Anda di halaman 1dari 39

A.

JUDUL : STATUS HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA

BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (Analisis

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan)

B. LATAR BELAKANG

Dalam abad modern saat ini, pergaulan manusia tidak lagi dapat dibatasi

hanya dalam suatu lingkungan yang kecil dan sempit, seperti hanya pada

golongan, suku, agama dan ras saja. Diantara mereka senantiasa terdapat pertalian

atau timbal balik dan manusia juga tidak tunggal dalam hal jenis kelamin, ada

yang laki-laki dan ada yang perempuan. Tidak menutup kemungkinan terjalin

suatu interaksi sosial antara satu orang dengan orang lainnya yang berbeda suku

sampai berbeda agama dan kewarganegaraan. Kita tidak menutup mata bahwa

manusia-manusia yang ada di Indonesia mempunyai kepercayaan yang berbeda-

beda. Masyarakat Indonesia yang beragam suku, ras, adat istiadat bahkan terdapat

berbagai macam agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang

diakui oleh Pemerintah Indonesia adalah agama Islam, Kathotik, Protestan, Hindu,

Budha dan Konghuchu. Dari keberagaman itu menjadikan bangsa Indonesia

menjadi bangsa yang kaya akan budaya. Dan tidak mustahil jika dari interaksi

sosial di masyarakat Indonesia terjadi perkawinan beda agama.

Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berbentuk Republik

dan berdasarkan pada Pancasila. Dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan

Yang Maha Esa, hal ini berarti segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh

1
2

Negara Republik Indonesia haruslah berdasar pada Prinsip Ketuhanan Yang Maha

Esa. Negara Republik Indonesia menjamin warga negaranya untuk

memperbanyak keturunan melalui sebuah perkawinan yang sah. Hal ini

dikarenakan perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan

agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir

atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat

penting.

Perkawinan merupakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD

1945. Dalam pasal pasal 28B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan :”setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah”. Perkawinan sah yang dimaksusd adalah perkawinan yang sesuai dengan

hukum adat dan hukum nasional . Perkawinan pada asasnya bertujuan untuk

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal agar dapat melanjutkan

keturunan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1) yang selanjutnya disingkat UU No. 1

Tahun 1974, dinyatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa .

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia,

karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi

juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan

dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu

menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.


3

Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang

mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama

diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-

masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan

sejahtera Lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawiuan

secara relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-

undangan yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan

masyarakat di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan

salah satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia

sebagai bangsa yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan-peraturan lainnya

mengenai perkawinan, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya

seperti Hukum Adat dan Hukum Agama.

Masyarakat yang berbeda agama bisa menjalin suatu ikatan yang

mengarah kepada suatu perkawinan beda agama yang pada akhirnya hal tersebut

akan memunculkan suatu permasalahan yang kemudian berakibat pada

munculnya banyak pendapat mengenai perkawinan beda agama tersebut.

“Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang sangat peka, bahkan pada tahun

delapan puluhan dipandang sebagai sesuatu yang sangat merisaukan ummat

Islam”.1

1
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama (Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam),
(Yogyakarta: Total Media, 2006), Hal. 3-4
4

Sudah menjadi kenyataan dan terbukti di masyarakat bahwa pengaturan

dan penataan aturan tentang perkawinan beda agama tidak mengarah kepada

kesamaan atau keseragaman. Ketidaksamaan itu tidak hanya pada agama yang

satu dengan yang lainnya, bahkan satu adat masyarakat dengan adat masyarakat

lain tidak sama, bahkan dalam satu agama pun tidak sama, hal ini karena adanya

pemahaman dan cara berfikir yang berbeda karena menganut mazhab atau aliran

yang berbeda.2 Kondisi dari suatu tempat atau daerah dimungkinkan ikut

mempengaruhi pengaturan hukum (Perkawinan). Sebagai contohnya adalah

Negara Indonesia, perkawinan di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara

adat agama dan budaya. Di dalam adat itu sendiri tidak lepas dari agama yang

dianut oleh pemeluknya. Orang Islam melakukan pernikahan secara Islam, Kristen

secara Kristen, Budha secara Budha.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga

atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha

Esa. Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan sah, jika telah

memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa setiap

Warga Negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan sudah seharusnya

melewati lembaga agamanya masing-masing dan tunduk kepada aturan

pernikahan agamanya. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

2
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta; Teras, 2009) Hal. 39
5

Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa tidak ada

perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dari hal tersebut dapat disimpulkan,

bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dengan

tegas memuat ketentuan yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara

calon suami isteri adalah dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan

dengan itu dari Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga Negara bersamaan

kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”. Di sini berarti setiap warga

Negara, memiliki hak yang sama kedudukannya dalam hukum sekalipun

agamanya berbeda. Hal ini kemudian dapat dijelaskan bahwa Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan

yang calon suami atau calon isterinya memeluk agama yang berbeda.

Untuk menyiasati pelaksanaan perkawinan beda agama biasanya pasangan

beda agama melakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Menyiasati celah hukum, yaitu dapat dilakukan dengan cara salah satu pihak

dapat melakukan perpindahan agama secara sementara, artinya setelah

perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya

masing-masing, atau dengan cara melangsungkan perkawinannya di luar

negeri. Karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara

hukum ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


6

Perkawinan, sebagai upaya menghindari hukum yang seharusnya berlaku

kepada mereka.

2. Melalui penetapan pengadilan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor

1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan

perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak

dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik

Nelwan (laki-laki/Kristen) yang ditolak oleh Kantor Catatan Sipil, kemudian

keduanya mengajukan permohonannya pada Pengadilan.3 Kemudian pada

tanggal 19 Pebruari 2010 Pengadilan Negeri Kota Malang juga mengeluarkan

penetapan permohonan untuk melangsungkan perkawinan beda agama di

hadapan Kantor Catatan Sipil Malang dalam penetapan

No.04/Pdt.P/2010/PN.Mlg. kepada kedua pemohon yang beragama Islam dan

Kristen.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan, kini Kantor Catatan Sipil memiliki kewenangan

ntuk mencatat perkawinan beda agama yang telah mendapatkan penetapan dari

pengadilan. Jadi dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan ini memungkinkan pasangan beda agama dicatatkan

perkawinannya asalkan melalui penetapan pengadilan. Pada pasal 35 huruf a

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

menyatakan:

“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku

pula bagi Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan”.

3
S.U.Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia, (Jakarta: CV. Insani, 2005), hlm.
11
7

Dalam Penjelasan pasal 35 huruf a ini disebutkan bahwa:

“Yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan”

adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama”.

Sekarang pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama

dapat mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan sipil dengan terlebih dahulu

mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri. Dan berdasarkan

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 Kantor

Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.

Selain itu Pengadilan Negeri Malang juga pernah memberikan penetapan

pelaksanaan perkawinan beda agama pada kedua pemohon calon pasangan suami

isteri yang beragama Islam dan Kristen dalam perkara No.04/Pdt.P/2010/Pn.Mlg.

Hal itu berarti setiap calon pasangan suami istri beda agama yang akan

melangsungkan pernikahannya bisa mengajukan permohonan penetapan

pernikahannya pada Pengadilan Negeri dan oleh Pengadilan Negeri akan

diberikan putusan berupa pemberian izin untuk mencatatkan pernikahannya pada

Kantor Catatan Sipil.

Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,

seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara

tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan

melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah

dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat

diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan

menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan. Dari kenyataan yang
8

terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan beda agama, menurut aturan

perundang - undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki.

Hal ini sering menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda (multi-tafsir) di

beberapa kalangan masyarakat. Sebagian ada yang berpendapat tidak sah karena

tidak memenuhi ketentuan yang berdasarkan agama maupun berdasarkan Undang-

undang. Sementara di sisi lain ada yang berpendapat sah sepanjang dilakukan

berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak. Untuk golongan yang kedua ini,

mereka akan menganggap sah perkawinan dua orang mempelai yang berbeda

agama yang dilakukan dengan cara penundukan sementara pada salah satu hukum

agama. Misal, seorang Katholik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi

lalu suami atau isteri dapat kembali lagi kepada agamanya semula. Atau juga

dengan cara perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, yang mana

perkawinan menurut masing - masing agama ini merupakan interpretasi lain dari

Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasangan melakukan perkawinan dengan dua cara, pagi menikah sesuai agama

laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Dari cara ini yang

akan menyulitkan adalah untuk menentukan perkawinan mana yang sah dan yang

akan didaftarkan pada negara. Hal ini sangat berkaitan erat dengan masalah

pengakuan Negara atas perkawinannya yang akan berakibat pada hukum yang

berlaku setelah perkawinan.

Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan Negara atau

pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang

melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain

di kemudian hari terutama untuk perkawinan beda agama. Misalnya saja,


9

pengakuan Negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian

harta ataupun masalah warisan.

Berdasarkan latar belakang yang ada, peneliti hendak melakukan

penelitian terkait perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

dengan judul “Status Hukum Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Hukum

Positif Di Indonesia (Analisis Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan)”.

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan

yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Hukum

Positif Di Indonesia ?

2. Bagaimana Status Hukum Perkawinan Beda Agama Berdasarkan

Hukum Positif Di Indonesia?

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis Pengaturan

Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia.

2. Untuk mendiskripsikan, mengidentifikasi, dan menganalisis Status

Hukum Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Hukum Positif Di

Indonesia.
10

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritik

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan pengembangan

ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum khususnya mengenai

hukum perkawinan di Indonesia.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi akademik atau

keilmuan untuk bahan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan

hukum perkawinan di Indonesia.

2. Manfaat Praktik

a. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pertimbangan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan

dalam menusun peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan hukum perkawinan di Indonesia.

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan

bagi masyarakat terkait hukum perkawinan di Indonesia.

c. Bagi Mahasiswa

Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberi ide dan sebagai

referensi bacaan terkait dengan hukum perkawinan di Indonesia.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi ini dimaksud untuk memberikan

model kerangka penulisan yang tertata dan berurutanagar memudahkan


11

penulis untuk mengembangkan penulisan yang baik dan memudahkan

pembaca untuk mengetahui secara menyeluruh. Sistematika ini dibagi

menjadi lima bab yang dalam setiap babnya terdiri dari sub-sub yang

menjelaskan bagian-bagian dari permasalahan dalam penulisan inisecara

sistematis.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan penjabaran tentang latar belakang yang

menguraikan mengenai gambaran umum mengenai permasalahan.

Bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II: KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan mengenai kajian pustaka tentang tindak

pidana, kajian pustaka tentang penipuan, kajian pustaka tentang

internet, kajian pustaka tentang gojek dan kajian pustaka tentang

hukum perkawinan di Indonesia.

BAB III: METODE PENELITIAN

Dalam bab ini berisi tentang metode kegiatan dalam penyusunan

skripsi. Pada bab ini berisi tentang cara pelaksanaan penelitian

mulai dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, jenis bahan

hukum, teknik penelusuran bahan hukum, teknik analisis bahan

hukum definisi konseptual


12

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini menjelaskan mengenai hasil dan pembahasan dari

penelitian terkait rumusan masalah yang menjadi pokok

penelitian, yaitu mengenai analisis yuridis terkait hukum

perkawinan di Indonesia.

BAB V: PENUTUP

Bab V bagian penutup ini memuat tentang kesimpulan dari hasil

penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran yang diharapkan

dari adanya penelitian tersebut.

G. KAJIAN PUSTAKA

1. Kajian Pustaka Tentang Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Di dalam pasal 1 UU no. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa Perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluaraga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Jadi menurut perundangan perkawinan itu

ialah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita berarti perkawinan sama

dengan perikatan. 4

Menurut pasal 26 KUHPerdata dikatakan “Undang-undang memandang

soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam pasal 81 KUHPerdata

dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan,

sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa

perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung. Pasal 81

4
Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
13

KUHPerdata ini memperkuat pula oleh pasal 530 (1) KUHPidana (Wetboek van

Strafrecht (WvS) yang menyatakan seorang petugas agama yang melakukan

upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat catatan

sipil, sebelum dinyatakan kepadanya bahwa perlangsungan di hadapan pejabat itu

sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah. Kalimat yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan

sipil tersebut menunjukan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi mereka yang

berlaku hukum Islam, hukum Hindu-Budha dan atau Hukum Adat, yaitu orang-

orang yang dahulu disebut pribumi (Inlander) dan Timur Asing (Vreemde

Oosterlingen) tertentu, diluar orang Cina5.

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan

saja berarti sebagai ‘perilaku perdata’, tetapi juga merupakan ‘perikatan adat’ dan

sekaligus merupakan ‘perikatan kekerabatan dan ketetanggaan’. Jadi terjadinya

suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-

hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama,

kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-

hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan

serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.begitu juga menyangkut

kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan

manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia sesama manusia

(mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat6.

Menurut Hanafi definisi perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua

hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang

5
H.Hilman Hadikusuma,2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
Hlm.6
6
Zainudin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 21
14

lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang

layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan

ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari

masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan

manusia di bumi7.

Perkawinan dapat dilihat sebagai dasar dari sistem sosial yang beradab dan

Muhammad Ali dalam bukunya “De relegie van den Islam” menyatakan bahwa

keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia, yang

menyebabkab terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan

perkawinan. Tanpa perkawinan tidak ada keluarga dan dengan sendirinya tidak

ada pula unsurunsur yang mempersatukan bangsa manusia, selanjutnya tidak ada

peradaban8.

b. Sahnya perkawinan

1) Sahnya perkawianan menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

Berikut ini adalah syarat perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 :

Diatur dalam Pasal 6

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

c) Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

7
Hanafi, Yusuf, 2011. Kontroversi Pernikahan Anak Di Bawah Umur (Child Marriage).
Mandar Maju, Bandung, hlm 12
8
Muhammad Ali, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, hlm. 17
15

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan

dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka

tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum

tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

f) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

a) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun.

b) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak pria maupun pihak wanita.


16

c) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang

tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku

juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan

tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya;

c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

d) berhubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan;

e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang;

f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak

dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan

Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang

lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
17

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

a) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu.

b) Tenggang waktu, jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam

Peraturan Pemerintah lehih lanjut.

Pasal 12

Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-

undangan tersendiri. Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat

perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang

tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur

19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang

tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada

larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya,

tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.

c. Sahnya Perkawinan Menurut BW

Berikut ini adalah syarat – syarat perkawinan menurut BW :

1) Syarat Materil

Syarat Materil Umum, yang berlaku untuk seluruh perkawinan yang terdiri

dari :

a) Kata Sepakat (Pasal 28 KUHPerdata)


18

Dalam pasal ini berbunyi, “ Asas perkawinan menghendaki adanya

persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri ”.9

b) Asas yang dianut Monogami mutlak (Pasal 27 KUHPerdata)

Dalam pasal ini berbunyi, “ Pada waktu yang sama, seorang laki – laki

hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan

saja, dan seorang perempuan hanya boleh terikat oleh perkawinan

dengan satu orang laki – laki saja”10.

c) Batas usia (Pasal 29 KUHPerdata)

Dalam pasal ini berbunyi, “ Laki – laki yang belum mencapai umur

delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai

umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan

perkawinan. Namun jika alasan – alasan penting, pemerintah berkuasa

menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi ”11.

d) Tenggang waktu tunggu, 300 hari (Pasal 34 KUHPerdata)

Dalam pasal ini berbunyi, “ Seorang wanita tidak boleh melakukan

perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari

sejak pembubaran perkawinan terakhir ”12.

Syarat Materil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu,

seperti :

a) Larangan Perkawinan (Pasal 30, 31, 32, 33 KUHPer)

b) Izin Kawin (Pasal 33, 35 – 38, 40, 42 KUHPer)

9
Pasal 26 KUHPerdata
10
Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
11
Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
12
Pasal 34 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
19

2) Syarat Formil

Syarat ini mengandung Tata Cara Perkawinan, baik sebelum maupun

setelah perkawinan. Misalnya sebelum perkawinan dilangsungkan , maka

kedua mempelai harus memberikan Pemberitahuan / aangifte tentang

kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu pegawai yang

nantinya akan melangsungkan pernikahan. Sedang syarat lainnya, yaitu

larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam

kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin

dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui

perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.

Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material

absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria

18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300

hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material

relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di

dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk

kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan

memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat

waktu 1 tahun.

2. Kajian Pustaka Tentang Perkawinan Beda Agama

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinandi

Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :

1.Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata


20

2.UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

3.UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

4.PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974

5.Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

diIndonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan

antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point

cdinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

priadengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal44

dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkanperkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H.,

yangmenafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islamtidak

ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.

Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan bedaagama

jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteriberagama Islam.

Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yangmemeluk agama Islam untuk

melaksanakan perkawinan antar agama.

Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinanantar

agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang

perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karenadalam peraturan tersebut

dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadiperkawinan antar agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan

yangmengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No.


21

1/1974,dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam

KitabUndang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan

IndonesiaKristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario,

dapatdiartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang

tidakdiatur dalam UU No. 1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangancalon

suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinanpada pasal 2

ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukanmenurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal10 PP No.9/1975 dinyatakan

bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukandihadapan pegawai pencatat dan

dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum

masing-masing Agamanya dankepercayaannya.

Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-

undangPerkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran

yangberpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaranterhadap

UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwaperkawinan

antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telahtercakup dalam

perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57tentang perkawinan

campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang diIndonesia tunduk pada

hukum yang berlainan, yang berarti pasal inimengatur perkawinan antara dua

orang yang berbeda kewarganegaraan jugamengatur dua orang yang berbeda

agama. Pendapat ketiga bahwaperkawinan antar agama sama sekali tidak diatur

dalam UU No. 1/1974, olehkarena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka
22

persoalan perkawinanbeda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan

campuran, karenabelum diatur dalam undang-undang perkawinan.13

Dalam agama Islam pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan

menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab dan Qobul (akad nikah) yang

mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-

kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesuai dengan peraturan

yang diwajibkan oleh Islam.

Pengertian perkawinan dalam agama Kristen pada umumnya pernikahan

adalah persekutuan hidup dan percaya total eksklusif dan kontinyu antara seorang

pria dan seorang wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh Kristus Yesus.

Pernikahan sebagai soal agama hukum Tuhan agar pernikahan tersebut sesuai

dengan kehendak Tuhan maka Syarat dari Perkawinan itu menurut agama Kristen

adalah :

a. Masing-masing calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan pihak

lain.

b. Kedua mempelai beragama Kristen (agar perkawinan tersebut dapat diberkati).

c. Kedua calon mempelai harus sudah diBaptis.

d. Harus dihadiri dua orang saksi.

e. Harus disaksikan oleh Jemaat.

Apabila disimpulkan maka perkawinan menurut agama Kristen

menghendaki perkawinan itu adalah perkawinan antar sesama Kristen.

Perkawinan menurut agama Katholik adalah Persekutuan hidup antara seorang

13
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah
TYanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer , Jakarta,
PTPustaka Firdaus, 1996, h. 17-18
23

pria dan seorang wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi yang tak dapat

ditarik kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami istri

dan kepada pembangunan keluarga dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang

sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun kecuali oleh kematian.

Selain ini menurut agama buddha perkawinan adalah Ikatan lahir dan batin

antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia sesuai dengan Dharmma. Sebagai umat

Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti

ajaran sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar dalam Samajivi Sutta,

sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang

serasi, selaras dan seimbang yaitu bila suami istri itu terdapat persamaan dan

persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati),

dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62) Dengan memiliki 4 (empat) faktor

yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami istri akan

dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana

kehidupan yang penuh harmoni.

Adapun Perkawinan menurut pandangan agama Hindu adalah Dalam

agama Hindu di bali perkawinan basa disebut dengan Pawiwahan. Perkawinan

ataupun Pawiwahan adalah Ikatan Lahir Batin (skala dan niskala) antara seorang

pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh

hukum Negara, Agama, dan Adat.


24

3. Kajian Tentang Kepastian Hukum

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku

bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,

karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan

kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki

pengertian yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang

berusaha menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan

perspektif tertentu, baik dalam pengertian yang sempit maupun luas. Guna

memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan

diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum menurut Gustav Radbruch

mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna

kepastian hukum, yaitu :

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah

perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya

didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara

yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah

dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.14

14
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicalprudence):
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hlm. 293.
25

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa

kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum

merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.

Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum

positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus

selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum

bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan

hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibabankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian

hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga

adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu

dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di

putuskan.15

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya

sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam

memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu

mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan

negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.16

15
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2008), hlm. 158.
16
Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi
Nilai (Jakarta: Penrbit Buku Kompas, 2007), hlm. 95.
26

Nusrhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepasian hukum dalam

peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan

struktur internal dari norma hukum itu sendiri. Persyaratan internal tersebut adalah

sebagai berikut :

Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi

mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu

pula. Kedua, kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan

perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah atau

tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.

Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang mempunyai

kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu.

Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan. Artinya

ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang

lain.17

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,

sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya

kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

17
Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-
Politik, Disertasi Doktoral (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2006), hlm. 39-41.
27

4. Tinjauan Tentang Keberlakuan Undang-Undang

Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan

perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku.

Ada tiga macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:

a. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat

dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:

1) Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan

yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi

tingkatnya;

2) W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai

kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot

stant gekomen” (”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”);

3) J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum

mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi

dan akibatnya

b. Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah

efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini

dikenal dua teori:

1) Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada

pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan

sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun

tidak oleh warga-warga masyarakat;

2) Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory”)

yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum


28

didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa

kaedah hukum tadi tertuju.

c. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa

kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai

nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven Wert”), misalnya, Pancasila,

Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.18

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan

peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan

perundang-undangan antara lain:

a. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut

b. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;

c. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai

kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);

d. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau

melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi

generalis);

e. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang

yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);

f. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil

masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.

Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan

perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai

tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah.

18
Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), hlm. 88-92.
29

Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai

berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang

disebutkan diatas, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

a. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai-mana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah

atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;


30

b. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam proses penerapan hukum perundang-undangan diawali dengan

identifikasi aturan hukum tersebut. Dalam identifikasi aturan hukum seringkali

dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht),

konflik antar norma hukum (antinomie hukum), dan norma yang kabur (vage

normen) atau norma tidak jelas.19 Dalam menghadapi konflik antar norma hukum

(antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas

preferensi), yaitu:

a. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah;

b. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan

melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah

yang harus didahulukan;

c. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau

melumpuhkan peraturan yang lama.20

19
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 90.
20
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga (Yogyakarta:
Liberty, 2002, hlm. 85-87.
31

H. METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Hukum Normative

(Yuridis Normative). Penelitian Hukum Normative adalah Jenis penelitian yang

mana mengkaji studi dokumen, yakni mengunakan berbagai data sekunder seperti

Peraturan Perundang-Undangan, Keputusan Pengadilan, Teori Hukum, dan dapat

pula berupa pendapat para sarjana atau dengan kata lain penelitian yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

Tahapan pertama penelitian Hukum Normative adalah Penelitian yang

mana ditujukan untuk mendapatkan Hukum Obyektif (Norma Hukum), yaitu

dengan mengadakan penelitian terhadap permasalah hukum yang ada tersebut.

Kemudian tahapan kedua penelitian Hukum Normative adalah Penelitian yang

mana ditujukan untuk mendapatkan Hukum Subtektif (Hak dan Kewajiban).

Dalam hal ini sudah sangat jelas apabila penelitian ini menggunakan jenis

penelitian Hukum Normative (Yuridis Normative) yang mana pada intinya hendak

mengkaji suatu dokumen Peraturan Perundang-Undangan sebagai pusat

penelitiannnya.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif, karena

melakukan penelitian terkait perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Penelitian hukum normatif disebut juga dengan istilah penelitian

kepustakaan. Nama penelitian hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum


32

normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang ada atau data

sekunder saja.21

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah suatu metode atau cara mengadakan

penelitian.22 Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-

pendekatan. Dengan pendekatan yang dipilih, peneliti akan mendapatkan

keterangan/informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum atau permasalahan

yang dicari jawaban yang tepat dan benar .23

Peraturan perundang-undangan atau biasanya disebut dengan istilah statute

approach merupakan peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara yang

berwenang atau pejabat yang berwenang dan peraturan yang dibuat mengikat

secara umum tanpa terkecuali. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan secara

singkat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan

regulasi. Jika demikian, pendekatan peraturan perundang-undangan adalah

pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.

Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan peneliti dengan

mengidentifikasi dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang secara khusus

maupun undang-undang yang secara umum didalamnya terdapat pengaturan

tentang status hukum perkawinan beda agama, dengan pendekatan ini peneliti

akan mempelajari tentang konsistensi/kesesuaian undang-undang dengan

peraturan undang-undang lainya atau antara undang-undang dengan undang-

undang dasar atau antara regulasi dengan undang-undang.

21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 13–14.
22
Suharsimi Arikunto, Prosedure Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rienike Cipta, Jakarta,
2002, hlm 23
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pernada Media Group, Jakarta, 2010, hlm 93
33

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan atau

Statute Approach. Penelitian perundang-undangan dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

diketengahkan.24 Dalam penelitian ini, penulis akan melakukan penelitian dengan

menggunakan pendekatan perundang-undangan, yaitu terhadap pengaturan

perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Secara Umum di dalam jenis Penelitian Hukum Normatif (Yuridis

Normatif) diperlukan jenis dan bahan Hukum Guna menunjang dan sebagai

sumber acuan di dalam penelitiannya. Terdapat 3 jenis Bahan Hukum di dalam

Penelitian Hukum Normatif, yaitu :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer disebut juga dengan istilah primary source.

Primary source adalah “the law as stated” yang meliputi peraturan perundang-

undangan (legislation).25 Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan.

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan bagi penulis terhadap bahan hukum primer yang telah

24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Predana Media, Jakarta, 2005, hlm. 93
25
Bruce Bott dan Ruth Talbot-Stokes, Names and Cross’ Effective Legal Research, 4th Edition,
LexisNexis Butterworths, Australia, 2010, hlm. 9-14
34

dipilih.26 Bahan-bahan hukum sekunder dapat berupa semua publikasi baik secara

softcopy maupun hardcopy tentang hukum yang merupakan terbitan dari

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku atau teks yang

dibukukan, jurnal hukum baik dalam bentuk media cetak maupun dalam bentuk

elektronik atau internet. Bahan sekunder yang dibutuhkan peneliti berkaitan

dengan isu hukum yang peneliti angkat yaitu tentang status hukum perkawinan

beda agama.

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini meliputi buku-buku literature

ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan rumusan

masalah.27 Dalam penelitian ini bahan hukum primer mengambil pendapat para

ahli maupun teori yang berasal dari buku , jurnal, artikel dan internet.

c. Bahan hukum tersier

Penelitian ini menggunakan bahan hukum ptersier untuk memahami suatu

makna dari suatu istilah yang berasal dari :

1. Kamus Hukum

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

3. Kamus Bahasa Inggris

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik Penelusuran Bahan Hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara melakukan penelusuran secara studi kepustakaan (library research) yang

dilakukan pada Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya, Pusat Dokumentasi

dan Informasi Hukum Universitas Brawijaya dan Perpustakaan Kota Malang.


26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cetakan 14-Juni 2012, hlm 13.
27
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 24
35

Penelusuran studi kepustakaan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan status hokum perkawinan beda agama. Sedangkan bahan

sekunder dilakukan dengan study literature dari buku-buku, artikel, atau artikel

dan jurnal yang ada di internet atau media cetak yang berkaitan dengan penelitian

yang dibahas.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dalam penelitian ini

menggunakan metode analisis interpretasi, yaitu dengan cara menghimpun semua

peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang berkaitan dengan

permasalahan. Interpretasi yang digunakan adalah Interpretasi Sistematis, yaitu

pengolahan bahan hukum berwujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi

terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Pengolahan dilakukan dengan cara seleksi

data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut

penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut

sistematis, dan dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan

antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan

gambaran umum dari hasil penelitian.28

Maka dalam penelitian ini, bahan hukum diuraian dan dikaji menggunakan

interpretasi sistematis sehingga dapat menjelaskan mengenai Status Hukum

Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan.

28
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm 181.
36

6. Definisi Konseptual

a. Perkawinan

Perkawinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini ialah perkawinan beda

agama yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia.


37

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan

(Judicalprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

Cetakan Kedua Jakarta: Sinar Grafika, 2011

Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor

Chuzaimah TYanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika

Hukum Islam Kontemporer , Jakarta, PTPustaka Firdaus, 1996

Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai Jakarta: Penrbit Buku Kompas, 2007

Hanafi, Yusuf. Kontroversi Pernikahan Anak Di Bawah Umur (Child Marriage).

Mandar Maju, Bandung , 2011

H.Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,

2007

Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta; Teras, 2009

M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama (Menakar Nilai-Nilai Keadilan

Kompilasi Hukum Islam), Yogyakarta: Total Media, 2006


38

Muhammad Ali, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang

Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan),

Liberty, Yogyakarta

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan

Ekonomi-Politik, Disertasi Doktoral, Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada, 2006

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media

Group, 2008

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Predana Media, Jakarta, 2005

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Pernada Media Group, Jakarta, 2010

Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1993

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan 14-Juni 2012

S.U.Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Jakarta: CV.

Insani, 2005
39

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga,

Yogyakarta: Liberty, 2002

Suharsimi Arikunto, Prosedure Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rienike

Cipta, Jakarta, 2002

Zainudin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai