Anda di halaman 1dari 17

MUI DAN KOMISI FATWA SERTA METODE ISTINBATH

HUKUMNYA

Makalah ini dibuat guna memenuhi mata kuliah Fatwa dan Yurisprudensi
Pengampu: Eko Setyo Ary Wibowo, M. H. I.

Disusun oleh:

1. Nani Nur Latifah 33020180099


2. Lia Maghfiroh 33020180105
3. Alfi Rahmawati 33020180106

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

I
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan untuk dapat menyelesaikan
tugas mata kuliah Etika Profesi Hukum yang berjudul “ MUI Dan Komisi Fatwa Serta Metode
Istinbath Hukumnya” tanpa ada kendala sesuatu pun yang berarti. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan pada beliau Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan dari berbagai
aspek kehidupan.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada:
 Ibu Zumratun, M, Ag, selaku dekan fakultas syari’ah
 Bapak. Eko Setyo Ary Wibowo, M. H. I selaku dosen mata kuliah Fatwa dan
Yurisprudensi
 Kedua orang tua yang telah berjasa secara materi maupun imateri
 Teman-teman fakultas syari’ah, terkhusus yang program hukum ekonomi syari’ah
 Tak ketinggalan pula pengarang buku yang telah berkontribusi menjadi pembahasan
kami
Kami sadar bahwa, kami masih tahap proses belajar maka apabila terdapat kesalahan,
entah tekstual maupun tekstual kami minta maaf. Kritik dan saran pembaca sangatlah membantu
kami untuk lebih baik lagi kedepannya.
Semoga makalah sederhana ini dapat membantu pembaca lebih mudah memahami mata
kuliah bahasa Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Salatiga, 2 Oktober 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................................I

KATA PENGANTAR................................................................................................................................II

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang.............................................................................................................................................1

Rumusan Masalah........................................................................................................................................2

Tujuan..........................................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

Majelis Ulama Indonesia.............................................................................................................................3

Komisi Fatwa...............................................................................................................................................7

Metode Istinbath Hukum MUI.....................................................................................................................8

BAB III PENUTUP

Kesimpulan................................................................................................................................................12

Saran..........................................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................14

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada masa Rasul,
manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah maupun
kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat al-Qur’an untuk menjelaskannya. Rasul
sebagai Muballig, menyampaiakan penyampaian penjelasan ini kepada umatnya untuk
diikuti. Kendati semikian, penjelasan Al-Qur’an tersebut tidak selamanya tegas dan
terperinci, melainkan kebanyakan bersifat garis besar, sehingga dibutuhkan lebih lanjut dari
Rasul. Sebagai orang yang diberi wewenang menjelaskan di satu sisi dan menghadapi
realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang harus menggunakan akal yang
disebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
Seiring dinamika zaman yang berubah maka sumber diatas membutuhkan analisis
(ijtihad) meskipun secara historis sudah ditutup yang kemudian ulama modernis untuk
membukanya kembali dan dilakukan oleh ulama dunia (termasuk Indonesia) dengan
berbagai pendekatan dan metode. Proses ijtihad tidak terbatas pada persoalan yang baru
muncul, tetapi ijtihad mempunyai kepentingan lain yang berkaitan dnegan khazanah hukum
islam yaitu dengan melakukan peninjauan kembali terhadap masalah-masalah yang ada
berdasarkan kondisi yang ada pada zaman sekarang dan kebutuhan-kebutuhab manusia
untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan relevan dengan merealisasikan tujuan-tujuan
syariat dan kemaslahatan manusia.
Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-
persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an
dan Hadist khususnya dalam segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetpan
hukumnya.
Oleh karenanya dengan berbagai metode yang diterapkan akan dapat menemukan
hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul dalam keadaan sosial
dan teretorial yang berbeda, kenyataan yang demikian maka Indonesia sebagai negara yang
penduduknya yang mayoritas Islam tergugah untuk menjawan tantangan yang ada demi
tercapainya perpaduan budaya, agama, dan tradisi yang majemuk, sembari memasuki era
perkembangan modern, tanpa menyia-nyiakan nilai-nilai keislamannya. Salah satu
penetapan ataupun hasil ijtihad dari permasalahan di Indonesia adalah fatwa, makalah ini
akan mencoba menguraikan bagaimana metode istinbath hukum MUI dan Komisi Fatwa
dalam mengeluarkan fatwa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan MUI?
2. Apa yang dimaksud dengan Komisi Fatwa?
3. Bagaiamana metode istinbath hukum MUI dan Komisi Fatwa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang MUI.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang Komisi Fatwa.
3. Untuk mengetahui dan memahami tentang metode istinbath hukum MUI dan Komisi
Fatwa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Majelis Ulama Indonesia


A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia
Kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh
seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan dan
kebahagiaan, menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup
banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah
terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.Kaum muslimin meyakini bahwa Islam
merupakan agama yang mampumengatur kehidupan umat manusia secara sempurna
dalam semua segikehidupan. Walaupun agama ini sudah melalui sejarah yang
panjang, sejak mulai diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad lebih 14 abad yang
lalu, hal ini tidaklah menjadikan Islam kaku dalam menghadapi sejarah yang di
laluinya, melainkan sebaliknya, mengakibatkan Islam semakin dewasa untuk
beraplikasi di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Dalam kegiatan kenegaraan,
khususnya sesudah kemerdekaan,pemerintah melihat bahwa umat Islam sebagai
kelompok mayoritas di negara ini. 1
Memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah menilai bahwa suatu
program, apalagi yang berkaitan dengan agama, hanya bisa sukses disokong oleh
agama, atau sekurang-kurang ulama tidak menghalanginya. Ini berarti bahwa kerja
sama dengan ulama sangat perlu dijalin oleh pemerintah. Untuk maksud tersebut, di
zaman Soekarno telah didirikan Majelis Ulama yang kemudian disusul dengan
lahirnya berbagai Majelis Ulama Daerah. Namun, wujud dari Majelis Ulama yang
ada di berbagai daerah itu belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam,
sampai akhirnya atas prakarsa pemerintah Orde Bardiadakanlah suatu Musyawarah
Nasional Ulama yang terdiri atas utusan wakil ulama propinsi se-Indonesia di Jakarta
dari tanggal 21 sampai 28 Juli 1975. Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat
menyepakati berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI).

1
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm.3

3
Selama rentang waktu 40 tahun sejak lahirnay MUI pada tahun 1975, MUI
sebagai lembaga penghimpun para ulama merupakan penerus tugas-tugas para Nabi
(Warasatul Anbiya) dan concern terhadap kesejahteraan rohani umat, tentunya telah
banyak menghasilkan produk berwujud fatwa-fatwa yang membahas berbagai
dimensi kehidupan masyarakat. MUI telah menerbitkan berbagai macam fatwa dalam
masalah ibadah, hukum, sosial, politik, politik,etika dan bahkan juga ekonomi.2
Fatwa-fatwa yang dihasilkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu adakalanya
menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada pula yang
memandangnya sebagai corong penguasa, dan ada pula masyarakat yangmenilainya
sebagai tidak konsisten. Munculnya respon seperti itu darimasyarakat sangat erat
kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakatterhadap konsep ijtihad Majelis
Ulama Indonesia (MUI) serat ciri-ciri hukumIslam yang dijadikan acuan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalammenghasilkan suatu fatwa. Oleh sebab itu, studi dalam
bidang ini dirasa amat perlu dilakukan. Sudut pandang sorotan akan peranan MUI
sangat beragam mulai dari aspek hukum, politik, sosial budaya, maupun soal
ekonomi. Keberagaman cara pandang dan sudut dan sudut pandang terhadap MUI
semakin meneguhkan posisi strategis MUI dalam kehidupan beragama, berbangsa
dan bernegara. Respon positif atas fatwa tersebut muncul dari masyarakat yang
memiliki perhatian terhadap dinamika keberagamaan di Indonesia. MUI sebagai
wadah silaturahmi ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan langkah umat Islam dalam mewujudkan kesatuan dan
persatuan umat dalam rangka menyukseskan pembangunan serta ketahanan nasional
Republik Indonesia.3
Kegairahan dan kerinduan akan perlunya Majelis Ulama ini mulai menunjukan
titik-titik kelahirannya melalui usaha mengintensifkan kegiatan, di antaranya, di
antaranya berupa daerah upaya menggairahkan kegiatan Majelis Ulama yang sudah
ada di berbagai daerah. Menteri Dalam Negeri menginstruksikan supaya di daerah-
daerah yang belum terbentuk Majelis Ulama supaya membentuknya secepat mungkin.
Pada bulan Mei 1975, di seluruh Daerah tingkat I dan sebagian Daerah Tingkat II
Majelis Ulama sudah terbentuk, sedangkan di pusat dibentuk pula suatu Panitia
2
Ibid., hlm. 9
3
Ibid., hlm. 11

4
Persiapan Musyawarah Nasional yang diketuai oleh H. Kafrawi, MA yang bertujuan
menyiapkan materi kegiatan serta tema musyawarah.
Untuk realisai selanjutnya, Menteri Agama membentuk suatu Panitia
Musyawarah Nasional Majelis Ulama seluruh Indonesia dengan surat keputusan
Nomor 28 tanggal 1 Juli 1975 yang diketuai oleh H. Soedirman, dengan team
Penasehat yang terdiri atas Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghazali, dan KH. Abdullah
Syafi’i. Dalam keputusan tersebut ditetapkan pula bahwa musyawarah itu akan
berlangsung pada tanggal 21 sampai 27 Juli 1975 di Convention Hall Senayan
Jakarta. Realisasi Musyawarah Nasional Majelis Ulama se-Indonesia, sesuai dengan
jadwal yang direncanakan, dibuka oleh Pesiden Soeharto pada hari Senin tanggal 21
Juli 1975 bertepatan dengan 13 Rajab 1395 H, di Istana Negara Jakarta. Musyawarah
Nasional ini dalam sejarah MUI dikenal dengan (Munas) I, yang diikuti oleh 200
orang peserta.Pada tanggal 17 Rajab 1395 beretepatan dengan tanggal 26 Juli 1975
disetujui dan ditandatangani Piagam berdirinya Majelis Ulama oleh 53 orang ulama
terkemuka serat disusun pula pengurusnyauntuk peiode 1975-1980 dengan Ketua
Umumnya Prof. Dr. Hamka. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah yang penting
bagi umat Islam Indonesia.4

B. Visi dan Misi Ulama Indonesia


Adapun visi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia adalah :
“Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang
baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melaluiaktualisasi
potensi ulama, zu’ama, aghniya dan cendikiawan muslim untuk kejayaan Islam dan
umat Islam (Izzu al-Islam Wa al-Muslimin) guna perwujudannya. Dengan demikian
posisi Majelis Ulama Indonesia adalah berfungsi sebagai Dewan Pertimbangan
Syari’at Nasional, guna mewujudkan Islam yang penuh rahmat (rahmat li al-‘alamin)
di tengah kehidupan umat manusia dan masyarakat Indonesia.”
Sementara misi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia adalah :
“Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam sevara efektif, sehingga
mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan danmemupuk

4
Ibid., hlm. 84

5
aqidah Islamiyah, dan menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan
akhlak karimah agar terwujud masyarakat yang khair al-ummah.”5

C. Tugas dan Fungsi Majelis Ulama Indonesia

Dilihat dari latar belakang sejarahnya, pendirian MUI merupakan hasil dari
proses panjang dari tarik menarik antara hubungan agama dan negara yang
direpresentasikan oleh kelompok ulama dan kelompok sekular nasionalis, juga
adanya kepentingan pemeritah kepada umat Islam.39 Salah satu tugasnya, MUI
diharapkan melaksankan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik
kepada Pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai Aapersoalan yang
berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa
umumnya. Sehubungan dengan berbagai amanat baik dari kepala negara ataupun
sejumlah menteri serta pemikiran dan saran dari peserta musyawarah maka Munas I
MUI telah telah merumuskan dalam pasal 4 pedoman pokoknya yang menyebutkan
bahwa MUI berfungsi:6

1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan


kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amal ma’ruf nahi munka,
dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2. Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat
beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama.
4. Penghubung ulama dan umara (pemerintah) serta jadi penerjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional.
5. Majelis Ulama tidak berpolitik dan tidak operasional.

2. Komisi Fatwa
Berdiri komisi fatwa MUI tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya lembaga
MUI itu sendiri, dimana MUI itu dibentuk untuk memajukan kesatuan kaum muslimin

5
Ibid., hlm. 90.
6
Tim Penyusun, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan,
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagaamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 44.

6
dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah majelis para ulama Indonesia yang
diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa. Komisi fatwa ada sejak ditetapkannya
susunan kepengurusan MUI pusat dengan ketua pertama HAMKA, dan ketua komisi
pertama adalah Syukri Ghozali. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan
mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi
masyarakat. Tahun 1975 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena baru saja dibentuk,
kemudian baru pada 1976 sampai dengan 1984 MUI baru mengeluarkan fatwanya. Tahun
1985 sampai dengan 1986 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena MUI ingin
menghindari pengeluaran fatwa terlampau banyak dan adamya kritik habis-habisan dalam
fatwanya tentang adu tinju yang dilarang oleh agama Islam, masyarakat beranggapan
MUI tidak perlu menanggapi hal ini.7
Sifat khusus dari tugas MUI adalah memberi nasihat, karena itu MUI tidak boleh
melakukan program praktis, dan hal ini disampaikan sejak awal oleh Presiden Soeharto
pada Konferensi Nasional Pertama para ulama tanggal 21 Juli 1975, bahwa MUI tidak
boleh terlibat dalam program praktis seperti menyelenggarakan madrasah, masjid, rumah
sakit dan lainnya, karena ada organisasi Islam lain yang telah megelolanya, disamping itu
MUI juga dilarang berpolitik praktis, karena ada partai politik seperti PPP, PDI, dan
Golkar.8
MUI dalam pedoman dasarnya melaksanakan tugas dalam memberi fatwa dan
nasihat, baik kepada pemerintah ataupun kaum muslimin mengenai persoalan keagamaan
dan kebangsaan, sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan Musyawarah Alim Ulama
I di Istana Merdeka tanggal 21 Juli 1975 bahwa diharapkan MUI berperan sebagai
pemberi fatwa dalam mengatasi perbedaan pendapat dalam menjalankan ibadah dan MUI
juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku
penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam
permusyawaratan antar golongan agama.
Pada tanggal 30 Januari 1986 MUI pusat mengeluarkan buku pedoman rinici
untuk berfatwa dan MUI bertanggung jawab untuk mengeluarkan fatwa atas masalah

7
Tim MUI, Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas/VI/MUI/VII/2005 tentang
Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia,
tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M.
8
Muhammad Atho Mudzhar, Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah
Para Ulama, hlm. 324.

7
kaum muslimin dan kebangsaan. MUI daerah apabila ingin berfatwa harus beksonsultasi
dengan MUI pusat sebelum mengeluarkan fatwanya. Buku pedoman itu juga mengatur
bahwa komisi fatwa tidak boleh mengluarkan fatwa tanpa adanya tanda tangan ketua
umum MUI setempat. Keputusan Munas VII Nomor : Kep-02/Munas-VI/MUI/VII/2005
M, berdsarkan salah satu fungsi MUI sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan
pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta, sehingga secara kesejarahan komisi
fatwa sebagai perangkat organisasi terpenting dalam Majelis Ulama Indonesia.

3. Metode Istinbath Hukum Majelis Ulama Indonesia (dalam ijtihad kolektif)


Hasil sidang pleno MUI pada 18 Januari 1986 menetapkan dasar-dasar berfatwa
di lingkungan MUI, yaitu:
a. Setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah rasul yang
mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
b. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul, keputusan Fatwa hendaklah
tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas, dan mu’tabar serta dalil-dalil hukum yang
lain, seperti istihsan, masalih al mursalah, dan sadd al-zari’ah.
c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para
ahli hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak
yang berbeda pendapat.
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.

Selain itu juga ditetapkan prosedur penetapan fatwa sebagai berikut:


a. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari
dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya
seminggu sebelum disidangkan.
b. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qat’iy) hendaklah komisi
menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada
nas-nya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
c. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyahdikalangan mazhab, maka yang difatwakan
adalah hasil Tarjih setelah memperhatikan fiqih muqaran (perbandingan) dengan

8
menggunakan kaidah-kaidah usul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pen-
tarjih-an.

MUI dalam menetapkan fatwa melakukan pedekatan dengan tiga cara, yaitu:9
a. Pendekatan nas qat’iy, yaitu berpegang pada nas Al-Qur’an dan Hadis, sehingga
fatwa yang dilakukan apa telah jelas hukumnya (Al-Ahkam Al-Qat’iyah)
disampaikan sebagaimana adanya.
b. Pendekatan Qawli, yaitu jawabannya dicukupi oleh pendapat (qawl) dalam kitab al-
mu’tabarah. Apabila terjadi perubahan sosial maka dilakukan telaah ualng terhadap
qawl tersebut.
c. Pendekatan manhaji, yaitu dilakukan dengan ijtihad jama’iy (ijtihad kolektif).

Komisi fatwa MUI melakukan ijtihad jika terjadi khilafiyah di kalangan mazhab
dengan cara:
a. Al-Jamu’u Al-Taufiq
Penggunaan metode al-jam’u wa al-taufiq yaitu mengalihkan makna dari setiap
dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi. Cara men-
jama’ dan men-taufiq dua buah dalil yang nampak berlawanan dengan cara:
1. Men-to’wil salah satu nas sehingga tidak berlawanan dengan nas lain, dan
2. Salah satu nas dijadikan takhsis terhadap nas yang lain.10
b. Penggunaan Ilhaq
Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, yang
memberikan makna bahwa salah satu metode fatwa MUI adalah menggunakan ilhaq.
Ilhaq yaitu pendapat hukum yang ada di kalangan mazhab, dengan cara menyamakan
sesuatu masalah yang terjadi dengan kasus yang ada padanannya dalam al-kutub al-
mu’tabarah.11
c. Melakukan Ijtihad Jam’i (Kolektif)

9
Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika Kontemporer (Himpunan
Fatwa Ulama), Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan Condes Kalimantan, 2007, Cet. Ke-1, hlm. 217.
10
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma’arif,
1997), Cet. Ke-4, hlm. 477.
11
Op. Cit, Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel, hlm. 221.

9
1. Metode bayani dengan cara memperhatikan pemakaian al-ushub (gaya bahasa)
bahasa Arab dan cara penunjukkan lafaz nas kepada artinya12 atau pendekatan
qawa’id al-lugawiyah, meliputi: dilalah lafziyah, nafhum al-mukhalafah, dilalah
nas yang jelas, dilalah nas yang kurang jelas, lafaz musytarak, lafaz ‘am dan
lafaz khas.13
2. Metode taa’lil dengan mengandalkan penalaran, meliputi qiyasi, istihsani, ilhaqi.
Qiyasi yaitu menghubungkan atau memberlakukan ketentuan hukum, sesuatu
persoalan yang sudah ada ketetapannya di dalam nas kepada persoalan baru yang
tidak disebutkan oleh nas, karena keduanya mempunyai kesamaan ‘illat, Istihsani
yaitu meninggalkan qiyas yang nyata (jalliy) untuk menjalankan qiyas yang tidak
nyata atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan hukum Istisna’i
(pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut akal membenarkannya atau
mencari alternatif terbaik terhadap dua dalil. Ilhaqi adalah mengeluarkan hukum
dari ‘ibarah pendapat para ulama atau menetapkan hukum pada permasalahan
yang bersifat kulli (umum), karena telah ditetapkan hukum pada sebagian besar
masalah yang bersifat juz’i (khusus).
3. Istislahi adalah metode yang digunakan untuk mencari dan menemukan maslahah
mursalah (asas manfaat dan mudarat), sedangkan maslahah mursalah berarti
kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar’I hukum untuk ditetapkan.
Maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak didukung oleh nas syar’i
tertentu.
d. Sadd a-zari’ah
Sadd al-zari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju
kepada/perantara (wasilah) perbuatan yang terlarang.
e. Maslahah ‘ammah
Fatwa MUI senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah)
atau kepentingan umum. Kemaslahatan yang dicari itu adalah sebenarnya bukan
hanya degaan semata, untuk orang banyak bukan untuk kelompok atau pribadi, tidak
bertentangan dengan nas, ijma’ atau qiyas. Kriteria maslahat yang ada hubungan

12
Ibid, Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, hlm. 179.
13
Muhammad Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Cet- 1. (Suraya: Bina Ilmu, 1990).
hlm. 188

10
dengan maqasid al-syari’ah MUI menetepkan bahwa/kemaslahatan adalah
tercapainya tujuan syariat yang diwujudkan terpeliharanya kebutuhan primer (al-
daruriyat al-khamsah) yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
Apabila metode fatwa itu telah dijalankan dan menghasilkan ijtihad jam’iy
(kolektif) yang berupa ijtihad dilakukan dalam sidang pleno MUI atas usulan komisi
fatwa yang membawa konsep fatwa. Hasil sidang pleno inilah yang disebut dengan
ijtihad kolektif dalam setiap surat keputusan fatwa MUI setelah itu di-tanfizkan dan
diberi nomor serta ditandatangani oleh ketua umum, sekretaris umum dan komisi
fatwa MUI.
Fatwa merupakan pekerjaan yang berat dan beresiko, karena fatwa itu
dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT dan dipedomani oleh masyarakat. Salah
satu tokoh komisi fatwa, Ibrahim Hoesin, menyatakan persyarat seorang mufti, yakni
mendalami hukum Islam dan dalil-dalilnya, memiliki integritas moral yang kuat
sehingga fatwa itu netral berdasarkan kemaslahatan.

BAB III
PENUTUP

11
A. Kesimpulan
MUI sebagai lembaga penghimpun para ulama merupakan penerus tugas-tugas para Nabi
(Warasatul Anbiya) dan concern terhadap kesejahteraan rohani umat, tentunya telah banyak
menghasilkan produk berwujud fatwa-fatwa yang membahas berbagai dimensi kehidupan
masyarakat. MUI telah menerbitkan berbagai macam fatwa dalam masalah ibadah, hukum,
sosial, politik, politik,etika dan bahkan juga ekonomi.
Komisi fatwa diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai
persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. MUI pusat mengeluarkan buku
pedoman rinici untuk berfatwa dan MUI bertanggung jawab untuk mengeluarkan fatwa atas
masalah kaum muslimin dan kebangsaan. MUI daerah apabila ingin berfatwa harus
beksonsultasi dengan MUI pusat sebelum mengeluarkan fatwanya. Buku pedoman itu juga
mengatur bahwa komisi fatwa tidak boleh mengluarkan fatwa tanpa adanya tanda tangan
ketua umum MUI setempat.
Komisi fatwa MUI melakukan ijtihad jika terjadi khilafiyah di kalangan mazhab dengan
cara: Pertama, Al-Jamu’u Al-Taufiq yaitu mengalihkan makna dari setiap dalil kepada
makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi. Kedua, Penggunaan Ilhaq yaitu
pendapat hukum yang ada di kalangan mazhab, dengan cara menyamakan sesuatu masalah
yang terjadi dengan kasus yang ada padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah. Ketiga,
Melakukan Ijtihad Jam’i (Kolektif) yang terdiri 3 metode antara lain metode bayani, metode
taa’lil, dan Istislahi. Keempat, Sadd a-zari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang
menuju kepada/perantara (wasilah) perbuatan yang terlarang. Kelima, Maslahah ‘ammah
atau kemaslahatan adalah tercapainya tujuan syariat yang diwujudkan terpeliharanya
kebutuhan primer (al-daruriyat al-khamsah) yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis sajikan. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran kami
harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi para pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Majelis Ulama. 2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga.

13
Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel. 2007. Ulama dan Tantangan Problematika Kontemporer
(Himpunan Fatwa Ulama), Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan Condes
Kalimantan. Cet. Ke-1.
Mudzhar, Muhammad Atho dan Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang
Pandang Sejarah Para Ulama.
MUI, Tim. 2005. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas/VI/MUI/VII/2005 tentang
Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga
Majelis Ulama Indonesia.
Penyusun, Tim. 2012. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-
undangan. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagaamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1997. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Cet.
Ke-4. Bandung: Al-Ma’arif.

14

Anda mungkin juga menyukai