Disusun Oleh :
Muhammad Renaldi Rahmat
Ade Slamet Nugraha
Miftahul Falah
Makalah ini mengambil tema “MUI dan Komisi Fatwa, Serta Metode Istinbath
Hukumnya”, sebagaimana amanat yang diberikan kepada kami dalam memenuhi
tugas mata kuliah “Fatwa dan Yurisprudensi”. Sebuah penghargaan bagi kami atas
diberikannya tugas ini, yang sekiranya akan dapat mengkaji mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan “Fatwa dan Yurisprudensi” yang pasti akan bermanfaat dan
menambah keilmuan dan pengetahuan akademis kita serta menjadi modal dalam
bermuamalah yang baik sehingga bernilai ibadah disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Aamiin
Dalam kesempatan ini perkenankan kami menghaturkan rasa terima kasih tak
terhingga kepada Dosen pengampu mata kuliah “Fatwa dan Yurisprudensi” yang
sudah memberikan bimbingan. Pun begitu, kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu sumbang-saran maupun masukan sangat kami
harapkan dari para pembaca.
Atas segala kekurangan tersebut, kami mohon dibukakan pintu maaf seluas- luasnya.
semoga segala tujuan baik dengan hadirnya makalah ini dapat tercapai. Aamiin.
Author
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
A. Latar Belakang............................................................................ 4
B. Rumusan Masalah........................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 5
A. Sejarah MUI................................................................................ 5
A. Kesimpulan.................................................................................. 8
DAFTAR REFERENSI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum Islam adalah Al-Quran dan as-Sunnah Pada masa Rasul,
manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah maupun
kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk menjelaskannya. Rasul
sebagai Muballig, menyampaikan penyampaian penjelasan ini kepada umatnya untuk di
ikuti. Kendati demikian, penjelasan Al- Quran tersebut tidak selamanya tegas dan
terperinci (tafsili), melainkan kebanyakan bersifat garis besar (ijmali), sehingga di
butuhkan lebih lanjut dari Rasul. Sebagai orang yang diberi wewenang menjelaskan di
satu sisi dan menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang
harus menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
Seiring dinamika zaman yang berubah maka sumber diatas membutuhkan analis
(ijtihad) meskipun secara historis sudah ditutup yang kemudian ulama modernis untuk
membukanya kembali dan dilakukan oleh ulama dunia (termasuk Indonesia) dengan
berbagai pendekatan dan metode. Proses ijtihad tidak terbatas pada persoalan yang baru
muncul, tetapi ijtihad mempunyai kepentingan lain yang berkaitan dengan khazanah
hukum islam yaitu dengan melakukan peninjauan kembali terhadap masalah-masalah
yang ada berdasarkan kondisi yang ada pada zaman sekarang dan kebutuhan-kebutuhan
manusia untuk memilih mana pendapat yang terkuat dan relevan, dengan merealisasikan
tujuan-tujuan syariat dan kemaslahatan manusia.
Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan
dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul
dalam keadaan sosial dan teretorial yang berbeda, Kenyataan yang demikian maka
Indonesia sebagai negara yang penduduknya yang terdiri dari beberapa suku dan
mayoritas Islam tergugah untuk menjawab tantangan yang ada demi tercapainya
perpaduan budaya, agama, dan tradisi yang majemuk, sembari memasuki era
perkembangan modern, tanpa menyia-nyiakan nilai-nilai keislamannya. Salah satu
penetapan ataupun hasil ijtihad dari permasalahan di Indonesia adalah fatwa, makalah ini
akan mencoba menguraikan, Bagaimana metode istinbath hukum MUI (Majlis Ulama
Indonesia) dalam mengeluarkan fatwa.
B. Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah MUI
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing,
membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia
berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta, Indonesia.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi
dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI,
DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang
ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah
Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa
telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun,
Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk:
● Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah
Subhanahu wa Ta’ala;
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:
U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa
dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan
Fatwanya, dipertimbangkan.
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang
digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan
oleh para ulama salaf.
Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah
perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga
perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang
mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut
tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua
pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI
dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang
keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa
yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai
dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang
berbunyi:
Pasal 3
6
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi
menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui
nashnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan
adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan
pentarjihan.
Pasal 4
Pasal 5
2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh
masyarakat luas.
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara
ringkas, serta sumber pengambilannya.
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan
rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF
tersebut.
Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia
Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama
Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang
bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional
dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat
meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah- masalah tersebut bisa menasional.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang
dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak
bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan
lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada
perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari
penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.
7
C. Prosedur Penetapan Fatwa MUI:
1. Setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat komisi untuk
mengetahui subtansi dan duduk masalahnya.
2. Dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah yang akan di
fatwakan untuk di dengarkan pendapatnya untuk dipertimbangkan.
3. Setelah ahli didengar dan dipertimbangkan ulama melakukan kajian terhadap
pendapat para imam mazhab dengan fuqaha dengan memperhatikan dalil-dalil
yang digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya dan kemaslahatannya bagi
umat. Apabila pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki
pendapat, komisi bisa menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
4. Jika fuqaha memiliki ragam pendapat komisi melakukan pemilihan pendapat
melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.
5. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi bisa melakukan
ijtihad jama’I menggunakan al-Qawaid al-ushuliyyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.
Kewenangan MUI dalam berfatwa tentang (a) masalah-masalah keagamaan yang
bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional. Dan
(b) masalah-masalah keagamaan disuatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah
lain.
Teknik berfatwa yang dilakukan oleh MUI adalah rapat komisi dengan
menghadirkan ahli yang diperlukan dalam membahas suatu permasalahan yang akan
difatwakan. Rapat komisi dilakukan apabila ada pertanyaan atau permasalahan itu sendiri
berasal dari perintah, lembaga sosial kemasyarakatan maupun dari MUI sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
8
DAFTAR REFERENSI
http://muhammadriza23.blogspot.com/2013/11/mui-dan-metode-istinbath-hukum- nya.html
https://mui.or.id/sejarah-mui/
https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2015/01/25/metode-istinbath-hukum-mui/