Anda di halaman 1dari 21

Fatwa Dewan Syariah Nasional, Metode dan Statusnya dalam

Sistem Hukum Indonesia


Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Peradaban Islam

Disusun Oleh :
Ida Safriana (202241087)
Laina Maliya (202241082)
Nabilah Putri Andini (202241072)

Dosen Pengampu :
Miftahul Khairat, S. HI.,M.Sy

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LHOKSEUMAWE
TAHUN AKADEMIK 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Puji syukur kehadiran Allah swt, karena pertolongan dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Saw serta pengikut akhir zaman. Makalah yang penulis
susun ini berjudul “Fatwa Dewan Syariah Nasional, Metode dan Statusnya dalam
Sistem Hukum Indonesia”. Banyak kendala dan hambatan yang penulis hadapi
dalam upaya menuangkan karya tulis yang sederhana ini. Penulis menyadari ini
masih jauh dari kata sempurna baik dari segi isi maupun dari tata bahasanya,
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun dalam upaya perbaikan dan kesempurnaan
makalah ini.
Wabillahitaufiq Walhidayah,
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Lhokseumawe, 2 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah DSN-MUI ..................................................................................... 3
B. Analisis Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Peraturan
Perundang-Undangan ................................................................................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………..………….…..15
B. Saran…………………………………………...…………..………..…....16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dengan
mayoritas penduduknya 85,2% beragama Islam. Dalam ajaran Islam, umat Islam
tidak hanya diatur mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga
diatur hubungan antara manusia dengan manusia, masyarakat, benda dan alam
sekitarnya. Ajaran mengenai hubungan manusia dengan sesamanya memberi
pengaruh, di antaranya terhadap pelaksanaan kegiatan ekonomi dan hukum.
Diawali dengan pelaksanaan sistem perbankan syariah pada tahun 1992,
perkembangan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia semakin meluas pada
sektor lain, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, dan lembaga
pembiayaan syariah. Perkembangan ini memberi pengaruh terhadap perkembangan
hukum yang mengakomodasi kegiatan ekonomi syariah, dalam hal peraturan-
peraturan, pelaksanaan dan penyelesaian hukumnya.
Sebagai negara hukum, ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia
tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang diakui di Indonesia,
termasuk kaidah-kaidah dalam Islam. Selain itu, negara wajib memberikan
fasilitas sepanjang hal tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara, antara
lain melalui pembentukan peraturan. Peraturan merupakan salah satu bentuk yang
diperlukan oleh penduduk untuk dapat melaksanakan suatu perbuatan dengan
tertib. Agar perbuatan itu terlaksana dengan tertib, maka peraturan-peraturan
yang ada tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah agama.1
Seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, MUI
menambah perangkat dalam struktur organisasinya dengan nama Dewan Syariah
Nasional (selanjutnya disebut DSN). Lembaga ini didirikan bertujuan untuk
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga

1
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta
: Erlangga, 2016), hal 2.

1
keuangan syariah (selanjutnya disebut LKS). Adanya DSN ini juga memberi
pengaruh terhadap penerbitan fatwa yang dilakukan oleh MUI.2
Makalah ini mencoba menguraikan Fatwa Dewan Syariah Nasional metode
dan status sistim hukum Indonesia yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan,
dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di
Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, untuk materi ini, sehingga
kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang
masalah ini. Makalah ini hanyalah sebagai pengantar, agar nantinya kita bisa lebih
mendalami dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat ditarik beberapa
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana yang dimaksud dengan Sejarah DSN-MUI?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan analisis kedudukan fatwa dewan syariah
nasional dalam peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai Sejarah DSN-MUI.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai analisis kedudukan
fatwa dewan syariah nasional dalam peraturan perundang-undangan.

2
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: ELSAS, 2011), hal 3.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah DSN-MUI
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah Air,
berkembang pulalah jumlah Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berada dan
mengawasi masing- masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di
masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri,
tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan
timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil
akan membingungkan umat dan nasabah.3
Sejarah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dari masa ke
masa yaitu:
1. Pada abad ke-19 selang beberapa waktu, peranan para ulama lambat laun
kembali ke arah yang lebih bersifat politik, dan bahkan meluas hingga ke
dunia luar, khususnya setelah terjadinya pendekatan dengan Mekah melalui
ibadah haji. Pada abad ke-19 (1821-1837) Gerakan Padri adalah bukti
bahwa peranan para ulama di zaman penjajahan Belanda mulai memperoleh
warna politik.4
2. Pada permulaan abad ke-20 para ulama, sebagaimana diterangkan di atas,
sudah terlibat dalam gerakan kebangkitan nasional. Pada masa revolusi
(1945-1949) para ulama menjalankan peranan sangat penting dalam aksi
mobilisasi massa untuk bertempur melawan Belanda. Banyak di antara para
komandan kaum gerilya yang bertempur berasal dari para ulama dari
berbagai tingkatan, umumnya disebut para kiai.
3. Pada masa (1950-1959) di bawah sistem demokrasi parlementer peranan
politik para ulama menjadi makin penting, karena sebagian besar partai
politik berdasarkan afiliasi agama dan dipimpin oleh pemuka-pemuka

3
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah : dari teori ke praktik. (Indonesia: Gema
Insani. 2001) hal 32.
4
Mohamad Atho Mudzhar Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : sebuah studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Indonesia : INIS. 1993). hal 43.

3
agama. Jadi dalam kurun waktu tersebut para ulama bukan hanya pemimpin
dalam soal keagamaan tetapi juga dalam soal politik.
4. Pada masa (1959-1965) di bawah demokrasi terpimpin Presiden Soekarno,
khususnya setelah pembubaran Masyumi, para ulama harus mengundurkan
diri dari politik formal dan membatasi peranannya pada soal-soal
keagamaan saja, kecuali sejumlah kecil ulama Nahdatul Ulama yang masih
tetap memperoleh lindungan Soekarno.
5. Pada masa Pemerintahan Soeharto (sejak tahun 1966 dan seterusnya) sifat
peranan kaum ulama, termasuk mereka yang dari Nahdatul Ulama, dibatasi
lebih lanjut hingga soal-soal keagamaan saja. Partai-partai politik tidak lagi
diperbolehkan berdasar pada afiliasi dan bernaung di bawah panji agama.5
Oleh karena itu MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman
di Tanah Air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat
nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk didalamnya bank-
bank syariah. Lembaga ini kemudian kelak dikenal dengan Dewan Syariah
Nasional.
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil
rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama.
Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia.6 Atas
hasi dari rekomendasi lokakarya tersebut Majelis Ulama Indonesia membentuk
Dewan Syariah Nasional (DSN) pada Februari 1999.7
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk, jasa, dan kegiatan bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari
Majelis Ulama Indonesia. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun

5
Mohamad Atho Mudzhar Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : sebuah studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Indonesia : INIS. 1993). hal 45.
6
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah : dari teori ke praktik. (Indonesia: Gema
Insani. 2001) hal 32.
7
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa di Indonesia (Indonesia: Jejak Pustaka. 2023). hal
96.

4
peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah.8 Anggota DSN terdiri atas
para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan
perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh
MUI untuk masa bakti 4 tahun.
Dewan Syariah Nasional (DSN) secara kelembagaan yaitu perangkat
organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara khusus bertugas untuk
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga
keuangan syariah. Pembentukan DSN merupakan langkah efisiensi dan koordinasi
para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi
dan keuangan. Berbagai masalah yang memerlukan fatwa akan ditampung dan
dibahas bersama agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-
masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah.9
a) Kedudukan, Status, dan Keanggotaan DSN-MUI
1) Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama
Indonesia.
2) Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait seperti Departement
keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan
atau ketentuan untuk lembaga keuangan syariah.
3) Keanggotaan Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi,
dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah.
4) Keanggotaan Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI
untuk masa bakti 5 tahun.10
b) Tugas DSN-MUI
1) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya;
2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;
3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; dan

8
Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), hal 06.
9
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa di Indonesia (Indonesia: Jejak Pustaka. 2023). hal
96.
10
M, Ichwan Sam, dkk., (ed.) Himpunan fatwa keuangan syariah. (Indonesia: Erlangga.
2014). hal 69.

5
4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.11
c) Fungsi DSN adalah sebagai berikut:
1) Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan syariah.
2) Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan
oleh lembaga keuangan syariah.
3) Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai
Dewan Syarih Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
4) Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang
bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.12
d) Wewenang DSN adalah sebagai berikut:
1) Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di
masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan
hukum pihak terkait;
2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen
Keuangan dan Bank Indonesia;
3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama
yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga
keuangan syariah;
4) Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negri;
5) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional;

11
Rustamunadi, Kontruksi Sumber Hukum Kontrak Bisnis Syariah di Indonesia, (Serang:
November 2011), hal 203.
12
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: EKONISIA,
2008), hal 47.

6
6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.13
Untuk lebih mengefektifkan peran DSN MUI pada lembaga keuangan
syariah dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai perwakilan DSN pada
lembaga keuangan syariah, di mana keanggotannya meliputi unsur ulama, praktisi,
dan pakar di bidangnya masing-masing serta berdomisili dan atau tidak berjauhan
dengan lokasi lembaga keuangan syariah yang bersangkutan.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap lembaga keuangan mempunyai
tugas pokok sebagai berikut:
1) Memberikan nasihat dan saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah
dan pimpinan kantor cabang lembaga keuangan syariah mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan aspek syariah;
2) Melakukan pengawasan, baik secara aktif maupun secara pasif, terutama
dalam pelaksanaan fatwa DSN serta memberikan pengarahan/pengawasan
atas produk/jasa dan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip syariah; dan
3) Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari
lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN;.14
Selain tugas sebagaimana dimaksud di atas, maka DPS memiliki fungsi
sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada lembaga keuangan syariah wajib
untuk:
1) Mengikuti fatwa DSN;
2) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pengesahan DSN; dan
3) Melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan lembaga keuangan syariah
yang diwarisinya kepada DSN sekurang- kurangnya satu kali dalam
setahun.
Dalam Keputusan DSN MUI Nomor 03 Tahun 2000 dalam klausul
menimbang disebutkan bahwa, kehadiran DPS pada lembaga keuangan syariah

13
Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), hal 06.
14
Rustamunadi, Kontruksi Sumber Hukum Kontrak Bisnis Syariah di Indonesia, (Serang:
November 2011), hal 205.

7
mutlak diperlukan, sebagai wakil DSN yang ditempatkan pada lembaga keuangan
syariah.15
Mekanisme kerja:
1) Dewan Syariah Nasional (DSN)
a) DSN mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan
Pelaksanaan Harian (BPH) DSN.
b) DSN melakukan rapat pleno setidaknya satu kali dalam tiga bulan, atau
apabila diperlukan.
c) Setiap tahun DSN membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam
laporan tahunan (annual report) yang menyatakan bahwa lembaga
keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap
ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.16
2) Badan Pelaksana Harian (BPH)
a) BPH DSN menerima usulan atau pernyataan hukum mengenai suatu
produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan
ditujukan kepada Sekretariat BPH.
b) Sekretariat BPH yang dipimpin oleh Sekretaris, paling lambat satu hari
kerja setelah menerima usulan/pertanyaan, harus menyampaikan
permasalahan kepada Ketua BPH.
c) Ketua BPH bersama anggota dan staf ahli, selambat- lambatnya 20 hari
kerja, harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan
pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
d) Ketua BPH selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat
Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
e) Fatwa atau memorandum DSN ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris DSN.17

15
Rustamunadi, Kontruksi Sumber Hukum Kontrak Bisnis Syariah di Indonesia, (Serang:
November 2011), hal 205.
16
Gita Danupranata, Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta: Selemba Empat,
2013), hal 68.
17
Gita Danupranata, Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta: Selemba Empat,
2013), hal 68.

8
3) Dewan Pengawas Syariah (DPS)
a) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan
syariah yang berada di bawah pengawasannya.
b) DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga
keuangan syariah kepada pemimpin lembaga yang bersangkutan dan
kepada DSN.
c) DPS melaporkan perkembangan produk dan oprasional lembaga
keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya
dua kali dalam satu tahun anggaran.
d) DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan
pembahasan DSN.18
Berdasarkan PBI No. 6 Tahun 2004 Pasal 27, tugas, wewenang, dan
tanggung jawab DPS adalah sebagai berikut.
a. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan kegiatan oprasional bank
terhadap fatwa yang dikeluarkan DSN.
b. Menilai aspek syariah terhadap pedoman oprasional dan produk yang
dikeluarkan bank.
c. Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan oprasional bank
secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank.
d. Mengkaji jasa dan produk baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan
fatwa kepada DSN.
e. Menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang- kurangnya
setiap enam bulan kepada direksi, komisaris, DSN, dan Bank Indonesia.19
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah yang menghimpun dan
mempersatukan pendapat dan pemikiran ulama Indonesia yang tidak bersifat
operasional tetapi koordinatif. Majelis ini dibentuk pada tanggal 26 Juli 1975 M
atau 17 Rajab 1395 H dalam suatu pertemuan ulama nasional, yang kemudian

18
Gita Danupranata, Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta: Selemba Empat,
2013), hal 69.
19
Andrian Sutedi, Perbankan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal 149.

9
disebut Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia, yang berlangsung di
Jakarta pada tanggal 21-27 Juli 1975.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriah
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Miladiah. MUI hadir ke pentas sejarah
ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah tiga
puluh tahun sejak kemerdekaan energi bangsa lebih banyak terserap dalam
perjuangan politik di dalam negeri maupun forum internasional, sehingga
kesempatan untuk membangun menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia
kurang diperhatikan.20
Berdirinya MUI di latar belakangi oleh dua faktor:
1. Wadah ini telah lama menjadi hasrat umat Islam dan pemerintah, mengingat
sepanjang sejarah bangsa ulama memperlihatkan pengaruhnya yang sangat
kuat, nasihat- nasihat mereka dicari umat, sehingga program pemerintah,
khususnya menyangkut keagamaan, akan berjalan baik bila mendapat
dukungan ulama, atau minimal tidak dihalangi oleh para ulama.
2. Peran ulama yang dirasakan sangat penting.
Selain itu, menurut MUI kemajuan dan keraguan umat Islam Indonesia
dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan
aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber
pertentangan di kalangan umat Islam sendiri akibatnya umat Islam dapat terjebak
dalam egoisme kelompok (anananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu,
kehadiran MUI makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kebersamaan umat Islam.21

20
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa di Indonesia (Indonesia: Jejak Pustaka. 2023). hal
69.
21
Aunur Rohim Faqih, dkk., (ed.) HKI Hukum Islam dan Fatwa MUI (Indonesia: Erlangga.
2015) hal 35.

10
B. Analisis Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Peraturan
Perundang-Undangan
Keberlakuan Fatwa DSN memiliki suatu perubahan dalam struktur
pembentukan hukum. Fatwa DSN yang diminta oleh masyarakat pelaku ekonomi
syariah disebut oleh Hari Chand sebagai expression of society's needs and
interests.22 bahwa fatwa yang dibuat oleh bukan lembaga pemerintah atau
lembaga negara, tetapi dibuat oleh organisasi kemasyarakatan dapat menjelma
sebagai suatu perintah dengan adanya validitas peraturan perundang-undangan.
Dari beberapa fatwa pada kegiatan perekonomian masing-masing memiliki
perubahan yang berbeda satu dengan lainnya. Pada kegiatan perbankan syariah,
Fatwa DSN tetap memiliki kedudukan yang kuat dengan adanya validitas melalui
Peraturan Bank Indonesia dan kemudian terangkat melalui Undang-Undang,
bahwa setiap bank syariah harus mendapatkan terlebih dulu fatwa dari DSN atas
produk yang akan diluncurkannya. Begitu pula pada kegiatan pasar modal syariah,
untuk sebagian kegiatan pasar modal yang berprinsip syariah yaitu khusus
mengenai Surat Berharga Syariah Negara telah diatur pada tingkat Undang-
Undang, sedangkan pada kegiatan pasar modal lainnya masih pada tingkat
keputusan Bapepam.
Pada kegiatan asuransi syariah dan pembiayaan syariah, telah diatur pada
tingkat Peraturan Pemerintah. Secara keseluruhan, isi fatwa yang bersifat nasihat
dan tidak mengikat ini telah berubah menjadi suatu ketentuan yang mengikat
dan harus ditaati oleh setiap pelaku yang akan melakukan kegiatan perekonomian
tersebut. Pengikatan terhadap keberlakuan fatwa ini tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi ditopang oleh peraturan perundang-undangan yang tentunya sifatnya
mengikat. Dari bidang ekonomi syariah, kedudukan fatwa DSN pada bidang
perbankan syariah lebih kuat dari bidang lainnya. Peraturan pada bidang
perbank an syariah lebih lengkap dan lebih kuat yaitu dengan adanya UU tentang
Perbankan Syariah sebagai peratur an tertinggi setelah UUD dalam hierarki

22
Har Chand, Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: Intemnational Law Book Services,
1994), hal 22.

11
peratur an perun dang-undangan dan diiku ti dengan peratur an-peratur an di
bawahnya. Semua peratur an-peratur an ini melibatkan fatwa dalam proses kegiatan
perbankan.
Jika melihat pada hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan-
peraturan yang mengatur tentang kedudukan fatwa DSN variatif. Pada bidang
perbankan syariah, tidak ada pertentangan antara peraturan yang rendah dengan
peraturan yang lebih tinggi. Pada bidang asuransi syariah, UU tentang
Perasuransian tidak mengatur perasuransian syariah mengingat pada saat
penetapan UU tersebut belum ada kegiatan perasuransian syariah. Peraturan yang
mengatur bidang perasuransian syariah diatur pada tingkat Peraturan Pemerintah.
Pada bidang pasar modal syariah, tidak diatur dalam tataran Undang-
Undang, tetapi diatur dalam peraturan Bapepam-LK. Ketentuan khusus
mengenai Surat Berharga Syariah Negara telah diatur dalam bentuk Undang-
Undang yang memperkuat kedudukan fatwa DSN dilanjutkan dengan peraturan-
peraturan di bawahnya. Pada bidang pembiayaan syariah, peraturannya merupakan
pengembangan terhadap perusahaan pembiayaan yang memberi kemungkinan
untuk melaksanakan pembiayaan syariah bagi perusahaan pembiayaan.
Terdapat suatu penambahan bentuk hukum yang berlaku di Indonesia,
bahwa nasihat hukum atau pendapat hukum atau legal opinion dari para ulama
dapat menjadi aturan hukum yang bersifat obligatoir. Sifat obligatoir ini tidak
berdiri sendiri karena adanya fatwa tersebut, tetapi tetap diperlukan suatu campur
tangan lembaga yang diakui yang berwenang untuk menguatkan isi fatwa sebagai
hukum yang mengikat. Dari sini, tampaknya hukum di Indonesia masih bersifat
positiv.
Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa setiap hukum akan
mengikat bagi pelaku atas suatu perbuatan apabila diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, karena hal tersebut telah diatur
dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1 ), yaitu "Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

12
Di sisi lain, dengan melihat pada praktikn ya, para pelaku usaha memiliki
pandangan ambiguitas terhadap Fatwa DSN. Kedudukan DSN tetap diperlukani
sebagai institusi yang dianggap berkompeten untuk dimintai petunjuk secara
syariah dalam persoalan dan permasalahan pelaksanaan kegiatan ekonomi
syariah. Namun, dalam melaksanakan ketentuan Fatwa DSN para pelaku tidak
selalu tunduk padanya, tetap berutama pada peraturan perundang-undangan. Bagi
pemerintah, kedudukan DSN juga diakui sebagai institusi yang berkompeten
untuk dimintai pendapat dalam membuat peraturan-peraturan perekonomian
syariah.
Terkait dengan teori positivisasi hukum Islam yang dikemukakan oleh
A.Qodri Azizy bahwa hukum Islam bukan Iagi dicari suatu upaya untuk
melegalkan secara formal atas hukum Islam di Indonesia, tetapi menjadikan
hukum Islam sebagai sumber pembuatan UU, putusan hakim, kebiasaan, dan
doktrin.23 Telah terjadi suatu proses positivisasi terhadap hukum Islam yang
menjadi sumber pembuatan UU, yaitu Fatwa DSN menjadi pedoman dalam
perbuatan24 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya di bidang ekonomi
syariah" dan menjadi pedornan dalam pelaksanaan kegiatan usaha ekonomi
syariah di bidang perbankan, asuransi, dan pasar modal syariah.
Proses positivisasi yang terjadi adalah keilmuan dengan pendekatan
kultural. Sistem hukum perekonomian di Indonesia yang selama ini lepas
dari unsur religius, menjadi memiliki nilai-nilai religius yang masuk ke
dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini bukanlah eklektisisme di
bidang hukum ekonomi di Indonesia, karena saat ini tetap tidak meninggalkan
sistem hukum ekonomi yang sudah berjalan lama (sistem hukum ekonomi
konvensional atau sistem hukum ekonomi yang tidak didasarkan pada prinsip
syariah) dan tidak memberikan penilaian bahwa sistem ekonomi Islam adalah
lebih baik dari sistem ekonomi lainnya yang hidup dalam masyarakat.

23
UU No. 21 Th. 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 19 Th. 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara.
24
Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Bapepam-LK, dan
Keputusan Menteri Keuangan.

13
Peraturan perundang-undangan yang mengadopsi fatwa-fatwa yang dibuat
oleh DSN adalah suatu peraturan yang berdasar pada ketentuan Al-Qur'an dan As-
Sunnah, karena setiap fatwa yang dibuat oleh DSN selalu berpedoman atau
menggunakan sumber hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adanya perbedaan
ketentuan antara fatwa DSN dengan peraturan perundang-undangan lebih
mempertimbangkan pada pelaksanaan teknisnya.
Fatwa DSN, sebagaimana halnya fatwa, tidak mempertimbangkan prosedur
atau teknis pelaksanaannya oleh masyarakat pelaku ekonomi syariah. Fatwa DSN
lebih mempertimbangkan pada konsep dan proses transaksi saja yang kemudian
dikaji dengan berlandaskan pada AI-Qur’an, Sunnah Rasulullah, pendapat para
ulama, serta kaidah fikih. Peraturan perundang-undangan lebih
mempertimbangkan prosedur dan teknis pelaksanaannya selain konsep dan proses
transaksi. Hal ini dapat difahami bahwa ketentuan secara teknis sangat diperlukan
untuk mengarahkan masyarakat pelaku ekonomi syariah dalam melaksanakan
produk dan transaksi dalam kegiatan usahanya.
Pada satu sisi, terdapat temuan bahwa tidak semua 14asyarakat pelaku
ekonomi syariah meminta adanya fatwa dari ulama (DSN-MUI), khususnya pada
BMT. Sampai saat ini, prilaku pelaksanaan model perbankan syariah yang
dilakukan oleh BMT hanya berlandaskan pada peraturan Menteri Koperasi.
Ketentuan dalam peraturan Menteri Koperasi tidak satupun ditemukan ketentuan
yang mengatur transaksi-transaksi syariah yang didasarkan pada ketentuan fatwa
DSN.
Ketentuan dalam peraturan Menteri Koperasi juga tidak bersifat detail
seperti halnya diatur dalam peraturan perbankan atau pasar modal. Secara praktik
BMT diberi kebebasan untuk melaksanakan produknya. Pengawasan yang ada
hanyalah pengawasan internal yaitu pengawasan dari pengawas syariah masing-
masing BMT yang kurang berfungsi dengan baik. Akibatnya, tidak ada
keseragaman bentuk transaksi yang dilakukan oleh BMT dan terjadi penyimpangan
dari ketentuan syariah.25

25
Fathunrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. 3, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 65.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN adalah
untuk menghindari adanya perbedaan ketentuan yang dibuat oleh DPS
pada masing-masing LKS. Fatwa ini dibuat oleh DSN karena masyarak:at
pelaku ekonomi syariah dan pemerintah mempercayak:an MUI untuk
membentuk DSN sebagai pusat pengkajian ekonomi syariah.
Keberadaan lembaga pusat pengkajian ekonomi syariah semacam ini
juga terjadi di Mesir yang memiliki Shariah Supervisory Board khusus
bidang ekonomi syariah dan lembaga fatwa negara; dan Malaysia yang
memiliki Syariah Advisory Council bidang perbankan syariah dan
asuransi syariah di Bank Negara Malaysia dan bidang pasar modal syariah
di the Malaysian Securities Commision. Hal ini sesuai dengan asumsi yang
peneliti ajukan pada bab pendahuluan bahwa pengaturan ekonomi
syariah dibuat dalam bentuk fatwa disebabkan pengaturan ini dibuat oleh
DSN sebagai bagian dari MUI. Ketentuan mengenai ekonomi syariah
diatur dalam bentuk fatwa DSN karena tidak ada peraturan yang
mengatur kegiatan ini yang berlaku untuk. semua pelaku ekonomi
syariah. Hal ini menunjukkan adanya kekosongan hukum yang tidak
terakomodasi oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan pula bahwa
masyarakat membutuhkan fatwa karena kebutuhan akan pedoman dalam
melaksanakan kegiatan ekonomi syariah.
2. Kedudukan fatwa DSN yang menjadi hukum positif di Indonesia, memiliki
penyimpangan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang
seharusnya dibuat oleh lembaga legislatif. Penerbitan fatwa DSN dilakukan
oleh MUI yaitu organsisasi masyarakat, bukan lembaga legislatif. Untuk itu,
sudah saatnya bagi pemerintah untuk membentuk lembaga fatwa resmi
sebagai bagian dari lembaga pemerintah yang menaungi kegiatan ekonomi
syariah mengingat dan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap
kegiatan ekonomi syariah. Independensi lembaga fatwa ini harus dijaga

15
untuk memelihara kemurnian ketentuan hukum yang dibuatnya nanti, bebas
dari keterpengaruhan political will dan self-interest dari instansi apapun.
Penerbitan fatwa oleh lembaga fatwa resmi menjadikan fatwa tersebut
kedudukannya lebih kuat dan lebih berwibawa karena dibuat oleh lembaga
pemerintah yang berwenang.

B. Saran
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan
juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah
di jelaskan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015).
Andrian Sutedi, Perbankan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa di Indonesia (Indonesia: Jejak Pustaka. 2023).
Asrorun Ni’am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta : Erlangga, 2016).
Aunur Rohim Faqih, dkk., (ed.) HKI Hukum Islam dan Fatwa MUI (Indonesia:
Erlangga. 2015).
Fathunrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. 3, (Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 1999).
Gita Danupranata, Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta: Selemba
Empat, 2013).
Har Chand, Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: Intemnational Law Book
Services, 1994).
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: EKONISIA,
2008).
M, Ichwan Sam, dkk., (ed.) Himpunan fatwa keuangan syariah. (Indonesia:
Erlangga. 2014).
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: ELSAS, 2011).
Mohamad Atho Mudzhar Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : sebuah studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Indonesia : INIS. 1993).
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : dari teori ke praktik. (Indonesia: Gema
Insani. 2001).
Mohamad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia : sebuah studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Indonesia : INIS. 1993).
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : dari teori ke praktik. (Indonesia: Gema
Insani. 2001).
Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Bapepam-LK, dan
Keputusan Menteri Keuangan.
Rustamunadi, Kontruksi Sumber Hukum Kontrak Bisnis Syariah di Indonesia,
(Serang: November 2011).

17
UU No. 21 Th. 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 19 Th. 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara.

18

Anda mungkin juga menyukai