Anda di halaman 1dari 18

POLIGAMI

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM


DAN
PERKAWINAN DI INDONESIA
MATA KULIAH AGAMA ISLAM

DIBUAT OLEH :

KELOMPOK 8
WASKITO ADY
DEVI SETYA NINGRUM
LISTIA RINI
ANINDYA KUSUMA PUTRI
RAHMA DWI CAHAYANI
ABDUL AZIZ HARTANTO

21040110141021
21040110141023
21040110141029
21040110141031
21040110141035
21040110141039

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010

PENDAHULUAN
Saat ini poligami merupakan isu yang paling hangat dibicarakan di Indonesia. Poligami
selalu saja menimbulkan pro dan kontra, baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun
orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang hak wanita. Golongan yang pro
menyandarkan poligami kepada ayat Al-Quran yang isinya memperbolehkan seorang pria
beristri lebih dari satu orang dengan batas empat orang dengan syarat suami berlaku adil,
sedangkan yang kontra menyandarkan bahwa poligami tidak sesuai dengan hak asasi
seorang perempuan sebagai istri.
Selain itu, ada juga golongan yang berada di antara pro dan kontra. Golongan ini
setuju dengan poligami, namun poligami tersebut harus berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Al-Quran dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu dengan memenuhi syarat ada izin dari istri dan pengadilan. Golongan ini beranggapan
bahwa UU yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia ini merupakan produk Ulil Amri
yang berdasarkan Al-Quran surat An-Nissa: 59 merupakan salah satu pedoman hidup
seorang muslim yang wajib diikuti.
Faktanya banyak perceraian yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh poligami.
Sebagian besar poligami yang dilakukan hanya memenuhi syarat adil yang telah ditetapkan
oleh Al-Quran namun tidak melaksanakan poligami berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia. Nah untuk mengetahui itu semua, dalam makalah ini kami telah
menuliskan poligami secara luas, seperti :
A. Poligami di Indonesia
B. Poligami menurut Hukum Pernikahan di Indonesia
C. Mengapa Pria Berpoligami ?
D. Syarat-syarat Poligami dalam Islam
E. Dampak Negatif Poligami pada Anak
F. Poligami Sebagai Jalan Lain
G. Alasan Para Wanita yang Bersedia Dipoligami

POLIGAMI
A. Poligami di Indonesia

Ketentuan poligami yang berlaku di Indonesia, merupakan ketentuan lanjutan dari ajaran

Islam yang tertuang dalam QS An Nisa ayat 3.

Ketentuan tersebut merupakan suatu pembaharuan tafsir (Hazairin) dengan

menundukkan poligami kepada pengawasan hakim yang tertuang dalam suatu peraturan.

Syarat-syarat dan prosedur yang harus dipenuhi dan dilakukan untuk berpoligami,

menunjukkan usaha pemerintah dalam memahami dan menafsirkan kata adil sebagaimana
yang disyaratkan dalam QS An Nisa ayat 3.

Alasan-alasan diizinkannya berpoligami menjadi suatu pertimbangan untuk

mempertahankan perkawinan sebelumnya, bukan menceraikan atau merusak perkawinan


tersebut. Agar tujuan perkawinan dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
terwujud.

Adanya unsur pengadilan dalam pelaksanaan poligami adalah suatu wujud pengawasan

yang ketat dan ikut campur yang kuat pemerintah dalam relung perkawinan untuk mencapai
tujuan perkawinan itu sendiri.
Kemungkinan Pelaksanaan Poligami

Poligami dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan syariah

Poligami tidak dilaksanakan dengan baik:

Perkawinan dilakukan berdasarkan izin Pengadilan Agama, tetapi pelaksanaan dalam

rumah tangga tidak adil isteri dapat mengajukan gugatan kelalaian atas kewajiban suami
ke Pengadilan Agama

Perkawinan dilakukan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah, tanpa diketahui isteri

sebelumnya Perkawinan dapat dibatalkan

Perkawinan dilakukan tanpa di hadapan Pejabat Pencatat Nikah tidak mempunyai

kekuatan hukum

B. Poligami menurut Hukum Pernikahan di Indonesia


Masalah poligami merupakan salah satu isu yang diatur dalam Hukum Perkawinan di
Indonesia, yakni berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah poligami


diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 65.
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan.

Pasal 65

(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuanketentuan berikut:
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undangundang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
Sedangkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, masalah poligami diatur dalam Pasal 40, Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
- Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara
tempat bekerja; atau
- surat keterangan pajak penghasilan; atau
- surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan
harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih
dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri
lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang
akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud
dalam Pasal 43.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1)

Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, maka :
a.

Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40

Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,(tujuh ribu lima ratus rupiah);
b.

Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8,

9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)

Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

Sanksi Berpoligami

RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pasal 143:


Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat

tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
Akan tetapi masalah izin istri ini kemudian dilemahkan dengan terbitnya Kompilasi
Hukum Islam Indonesia melalui Inpres no 1 tahun 1991 dimana dalam pasal 59 KHII yang
menyatakan "Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55
ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi"

Pasal ini memberi otoritas bagi Pengadilan agama untuk memberi izin berpoligami bagi
seorang suami walaupun istri tidak mengizinkannya.
Tapi kelemahan utama dari UU maupun peraturan yang mengatur masalah perkawinan
adalah tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang mengatur masalah sanksi bagi pelaku
perkawinan bawah tangan.Padahal pelaku poligami di Indonesia sebagian besarnya
melakukannya secara bawah tangan / sirri dan ini juga menyebabkan mereka secara legal
formal lepas dari kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur UU.Fatwa
MUI beberapa waktu lalu yang mensahkan kawin siri semakin memperburuk masalah ini.

Jadi kampanye perombakan UU Perkawinan juga KHII untuk memperketat syarat-syarat


poligami bahkan menghapuskan poligami sama sekali tidak akan memiliki kekuatan bila
praktek perkawinan bawah tangan tidak dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum di
negri ini.Padahal perkawinan bawah tangan baik monogami maupun poligami
mengakibatkan hak hak istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi
terabaikan.Selain itu tanpa adanya sanksi terhadap pelanggaran pasal-pasal dalam UU
Perkawinan membuat UU ini seperti macan kertas saja.Padahal keberadaan UU ini mutlak
diperlukan untuk menjamin hak-hak warga negara.
Permasalahan yang timbul sekarang adalah apakah sudah benar Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, sehingga wajib dipatuhi bagi pihak yang ingin
berpoligami selain memenuhi syarat adil menurut Al-Quran?

C. Mengapa Pria Berpoligami ?


Tahukah Anda, poligami itu biasanya bermula dari perselingkuhan? Dan, apa alasan
pria? Wanita mana yang tidak kesal mendengar lirik lagu bertajuk "Beristri Dua" yang
dinyanyikan musisi Ahmad Dani. Anehnya, tetap saja masih banyak pria yang melakukan
poligami. Sebenarnya apakah poligami berbeda dari selingkuh? Dan, apa alasan pria
melakukannya?
Menurut psikolog, Maria Susanti, tak jauh berbeda dari perselingkuhan, poligami
diawali dengan adanya wanita lain di hari seorang pria selain sang istri. "Karena itu, poligami
umumnya diawali dari perselingkuhan," kata Maria.
Pendapat ini didukung oleh pelawak Kiwil, yang mengaku ia berpoligami, karena tak
ingin menyudahi hubungannya dengan wanita lain selain istrinya. Karena istrinya menyetujui,
ia pun menikahi wanita tersebut untuk menjadi istri keduanya.
Jika pria berpoligami, biasanya selalu ada kilah yang bisa dimanfaatkan pria untuk
menjelaskan alasan mereka. Katanya, pria berpoligami tidak untuk menikmati seks yang

lebih menggebu-gebu dengan wanita yang lebih muda, atau lebih langsing. Benarkah?
Menurut Maria, di luar adanya unsur agama, alasan pria melakukan poligami memang
bisa bermacam-macam. "Entah itu, bertemu WIL (wanita idaman lain) yang lebih menarik
atau perhatian. Atau, memang ada kesempatan untuk melakukan poligami. Tapi, memang
tak bisa dipungkiri, istri kadangkala bisa punya andil pria melakukan poligami," ujar Maria
menjelaskan.
Berikut beberapa alasan hati pria berpaling ke wanita lain, yang bisa berujung peda
poligami:
1. Tak Tahan Godaan.
Tak ada kucing yang menolak ikan, begitu anekdot untuk para pria mata keranjang. Siapa
yang tahan digoda perempuan cantik? Sekuat-kuatnya pertahanan, lama-lama runtuh juga.
2.Butuh tantangan.
Beberapa pria menganggap poligami seperti tantangan. Butuh nyali besar dan kepintaran
atur strategi untuk memiliki dua pendamping hidup. Selain itu, mereka juga tak bisa lupa
asyiknya menaklukkan lawan jenisnya.
3. Stres
Hati pria bisa mendua bisa karena stres berlebihan. Bila wanita bertemu teman wanitanya,
misal teman kerja, saat dalam keadaan stres, teman wanitanya akan merasakannya dan
berusaha menghiburnya, mencoba membantu menghilangkan kecemasannya, tanpa
diminta. Perhatian itulah yang bisa berbuah menjadi benih-benih perselingkuhan.
4. Tak ingin terlihat lemah
Di mata sesama teman prianya, pria bisa terlihat jagoan jika bisa menaklukkan wanita lain
selain istrinya. Hal itu bisa menjadi kebanggaan untuknya.

D. Syarat-syarat Poligami dalam Islam


Bahawa beberapa ulama, setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, mereka telah
menetapkan bahawa menurut asalnya, Islam sebenamya ialah monogami. Terdapat ayat
yang mengandungi ugutan serta peringatan agar tidak disalah gunakan poligami itu di
tempat-tempat yang tidak wajar. Ini semua bertujuan supaya tidak terjadinya kezaliman.
Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk
mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahawa
poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhuatirkan bahawa
kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah halnya dengan poligami yang diperbolehkan
kerana hendak mencari jalan keluar dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya
berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak

boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan


masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.
Oleh yang demikian, apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
1.Membatasi jumlah isteri yang akan dikahwininya.
Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;
"Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan
(lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang
itu berkahwin tidak boleh lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak
beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat sahaja.
Pembatasan ini juga bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan
agar tidak berbuat sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri,
diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula wanita yang
tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang isteri saja, maka
akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin
terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri.
2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali
persaudaraan menjadi isterinya.
Misalnya, berkahwin dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan
emak saudara baik sebelah ayah mahupun ibu.
Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota
keluarga. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan
memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Kemudian dalam hadis berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatkan larangan ini,
maksudnya;
Bahawa Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya.
Maka beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak halal untukku." (Hadis riwayat Bukhari dan
Nasa'i)
Seorang sahabat bernama Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau
memberitahu kepada Rasulullah bahawa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka
Rasulullah menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang
satunya lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di
dalam Islam.
3. Disyaratkan pula berlaku adil,

Sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT); "Kemudian jika kamu bimbang tidak
dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau
(pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
(untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak
ayat 3).
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan
berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri,
cukuplah tiga orang sahaja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua
sahaja. Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah
menikah dengan seorang sahaja.
Para mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti
hanya adil terhadap para isteri sahaja, tetapi mengandungi erti berlaku adil secara mutlak.
Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja
mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia
tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian
adalah tidak adil.
b) Adil di antara para isteri
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa
kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain
perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisak
ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di
antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan
datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad
bin Hanbal)
i) Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah
dari salah seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya atau ada sumber
kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela. Suami memang boleh menganjurkan
isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah
yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya diperbolehkan dengan sebabsebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit dan memerlukan biaya rawatan
sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri
baru, isteri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak

cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit
atau yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai
hak yang sama sebagai isteri.
ii) Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami
bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap
isteri berserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini dilakukan
semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai timbul
rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.
iii) Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama
lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurangkurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak
boleh kurang. Begitu juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka
yang dalam keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab,
tujuan perkahwinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan
'hubungan seks' dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk
menyempumakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu
sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;
"Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya,
bahawa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya
di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan.
Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang
menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir." (Al-Qur'an, Surah ar-Ruum
ayat 21),Andaikan suami tidak bersikap adil kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan
akan menerima seksaan dari Allah (SWT) pada hari kiamat dengan tanda-tanda
berjalan dalam keadaan pinggangnya miring. Hal ini akan disaksikan oleh seluruh
umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak cucunya.
Firman Allah (SWT) dalam Surah az-Zalzalah ayat 7 hingga 8;
"Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam
surat amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, nescaya akan
dilihatnya (dalam surat amalnya)."
c) Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan,
pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan
antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah
diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar.

Anak-anak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana,
kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa
mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah
seorang isteri serta anak-anaknya sahaja.
Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara
dari sikap curang yang dapat merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula
dapat memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa
dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syarak dalam hal menegakkan keadilan
antara para isteri, nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan
keadilan itu dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadapisteri-isteri, adalah
satu tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang
berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih
sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak berkesanggupan
melakukannya, mengikut tabiat semulajadi manusia.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam Surah an-Nisak ayat 129 yang
berbunyi;
"Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu
sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu
cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu sayangi)
sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di awang-awang)."
Selanjutnya Siti 'Aisyah (r.a.) menerangkan, maksudnya;
Bahawa Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil dalam mengadakan pembahagian
antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku
membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam
membahagi apa yang menjadi milikku dan apa yang bukan milikku."
Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat
diperbolehkan poligami berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisak. Kemudian pada ayat 129 Surah
an-Nisak pula menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan.
Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu
bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan
yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki
ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah seorang sahaja di
antara para isteri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung."
Kemudian Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy pula menerangkan; "Orang yang boleh
beristeri dua ialah yang percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak
akan ada keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang sahaja."

"Adil yang dimaksudkan di sini ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk
dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami
itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil."
Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang
isterinya terkatung-katung, digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong
kepada salah seorang isteri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang
dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, iaitu
condong hati kepada salah seorangnya yang tidak membawa kepada mengurangkan hak
yang seorang lagi.
Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; "Makna adil di dalam
ayat tersebut ialah persamaan; yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang
bersifat lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik,
juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami isteri."
4. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun anak-anak.
Jadi, suami mesti yakin bahawa perkahwinannya yang baru ini tidak akan
menjejaskan serta merosakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya. Kerana, diperbolehkan
poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini
tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah
berdosa.
5. Berkuasa menanggung nafkah.
Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah zahir, sebagaimana Rasulullah
(s.a.w.) bersabda yang bermaksud;
"Wahai sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang berkuasa mengeluarkan
nafkah, maka hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang tidak berkuasa, hendaklah
berpuasa."
Hadis di atas menunjukkan bahawa Rasulullah (s.a.w.) menyuruh setiap kaum lelaki
supaya berkahwin tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya.
Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak digalakkan berkahwin walaupun dia
seorang yang sihat zahir serta batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan
agar berpuasa. Jadi, kalau seorang isteri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah,
sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah
kepada isteri adalah wajib sebaik sahaja berlakunya suatu perkahwinan, ketika suami telah
memiliki isteri secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi serta memberikan
perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.
Kesimpulan dari maksud kemampuan secara zahir ialah;
i) Mampu memberi nafkah asas seperti pakaian dan makan minum.
ii) Mampu menyediakan tempat tinggal yang wajar.

iii) Mampu menyediakan kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan dan sebagainya.
iv) Sihat tubuh badannya dan tidak berpenyakit yang boleh menyebabkan ia gagal
memenuhi tuntutan nafkah zahir yang lain.
v) Mempunyai kemampuan dan keinginan seksual.

E. Dampak Negatif Poligami pada Anak


Poligami saat ini tampaknya makin banyak dilakukan. Banyak pihak yang menentang
tetapi banyak juga yang mendukung poligami karena dianggap tidak bertentangan dengan
agama. Jika poligami dilakukan tanpa menghiraukan pendapat anak dan hal ini berdampak
negatif pada proses tumbuh kembangnya.
"Pada dasarnya semua anak mengharapkan memiliki keluarga yang ideal yang terdiri
dari satu ayah dan satu ibu. Anak ingin selalu disayangi dan mendapatkan perhatian secara
penuh. Saat ayah melakukan poligami maka rasa cemburu, marah, sedih kecewa tentu tidak
bisa dihindari," kata Seto Mulyadi, psikolog anak, saat dihubungi VIVAnews melalui telepon
pada 27 oktober 2009.
Menurut pria yang akrab dipanggil kak Seto ini, perasaan marah, kecewa dan
cemburu tersebut, bisa menumpuk dan akan menggangu emosi anak. Tidak hanya
berdampak pada psikologisnya tetapi juga pada fisik dan prestasi akademiknya. Keceriaan
anak pun akan berkurang bahkan menghilang akibat tumpukan emosi tersebut.
"Tumpukan emosi bisa membuat anak berubah seratus delapan puluh derajat dari
yang ceria menjadi pemarah, menutup diri, sulit diatur, dan membangkang. Pikiran anak
yang dipenuhi emosi ini bisa menghambat tumbuh kembang anak baik secara psikis, fisik
dan bisa menghambat prestasinya di sekolah" jelas Kak Seto.
Menurut pengalaman Kak Seto, anak-anak yang ayahnya berpoligami cenderung
tidak menerimanya dan melakukan reaksi penolakan. Hal ini juga berdampak pada
hubungan anak dan ayah menjadi lebih renggang.
"Jika memang sang ayah melakukan poligami, cobalah berbesar hati meminta maaf
pada anak. Karena, poligami pasti melukai anak dan bisa membuatnya berpikir negatif dan
apatis terhadap lembaga pernikahan kelak. Menjelaskan dengan kesabaran dan meminta
maaf adalah salah satu acara untuk meminimalisir dampak negatif poligami bagi anak," kata
Kak Seto.
Selain dampak negatif, jika dilihat dari sisi positif, poligami bisa mengajarkan
beberapa hal. "Anak akan menjadi belajar lebih tegar dalam menghadapi sebuah persoalan,
ia juga bisa memiliki toleransi yang lebih tinggi dan jika diberikan pengertian dengan baik
pikirannya bisa lebih menerima hal-hal yang dianggap sulit untuk diterima banyak orang,"
tandas Kak Seto.

F. Poligami Sebagai Jalan Lain


Poligami, suatu kata yang tidak enak di dengar oleh sebagian orang terutama para
wanita karena kata ini sangat bertentangan dengan hati dan kehidupan. Dalam Islam arti
poligami adalah seorang suami memiliki isteri yang sah lebih dari seorang.
Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengatasi adanya ketidakpuasan hawa nafsu
(hyper sex) yang dimiliki oleh para suami terhadap isteri dimana mungkin dengan hanya satu
isteri menyebabkan isterinya tidak mampu melayani suaminya dengan sempurna. Pada saat
ini mungkin juga poligami dapat menjadi solusi kepada para wanita yang tidak bertemu
pendamping hidup atau jodoh karena banyaknya wanita dibandingkan laki-laki. Sekarang
antara laki-laki 1:5-7 wanita, jadi tidak mungkin untuk satu laki-laki memiliki satu isteri, atau
banyaknya wanita tidak mendapatkan suami. Ini harus dilihat sebagai suatu wacana yang
layak dipertimbangkan oleh para wanita.
Islam tidak melarang poligami asalkan sang suami dapat berlaku adil dalam
mengarungi kehidupannya, di mana tidak adanya perbedaan antara isteri-isterinya. Karena
setiap isterinya mempunyai hak yang sama baik nafkah lahir maupun batin serta hak-hak
lainnya. Namun banyak wanita tidak mau menerima poligami.
Bagi umat Islam yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah seharusnya item
syariat yaitu poligami harus diterima dengan senang hati karena Allah SWT telah membuka
suatu jalan bagi umatnya agar tidak terjadinya hal-hal yang melanggar syariat terutama zina.
Zina salah satu maksiat terbesar yang ada dimuka bumi dan haram hukumnya. Allah swt
sangat menekankan bahwa jangan sekali-kali kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
perbuatan yang paling keji.
Makanya Allah swt dalam mengantisipasi masalah ini maka diizinkanlah untuk
melakukan poligami sebagaimana firmanNya dalam al-quran Surat An-Nisak ayat 3, yang
termahnya: , maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Namun di alam nyata sekarang ini banyak kita jumpai tempat-tempat perzinahan
yang seharusnya tidak terjadi (prostitusi), banyak wanita yang hamil di luar nikah, suami
memiliki isteri simpanan, nikah siri dan lain sebagainya. Bila kita mengakui adanya poligami
maka sudah jelas dan layak bagi setiap suami dan isteri-isterinya, jadi tidak mesti secara
sembunyi atau jajan yang tidak jelas.
Saya menganjurkan agar poligami dapat dijadikan solusi bagi keluarga yang ingin
mendapatkan rahmat dari Allah SWT, karena kita dapat menjalankan salah satu syariatNya
di muka bumi, bukan dengan menjalankan praktik-praktik melanggar syariatNya.
Insya Allah

G. Alasan Para Wanita yang Bersedia Dipoligami


Wanita yang bersedia dipoligami pada umumnya karena didasari oleh adanya
kebutuhan ekonomi. Demikian diungkapkan dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila, PhD.
"Dari pihak perempuan, poligami lebih banyak dilatarbelakangi oleh kebutuhan
ekonomi untuk dapat keluar dari kemiskinan," katanya, dalam seminar "Poligami dalam
Perspektif Sosial, Ekonomi, dan Budaya" yang diselenggarakan Lembaga Demografi FEUI di
Jakarta, Rabu (29 /8).
Selain mengatasi kemiskinan, lanjut Nina, perempuan yang bersedia "dimadu"
biasanya menganggap poligami juga dapat meningkatkan status sosial yang lebih tinggi
melalui status suaminya.
Peraih gelar doktor dari Universitas Melbourne itu juga mengemukakan, penyebab
lainnya perempuan yang mau dipoligami antara lain faktor ketertarikan fisik dan mengakhiri
masa lajang.
"Poligami dengan alasan mengakhiri masa lajang adalah karena takut dicap sebagai
`perawan tua` oleh lingkungan sekitarnya," katanya.
Nina mengungkapkan, di lain pihak kaum adam biasanya menikah kembali mayoritas
karena berawal dari selingkuh dan adanya asumsi bahwa poligami merupakan fitrah laki-laki
sehingga mendorong seorang pria untuk mencari pelepasan hasrat seksual kepada lebih
dari satu pasangan.
Selain itu, ujar dia, Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di tanah air juga bisa
saja menjadi faktor pendorong untuk berpoligami pada pria yang merasa memenuhi kriteria
yang disyaratkan untuk berpoligami.
"Ketidaksetaraan relasi jender antara suami dan istri serta kampanye poligami juga
dapat turut menjadi penyebab atau pendorong praktek poligami," katanya.
Nina yang telah melakukan penelitian tentang poligami di sejumlah kota di tanah air
itu mengingatkan, dalam fikih Islam, pernikahan yang membawa mudharat diharamkan
karena pada dasarnya agama Islam menginginkan kemaslahatan atau kebaikan dan
manfaat bagi umatnya.
Kebolehan berpoligami, lanjutnya, adalah salah satu interpretasi hukum Islam yang
hanya berlaku pada situasi dan kondisi tertentu yang bisa memberikan maslahat.
"Jika memang terbukti memberikan mudharat atau dampak negatif, maka hukumnya
bisa berubah menjadi haram," kata Nina.

KESIMPULAN

Poligami boleh dilakukan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan dalam


peraturan yang berlaku, sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan
syariah.

Poligami boleh dilakukan bukan untuk kesenangan tetapi untuk dapat


menjalankan ibadah kepada Allah swt tanpa mengabaikan tujuan perkawinan itu
sendiri.

Suami dan isteri-isteri harus mengetahui ketentuan-ketentuan berpoligami agar


mengetahui kewajiban yang harus dilakukan serta hak yang dimilikinya oleh
masing-masing.

Sebelum mengambil langkah poligami, pikirkan banyak dampak negatif


kedepannya bagi keluarga khususnya bagi perkembangan mental anak.

DAFTAR PUSTAKA
www.media-Islam.or.id
www.vivanews.com
depag.go.id
Islamhouse.com
http://www.forumkami.com/forum/keluarga-ibu-anak/23421-dampak-negatifpoligami-anak.html
http://umum.kompasiana.com/2009/10/05/poligami-sebagai-jalan-lain/,2010

Anda mungkin juga menyukai