adalah perkawinan yang sesuai dengan
hukum adat dan hukum nasional . Perkawinan pada asasnya bertujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal agar dapat melanjutkan
Tahun 1974, dinyatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi
dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu
Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang
diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-
masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan
undangan yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan
masyarakat di Indonesia.
salah satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia
sebagai bangsa yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan
mengarah kepada suatu perkawinan beda agama yang pada akhirnya hal tersebut
“Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang sangat peka, bahkan pada tahun
Islam”.1
1
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama (Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam),
(Yogyakarta: Total Media, 2006), Hal. 3-4
4
dan penataan aturan tentang perkawinan beda agama tidak mengarah kepada
kesamaan atau keseragaman. Ketidaksamaan itu tidak hanya pada agama yang
satu dengan yang lainnya, bahkan satu adat masyarakat dengan adat masyarakat
lain tidak sama, bahkan dalam satu agama pun tidak sama, hal ini karena adanya
pemahaman dan cara berfikir yang berbeda karena menganut mazhab atau aliran
yang berbeda.2 Kondisi dari suatu tempat atau daerah dimungkinkan ikut
adat agama dan budaya. Di dalam adat itu sendiri tidak lepas dari agama yang
dianut oleh pemeluknya. Orang Islam melakukan pernikahan secara Islam, Kristen
memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan sah, jika telah
memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa setiap
2
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta; Teras, 2009) Hal. 39
5
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dari hal tersebut dapat disimpulkan,
agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah.
calon suami isteri adalah dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan
dengan itu dari Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”. Di sini berarti setiap warga
yang calon suami atau calon isterinya memeluk agama yang berbeda.
1. Menyiasati celah hukum, yaitu dapat dilakukan dengan cara salah satu pihak
kepada mereka.
perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak
Kristen.
ntuk mencatat perkawinan beda agama yang telah mendapatkan penetapan dari
menyatakan:
3
S.U.Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia, (Jakarta: CV. Insani, 2005), hlm.
11
7
pelaksanaan perkawinan beda agama pada kedua pemohon calon pasangan suami
Hal itu berarti setiap calon pasangan suami istri beda agama yang akan
seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara
dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat
diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan
menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan. Dari kenyataan yang
8
beberapa kalangan masyarakat. Sebagian ada yang berpendapat tidak sah karena
undang. Sementara di sisi lain ada yang berpendapat sah sepanjang dilakukan
berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak. Untuk golongan yang kedua ini,
mereka akan menganggap sah perkawinan dua orang mempelai yang berbeda
agama yang dilakukan dengan cara penundukan sementara pada salah satu hukum
agama. Misal, seorang Katholik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi
lalu suami atau isteri dapat kembali lagi kepada agamanya semula. Atau juga
perkawinan menurut masing - masing agama ini merupakan interpretasi lain dari
Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasangan melakukan perkawinan dengan dua cara, pagi menikah sesuai agama
laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Dari cara ini yang
akan menyulitkan adalah untuk menentukan perkawinan mana yang sah dan yang
akan didaftarkan pada negara. Hal ini sangat berkaitan erat dengan masalah
pengakuan Negara atas perkawinannya yang akan berakibat pada hukum yang
C. RUMUSAN MASALAH
Positif Di Indonesia ?
D. TUJUAN PENELITIAN
Indonesia.
10
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritik
2. Manfaat Praktik
a. Bagi Pemerintah
b. Bagi Masyarakat
c. Bagi Mahasiswa
F. SISTEMATIKA PENULISAN
menjadi lima bab yang dalam setiap babnya terdiri dari sub-sub yang
sistematis.
BAB I : PENDAHULUAN
sistematika penulisan.
perkawinan di Indonesia.
BAB V: PENUTUP
G. KAJIAN PUSTAKA
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluaraga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Jadi menurut perundangan perkawinan itu
ialah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita berarti perkawinan sama
dengan perikatan. 4
soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam pasal 81 KUHPerdata
4
Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
13
KUHPerdata ini memperkuat pula oleh pasal 530 (1) KUHPidana (Wetboek van
sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. Kalimat yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan
sipil tersebut menunjukan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang
berlaku hukum Islam, hukum Hindu-Budha dan atau Hukum Adat, yaitu orang-
orang yang dahulu disebut pribumi (Inlander) dan Timur Asing (Vreemde
saja berarti sebagai ‘perilaku perdata’, tetapi juga merupakan ‘perikatan adat’ dan
kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-
(mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat6.
hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang
5
H.Hilman Hadikusuma,2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
Hlm.6
6
Zainudin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21
14
lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus
ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari
manusia di bumi7.
Perkawinan dapat dilihat sebagai dasar dari sistem sosial yang beradab dan
Muhammad Ali dalam bukunya “De relegie van den Islam” menyatakan bahwa
keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia, yang
perkawinan. Tanpa perkawinan tidak ada keluarga dan dengan sendirinya tidak
ada pula unsurunsur yang mempersatukan bangsa manusia, selanjutnya tidak ada
peradaban8.
b. Sahnya perkawinan
c) Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau
7
Hanafi, Yusuf, 2011. Kontroversi Pernikahan Anak Di Bawah Umur (Child Marriage).
Mandar Maju, Bandung, hlm 12
8
Muhammad Ali, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, hlm. 17
15
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
e) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
f) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
Pasal 7
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
b) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
Pasal 8
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d) berhubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
Pasal 9
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
17
Pasal 11
tunggu.
b) Tenggang waktu, jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Pasal 12
perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang
tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur
19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang
tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada
1) Syarat Materil
Syarat Materil Umum, yang berlaku untuk seluruh perkawinan yang terdiri
dari :
Dalam pasal ini berbunyi, “ Pada waktu yang sama, seorang laki – laki
Dalam pasal ini berbunyi, “ Laki – laki yang belum mencapai umur
perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari
seperti :
9
Pasal 26 KUHPerdata
10
Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
11
Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
12
Pasal 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
19
2) Syarat Formil
absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria
18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300
relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di
waktu 1 tahun.
diIndonesia
antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point
priadengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal44
jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteriberagama Islam.
Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yangmemeluk agama Islam untuk
dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telahtercakup dalam
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang diIndonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal inimengatur perkawinan antara dua
agama. Pendapat ketiga bahwaperkawinan antar agama sama sekali tidak diatur
dalam UU No. 1/1974, olehkarena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka
22
Dalam agama Islam pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan
menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab dan Qobul (akad nikah) yang
adalah persekutuan hidup dan percaya total eksklusif dan kontinyu antara seorang
pria dan seorang wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh Kristus Yesus.
Pernikahan sebagai soal agama hukum Tuhan agar pernikahan tersebut sesuai
dengan kehendak Tuhan maka Syarat dari Perkawinan itu menurut agama Kristen
adalah :
lain.
13
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah
TYanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer , Jakarta,
PTPustaka Firdaus, 1996, h. 17-18
23
pria dan seorang wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi yang tak dapat
ditarik kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami istri
dan kepada pembangunan keluarga dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang
sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun kecuali oleh kematian.
Selain ini menurut agama buddha perkawinan adalah Ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti
ajaran sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar dalam Samajivi Sutta,
serasi, selaras dan seimbang yaitu bila suami istri itu terdapat persamaan dan
yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami istri akan
ataupun Pawiwahan adalah Ikatan Lahir Batin (skala dan niskala) antara seorang
pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku
bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
pengertian yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang
perspektif tertentu, baik dalam pengertian yang sempit maupun luas. Guna
memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara
14
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicalprudence):
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hlm. 293.
25
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum
hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu
dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan.15
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu
mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan
15
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2008), hlm. 158.
16
Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi
Nilai (Jakarta: Penrbit Buku Kompas, 2007), hlm. 95.
26
struktur internal dari norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal tersebut adalah
sebagai berikut :
dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang
lain.17
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
17
Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-
Politik, Disertasi Doktoral (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2006), hlm. 39-41.
27
a. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat
tingkatnya;
dan akibatnya
b. Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah
c. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa
generalis);
tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah.
18
Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), hlm. 88-92.
29
berikut:
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht),
konflik antar norma hukum (antinomie hukum), dan norma yang kabur (vage
normen) atau norma tidak jelas.19 Dalam menghadapi konflik antar norma hukum
preferensi), yaitu:
rendah;
b. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan
c. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau
19
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 90.
20
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga (Yogyakarta:
Liberty, 2002, hlm. 85-87.
31
1. Jenis Penelitian
mana mengkaji studi dokumen, yakni mengunakan berbagai data sekunder seperti
pula berupa pendapat para sarjana atau dengan kata lain penelitian yang dilakukan
Dalam hal ini sudah sangat jelas apabila penelitian ini menggunakan jenis
penelitian Hukum Normative (Yuridis Normative) yang mana pada intinya hendak
penelitiannnya.
normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang ada atau data
sekunder saja.21
2. Pendekatan Penelitian
approach merupakan peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara yang
berwenang atau pejabat yang berwenang dan peraturan yang dibuat mengikat
secara umum tanpa terkecuali. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan secara
singkat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan
tentang status hukum perkawinan beda agama, dengan pendekatan ini peneliti
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 13–14.
22
Suharsimi Arikunto, Prosedure Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rienike Cipta, Jakarta,
2002, hlm 23
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pernada Media Group, Jakarta, 2010, hlm 93
33
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
Normatif) diperlukan jenis dan bahan Hukum Guna menunjang dan sebagai
Primary source adalah “the law as stated” yang meliputi peraturan perundang-
undangan (legislation).25 Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
memberikan penjelasan bagi penulis terhadap bahan hukum primer yang telah
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Predana Media, Jakarta, 2005, hlm. 93
25
Bruce Bott dan Ruth Talbot-Stokes, Names and Cross’ Effective Legal Research, 4th Edition,
LexisNexis Butterworths, Australia, 2010, hlm. 9-14
34
dipilih.26 Bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa semua publikasi baik secara
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku atau teks yang
dibukukan, jurnal hukum baik dalam bentuk media cetak maupun dalam bentuk
dengan isu hukum yang peneliti angkat yaitu tentang status hukum perkawinan
beda agama.
ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan rumusan
masalah.27 Dalam penelitian ini bahan hukum primer mengambil pendapat para
ahli maupun teori yang berasal dari buku , jurnal, artikel dan internet.
1. Kamus Hukum
yang berkaitan dengan status hokum perkawinan beda agama. Sedangkan bahan
sekunder dilakukan dengan study literature dari buku-buku, artikel, atau artikel
dan jurnal yang ada di internet atau media cetak yang berkaitan dengan penelitian
yang dibahas.
Analisis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dalam penelitian ini
sistematis, dan dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan
antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan
Maka dalam penelitian ini, bahan hukum diuraian dan dikaji menggunakan
28
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm 181.
36
6. Definisi Konseptual
a. Perkawinan
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
2007
Liberty, Yogyakarta
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Mada, 2006
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pernada Media Group, Jakarta, 2010
Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: PT.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Insani, 2005
39
Zainudin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta